c. Buku Uji Rp 10.000,00- kendaraan
d. Tanda Uji Plat Uji Rp 5.000,00- pasang
e. Pengecatan tanda samping dan nomor uji Rp 7.500,00- kendaraan
f. Stiker tanda samping Rp 10.000,00- kendaraan
g. Pergantian tanda uji plat uji yang rusakhilang Rp 20.000,00- pasang
h. Pergantian buku uji yang rusakhilang Rp 35.000,00- kendaraan
i. Penilaian kondisi teknis untuk penghapusan atau pelelangan dan keperluan
sejenisnya Rp 50.000,00- kendaraan; dan j.
Perubahan bentuk dan atau status Rp 75.000,00- kendaraan
2.1.2 Implementasi Kebijakan
Pada umumnya implementasi kebijakan merupakan kegiatan membentuk suatu hubungan yang dimungkinkan mencapai tujuan dari program atau kebijakan,
yang direalisasikan sebagai aktivitas pemerintah. Proses implementasi dapat dimulai jika sasaran dan tujuan umum telah ditentukan dan dananya telah dialokasikan
untuk mencapai sasaran tersebut. Kiranya inilah sebagai syarat dasar untuk implementasi suatu program. Suatu kebijakan yang diimplementasikan oleh para
pelaksana kebijakan diharapkan oleh pemerintah atau kelompok sasaran dapat berjalan dengan baik. Sehingga kebijakan tersebut dapat berhasil meraih dampak
atau mencapai tujuan yang diinginkan. Sebelum lebih jauh memaparkan teori implementasi, perlu kiranya untuk
diketahui lebih dahulu makna atau pengertian implementasi itu sendiri. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, maksudnya
implementasi merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bersama-sama untuk menjalankan guna meraih
dampak atau tujuan yang diinginkan. James P. Dan Josep Stewart dalam Winarno, 2002:101.
Van Meter dan Van Horn Winarno, 2002:102 mendefinisikan “implementasi kebijakan adalah sebagai tindakan-tindakan yang di lakukan oleh
individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang di arahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah di tetapkan dalam keputusan
sebelumnya”. Kegiatan implementasi ini baru dilakukan setelah kebijakan memperoleh pengesahan dari legislatif dan alokasi SDM dan dana juga telah di
setujui. Dengan demikian berdasarkan pengertian diatas, implementasi kebijakan dalam pembuatannya melalui adanya suatu tahapan, tahapan tersebut dalam
pelaksanaannya terdapat konsekuensi-konsekuensi yang dipengaruhinya. Menurut Dunn 2002:80, Implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan
dari pengendalian arah tindakan kebijakan sampai tercapai hasilnya. Perhatian pertama pada tahap undang-undang adalah pada pemilihan arah dan tindakan serta
pengamatan bahwa hal tersebut diikuti sampai selesainya waktu pelaksanaan dan tidak ada pemahaman sifat masalah. Dalam pemilihan arah dan tindakan didasarkan
pada tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dari suatu kebijakan. Tujuan-tujuan dan sasaran yang dioperasionalkan dalam bentuk tindakan menuntut kejelasan dan
kosistensi atau keseragaman yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi sehingga para pejabat pelaksana melaksanakan tindakan sesuai dengan
yang diharapkan.
Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka diperlukan langkah- langkah implementasi kebijakan yang tepat seperti yang dikemukakan olehWebster
dalam Wahab, 2001:64 sebagai
berikut:“implementasikebijakanadalahsebagaitoimplementmengimplementasikan yang diartikan to provide the mean for carrying outmenyediakan sarana untuk
melaksanakan sesuatu to give practice affect tomenimbulkan dampak atau akibat sesuatu”.
Dari uraian teori-teori yang dikemukakan para ahli kebijakan negara diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi kebijakan menyangkut
tiga hal, yaitu: 1 adanya tujuan atau sasaran kebijakan; 2 adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan 3 adanya hasil kegiatan.Hal ini sesuai pula
dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart Jr. Agustino, 2006:139 dimana mereka katakan bahwa implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil
output. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir output, yaitu: tercapai atau tidaknya
tujuan-tujuan yang ingin diraih. Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, dijelaskan
tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni pendekatan top down dan bottom up. Dalam bahasa Lester dan Stewart dalam
Agustino, 2006:140 istilah itu dinamakan dengan the command and control approach pendekatan kontrol dan komando, yang mirip dengan top down
approach dan the market approach pendekatan pasar, yang mirip dengan bottom
up approach. Masing-masing pendekatan mengajukan model-model kerangka kerja dalam membentuk keterkaitan antara kebijakan dan hasilnya.
Sedangkan pendekatan top down, misalnya dapat disebut sebagai pendekatan yang mendominasi awal perkembangan studi implementasi kebijakan, walaupun
dikemudian hari diantara pengikut pendekatan ini terdapat perbedaan-perbedaan, sehingga menelurkan pendekatan bottom up, namun pada dasarnya mereka bertitik-
tolak pada asumsi-asumsi yang sama dalam bentuk mengembangkan kerangka analisis tentang studi implementasi.Dalam pendekatan top down, implementasi
kebijakan yang dilakukan tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannya pun diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down bertitik tolak
dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik kebijakan yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur-administratur atau
birokrat-birokrat pada level bawahnya. Jadi inti dari pendekatan top down adalah sejauh mana tindakan para pelaksana administratur dan birokrat sesuai dengan
prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat.
Terdapat banyak model-model Implementasi kebijakan baik yang beraliran top down ataupun bottom up yang dapat dijadikan rujukan atau pedoman dalam
mengadakan penelitian mengenai implementasi kebijakan, salah satunya yaitu Model George C. Edwards III.
Beberapa ilmuan penganut aliran top down salah satunya adalah George C. Edward III. Model Implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C.
Edward III yang menamakan model implementasi kebijakan pubiknya dengan
direct and indirect impact on implementation dalam Agustino, 2006:149 dimana terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu
kebijakan yaitu : a Komunikasi, b Sumberdaya, c Disposisi, d Struktur Birokrasi.
Gambaran Implementasi kebijakan menurut George C. Edward III merupakan salah satu model daripada implementasi kebijakan secara lebih rinci
dapat dilihat pada gambar di bawah ini : Gambar 2.1 Model Implementasi Kebijakan Publik Menurut George C. Edward
Sumber: Agustino, 2006:150
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan, menurut George C. Eward III, adalah komunikasi. Komunikasi,
menurutnya lebih lanjut, sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para
pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan
baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan atau dikomunikasikan kepada bagian personalia yang tepat. Selain
Resources Communication
Bureaucratic Implementation
Disposition
itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi atau pentransmisian informasi diperlukan agar para pembuat
keputusan di dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator
yang dapat dipakai atau digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu:
1. Transmisi
Di mana penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran
komunikasi adalah adanya salah pengertian miskomunikasi, hal tersebut dikarenakan komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi,
sehingga apa yang diharapkan gagal di tengah jalan. 2.
Kejelasan Dalam hal ini komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan
street-level-bureaucrat’s haruslah jelas dan tidak membingungkan tidak ambigubermakna ganda. Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu
menghalangi implementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada
tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.
3. Konsistensi
Apapun perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas untuk diterapkan atau dijalankan. Karena jika perintah
yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi
suatukebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan salah satu faktoryang
menentukan keberhasilan suatu implementasi, menurut menurutGeorge C. Edward
IIIAgustino, 2006:151 sumber dayamerupakan sumber penggerak dan
pelaksana dalammengimplementasikan kebijakan.Indikator sumber-sumber daya
terdiri dari beberapa elemen meliputi manusia staff, peralatan facilities, Informasi information dan Kewenangan Authority. Dimensi sumber daya
manusia berarti efektivitas pelaksanaan kebijakan sangat tergantung kepada aparatur yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan. Dimensi peralatn merupakan
sarana yang digunakan untuk mengoperasionalisasi implementasi suatu kebijakan. Dimensi informa merupakan bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan
berdasarkan informasi yang relevan dan cukup. Kewenangan sangat diperlukan untuk menjamin dan meyakinkan bahwa kebijaksanaan yang akan dilaksanakan
adalah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Variabel ketiga yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi
kebijakan publik, bagi George C. Edwards III, adalah disposisi. Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai
pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan
dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias.
Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut George C. Edward IIIAgustino, 2006:152, adalah:
a Pengangkatan birokrat;
Disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan
haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga.
b Insentif;
Merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif.
Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan
mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendukung yang
membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi self interest atau
organisasi. Variabel keempat, menurut Edward, yang mempengaruhi tingkat
keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana
kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan mempunyai keinginan
untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi.
Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan
menyebabkan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat
mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.
2.1.3 Struktur Birokrasi