Evaluasi Keberlanjutan Masyarakat pada Hulu DAS Kalibekasi Berdasarkan Konsep Ecovillage

(1)

EVALUASI KEBERLANJUTAN MASYARAKAT PADA HULU

DAS KALIBEKASI BERDASARKAN KONSEP

ECOVILLAGE

PRATITOU ARAFAT

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi Evaluasi Keberlanjutan Masyarakat Berdasarkan Konsep Ecovillage adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2010 Pratitou Arafat A44063494


(3)

RINGKASAN

PRATITOU ARAFAT. Evaluasi Keberlanjutan Masyarakat pada Hulu DAS Kalibekasi Berdasarkan Konsep Ecovillage. Dibimbing oleh NURHAYATI HS ARIFIN

Lanskap perdesaan merupakan kawasan yang kerap terdapat di hulu dari sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam ekosistem sebuah DAS menjadi penting untuk menjaga bagian hulu, karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS, terutama dari fungsi tata air. Salah satu DAS yang terdapat di Jawa Barat adalah DAS Kalibekasi. DAS ini berpotensi mengalami degradasi yang dapat menyebabkan banjir dan bencana lingkungan lainnya. Oleh karena itu diperlukan suatu usaha untuk menjaga keberlanjutan lanskap di sekitar hulu DAS ini. Salah satu konsep yang dapat diterapkan untuk mendukung keberlanjutan lanskap adalah konsep ecovillage. Penekanan konsep ini adalah pada usaha menyelaraskan hubungan antara manusia dan lingkungan. Terdapat tiga pilar dalam ecovillage yaitu keberlanjutan ekologi, keberlanjutan sosial-ekonomi, serta keberlanjutan spiritual-budaya. Ketiganya merupakan parameter tercapainya suatu masyarakat yang berlanjut yang merupakan awal dari keberlanjutan suatu lanskap.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi karakter lanskap perkampungan di hulu DAS Kalibekasi dan menganalisis tingkat keberlanjutan masyarakat berdasarkan pendekatan konsep ecovillage, dan menyusun rekomendasi pengelolaan lanskapnya. Penelitian dilakukan pada tiga perkampungan yang mewakili hulu atas, tengah dan bawah. Kampung yang menjadi sampel adalah Kampung Cimandala (hulu atas) dengan ketinggian 520-600 m dpl dan Kampung Landeuh (hulu tengah) dengan ketinggian 260-280 m dpl pada Desa Karang Tengah. Kampung Leuwijambe (hulu bawah) dengan ketinggian 175-210 m dpl pada Desa Kadumanggu. Ketiga lokasi berada dalam kawasan administrasi Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Di samping itu, diambil satu sampel lokasi pada Sentul City sebagai pembanding karakter lanskap kota pada hulu, yaitu cluster Bogor Golf Hijau (220-265 m dpl). Metode observasi lapang, sampling dan RABA digunakan untuk mengidentifikasi karakter lanskap, sosial, dan spiritual pada lokasi penelitian, sedangkan metode Community Sustainibility Assessment (CSA) yang diperkenalkan oleh Global Ecovillage Network (GEN) digunakan untuk menganalisis tingkat keberlanjutannya.

Karakter lanskap pada perkampungan hulu atas Kalibekasi masih memiliki ciri perkampungan tradisional. Kampung ini dikelilingi oleh gunung, sehingga secara geografis agak terisolasi. Pada hulu tengah dan bawah ditemukan karakter lanskap perdesaan yang telah mengalami urbanisasi. Kondisi ini terkait dengan kedekatan geografis perdesaan dengan kota-kota baru di sekitarnya. Sementara pada Sentul City karakter lanskap perkotaan terencana menjadi ciri yang kuat. Pada Desa Karang Tengah yang merupakan lokasi sampel hulu atas dan tengah kemiringan lahan berkisar antara 15-25% dan >40% pada area Gunung Pancar. Pada Desa Kadumanggu, lokasi sampel hulu bawah, kemiringan lahan berkisar antara 8-15% sedangkan pada Sentul City 0-25%. Sumber air bersih pada hulu


(4)

atas adalah mata air, sedangkan pada hulu tengah dan bawah berupa sumur. Di Sentul City sumber air bersih berasal dari PDAM. Bentuk badan air lain yang ditemukan pada lokasi penelitian adalah sungai, kolam, danau, dan empang. Sementara itu, keanekaragaman hayati tersebar pada berbagai penutupan lahan pada perdesaan seperti hutan alam, hutan tanaman, lahan pertanian, pekarangan, kebun campuran, talun, dan RTH jalan. Dari hasil pengamatan diketahui semakin ke bawah jumlah keanekaragaman semakin berkurang. Di samping itu, setiap lokasi penelitian, memiliki potensi keindahan lanskap yang dapat dikembangkan. Karakter sosial lokasi penelitian juga dipengaruhi oleh karakter lanskapnya. Pada hulu atas kehidupan sosial masyarakat masih relatif tradisional dibandingkan dengan dua lokasi di bawahnya yang telah terurbanisasi. Mayoritas masyarakat pada lokasi penelitian perdesaan beragama Islam dan berasal dari Suku Sunda. Sementara pada Sentul City, agama dan suku masyarakatnya lebih beragam. Pada hulu atas peran pemuka agama masih kuat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan sedangkan pada hulu tengah dan bawah peran kelembagaan desa sudah lebih besar. Ditinjau dari aspek mata pencaharian sebagian besar masyarakat perdesaan pada hulu DAS Kalibekasi bekerja bertani sedangkan masyarakat di Sentul City mayoritas bekerja sebagai penglaju di Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Tingkat pendidikan pada daerah perdesaan masih rendah, 75% masyarakat pada Desa Karang Tengah dan 60% masyarakat pada Desa Kadumanggu hanya merupakan tamatan SD, sementara pada Sentul City masyakat minimal berpendidikan S1.

Pada aspek spiritual, kegiatan spiritual dilakukan mayarakat secara berkelompok atau pribadi berdasarkan agama mereka. Di samping itu, pada perdesaan masih dapat ditemukan nilai tradisional seperti kepercayaan pada ‘local space spirit’. Namun, apabila ditinjau dari aspek budaya, telah banyak bentuk kesenian lokal yang ditinggalkan oleh masyarakat dan terancam hilang.

Secara umum, penilaian keberlanjutan masyarakat pada semua lokasi penelitian menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan. Namun apabila ditinjau dari masing-masing aspek, aspek ekologi menunjukkan nilai yang rendah dibandingkan dengan dua aspek lainnya dan menunjukkan perlunya tindakan dalam mencapai keberlanjutan. Rendahnya nilai aspek ekologi ini terutama didapatkan dari parameter pengelolaan limbah cair, ketersediaan produksi makanan, dan sumber dan penggunaan energi. Pada aspek sosial dan spiritual, keseluruhan lokasi menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan. Namun terdapat beberapa parameter yang memerlukan perbaikan karena nilainya yang rendah seperti parameter keberlanjutan ekonomi lokal yang sehat pada aspek sosial dan parameter seni dan kesenangan pada apek spiritual.

Rekomendasi pengelolaan yang disusun untuk keberlanjutan lingkungan dan masyarakat pada hulu DAS Kalibekasi merupakan gabungan beberapa konsep dalam kerangka ecovillage. Dalam jangka panjang, kerangka ini meliputi tahapan pemantapan komitmen, peningkatan kapabilitas, dan pembiasaan pola hidup berkelanjutan. Sementara bentuk rekomendasi secara rinci difokuskan pada peningkatan pendidikan dan perekonomian masyarakat perdesaan, harmonisasi desa-kota berkelanjutan, revitalisasi lanskap agroforestri, revitalisasi kearifan lokal, serta revitalisasi seni budaya lokal. Sementara secara teknis, konsep


(5)

penataan tata guna lahan, konservasi dinding sungai, optimalisasi pekarangan menjadi rekomendasi yang dapat dilakukan. Dukungan serta keterlibatan semua stakeholder, baik masyarakat, pemerintah, LSM, institusi pendidikan, Sentul City, maupun pihak terkait lain dibutuhkan dalam pencapaian konsep keberlanjutan ini. Kata kunci: DAS Kalibekasi, karakter lanskap, karakter sosial, karakter spiritual, Penilaian Keberlanjutan Masyarakat, ecovillage


(6)

© Hak Cipta Milik Pratitou Arafat, Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tujuan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

EVALUASI KEBERLANJUTAN MASYARAKAT PADA HULU

DAS KALIBEKASI BERDASARKAN KONSEP

ECOVILLAGE

PRATITOU ARAFAT

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(8)

Judul Penelitian : Evaluasi Keberlanjutan Masyarakat pada Hulu DAS Kalibekasi Berdasarkan Konsep Ecovillage

Nama : Pratitou Arafat NIM : A44063494

Disetujui Pembimbing Skripsi

Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, MSc NIP. 19620121 198601 2 001

Diketahui

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA. NIP. 19480912 197412 2 001


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Evaluasi Keberlanjutan Lanskap pada Hulu DAS Kalibekasi Berdasarkan Konsep Ecovillage. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Hibah Kompetensi (HIKOM) tahun ke-III, 2010 yang berjudul “Manajemen Lanskap Perdesaan Bagi Kelestarian dan Kesejahteraan Lingkungan (Kasus Eco-Village dan Eco-City pada Kajian Ekologi Lanskap)” yang diketuai oleh Prof. Hadi Susilo Arifin, MS. Penelitian ini didanai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DP2M), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI).

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, MSc selaku dosen pembimbing dalam

penulisan skripsi.

2. Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS sebagai dosen Pembimbing Akadamik dan Ketua dalam HIKOM.

3. Pihak kantor pemerintahan dan masyarakat Desa Karang Tengah dan Desa Kadumanggu, serta pihak pengelola dan warga Bukit Golf Hijau (BGH) Sentul City.

4. Ni Wayan Febriana (S2), Nahda Kanara (S2), Wahyu Catur Adi Nugroho (S2), dan Djaemuddin (S3), sebagai tim dalam penelitian HIKOM.

5. Babah, Mama, Kak Ai, Kak Lia dan seluruh keluarga yang tak putus memberi cinta dan dukungan pada penulis.

6. Teman-teman 43 yang hangat dan penuh kasih sayang, serta seluruh keluarga besar Departemen Arsitektur Lanskap IPB.

Besar harapan penulis, skripsi dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah Kabupaten Bogor dalam melaksanakan pembangunan pada kawasan sekitar hulu DAS Kalibekasi, serta bagi semua pihak/pembaca yang memerlukannya.

Bogor, 8 Desember 2010


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 20 November 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1992-1994 pada Taman Kanak-Kanak YKA Banda Aceh. Pada tahun 1994-2000 penulis mengenyam pendidikan sekolah dasar pada SD Negeri 20 Banda Aceh. Kemudian pada 2000-2003 penulis bersekolah pada SMP Negeri 1 Banda Aceh dan dilanjutkan pada tahun 2003-2006 pada SMA Negeri 3 Banda Aceh.

Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Pada tahun selanjutnya penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama menjalankan studi di IPB penulis aktif mengikuti kegiatan di luar akademik. Beberapa di antaranya adalah menjadi pengurus Himpunanan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) pada divisi minat dan bakat, anggota Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR), dan anggota tim saman ARL 43. Penulis menjadi asisten mahasiswa untuk mata kuliah Pengelolaan Laskap periode 2010-2011.

Penulis juga pernah mengikuti kegiatan magang selama 3 bulan pada Mandiri Jaya Flora Nurseries dan aktif dalam beberapa kepanitiaan seperti Bogor Botanical Garden International Workshop (2010), Simposium Nasional Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (2010), dan beberapa kepanitiaan intra departemen. Di samping itu, penulis aktif dalam mengikuti kompetisi seperti Sayembara Taman Pisang Penjaringan (2009), dan Sayembara Taman Topi Bogor (2010).


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

1.4 Kerangka Pemikiran ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Lanskap Perdesaan ... 4

2.2 Daerah Aliran Sungai ... 5

2.3 Konsep Keberlanjutan Lanskap ... 7

2.4 Ecovillage ... 9

III. METODOLOGI ... 13

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

3.2 Metode Penelitian... 14

IV. KONDISI UMUM ... 22

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

5.1 Karakter Perdesaan pada Hulu DAS Kalibekasi ... 26

5.1.1 Karakter Lanskap ... 26

5.1.1.1 Tanah dan Topografi ... 26

5.1.1.2 Iklim ... 29

5.1.1.3 Hidrologi ... 30

5.1.1.4 Keanekaragaman Hayati ... 35

5.1.1.5 Pola Lanskap ... 45

5.1.1.6 Arsitektur Bangunan ... 54

5.1.1.7 Potensi Keindahan Lanskap ... 57

5.1.2 Karakter Sosial ... 58

5.1.2.1 Sejarah Kawasan ... 58

5.1.2.2 Populasi ... 60

5.1.2.3 Lahan ... 60


(12)

5.1.3.1 Keagamaan ... 66

5.1.3.2 Nilai ... 67

5.1.3.3 Budaya ... 69

5.2 Penilaian Keberlanjutan Masyarakat... 69

5.2.1 Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Total ... 70

5.2.2 Penilaian Keberlanjutan Ekologi ... 71

5.2.2.1 Perasaan terhadap Tempat ... 72

5.2.2.2 Ketersediaan, Produksi, dan Distribusi Makanan ... 74

5.2.2.3 Infrastruktur, Bangunan, dan Transportasi ... 76

5.2.2.4 Pola Konsumsi dan Pengelolaan Limbah Padat ... 77

5.2.2.5 Sumber, Mutu, dan Pola Penggunaan Air ... 80

5.2.2.6 Limbah Cair dan Polusi Air ... 81

5.2.2.7 Sumber dan Penggunaan Energi ... 82

5.2.3 Penilaian Keberlanjutan Sosial ... 84

5.2.3.1 Keterbukaan, Kepercayaan dan Keamanan ... 85

5.2.3.2 Komunikasi, Aliran Gagasan dan Informasi ... 87

4.2.3.3 Jaringan Pencapaian dan Jasa ... 88

5.2.3.4 Keberlanjutan Sosial ... 89

5.2.3.5 Pendidikan ... 90

5.2.3.6 Pelayanan Kesehatan ... 91

5.2.3.7 Keberlanjutan Ekonomi Lokal yang Sehat ... 93

5.2.4 Penilaian Keberlanjutan Spiritual ... 95

5.2.4.1 Keberlanjutan Budaya ... 96

5.2.4.2 Seni dan Kesenangan ... 96

5.2.4.3 Keberlanjutan Spiritual ... 97

5.2.4.4 Keterikatan Masyarakat ... 98

5.2.4.5 Gaya Pegas Masyarakat ... 99

5.2.4.6 Holografik Baru, Pandangan Dunia ... 99

5.2.4.7 Perdamaian dan Kesadaran Global ... 100

5.3 Rekomendasi Pengelolan ... 100

5.3.1 Rekomendasi Umum ... 100

5.3.2 Rekomendasi Khusus ... 102

5.3.3 Alternatif Rekomendasi Teknis ... 111

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 120

5.1 Simpulan ... 120

5.2 Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kebutuhan Data ... 15

2. Indikator Keberlanjutan Masyarakat ... 19

3.Kriteria Penilaian dalam CSA ... 19

4.Data Jenis Tanah dan Kelerengan ... 26

5.Data Suhu dan Kelembaban ... 29

6.Persentase Jenis Bangunan ... 56

7.Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Total ... 70

8.Penilaian Keberlanjutan Aspek Ekologi ... 71

9.Metode Pengelolaan Sampah pada Lokasi Penelitian ... 80

10.Penilaian Keberlanjutan Aspek Sosial ... 85

11.Penilaian Keberlanjutan Aspek Spiritual ... 95

12.Bentuk Pendidikan Praktis untuk Keberlanjutan Masyarakat ... 103

13.Potensi Agrowisata, Ekowisata, Desa Wisata ... 107

14.Bentuk dan Pengelolaan Agroforestri ... 108


(14)

Halaman

1. Kerangka Pikir ... 3

2. Peta Lokasi Magang ... 13

3. Tahapan Kerja Penelitian ... 21

4. Peta Kecamatan Babakan Madang ... 22

5. Peta Lokasi Desa Karang Tengah ... 23

6. Peta Lokasi Desa Kadumanggu ... 24

7. Peta Lokasi Sentul City ... 25

8. Hubungan Suhu, Kelembaban, dan Angin ... 30

9. Bentuk Sumber Air ... 32

10. Karakter Sungai ... 32

11. Kondisi Dinding Sungai pada Lokasi Penelitian ... 34

12. Bentuk Badan Air pada Lokasi Penelitian ... 35

13. Vegetasi pada Gunung Pancar ... 37

14. Vegetasi pada Pekarangan... 38

15. Keanekaragaman Bambu pada Lokasi Penelitian ... 40

16. Keanekaragaman Varietas Pisang ... 41

17. Vegetasi Khas pada Lokasi Penelitian ... 42

18. Tanaman pada BGH ... 43

19. Keragaman Hewan pada Lokasi Penelitian... 45

20. Pola Ruang pada Lokasi Penelitian ... 47

21. Pola Sirkulasi pada Hulu Tengah dan Bawah ... 48

22. Pola Vegetasi pada Pekarangan ... 49

23. Pola Kompleks Rumah Keluarga ... 51

24. Fenomena Konurbasi pada Lokasi Penelitian ... 53

25. Arsitektur Tradisional pada Lokasi Penelitian ... 55

26. Potensi Lanskap pada Lokasi Penelitian ... 58


(15)

28. Tingkat Pendidikan Masyarakat pada Lokasi Penelitian ... 64

29. Penambangan Batu Kali pada Hulu Tengah ... 73

30. Alur Distribusi Makanan pada Lokasi Penelitian ... 75

31. Permasalahan Sampah ... 78

32. Orientasi Rumah Berdasarkan Arah Matahari dan Angin ... 83

33. Aliran Informasi pada Perdesaan ... 88

34. Skema Tahapan Menuju Masyarakat Berlanjut ... 101

35. Alur Pikir Kelestarian Lingkungan ... 102

36. Konsep Hubungan Unit Ecovillage-Ecocity ... 105

37. Rekomendasi Konsep Pola Kawasan pada Lokasi Penelitian... 111

38. Rekomendasi Konsep Pola Perkampungan ... 112

39. Skema dan Ilustrasi Ruang Terbuka Publik untuk Komunitas ... 113

40. Metode dan Ilustrasi Konservasi Dinding Sungai ... 115

41. Alternatif Konsep dan Ilustrasi Pemanfaatan Pekarangan ... 116

42. Metode Konservasi Air Skala Rumah Tangga ... 117

43. Potensi Pengelolaan Sampah... 118


(16)

Halaman

1. Foto Focus Group Discussion pada Lokasi Penelitian ... 127

2. Jenis Tanaman pada Pekarangan dan Fungsinya ... 128

3. Kuesioner CSA ... 130


(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lanskap perdesaan merupakan tulang punggung dalam pembangunan wilayah. Perdesaan merupakan tempat sumber daya alam, lokasi produksi pertanian dan kawasan konservasi (Arifin, 2002) Di samping itu, lanskap perdesaan merupakan pembentuk iklim mikro, penghasil oksigen, penyimpan karbon, serta kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan potensi keindahan alamnya. Dari sisi jumlah penduduk, perdesaan merupakan tempat tinggal hampir 60% dari masyarakat Indonesia sehingga sangat berpengaruh terhadap pembangunan negara.

Lanskap perdesaan merupakan kawasan yang kerap terdapat di kawasan hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam ekosistem sebuah DAS, usaha untuk menjaga hulu adalah penting karena hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS, terutama dari fungsi tata air (Asdak, 2007). Pada skala yang lebih besar kerusakan lingkungan di hulu akan mempengaruhi daerah hilir yang umumnya berupa perkotaan. Oleh karena itu, kualitas lingkungan di perdesaan perlu dijaga agar tetap berfungsi dengan baik.

Salah satu DAS yang terdapat di Jawa Barat adalah DAS Kalibekasi. DAS ini membentang melintasi batas administrasi Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi. DAS Kalibekasi mempunyai potensi menimbulkan banjir. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keadaan topografi dan berkurangnya daerah resapan air. Kondisi fisik lingkungan DAS Kalibekasi juga perlu mendapat perhatian khusus karena terdapat lahan-lahan kritis dan kerawanan sumber daya alam yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (Dephut, 2007). Di samping itu, kerusakan DAS lain yang berdampingan, seperti DAS Ciliwung Hulu berpotensi merambat ke DAS ini sehingga diperlukan suatu usaha untuk menjaga keberlanjutan lanskap DAS Kalibekasi.

Salah satu konsep yang dapat diterapkan untuk menjamin keberlanjutan lanskap perdesaan adalah konsep ecovillage. Konsep ini menitikberatkan pada


(18)

harmonisasi hubungan manusia dan lingkungan. Pada konsep ecovillage, terdapat tiga pilar penting yaitu keberlanjutan ekologi, keberlanjutan sosial-ekonomi, serta keberlanjutan spiritual-budaya. Untuk menindaklanjuti konsep ini, pada awalnya perlu dilakukan penilaian yang komprehensif tentang keberlanjutan masyarakat pada hulu DAS Kalibekasi.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi karakter perdesaan pada hulu DAS Kalibekasi

2. Menganalisis keberlanjutan masyarakat pada perdesaan hulu DAS Kalibekasi berdasarkan konsep ecovillage

3. Menyusun rekomendasi pengembangan dan pengelolaan lanskap perdesaan untuk mencapai konsep ecovillage

1.3Manfaat

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi karakter lanskap pada kawasan hulu DAS Kalibekasi. Di samping itu hasil analisis keberlanjutan masyarakatnya dapat memberikan gambaran potensi dan kendala dalam usaha mencapai konsep ecovillage. Rekomendasi yang dibuat diharapkan juga dapat menjadi masukan yang dapat diambil baik bagi masyarakat desa setempat, pemerintah lokal, dan semua stakeholder lain untuk mencapai perdesaan yang berkelanjutan.

1.4Kerangka Pemikiran

Penelitian ini difokuskan pada lanskap perdesaan yang biasanya berada pada hulu dari sebuah DAS. Dalam konsep DAS, terdapat hubungan yang erat antara hulu dan hilir. Kualitas lingkungan hulu akan mempengaruhi kualitas lingkungan di hilirnya, demikian pula sebaliknya. Dewasa ini permasalahan lingkungan kerap terjadi pada lanskap perdesaan di hulu DAS, beberapa di antaranya adalah degradasi lahan pertanian, penurunan biodiversitas, kekeringan, longsor, erosi, bahaya kelaparan, penurunan kualitas kesehatan, serta kemiskinan. Secara umum, beberapa permasalahan tersebut dikhawatirkan dapat menjadi


(19)

3

ancaman keberlanjutan dari keseluruhan DAS. Oleh karena itu pada awalnya, perlu dilakukan suatu penilaian terhadap keberlanjutan dari perdesaan pada hulu DAS tersebut. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah melalui pendekatan

ecovillage dari Global Ecovillage Network (GEN). Berdasarkan pendekatan ini, keberlanjutan dinilai dari persepsi masyarakat tentang tingkat keberlanjutan pada aspek ekologi, aspek sosial-ekonomi, serta aspek spiritual-budaya. Hasil penilaian diharapkan menjadi pertimbangan dalam penyusunan rekomendasi pengelolaan dan pengembangan lanskap perdesaan sehingga keberlanjutan lanskap perdesaan dapat tercapai. Secara diagramatis kerangka pikir disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pikir

Lanskap Perdesaan

Permasalahan Lanskap Perdesaan Pedesaan: Bagian Hulu DAS

Penilaian tingkat Keberlanjutan Masyarakat

Tingkat Keberlanjutan pada Aspek Ekologis

Tingkat Keberlanjutan pada Aspek

Sosial-Ekonomi

Tingkat Keberlanjutan pada Aspek

Spiritual-Budaya

Pendekatan Ecovillage (GEN)

Rekomendasi Pengembangan dan Pengelolaan Lanskap Pedesaan berdasarkan Konsep Ecovillage

Konsep DAS ( HubunganHulu-Hilir)


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dikemukaan beberapa referensi tentang kata kunci dari penelitian yaitu, Lanskap Perdesaan, Daerah Aliran Sungai (DAS), Konsep Keberlanjutan, dan Ecovillage

2.1 Lanskap Perdesaan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah atau kabupaten. Desa terbentuk atas dasar ikatan tertentu, antara lain bentuk genealogis (kesatuan hukum ikatan karena kekerabatan atau suku), bentuk teritorial (daerah hukum karena kesukarelaan warga masyarakat untuk bertempat tinggal pada suatu tempat atas dasar kepentingan bersama) dan bentuk campuran keduanya (Sumardjo, 2010).

Perdesaan menurut definisi (Rustiadi, 2007) yang merupakan perluasan definisi dari Undang-Undang No. 24 tahun 1992, adalah kawasan yang dicirikan dengan pemanfaatan ruang utama aktivitas pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, kegiatan budidaya pertanian, pengolahan/industri pertanian dan non pertanian, distribusi dan pasar pertanian dan non pertanian yang memiliki kerapatan/kepadatan yang rendah. Penduduk perdesaan secara spasial bermukim dalam kelompok terpencar (klastering), yang disebabkan persoalan ekonomi seperti karakteristik usaha taninya atau infrastruktur (jalan dan komunikasi), di samping persoalan sosiologi seperti pengelompokan secara garis keturunan dan kepemilikan lahan (Rustiadi, 2007).

Pada lanskap perdesaan ditemukan berbagai sumberdaya yang dapat digunakan oleh penduduknya untuk kebutuhan sosial dan ekonomi. Lahan, udara, dan air merupakan elemen utama pada modal alami pembentuk lanskap perdesaan


(21)

5

(Golley & Bellot, 1999). Kombinasi elemen modal alami dengan tenaga kerja manusia, pengetahuan, dan material kehidupan (benih, teknik, mesin) akan menghasilkan produksi perdesaan (Golley & Bellot, 1999). Di samping menghasilkan produk pangan dan material mentah, perdesaan juga menyediakan pemandangan, rekreasi, dan keterhubungan dengan aktivitas tradisional dan budaya.

Dari segi sosial, kehidupan masyarakat desa terikat nilai-nilai budaya asli yang sudah diwariskan secara turun temurun melalui proses adaptasi yang sangat panjang dan interaksi intensif dengan lingkungan biofisik masyarakat. Di samping itu, kearifan lokal merupakan salah satu aspek karakteristik masyarakat, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seyogiyanya dapat dipahami sebagai dasar dalam pembangunan pertanian dan perdesaan. (Sumardjono, 2010)

Beberapa masalah pada lanskap perdesaan antara lain penggundulan hutan, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, degradasi lahan pertanian, penurunan keragaman jenis biologi, kekeringan dan krisis air bersih terutama di musim kemarau, peningkatan terjadinya erosi tanah longsor terutama di musim penghujan, terjadinya bahaya kelaparan, penurunan kesehatan masyarakat, peningkatan jumlah masyarakat miskin (Arifin et al. 2009)

2.2 Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan sungai dan anak-anak sungai yang berfungsi menampung, menyimpan serta mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruhi aktivitas daratan (UU No. 7/2004). DAS meliputi punggung bukit atau gunung yang merupakan tempat sumber air dan semua curahan air hujan yang mengalir ke sungai, sampai daerah dataran dan muara sungai (Ditjen Tata Ruang & Pengembangan Wilayah, 2002). DAS dapat disebut juga Daerah Pengaliran Sungai (DPS) atau Daerah Tangkapan Air (DTA). Dalam bahasa inggris terdapat pula berbagai istilah seperti Catchment Area dan Watershed (Kodoatie & Sugiyanto, 2002). DAS merupakan dasar pengelolaan sumber daya air untuk air permukaan. Dalam suatu sistem DAS


(22)

banyak komponen, sistem, fungsi dan perannya terkait sumber daya air. Oleh karena itu pegelolaan sumber daya air harus dilihat secara utuh dalam satu kesatuan, minimal dalam satu daerah aliran sungai (Kodoatie & Sjarief, 2010).

Pada bagian hulu DAS dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat tradisional yang relatif homogen serta relatif jauh dari pengaruh urbanisasi, akan ditemukan karakter lanskap perkampungan/perdesaan. Karakter tersebut dapat terlihat pada tata ruang, elemen pembentuk lanskap maupun aktivitas masyarakatnya. Semakin ke hilir semakin kuat pengaruh urbanisasi (Arifin & Arifin, 2007). Aktivitas masyarakat bagian hulu akan mempengaruhi kondisi ekologis bagian hilirnya, sebaliknya perkembangan perkotaan di bagian hilirnya akan mempengaruhi bagian hulunya. Oleh karena itu diperlukan pengelolaaan kawasan kawasan DAS secara terintegrasi dari bagian hulu sampai hilirnya untuk menjaga keberlanjutan ekosistem pada DAS tersebut (Asdak, 2007).

Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (>15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan permukaan air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan (Asdak, 2007). Ekosistem DAS hulu merupakan hal yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS, antara lain dari fungsi tata air. Daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Asdak 2007).

Pemberdayaan kembali wilayah perdesaan di daerah hulu DAS diharapkan dapat memperbaiki produktivitas wilayah dan hubungan yang baik hingga ke hilir secara harmonis dan berkelanjutan. Secara kewilayahan ragam land use, potensi agroforestri, lanskap budaya, ecovillage dan keindahan lanskap, dipandang sebagai variabel yang berpotensi dikembangkan sebagai objek agrowisata. Dengan demikian masyarakat dalam aktivitas sehari-harinya yang telah memperoleh manfaat secara sosial ekonomi dan lingkungan juga dapat meningkatkan kesejahteraannya dengan aktivitas agrowisata. Hal tersebut dapat dicapai melalui tiga tahapan dasar (triple bottom line benefit) yaitu aspek


(23)

7

konservasi lingkungan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan kenyamanan/keamanan hidup (Arifin, 2010)

2.3 Konsep Keberlanjutan Lanskap

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka. Pembangunan berkelanjutan memiliki dua konsep kunci yaitu kebutuhan, khususnya fakir miskin pada negara berkembang dan keterbatasan dari teknologi dan organisasi sosial yang berkaitan dengan dengan kapasitas lingkungan untuk mencukupi kebutuhan generasi sekarang dan masa depan. (Brundtland Comission, 1987 diacu dalam Mitchel et al. 2007)

Menurut Robinson et.al (1990) terdapat beberapa prinsip keberlanjutan, yaitu: A. Prinsip lingkungan/ekologi

1. Melindungi sistem penunjang kehidupan

2. Melindungi dan meningkatkan keanekaragaman biotik

3. Memelihara atau meningkatkan integritas ekosistem, serta mengembangkan dan menerapkan ukuran-ukuran rehabilitasi untuk ekosistem yang sangat rusak

4. Mengembangkan dan menerapkan strategi yang preventif dan adaptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global

B. Prinsip sosio politik

B.1 Dari hambatan lingkungan/ekologi

1. Mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia di bawah daya dukung biosfer

2. Mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia; mengembangkan metode untuk meminimalkan pemakaian energi dan material per unit kegiatan ekonomi; menurunkan emisi beracun; merehabilitasi ekosistem yang rusak.

3. Meyakinkan adanya kesamaan sosial, politik, dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang lebih berkelanjutan.

4. Menjadikan perhatian-perhatian lingkungan lebih langsung dan menerus pada proses pembuatan keputusan secara politik


(24)

5. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan, interpretasi dan penerapan konsep pembangunan berkelanjutan.

6. Menjalin kegiatan politik lebih langsung pada pengalaman lingkungan secara aktual melalui alokasi kekuatan politik yang secara lingkungan lebih bermakna keadilan

B.2 Dari kriteria sosio politik

1. Menerapkan proses politik yang terbuka dan mudah dicapai, yang meletakkan kekuatan pembuatan keputusan secara efektif oleh pemerintah pada tingkat yang paling dekat dengan situasi dan kehidupan masyarakan yang terkena akibat dari keputusan tersebut. 2. Meyakinkan masyarakat bebas dari tekanan ekonomi

3. Meyakinkan masyarakat dapat berpartisipasi secara kreatif dan langsung dalam sistem politik dan ekonomi

4. Meyakinkan tingkat minimal dari pemerataan (equality) dan keadilan sosial, termasuk pemerataan untuk merealisasikan potensi penuh sebagai manusia, sumberdaya untuk sistem legal yang terbuka, bebas dari represi politik, akses ke pendidikan dengan kualitas tinggi, akses yang efektif untuk mendapat informasi, dan kebebasan beragama, berbicara dan bertindak.

Menurut Bossel (1988) konsep keberlanjutan berjalan dalam lebih dari satu skala spasial, sebagai contoh sebuah keberlanjutan dari sebuah lahan basah tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan dari DASnya. Oleh karena itu keberlanjutan mengacu pada kemampuan suatu sistem untuk bertahan dan tetap sama dalam waktu jangka waktu yang panjang. Bossel (1998) menambahkan, keberlanjutan merupakan suatu keadaan yang dinamis yang mana semua sistem kebutuhan bertemu. Ekosistem yang berlanjut adalah ekosistem yang sehat (efektif), produksi yang tidak menghasilkan limbah (zero waste), dapat mengatur diri sendiri, mempunyai gaya pegas dan kekuatan untuk memperbaiki atau memperbarui diri, serta fleksibel. Sementara itu masyarakat yang berlanjut adalah masyarakat yang memiliki etika berlandaskan hubungan emosional yang kuat


(25)

9

antar sesama, pemenuhan kebutuhan psikologi, dan kerja sama dalam kehidupan bersama.

Lanskap berkelanjutan berkontribusi bagi kesejahteraan manusia sekaligus tetap harmoni dengan alam karena tidak merusak ekosistem. Ketika aktivitas manusia dapat menyesuaikan dengan pola-pola alami, maka lanskap berkelanjutan dapat berjalan fungsi dan strukturnya sesuai dengan kondisi alaminya. Sumberdaya yang berharga seperti air, hara, tanah, dan energi akan terjaga. Di samping itu keanekaragaman hayati akan terkelola dan meningkat. (Council of Educators in Landscape Architecture dalam Thompson & Sorvig, 2008). Pada debat tentang lingkungan dasar yang paling kuat mucul pada cara untuk memanen dan mengelola sumberdaya yang terbarukan seperti hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan. (Benson & Roe, 2000). Dalam Arifin (2010) dinyatakan bahwa pada lanskap secara meso (desa dan kota) aspek sosial ekonomi, budaya, dan spiritual masyarakat akan menentukan keberlanjutan suatu masyarakat dalam wilayah tersebut.

2.4 Ecovillage

Menurut GEN, ecovillage adalah komunitas dari masyarakat di kota ataupun di desa yang berusaha untuk mengintegrasikan kehidupan sosial dengan gaya hidup yang minim dampak. Untuk mencapai konsep ini dipadukan aspek desain ekologi, permakultur, bangunan ekologi, produksi ramah lingkungan, energi alternatif, latihan penguatan komunitas, dan banyak lagi. Ecovillage merupakan suatu cara hidup yang didasarkan pada pemahaman yang mendalam bahwa segala sesuatu dan segala makhluk saling berhubungan. Secara filosofi ecovillage dibangun dari berbagai macam kombinasi dari ketiga prinsip dasar yaitu ekologi, komunitas, dan spiritual. Terdapat tiga komponen kunci terkait dengan pembangunan berkelanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Setiap komponen ini berfokus pada kesetaraandan kemasadepanan (Benson& Roe, 2000).

Ecovillage adalah suatu komunitas yang secara sengaja ingin hidup bersama dalam suatu wadah secara fisik yang anggotanya biasanya disatukan dengan adanya penggunaan bersama nilai-nilai yang terkait dengan ekologi, sosial, atau spiritual (Gilman, 1991). Konsep ecovillage tidak dapat diterapakan


(26)

pada wilayah yang terisolasi agar komunitas tetap dapat mengakses berbagai bentuk infrastruktur seperti teknologi, informasi, maupun ekonomi di pusat pelayanan yang lebih tinggi entitasnya. Sementara kenyaman lingkungan dan kehidupan komunitas dapat diperoleh di lokasi tempat tinggalnya (Barus dan Pribadi, 2009). Unit-unit ecovillage dapat terletak di kawasan hinterland dari suatu pusat pertumbuhan tertentu seperti kota dan dapat berada di kawasan budidaya maupun kawasan lindung yang masih toleran terhadap keberadaan suatu aktivitas.

Komunitas ecovillage di negara maju biasanya merupakan orang-orang muda yang produktif serta memiliki idealisme, kepedulian dan ide cemerlang dalam mewujudkan komitmen bersama untuk menjunjung tinggi pola adaptif terhadap alam (Kasper dalam Barus & Pribadi, 2009). Sebuah komunitas yang berlanjut adalah tempat di mana merasa aman, diterima dan saling mengenal. Komunitas terbangun dengan baik, mudah dijangkau, memiliki ruang ekonomi, lapangan pekerjaan, dan sarana pendidikan dan rekreasi yang cukup. Pembentukan komunitas yang berlanjut merupakan suatu pekerjaan menciptakan tatanan masyarakat yang di dalamnya kesejahteraan, kesehatan, dan harapan yang terdistribusi secara merata (Waterman, 2009).

Terdapat empat dimensi dalam konsep ecovillage yang dinyatakan oleh GEN yaitu dimensi ekologi, sosial, budaya ekonomi. Dimensi ekologi dapat dilihat dari konsep ecovillage yang memberi kesempatan manusia untuk memiliki pengalaman pribadi berhubungan dengan bumi, menikmati interaksi keseharian dengan tanah, air, angin, tanaman, dan satwa. Ecovillage menyediakan kebutuhan sehari-hari seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, sembari menghargai siklus-siklus alam. Pada aspek ekologi, penerapan ecovillage dapat berupa:

1. Menumbuhkan tanaman sebanyak mungkin berdasarkan bioregion dari komunitas

2. Mendukung pertanian organik

3. Mendirikan bangunan dengan material lokal

4. Memanfaatkan desa berdasarkan sistem energi yang terbarukan 5. Menjaga keanekaragaman hayati


(27)

11

7. Menilai daur kehidupan semua produk yang digunakan dalam ecovillage dari segi sosial dan spiritual sebagaimana halnya dari sudut pandang ekologi

8. Menjaga tanah, air, dan udara tetap sehat melalui pengelolaan energi dan pengelolaan buangan (sampah)

9. Menjaga area-area yang masih alami dan berfungsi sebagai penyangga Dimensi sosial dititikberatkan pada konsep komunitas di mana setiap orang mendapatkan dukungan serta bertanggung jawab terhadap segala sesuatu di sekitarnya. Mereka memiliki rasa kepemilikan yang tinggi terhadap kelompoknya. Kelompok kecil yang setiap anggotanya dapat merasa aman, berdaya, diperhatikan, dan didengar, serta terbuka. Komunitas yang memiliki akses untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang menentukan kehidupan mereka sendiri. Dari segi komunitas, penerapan ecovillage dapat berupa:

1. Mengenal dan berhubungan dengan orang lain 2. Berbagi sumber daya publik dan saling membantu 3. Mengembangkan kesehatan menyeluruh

4. Menyediakan pekerjaan yang bermakna dan berkelanjutan untuk seluruh anggotanya

5. Merangkul kelompok-kelompok marjinal 6. Mempromosikan pembelajaran tanpa akhir

7. Memperkuat persatuan melalui penghargaan terhadap perbedaan 8. Membantu pengembangan ekspresi budaya

Pada dimensi budaya dan spiritual, konsep ecovillage dicapai dengan menghormati dan mendukung bumi dan segala sesuatu yang hidup di atasnya. Hal ini mencakup pengayaan budaya dan ekspresi seni serta keanekaragaman spiritual. Beberapa bentuk nyatanya adalah:

1. Menguatkan budaya dan spiritual

2. Berbagi kreativitas, ekspresi seni, kegiatan kebudayaan, ritual, dan perayaan

3. Mengembangkan perasaan kesatuan komunitas dan saling dukung 4. Menghargai dan mendukung perwujudan spiritual dengan berbagai jalan


(28)

5. Berbagi visi dan persetujuan yang mengekspresikan komitmen, warisan budaya dan keunikan dari setiap komunitas

6. Fleksibel dan peka apabila terjadi suatu kesulitan

7. Memahami keterhubungan dan kesalingtergantungan antara elemen kehidupan dan tempat komunitas berada dan keseluruhan hubungannya 8. Menciptakan kehidupan yang damai, penuh cinta, dan berkelanjutan

Dalam aspek ekonomi, ecovillage memiliki ekonomi yang lebih sehat dan penuh vitalitas dibandingkan ekonomi lokal. Kekuatan ekonomi bermakna:

1. Menjaga uang tetap dalam komunitas

2. Perputaran uang melalui sebanyak mungkin orang

3. Memperoleh, membelanjakan, dan menginvestasikan uang dalam bisnis barang dan jasa yang dimiliki anggotanya


(29)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian dilakukan pada kawasan hulu DAS Kalibekasi, Kabupaten Bogor Jawa Barat (Gambar 2). Sebagai sampel, diambil tiga perkampungan yang masing-masing mewakili hulu atas, hulu tengah, dan hulu bawah. Sampel yang diambil adalah Kampung Cimandala, Desa Karang Tengah (520-600 m dpl) sebagai hulu atas, Kampung Landeuh, Desa Karang Tengah (260-280 m dpl) sebagai hulu tengah, dan Kampung Leuwijambe, Desa Kadumanggu (175-210 m dpl) sebagai hulu bawah. Ketiga lokasi berada dalam kawasan administrasi Kecamatan Babakan Madang. Di samping itu diambil satu sampel lokasi pada permukiman Sentul City sebagai pembanding lanskap kota pada area hulu, yaitu cluster Bogor Golf Hijau (220-265 m dpl). Penelitian dilakukan selama 3 bulan yang berlangsung dari Juli 2010 sampai September 2010.

U

Sumber Peta: BPDAS, 2007 Tanpa Skala

U

U

Kampung Landeuh

Kampung Cimandala

Peta Hulu DAS Kalibekasi Cluster di Sentul City

Tanpa Skala

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian Kampung Leuwijambe


(30)

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam kegiatan penelitian meliputi tahapan sebagai berikut:

1. Persiapan penelitian

Tahap persiapan penelitian terdiri survei awal dan pemilihan lokasi sampel penelitian. Pemilihan lokasi sampel dilakukan berdasarkan perbedaan ketinggian untuk merepresentasikan pembagian hulu atas, hulu tengah, dan hulu bawah. Berdasarkan survei awal, lokasi yang dipilih adalah Kampung Cimandala (520-600 m dpl) sebagai sampel hulu atas, Kampung Landeuh (260-280 m dpl) sebagai sampel hulu tengah, dan Kampung Leuwijambe (175-210 m dpl) sebagai sampel hulu bawah. Alasan lainnya adalah tiga lokasi ini dilintasi oleh aliran sungai yang sama sehingga data yang diperoleh diharapkan dapat menggambarkan suatu hulu DAS yang utuh. Sementara, sebagai pembanding lanskap kota diambil satu sampel cluster Bukit Golf Hijau (BGH) pada Sentul City. Pemilihan permukiman Sentul City didasarkan pada komitmennya dalam mengembangkan konsep ecocity sehingga menjadi relevan dengan kajian ecovillage. Sementara itu, cluster BGH dipilih karena merupakan cluster tertua, sehingga diasumsikan masyarakatnya lebih mengenal setiap aspek pada Sentul City. Faktor kemudahan akses juga menjadi pertimbangan dalam menentukan keempat lokasi ini.

2. Pengamatan karakter perdesaan

Karakter yang diamati dalam kegiatan penelitian ini meliputi karakter lanskap, sosial ekonomi, serta spiritual budaya. Karakter perdesaan didapatkan dengan pengamatan lapang dan studi literatur. Pola lanskap masing-masing lokasi penelitian, selain dengan pengamatan lapang juga didapatkan dari pemetaan partisipatif dari beberapa anggota masyarakat. Sementara tren pola pekarangan dan pengelompokan rumah diperoleh dari sampling pada 10 rumah pada masing-masing lokasi penelitian didukung dengan pengamatan lapang pada keseluruhan lokasi.

Sementara pendekatan metode penilaian cepat Rapid Agro-Biodiversity Appraisal (RABA) digunakan untuk memperoleh data keragaman hayati pada lokasi penelitian. RABA merupakan penilaian yang dilakukan dengan mendapatkan, mengompilasi, dan menganalisis data sekunder yang ada mengenai


(31)

15

suatu lokasi (TULSEA, 2009). Pada pendekatan RABA ini beberapa masyarakat pada lokasi penelitian dimintai keterangan tentang jenis dan lokasi ditemukannya suatu spesies baik vegetasi maupun satwa.

Secara rinci daftar kebutuhan data karakter perdesaan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kebutuhan Data

No Jenis Data Unit Sumber Analisis Kegunaan

Karakter Lanskap Aspek Ekologi

1

Letak dan batas desa o LU-o LS-o BT-o BB- Dokumen, studi pustaka Analisis deskriptif Mengetahui batas fisik desa 2 Iklim

(suhu, curah hujan, kelembaban udara) o C,mm,% ,- Dokumen, studi pustaka Analisis deskriptif Mengetahui karakter iklim perdesaan bagian hulu 3 Tanah dan Topografi (jenis tanah, kemiringan lahan)

(-.%) Dokumen, Studi Pustaka

Analisis deskriptif

Mengetahui karakter topografi dan tanah pada perdesaan bagian hulu 4

Hidrologi (bentuk badan air, kualitas, kuantitas) Dokumen, Studi Pustaka Analisis deskriptif Mengetahui karakter hidrologi perdesaan bagian hulu 5 Vegetasi (keragaman jenis, klasifikasi fungsi, arsitektur, kekhasan)

Spesies Observasi lapang, RABA Analisis Deskriptif Mengetahui karakter hidrologi perdesaan bagian hulu 7 Satwa (keragaman jenis, klasifikasi, kekhasan)

Spesies Observasi lapang, RABA Analisis deskriptif Mengetahui karakter satwa pedesaan bagian hulu 9 Pola lanskap (pola ruang desa, pola ruang rumah, arsitektur rumah

- Obsevasi

lapang, sampling Pola zonasi, Analisis dekriptif Mengetahui karakter satwa perdesaan bagian hulu Aspek Sosial

10 Sejarah Desa (asal mula, berapa generasi)

- Wawancara

masyarakat

Analisis deskriptif

Mengetahui sejarah desa

11 Demografi (populasi, mata pencaharian, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan )

Orang Dokumen, Studi Pustaka

Analisis deskriptif

Mengetahui karakter demografi perdesaan pada bagian hulu

12 Pelapisan dalam masyarakat

- Wawancara Analisis

deskriptif

Mengetahui karakter sosial

Aspek Spiritual

13 Agama, Nilai dalam masyarakat

- Wawancara Analisis

deskriptif

Mengetahui karakter keagamaan, nilai dalam masyarakat 14 Budaya/Ritual

(Kegiatan budaya )

- Wawancara Analisis

deskriptif

Mengetahui karakter budaya pedesaan hulu


(32)

3. Penilaian keberlanjutan masyarakat

Penilaian keberlanjutan masyarakat dilakukan dengan mengumpulkan data penilaian masyarakat terhadap kondisi keberlanjutan permukimannya dengan menggunakan format Community Sustainibility Assesment (CSA) atau Penilaian Keberlanjutan Masyarakat (PKM) melalui metode Focus Group Discussion (FGD). FGD merupakan suatu metode diskusi yang direncanakan dan bertujuan menjaring persepsi serta sikap atas suatu topik. Setiap anggota diskusi saling mempengaruhi ide dan pendapat yang diutarakan dalam diskusi tersebut sehingga data yang didapatkan lebih kaya dan informatif. Secara teknis, 8 sampai 15 orang perwakilan masyarakat dipilih dalam diskusi sebagai representasi dari keseluruhan warga pada setiap lokasi penelitian. Perwakilan yang diambil merupakan perangkat desa, seperti ketua RT dan RW, pengawas desa, perwakilan petani, tokoh masyarakat, serta perwakilan kelompok wanita seperti anggota PKK, dan para kader. Pada Sentul City anggota FGD yang dipilih adalah beberapa anggota masyarakat dan pihak pengelola Sentul City.

Sementara itu, CSA merupakan suatu alat untuk mengukur tingkat keberlanjutan suatu masyarakat dalam kerangka ecovillage yang dibuat oleh GEN berupa serangkaian pertanyaan yang diberi pembobotan (Arifin, 2010). Materi yang digunakan adalah kuesioner baku CSA dari GEN yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nurlaelih (2005). Kuesioner disajikan pada Lampiran 3. Parameter yang digunakan untuk menilai setiap aspek adalah sebagai berikut:

A. Aspek ekologis, lingkungan kehidupan masyarakat seimbang jika: 1. Orang-orang sangat terikat dengan tempat dimana mereka tinggal/

hidup. Batasan, kekuatan, kelemahan, iramanya jelas dan manusia tinggal dalam sinkronisasi dan keselarasan di dalam sistem yang ekologis dimana mereka menjadi suatu bagian yang utuh

2. Kehidupan alami, proses dan sistemnya dihormati, margasatwa dan habitat tumbuhan dipelihara

3. Gaya hidup manusia bersifat memperbaharui, bukan mengurangi integritas lingkungan


(33)

17

4. Makanan terutama berasal dari lokal atau sumber-sumber wilayah alami, organik, bebas dari zat pencemar dan menyediakan gizi yang seimbang

5. Bangunan/struktur dirancang untuk memadukan dan melengkapi lingkungan alami, penggunaan alami, material, dan sistem pembangunan wilayah serta bersifat ekologis (dapat diperbaharui dan tidak beracun)

6. Konservasi dipraktikkan dalam sistem metode pembangunan dan transportasi

7. Konsumsi dan pembuangan limbah minimal

8. Tersedia air bersih yang dapat diperbaharui. Masyarakat menyadari, menghormati, melindungi, dan memelihara sumber airnya

9. Limbah manusia dan limbah cair digunakan atau dibuang untuk manfaat lingkungan dan masyarakat

10.Sumber energi tidak beracun dan dapat diperbaharui, digunakan untuk panas serta kegiatan masyarakat. Teknologi inovatif tidak dieksploitasi dan dibiarkan, tapi digunakan untuk kepentingan bersama

B. Aspek sosial, kehidupan masyarakat seimbang jika:

1. Ada suatu perasaan terhadap perubahan dan stabilitas sosial dalam kehidupan masyarakat: suatu pondasi bagi keselamatan dan kepercayaan yang memungkinkan individu untuk secara bebas menyatakan diri mereka untuk kepentingan bersama

2. Tersedia ruang dan sistem untuk mendukung dan memaksimalkan komunikasi, dan hubungan dan produktivitas

3. Tersedia kesempatan yang cukup atau teknologi untuk berkomunikasi dalam masyarakat dan menghubungkannya dengan masyarakat luas

4. Bakat, keterampilan, dan sumberdaya lain diberikan secara bebas dalam masyarakat dan diberikan keluar masyarakat untuk melayani sebaik mungkin


(34)

5. Keanekaragaman dihormati sebagai sumber kesehatan, vitalitas, dan kreativitas dalam lingkungan alami dan dalam hubungan masyarakat

6. Penerimaan, kedekatan, dan keterbukaan membantu perkembangan, pemahaman terhadap keuntungan-keuntungan keanekaragaman, memperkaya pengalaman sosial dan lingkungan serta mempromosikan keadilan

7. Pertumbuhan pribadi, pembelajaran, dan kreativitas dihargai dan dipelihara, peluang mengajar dan belajar tersedia untuk semua kelompok umur melalau bentuk pendidikan yang bervariasi

8. Kebebasan untuk menyembuhkan, memelihara, atau meningkatkan kesehatan (fisik, mental, spiritual, dan emosional) tersedia dan bisa diusahakan, mencakup kesehatan alternatif dan praktik penyembuhan alami seperti meditasi dan gerak badan

9. Aliran sumberdaya, memberi dan menerima dana, barang-barang dan jasa adalah seimbang untuk berbagai keinginan dan kebutuhan bersama. Surplus bersama

C. Aspek spiritual kehidupan masyarakat seimbang jika:

1. Kekuatan budaya dilestarikan melalui aktivitas artistik dan budaya lain serta perayaan-perayaan

2. Kreativitas dan seni dilihat sebagai suatu ungkapan kesatuan dan hubungan timbal balik dengan alam semesta, dan dilestarikan melalui berbagai bentuk ungkapan artistik, kehidupan seni, dan melalui pemeliharaan dan pertukaran nilai-nilai keindahan

3. Menghargai waktu bersenang-senang

4. Rasa hormat dan dukungan untuk manifestasi kespiritualan yang ditunjukkan dengan berbagai cara

5. Tersedia peluang untuk pengembangan diri

6. Perasaan gembira dan memiliki dikembangkan melalui acara agama dan perayaan

7. Kualitas dan kebersamaan dalam hati masyarakat membentuk persatuan dam kesatuan dalam kehidupan mereka. Hal ini mungkin


(35)

19

suatu persetujuan dan visi bersama yang menyatakan komitmen; kepercayaan budaya, nilai-nilai dan praktik yang menggambarkan dan menyatakan keunikan dari tiap masyarakat

8. Mempunyai kapasitas untuk fleksibilitas dan kemampuan dalam menghadapi berbagai kesulitan yang muncul

9. Baik kota, pinggiran kota, maupun perdesaan, dikembangkan atau tidak, tumbuh pemahaman saling berhubungan dan saling ketergantungan dari semua unsur-unsur hidup di atas bumi

10.Masyarakat dengan sadar memilih dan berperan untuk menciptakan dunia yang penuh kasih

Ketiga aspek dengan masing-masing indikatornya secara sederhana disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Indikator Keberlanjutan Masyarakat ( Arifin, 2010)

No Aspek Ekologis Aspek Sosial Aspek Spiritual

1 Sense/perasaan terhadap tempat

Keterbukaan, kepercayaan,

keselamatan Keberlanjutan budaya 2 Ketersedian, produksi dan

distribusi makanan

Komunikasi-aliran gagasan

dan komunikasi Seni dan kesenangan 3 Infrastruktur, bangunan, dan

transportasi Jaringan pencapaian dan jasa Keberlanjutan spiritual 4 Pola konsumsi dan

pengelolaan limbah padat Keberlanjutan sosial

Keterikatan masyarakat 5 Air- sumber, mutu dan pola

penggunaan Pendidikan

Gaya pegas masyarakat 6 Limbah cair dan pengelolaan

polusi air Pelayanan kesehatan

Holografik baru, pandangan dunia 7 Sumber dan penggunaan

energi

Keberlanjutan ekonomi lokal yang sehat

Perdamaian dan kesadaran global

Penilaian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu penjumlahan skor tingkat komponen aspek, penjumlahan skor tingkat aspek, dan penjumlahan skor total ketiga aspek. Pada setiap tingkat, nilai akan dibobot menjadi tiga katagori. Kriteria penilaian dapat pembobotan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kriteria penilaian dalam CSA

Parameter Bobot

Aspek Ekologis

1. Perasasaan terhadap tempat *

2. Ketersediaan, produksi, dan distribusi makanan *

3. Infrastruktur, bangunan dan transportasi *

4. Pola konsumsi dan pengelolaan limbah padat *

5. Air-sumber mutu, dan pola penggunaan *

6. Limbah cair dan pengelolaan polusi air *


(36)

Total nilai aspek ekologis ** Aspek Sosial

1. Keterbukaan, kepercayaan, keselamatan; ruang bersama * 2. Komunikasi, aliran gagasan, dan informasi *

3. Jaringan pencapaian dan jasa *

4. Keberlanjutan sosial *

5. Pendidikan *

6. Pelayanan kesehatan *

7. Keberlanjutan ekonomi-ekonomi lokal yang sehat *

Total nilai aspek sosial **

Aspek Spiritual

1. Keberlanjutan budaya *

2. Seni dan kesenangan *

3. Keberlanjutan spiritual *

4. Keterikatan masyarakat *

5. Gaya pegas masyarakat *

6. Holografik baru, pandangan dunia *

7. Perdamaian dan kesadaran global *

Total nilai aspek spiritual **

Total nilai aspek keseluruhan ***

Keterangan:

1. Pembobotan variabel/parameter dalam satu aspek

* 50+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan 2. Pembobotan variabel/parameter dalam satu aspek

** 333+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 166-332 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-165 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan 3. Pembobotan variabel/parameter dalam satu aspek

*** 999+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 500-998 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-449 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan

4. Analisis

Analisis dilakukan terhadap data karakter perdesaan dan hasil penilaian kuesioner CSA. Kedua data dianalisis dengan membandingkan keadaan aktual pada lokasi penelitian dan keadaan ideal yang sesuai dengan standar-standar untuk mencapai suatu perkampungan yang berlanjut berdasarkan referensi yang dikumpulkan. Pembandingan ini dapat menjadi gambaran potensi dan kendala pada masing-masing lokasi dalam pengembangan konsep keberlanjutan.

5. Sintesis

Sintesis berupa penyusunan rekomendasi program pengelolaan untuk mencapai desa berkelanjutan berdasarkan analisis yang telah dilakukan. Gambar 3 menunjukkan secara diagramatis tahapan kerja pada penelitian ini.


(37)

21

Gambar 3 Tahapan Kerja Penelitian

 Penentuan Lokasi (Pemilihan Desa)

 Survei Awal Lokasi Persiapan

Pengumpulan Data

Analisis

Sintesis

Pengumpulan Data Karakteristik Desa

Penilaian Keberlanjutan Masyarakat

Metode

 Focus Group Discussing (FGD) untuk Pengisian Kuesioner CSA Aspek Ekologi, Sosial-Ekonomi, Spiritual-Budaya

Penyusunan Karakter Desa

Analisis Hasil Kuesioner CSA Penentuan Tingkat

Keberlanjutan Masyarakat Analisis Potensi dan Kendala untuk menuju Desa

Berkelanjutan

Penyusunan Rekomendasi Program Pengelolaan Lanskap untuk mencapai Konsep Desa Berkelanjutan Metode:

 Observasi lapang

 Metode Penilaian cepat: RABA,

 Sampling


(38)

Sumber Peta: Bakosurtanal

BAB IV

KONDISI UMUM

Lokasi penelitian terletak pada kawasan hulu DAS Kalibekasi dengan ketinggian antara 175 m dpl sampai 600 m dpl. Rincian ketinggian masing-masing lokasi adalah hulu atas Kampung Cimandala berada pada 520-600 m dpl, hulu tengah Kampung Landeuh berada pada 260-280 m dpl, hulu bawah Kampung Leuwijambe berada pada 175-210 m dpl, dan permukiman Sentul City berada pada 220-265 m dpl. Secara administratif keempat lokasi penelitian termasuk dalam Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor (Gambar 4). Namun pada Sentul City terdapat sebagian kecil wilayah yang masuk dalam kawasan administrasi Kecamatan Sukaraja.

Gambar 4 . Peta Kecamatan Babakan Madang

Lebih spesifik, Desa Karang Tengah yang merupakan lokasi sampel hulu atas dan hulu tengah berada pada pada 060 33’30”- 060 38’30” LS dan 1060 53’05” - 1060 58’35” BT dan memiliki luas 2.859 Ha (BPS, 2009). Desa ini termasuk desa yang luas dibandingkan dengan desa lain di Jawa Barat. Desa


(39)

23

Karang tengah pada sebelah utara berbatasan dengan Desa Hambalang Kecamatan Citeureup, sebelah timur dengan Desa Cibadak Kecamatan Sukamakmur, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bojong Koneng Kecamatan Babakan Madang, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sumur Batu Kecamatan Babakan Madang. Pada Desa Karang Tengah terdapat 18 kampung, yaitu Kampung Karang Tengah, Landeuh, Ciburial, Balong Dukuh, Gelewer, Babakan, Sukamantri, Sinapel, Leuwi Goong, Cimandala, Cilaya, Pasir Gobang, Babakan Ngantai, Wangun Landeuh, Wangun 1, Wangun 2, Wangun Depang, dan Wangun Cijengsi. Kampung Cimandala yang menjadi sampel hulu atas terdapat pada bagian barat desa, sedangkan Kampung Landeuh yang menjadi sampel hulu tengah terdapat pada bagian tengah desa (Gambar 5). Kampung Landeuh juga merupakan pusat Desa Karang Tengah karena kantor desa terdapat pada kampung ini.

Sumber Peta: Bakosutanal

Gambar 5 Peta Lokasi Desa Karang Tengah

Sementara itu, Desa Kadumanggu yang merupakan lokasi sampel hulu bawah berada pada 06031’50”- 06033’20” LS dan 106050’20” - 1060 51’55” BT dan memiliki luas 410 Ha (BPS, 2009). Pada Desa Kadumanggu terdapat enam kampung, antara lain Kampung Kadumanggu, Legok Gaok, Legok Nyenang,


(40)

Cipambuan, Lebak Nangka, dan Leuwijambe. Desa Kadumanggu pada bagian utara berbatasan dengan Desa Sentul, bagian timur berbatasan dengan Desa Tangkil kecamatan Citeureup, bagian selatan dengan Desa Citaringgul dan Desa Babakan Madang, sedangkan pada bagian barat berbatasan dengan Desa Cipambuan dan Desa Cijunjung Kecamatan Sukaraja. Kampung Leuwijambe merupakan daerah yang dijadikan sampel hulu bawah terdapat pada bagian selatan Desa Kadumanggu.

Sumber Peta: Bakosutanal

Gambar 6. Peta Lokasi Desa Kadumanggu

Sentul City terletak pada 060 33’05”- 060 37’45” LS dan 1060 50’20” - 1060 57’10” BT dan memiliki luas 2465,5 Ha (ANDAL Sentul City, 2009). Secara administratif, Sentul City mencakup delapan wilayah desa dan dua kecamatan, yaitu desa Cipambuan, Babakan Madang, Citaringgul, Bojong Koneng, Sumur Batu, dan Cijayanti pada Kecamatan Babakan Madang, dan Desa Cadas Ngampar Kecamatan Sukaraja (Gambar 7).


(41)

25

Sumber Peta: Bakosutanal


(42)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakter Perdesaan pada Hulu DAS Kalibekasi

Salah satu syarat yang harus dilakukan dalam menyusun rencana pengelolaan suatu kawasan adalah mengetahui karakter dari kawasan tersebut. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui bentuk-bentuk pengelolaan yang sesuai dan dapat dijalankan dengan baik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan identifikasi karakter perdesaan yang mencakup, karakter lanskap, karakter sosial, dan karakter spiritual.

5.1.1 Karakter Lanskap

Karakter lanskap yang dikaji pada penelitian ini meliputi tanah dan topografi, iklim, hidrologi, keanekaragaman hayati (vegetasi dan satwa), serta potensi keindahan lanskap pada masing-masing lokasi.

5.1.1.1Tanah dan Topografi

Tanah pada seluruh lokasi merupakan kompleks latosol merah kekuningan, latosol cokelat podsolik (BPDAS, 2007). Menurut Soepraptohardjo (1976), jenis tanah latosol cokelat memiliki air cukup tersedia, kadar N, P dan K cukup tersedia, dan peningkatan produksi dapat dilakukan dengan pemupukan. Pada lokasi penelitian lokasi dengan jenis tanah ini dijadikan lahan produksi seperti untuk sawah atau tegalan. Tanah latosol pada daerah hulu umumnya berupa latosol cokelat merah yang memiliki sifat fisika yang baik dan merupakan tanah yang paling tua. Sementara podsolik memiliki tektur berpasir hingga pasir kuarsa. Data jenis tanah dan kemiringan lahan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Data Tanah dan Kelerengan

Lokasi Jenis Tanah Kemiringan lahan

Desa Karang Tengah (Kp. Cimandaladan Kp. Landeuh

Kompleks latosol merah kekuningan latosol cokelat podsolik

15-25% dan >40% Desa Kadumanggu

Kp. Leuwijambe

Kompleks latosol merah kekuningan latosol cokelat podsolik

8-15% Sentul City

Cluster BGH

Kompleks latosol merah kekuningan latosol cokelat podsolik

0-25% Sumber Data: BPDAS, 2007


(43)

27

Berdasarkan USDA dalam Hardjowigeno dan Widiatmika (2007), penggolongan kelas lahan dilakukan secara kualitatif dan didasarkan pada kemampuan lahan untuk memproduksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang tanpa memperhatikan sifat kimia tanah. Ditinjau dari klasfikasi ini, Desa Karang Tengah dapat digolongkan ke dalam Lahan Kelas Kemampuan (LKK) IV dan VI dan VII. LKK IV terdapat pada daerah-daerah yang miring atau berbukit (15-30%) dan atau telah mengalami erosi agak berat (75% lapisan atas telah hilang). Pada LKK IV apabila ingin digunakan untuk tanaman semusim diperlukan perlakuan khusus, seperti pembuatan teras atau pergiliran dengan tanaman penutup tanah/makanan ternak/pupuk selama 3-5 tahun, sedangkan untuk tanah yang berdrainase buruk perlu dibuat saluran-saluran drainase. Kampung Landeuh termasuk dalam katagori ini. Namun pada kenyataannya, praktik pertanian konservatif masih belum optimal dilakukan oleh petani. Pergiliran tanaman masih jarang dilakukan. Sepanjang tahun lahan akan ditanam dengan tanaman yang sama, misalnya tanaman singkong yang menjadi produk utama desa. Sementara itu pemakaian pupuk anorganik juga mendominasi dalam pertanian, sehingga kualitas tanah terus menurun. Penurunan ini secara nyata dapat dilihat dari berkurangnya hasil panen yang dirasakan masyarakat. Padahal dalam konsep keberlanjutan sistem pertanian konservatif menjadi salah satu poin utamanya.

Sementara LKK VI dan VII adalah lahan-lahan yang berada pada gunung-gunung dan sekitarnya, termasuk sebagian Kampung Cimandala. LKK VI adalah lahan yang terletak pada lereng agak curam (>30-45%), dan/atau kedalaman yang sangat dangkal (<25cm), serta telah mengalami erosi berat (>25% lapisan atas telah hilang). LKK VI tidak sesuai untuk tanaman pertanian dan hanya sesuai untuk tanaman rumput ternak atau dihutankan. Penutupan lahan harus terus dijaga, bila dihutankan, penebangannya harus selektif. Apabila dipaksakan untuk tanaman semusim maka harus dibuat teras bangku. Namun pada lokasi penelitian metode ini belum dilakukan secara optimal. LKK VII adalah tanah yang berada pada lereng curam (>45-65%) dan/atau telah mengalami erosi sangat berat, erosi parit dan/atau berbatu-batu. LKK VII hanya sesuai untuk padang rumput dan dihutankan. Pada lokasi penelitian, kawasan Gunung Pancar yang termasuk dalam


(44)

katagori ini memang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, berupa Taman Wisata Alam.

Desa Kadumanggu dapat digolongkan pada kelas lahan LKK III. LKK III adalah tanah yang terletak pada lereng dengan agak miring/bergelombang (8-<15%), dan atau kedalaman tanah dangkal (25-50 cm), peka erosi atau telah mengalami erosi yang agak berat. Pada LKK III, penggunaan lahan untuk tanaman semusim masih sesuai namun membutuhkan tindakan pengawetan tanah yang khusus, seperti penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran tanaman dengan penutup tanah dengan waktu untuk tanaman tersebut lebih lama, dan usaha-usaha lain untuk memelihara dan menjaga kesuburan tanah. Pada kenyataannya, seperti pada Kampung Landeuh, praktik pertanian pada hulu bawah masih belum optimal menerapkan praktik pertanian berkelanjutan, terutama dalam usaha menjaga kesuburan tanahnya.

Sementara itu, kawasan Sentul City dengan kemiringan lahan 0-25% termasuk kawasan datar hingga berbukit. Untuk pembangunan permukiman, jenis tanah dan kemiringan sangat berpengaruh dalam penentuan lokasi. Pembangunan pemukiman terbaik pada lahan dengan kemiringan lahan <8% (USDA dalam Hardjowigeno dan Widiatmika, 2007). Di atas batas tersebut perlu dilakukan stabilisasi dan penyesuaian. Oleh karena itu, bentuk penyesuaian dengan cut and fill yang masih terjadi harus diminimalkan. Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari metode cut and fill, antara lain merubah kestabilan tanah dan menghilangkan keanekaragaman hayati yang terdapat di atasnya. Selain itu, lahan dengan kemiringan curam harus dibiarkan dengan tutupan vegetasi, sebagai usaha pengawetan lereng.

Hulu DAS Kalibekasi secara umum merupakan daerah yang rawan erosi. Menurut BPDAS (2007), besar erosi aktual adalah 271 ton/Ha/tahun sedangkan pada Desa Kadumanggu sebesar 168,01 ton/Ha/tahun. Sementara Badan Geologi KESDM (2007) juga menyatakan kawasan Kampung Cimandala merupakan daerah yang mempunyai potensi tinggi terjadinya gerakan tanah. Pada tahun 2007 terjadi longsor pada Desa Karang Tengah. Salah satu titik longsor adalah lereng perbukitan Gunung Pancar pada Kampung Cimandala. Penyebabnya adalah


(45)

29

kemiringan lereng yang curam serta tanah yang menjadi kering dan retak pada musim kemarau. Pada musim hujan, saat curah hujan tinggi, aliran air permukaan masuk ke dalam retakan sehingga retakan menjadi besar. Akibatnya, bobot masa tanah bertambah sehingga kuat gesernya meningkat. Untuk mengatasi ini butuh dilakukan konservasi lereng, seperti sistem pertanian dengan teras, penanaman tanaman dengan perakaran yang dapat mengikat tanah pada lereng-lereng yang gundul, serta pembangunan dinding penahan. Sementara itu dari segi sosial, kewaspadaan harus ditingkatkan terutama pada musim hujan tiba. Di Desa Karang Tengah telah dibuat papan pengarah untuk mitigasi bencana oleh PMI, namun sosialisasinya harus lebih sering dilakukan.

5.1.1.2Iklim

Kawasan hulu DAS Kalibekasi berada pada wilayah iklim tropis. Ciri-ciri iklim tropis menurut Simond dan Starke (2006) adalah memiliki temperatur tinggi dan relatif konstan, kelembaban dan curah hujan tinggi, angin yang bertiup sepoi-sepoi namun beresiko terhadap angin topan dan badai, penutupan vegetasi mulai dari yang jarang sampai hutan belantara, penyinaran matahari yang tinggi, serangga yang melimpah serta rawan terhadap permasalahan jamur. Ciri-ciri tropis ini akan berpangaruh pada kondisi lanskap secara keseluruhan, baik dari aspek lahan, bangunan maupun manusia yang berada di dalamnya. Di samping itu, karakter lanskap seperti penutupan lahan dan keberadaan badan air juga berpengaruh dalam pembentukan iklim mikro pada masing-masing lokasi penelitian. Secara kuantitatif, suhu dan kelembaban pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Data Suhu dan Kelembaban Lokasi penelitian

Lokasi Suhu Rata-rata

(oC)

Kelembaban rata-rata (%)

Karang Tengah

(Kp. Cimandala dan Kp. Landeuh)

24-30 58-82

Kadumanggu (Kp. Leuwie Jambe)

24,9-26,1 76-89,1

Sentul City (BGH)

24,55-26,75 76,86-87,91

Sumber Data: TWA Gunung Pancar, AMDAL Sentul Residence 2004, ANDAL Sentul City 2009

Berdasarkan standar kenyamanan Frick dan Suskiatno (1998), kondisi iklim pada lokasi penelitian masih dapat digolongkan ke dalam keadaan yang


(46)

nyaman apabila ditinjau dari hubungan suhu dan kelembabannya (Gambar 8). Keberadaan vegetasi terutama yang dapat berfungsi sebagai pohon peneduh juga membantu dalam pembentukan iklim mikro yang nyaman. Namun lebih spesifik, suhu pada atas terasa lebih sejuk daripada titik sampel lainnya. Diduga hal ini disebabkan oleh keberadaan hutan di sekelilingnya serta ketinggian lokasi.

Gambar 8 Hubungan Suhu, Kelembaban, dan Angin(Sumber: Frick dan Sukiyatno, 1998)

5.1.1.3Hidrologi

Pada daerah hulu atas, sumber air utama adalah mata air (Gambar 9a). Mata air banyak tersebar di sekitar desa, seperti yang terdapat pada Gunung Pancar, Gunung Paniisan, dan Gunung Astana. Setiap rumah tangga mengalirkan air dari mata air dengan selang atau paralon ke rumahnya. Sebagian besar keluarga memiliki mata air masing-masing, sedangkan beberapa keluarga lainnya berbagi satu mata air untuk beberapa rumah tangga. Hal ini merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang baik. Kepemilikan mata air pada setiap rumah tangga mendorong pemiliknya untuk menjaga mata air tersebut karena merupakan sumber air utama untuk keluarganya. Penanaman beberapa vegetasi untuk menjaga kualitas dan kuantitas air dilakukan masyarakat di sekitar mata airnya masing-masing. Masyarakat menyatakan kegiatan ini dilakukan untuk melindungi mata airnya dari kekeringan. Usaha konservasi air lain yang dilakukan adalah menanami bagian pinggir perkampungan yang gundul. Bentuk kearifan ini secara kolektif telah menjaga mata air dan mendukung keberlanjutan sumber daya air di bagian hulu DAS Kalibekasi.


(47)

31

Pada bagian hulu tengah dan bawah sumber air bersih berasal dari sumur gali dengan pompa atau timba (Gambar 9b). Bentuk sumber air ini tidak ditemukan pada hulu atas karena karakter lanskapnya yang berbatu. Fluktuasi kuantitas air menjadi masalah yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat bagian hulu tengah dan bawah. Masalah terutama timbul pada saat musim kemarau. Muka air tanah pada sumur biasanya turun dan masyarakat harus menggali lebih dalam untuk mendapatkan air. Pada sektor pertanian kekurangan air juga kerap terjadi. Sebaliknya, pada suatu kasus pada tahun 2007 dan 2010, Kampung Landeuh yang merupakan daerah hulu tengah mengalami banjir. Sebelumnya, banjir hampir tidak pernah terjadi di daerah ini. Banjir diakibatkan meluapnya Sungai Cipancar. Banjir menggenangi sawah dan beberapa rumah warga selama beberapa hari. Kejadian ini merupakan suatu bukti nyata dari bergesernya keseimbangan alam pada hulu DAS Kalibekasi. Salah satunya diakibatkan jumlah ruang terbuka hijau yang mempunyai fungsi untuk menyerap dan menyimpan air pada hulu DAS Kalibekasi yang berkurang akibat konversi menjadi area terbangun.

Pada Sentul City, sumber air untuk keperluan warga kota diperoleh dari PDAM. Sebenarnya Sentul City memiliki pengelolaan air mandiri yang dikenal dengan WTP (Water Treatment Plant). Sumber air yang digunakan pada WTP berasal dari Sungai Cibarengkok yang dijernihkan dengan proses kimia dan fisika. Namun, sistem pengelolaan air ini sekarang hanya dimanfaatkan sebagai cadangan saat krisis air. Padahal dari aspek pengelolaan air, WTP merupakan salah satu potensi bagi Sentul City dalam mewujudkan konsep kota berlanjut. Penggunaan sistem WTP dapat mengurangi ketergantungan terhadap sumber daya dari tempat lain, serta dalam skala lebih besar, apabila dipadukan dengan pengelolaah limbah cair dapat membentuk suatu sistem recycle dalam pengelolaan sumberdaya air.


(48)

(a) Mata air pada hulu atas (b) Sumur pada hulu bawah Gambar 9 Bentuk Sumber Air

Di samping badan air yang menjadi sumber air, terdapat beberapa bentuk badan air yang lain pada lokasi penelitian. Bentuk badan air ini dibedakan menjadi kolam, sungai, empang, dan danau. Pada hulu atas, Kampung Cimandala, badan air didominasi oleh sungai dan kolam. Air dari mata air pada Gunung Astana, Pancar, dan Paniisan mengalir ke Sungai Cimandala dan sungai lainnya di Kampung Cimandala. Karakter fisik sungai di hulu atas adalah berbatu dan berbadan relatif sempit. Aliran sungai pada hulu atas relatif lebih deras disebabkan oleh kemiringan lahan yang lebih curam (Gambar 10a). Sementara itu, pada hulu tengah dan bawah sungainya memiliki karakteristik fisik tidak berbatu dan lebih lebar. Secara visual, warna air lebih keruh dari pada bagian hulu atas. Kekeruhan mengindikasikan kandungan sedimen yang dibawa dari hulu di atasnya (Gambar 10b).

(a) Sungai pada hulu atas (b) Sungai pada hulu tengah Gambar 10 Karakter Sungai


(1)

152

E 6 6 3 6

F 6 3 3 6

G 6 6 6 6

H 3 3 3 3

I 0 0 1 3

J 5 5 7 5

total sub aspek 50 47 44 50

ASPEK SOSIAL 2 (Komunikasi, aliran gagasan dan informasi)

A1 1 5 5 5

A2 1 3 10 10

B 9 15 15 12

C 11 13 13 9

total sub aspek 22 36 43 36

ASPEK SOSIAL 3 (Jaringan pencapaian dan jasa)

A 7 7 7 7

B1 0 0 0 0

B2 0 0 0 0

C 15 15 15 25

D1 5 5 5 3

D2 1 3 3 5

D3 -1 -1 1 5

E -3 -3 -3 1

F 1 3 1 1

total sub aspek 25 29 29 47

ASPEK SOSIAL 4 (Keberlanjutan sosial)

A1 3 3 3 3

A2 3 3 3 3

B 3 4 4 3

C 1 4 4 4

D1 -1 2 2 3

D2 2 2 2 3

E1 3 3 3 3

E2 -1 -1 -1 -1

F 1 1 1 1

G1 -1 -1 -1 -1

G2 -1 -1 -1 -1

H 4 4 3 3

I 5 5 5 5

J 4 4 4 4

K1 -1 -1 -1 -1

K2 -1 -1 -1 -1

L1 3 4 4 4

L2 3 3 3 4

L3 3 3 3 4

total sub aspek 32 40 39 42

ASPEK SOSIAL 5 (Pendidikan)

A 6 6 9 12

B 4 4 6 8

C 4 4 4 15

D1 3 1 3 6

D2 3 3 3 6

D3 3 3 3 3

total sub aspek 23 21 28 50

ASPEK 6 (Pelayanan kesehatan)

A 6 6 6 6

B 10 13 10 14

C 4 4 8 8

D 3 3 6 6

E 6 6 6 6

F 3 3 3 6

G 1 1 6 6

total sub aspek 33 36 45 52

ASPEK SOSIAL7 (Keberlanjutan ekonomi: ekonomi lokal yang sehat)

A 4 4 4 4


(2)

153

C 0 0 0 5

D -2 -2 1 2

E -6 -6 -1 6

F 2 2 4 6

G1 -2 -2 -2 2

G2 -1 -1 -1 1

G3 0 0 0 1

H 1 1 1 4

I 1 1 1 3

total sub aspek -3 1 7 34

TOTAL ASPEK SOSIAL 182 210 199 273

ASPEK SPIRITUAL

ASPEK SPIRITUAL 1 (Keberlanjutan budaya)

A1 10 5 5 5

A2 15 15 15 15

B 5 5 5 -5

C 1 1 1 6

D 13 13 13 6

total sub aspek 44 39 39 27

APEK SPIRITUAL 2 (Seni dan kesenangan)

A 0 0 0 4

B 1 0 0 16

C 0 1 1 3

D 1 1 -1 3

E -2 -2 -1 6

F 2 2 2 -1

G 1 1 3 1

H 1 1 3 3

total sub aspek 4 4 7 35

ASPEK SPIRITUAL3 (Keberlanjutan spiritual)

A 10 10 10 10

B 15 15 15 15

C 2 2 2 2

D 5 5 5 7

E 5 3 5 5

F 3 3 3 5

G 5 1 1 5

H1 5 5 5 5

H2 5 5 5 5

I 5 5 5 5

total sub aspek 60 54 56 64

ASPEK SPIRITUAL 4 (Keterikatan masyarakat)

A -2 0 1 3

B 1 1 1 3

C 5 5 5 5

D 0 3 3 3

E 0 1 1 1

F 5 3 5 3

G1 6 4 6 4

G2 6 4 6 4

G3 4 4 2 4

G4 4 4 6 4

G5 4 4 4 4

H -3 -3 -3 4

I 2 4 8 4

total sub aspek 32 34 45 46

ASPEK SPIRITUAL 5 (Gaya pegas masyarakat)

A 5 5 5 5

B 2 2 5 5

C 5 5 5 5

D 8 8 8 8

E 15 15 7 7

total sub aspek 35 35 30 30

ASPEK SPIRITUAL 6 (Holografik baru, pandangan dunia)


(3)

154

B 5 5 5 10

C -3 -3 -3 -3

D -3 5 5 10

E -3 -3 -3 -3

total sub aspek 6 14 14 24

ASPEK SPIRITUAL 7 (Perdamaian dan kesadaran global)

A 5 5 5 5

B 2 2 6 6

C 2 6 6 6

D 5 5 5 5

E1 2 6 6 6

E2 -2 2 6 2

F 5 5 5 5

total sub aspek 19 31 39 35

TOTAL ASPEK SPIRITUAL 200 211 230 261

TOTAL 3 ASPEK 510 517 517 676

Keterangan:

1. Pembobotan variabel/parameter dalam satu aspek

50+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan 2. Pembobotan variabel/parameter dalam satu aspek

333+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 166-332 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-165 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan 3. Pembobotan variabel/parameter dalam satu aspek

999+ : Menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 500-998 : Menunjukkan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-449 : Menunjukkan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan


(4)

RINGKASAN

PRATITOU ARAFAT. Evaluasi Keberlanjutan Masyarakat pada Hulu DAS Kalibekasi Berdasarkan Konsep Ecovillage. Dibimbing oleh NURHAYATI HS ARIFIN

Lanskap perdesaan merupakan kawasan yang kerap terdapat di hulu dari sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam ekosistem sebuah DAS menjadi penting untuk menjaga bagian hulu, karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS, terutama dari fungsi tata air. Salah satu DAS yang terdapat di Jawa Barat adalah DAS Kalibekasi. DAS ini berpotensi mengalami degradasi yang dapat menyebabkan banjir dan bencana lingkungan lainnya. Oleh karena itu diperlukan suatu usaha untuk menjaga keberlanjutan lanskap di sekitar hulu DAS ini. Salah satu konsep yang dapat diterapkan untuk mendukung keberlanjutan lanskap adalah konsep ecovillage. Penekanan konsep ini adalah pada usaha menyelaraskan hubungan antara manusia dan lingkungan. Terdapat tiga pilar dalam ecovillage yaitu keberlanjutan ekologi, keberlanjutan sosial-ekonomi, serta keberlanjutan spiritual-budaya. Ketiganya merupakan parameter tercapainya suatu masyarakat yang berlanjut yang merupakan awal dari keberlanjutan suatu lanskap.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi karakter lanskap perkampungan di hulu DAS Kalibekasi dan menganalisis tingkat keberlanjutan masyarakat berdasarkan pendekatan konsep ecovillage, dan menyusun rekomendasi pengelolaan lanskapnya. Penelitian dilakukan pada tiga perkampungan yang mewakili hulu atas, tengah dan bawah. Kampung yang menjadi sampel adalah Kampung Cimandala (hulu atas) dengan ketinggian 520-600 m dpl dan Kampung Landeuh (hulu tengah) dengan ketinggian 260-280 m dpl pada Desa Karang Tengah. Kampung Leuwijambe (hulu bawah) dengan ketinggian 175-210 m dpl pada Desa Kadumanggu. Ketiga lokasi berada dalam kawasan administrasi Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Di samping itu, diambil satu sampel lokasi pada Sentul City sebagai pembanding karakter lanskap kota pada hulu, yaitu cluster Bogor Golf Hijau (220-265 m dpl). Metode observasi lapang, sampling dan RABA digunakan untuk mengidentifikasi karakter lanskap, sosial, dan spiritual pada lokasi penelitian, sedangkan metode Community Sustainibility Assessment (CSA) yang diperkenalkan oleh Global Ecovillage Network (GEN) digunakan untuk menganalisis tingkat keberlanjutannya.

Karakter lanskap pada perkampungan hulu atas Kalibekasi masih memiliki ciri perkampungan tradisional. Kampung ini dikelilingi oleh gunung, sehingga secara geografis agak terisolasi. Pada hulu tengah dan bawah ditemukan karakter lanskap perdesaan yang telah mengalami urbanisasi. Kondisi ini terkait dengan kedekatan geografis perdesaan dengan kota-kota baru di sekitarnya. Sementara pada Sentul City karakter lanskap perkotaan terencana menjadi ciri yang kuat. Pada Desa Karang Tengah yang merupakan lokasi sampel hulu atas dan tengah kemiringan lahan berkisar antara 15-25% dan >40% pada area Gunung Pancar. Pada Desa Kadumanggu, lokasi sampel hulu bawah, kemiringan lahan berkisar antara 8-15% sedangkan pada Sentul City 0-25%. Sumber air bersih pada hulu


(5)

atas adalah mata air, sedangkan pada hulu tengah dan bawah berupa sumur. Di Sentul City sumber air bersih berasal dari PDAM. Bentuk badan air lain yang ditemukan pada lokasi penelitian adalah sungai, kolam, danau, dan empang. Sementara itu, keanekaragaman hayati tersebar pada berbagai penutupan lahan pada perdesaan seperti hutan alam, hutan tanaman, lahan pertanian, pekarangan, kebun campuran, talun, dan RTH jalan. Dari hasil pengamatan diketahui semakin ke bawah jumlah keanekaragaman semakin berkurang. Di samping itu, setiap lokasi penelitian, memiliki potensi keindahan lanskap yang dapat dikembangkan. Karakter sosial lokasi penelitian juga dipengaruhi oleh karakter lanskapnya. Pada hulu atas kehidupan sosial masyarakat masih relatif tradisional dibandingkan dengan dua lokasi di bawahnya yang telah terurbanisasi. Mayoritas masyarakat pada lokasi penelitian perdesaan beragama Islam dan berasal dari Suku Sunda. Sementara pada Sentul City, agama dan suku masyarakatnya lebih beragam. Pada hulu atas peran pemuka agama masih kuat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan sedangkan pada hulu tengah dan bawah peran kelembagaan desa sudah lebih besar. Ditinjau dari aspek mata pencaharian sebagian besar masyarakat perdesaan pada hulu DAS Kalibekasi bekerja bertani sedangkan masyarakat di Sentul City mayoritas bekerja sebagai penglaju di Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Tingkat pendidikan pada daerah perdesaan masih rendah, 75% masyarakat pada Desa Karang Tengah dan 60% masyarakat pada Desa Kadumanggu hanya merupakan tamatan SD, sementara pada Sentul City masyakat minimal berpendidikan S1.

Pada aspek spiritual, kegiatan spiritual dilakukan mayarakat secara berkelompok atau pribadi berdasarkan agama mereka. Di samping itu, pada perdesaan masih dapat ditemukan nilai tradisional seperti kepercayaan pada ‘local space spirit’. Namun, apabila ditinjau dari aspek budaya, telah banyak bentuk kesenian lokal yang ditinggalkan oleh masyarakat dan terancam hilang.

Secara umum, penilaian keberlanjutan masyarakat pada semua lokasi penelitian menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan. Namun apabila ditinjau dari masing-masing aspek, aspek ekologi menunjukkan nilai yang rendah dibandingkan dengan dua aspek lainnya dan menunjukkan perlunya tindakan dalam mencapai keberlanjutan. Rendahnya nilai aspek ekologi ini terutama didapatkan dari parameter pengelolaan limbah cair, ketersediaan produksi makanan, dan sumber dan penggunaan energi. Pada aspek sosial dan spiritual, keseluruhan lokasi menunjukkan awal yang baik menuju keberlanjutan. Namun terdapat beberapa parameter yang memerlukan perbaikan karena nilainya yang rendah seperti parameter keberlanjutan ekonomi lokal yang sehat pada aspek sosial dan parameter seni dan kesenangan pada apek spiritual.

Rekomendasi pengelolaan yang disusun untuk keberlanjutan lingkungan dan masyarakat pada hulu DAS Kalibekasi merupakan gabungan beberapa konsep dalam kerangka ecovillage. Dalam jangka panjang, kerangka ini meliputi tahapan pemantapan komitmen, peningkatan kapabilitas, dan pembiasaan pola hidup berkelanjutan. Sementara bentuk rekomendasi secara rinci difokuskan pada peningkatan pendidikan dan perekonomian masyarakat perdesaan, harmonisasi desa-kota berkelanjutan, revitalisasi lanskap agroforestri, revitalisasi kearifan lokal, serta revitalisasi seni budaya lokal. Sementara secara teknis, konsep


(6)

penataan tata guna lahan, konservasi dinding sungai, optimalisasi pekarangan menjadi rekomendasi yang dapat dilakukan. Dukungan serta keterlibatan semua stakeholder, baik masyarakat, pemerintah, LSM, institusi pendidikan, Sentul City, maupun pihak terkait lain dibutuhkan dalam pencapaian konsep keberlanjutan ini. Kata kunci: DAS Kalibekasi, karakter lanskap, karakter sosial, karakter spiritual, Penilaian Keberlanjutan Masyarakat, ecovillage