pendapatan non operasional seperti sewa, keuntungan penjualan aktiva tetap dan inventaris, selisih kurs, serta usaha lainnya.
BUS memiliki rata-rata BOPO lebih kecil dibandingkan dengan BUK. Pada periode pengamatan BUS memiliki rata-rata BOPO sebesar 79,73 lebih
kecil dibandingkan BUK yang memiliki rata-rata BOPO 86,30. Nilai tersebut menunjukkan selama periode pengamatan BUS memiliki rasio efisiensi beban
operasional terhadap pendapatan operasional yang lebih baik. BUS dapat memperkecil beban yang dikeluarkan untuk menghasilkan pendapatan. Uji beda
data berpasangan menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara BOPO BUS dan BUK. Nilai signifikansi antara BUS dan BUK yaitu 0,002 lebih kecil
dibandingkan taraf nyata 0,05.
4.2. Data Envelopment Analysis DEA
Suatu bank dikatakan memiliki kinerja yang tinggi apabila dapat meningkatkan efisiensi dengan menggunakan input untuk memberikan hasil yang
maksimal. Metode DEA merupakan ukuran efisiensi relatif yang mengukur efisiensi suatu unit pengambil keputusan DMU yang tidak efisien dibandingkan
dengan DMU lain yang paling efisien. Dalam analisis DEA dimungkinkan ada beberapa DMU yang mempunyai tingkat efisiensi 100. DEA juga dapat melihat
sumber ketidakefisienan dengan ukuran peningkatan potensial potential improvement dari masing-masing input dan output.
4.2.1. Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2006-2011
Data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam variabel input dan output yang diformulasikan dengan asumsi constant return to scale CRS.
Variabel input yang digunakan dalam mengukur efisiensi yaitu total DPK, total aset, dan biaya operasional. Variabel output yang digunakan yaitu kredit
konvensional atau pembiayaan syariah ke semua sektor ekonomi dan pendapatan operasional. Pada analisis DEA periode yang paling efisien dapat lebih dari satu
dengan skor efisiensi 100 pada periode waktu pengamatan.
Tabel 4.4. Tingkat Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2006-2011 Tahun
Efisiensi BUK BUS
2006 100 100 2007 90,37 100
2008 93,87 100 2009 96,76
96,85 2010 100
98,73 2011 98,47 100
Keterangan: Analisis efisiensi dilakukan bersama
Tabel 4.4. menunjukkan perbandingan efisiensi tahunan BUK dan BUS dari tahun 2006 hingga 2011. Perhitungan tingkat efisiensi dilakukan bersama-
sama untuk melihat perbankan mana yang lebih efisien pada periode pengamatan. Hasil analisis menunjukkan BUS dapat bekerja lebih efisien dibandingkan BUK
pada tahun 2006 hingga 2011. BUS dapat mencapai tingkat efisiensi 100 pada empat tahun periode pengamatan yaitu tahun 2006, 2007, 2008, dan 2011
sedangkan BUK dapat mencapai tingkat efisiensi 100 hanya pada dua tahun pengamatan yaitu 2006 dan 2010. Hasil analisis efisiensi menggunakan DEA
sama dengan hasil analisis efisiensi BOPO yang menyatakan BUS dapat bekerja lebih efisien dibandingkan BUK.
Tabel 4.5. menunjukkan perkembangan tingkat efisiensi masing-masing bank selama periode 2006-2011. Tingkat efisiensi BUK mencapai angka 100
pada tahun 2006, 2007, 2010, dan 2011 sedangkan tahun 2008 dan 2009 BUK mengalami infisiensi. BUS mencapai tingkat efisien pada tahun 2006, 2007, 2008,
dan 2011 sedangkan tahun 2009 dan 2010 tidak efisien.
Tabel 4.5. Perkembangan Tingkat Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2006-2011
Tahun Efisiensi
BUK BUS 2006 100 100
2007 100 100 2008 97,27 100
2009 99,76 96,85
2010 100 98,73
2011 100 100
Keterangan: Analisis efisiensi dilakukan pada masing-masing bank
Inefisiensi yang dialami perbankan pada tahun 2008-2010 merupakan dampak dari krisis global yang terjadi tahun 2008. Krisis global akan
memengaruhi operasional perbankan dan pertimbangan nasabah dalam menggunakan jasa perbankan. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kinerja
perbankan yang menentukan efisiensi intermediasi lembaga tersebut. Bank-bank yang inefisien, dapat dikatakan bahwa bank tersebut belum dapat memaksimalkan
nilai input dan output yang dimilikinya. Hal ini berarti nilai input dan output yang dicapai oleh bank yang inefisien belum dapat meraih target yang sebenarnya
Muharam dan Pusvitasari, 2007. Analisis efisiensi BUK menggunakan DEA menunjukan BUK
mengalami inefisiensi pada tahun 2008 97,27 dan 2009 99,76. Tahun 2008 inefisiensi terjadi pada variabel input dan output. Input yang mengalami
inefisiensi yaitu DPK. Input aktual DPK tahun 2008 yaitu sebesar 1.753.292 miliar rupiah. Jumlah tersebut melebihi target yaitu sebesar 1.497.535,3 miliar
rupiah atau dengan kata lain terjadi pemborosan input sebesar 14,59 dalam kegiatan operasional BUK tahun 2008. Inefisiensi juga terjadi pada variabel
output penyaluran kredit aktual yang disalurkan oleh BUK yaitu sebesar 1.307.668 miliar rupiah sedangkan target penyaluran kredit yaitu 1.344.397,23
miliar rupiah. Penyaluran kredit belum dilakukan secara optimal. Peningkatan potensial penyaluran kredit yang dapat dilakukan agar BUK menjadi efisien yaitu
sebesar 2,81 dari output sekarang. Inefisiensi juga terjadi pada variabel output
pendapatan operasional. Pendapatan operasional aktual yang dihasilkan oleh BUK pada periode tersebut yaitu sebesar 262.061 miliar rupiah. Angka tersebut lebih
kecil dari target efisien BUK yaitu 269.421,66 miliar rupiah. Peningkatan potensial output tersebut yaitu sebesar 4,44.
Tabel 4.6. Inefisiensi BUK Tahun 2008 Variabel
Aktual Target
Potensial Improvement
Input Beban Operasional
232.170 232.170
Aset 2.310.557
2.310.557 DPK
1.753.292 1.497.535,3 -14,59
Output Kredit 1.307.668
1.344.397,23 2,81
Pendapatan Operasional
262.061 269.421,66
2,81 Pada tahun 2009 inefisiensi juga terjadi pada variabel input dan output.
Variabel input yang mengalami inefisiensi yaitu beban operasional dan DPK. Beban operasional aktual pada periode tersebut yaitu 258.311 miliar rupiah.
Jumlah tersebut masih dapat ditekan 0,13 menjadi 257.980 miliar rupiah. Pada periode ini juga masih terjadi pemborosan DPK sebesar 14,28. DPK aktual yang
digunakan BUK yaitu 1.950.712 sedangkan targetnya adalah 1.672.159,54 miliar rupiah. Inefisiensi output terjadi pada kredit dan pendapatan operasional yang
masih dapat ditingkatkan sebesar 0,24 untuk mencapai efisiensi.
Tabel 4.7. Inefisiensi BUK Tahun 2009 Variabel
Aktual Target
Potensial Improvement
Input Beban Operasional
258.311 257.980
-0,13 Aset
2.534.106 2.534.106
DPK 1.950.712
1.672.159,54 -14,28 Output Kredit
1.437.930 1.441.441,34
0,24 Pendapatan
Operasional 298.180
298.908,14 0,24
BUS mencapai efisiensi 100 di tahun 2006, 2007, 2008 dan 2011
sedangkan pada tahun 2009 dan 2010 terjadi inefisiensi. Pada tahun 2009
inefisiensi terjadi pada DPK, aset, pembiayaan, dan pendapatan operasional. Input DPK aktual yang diterima pada tahun 2009 yaitu sebesar 52.271 miliar rupiah
sedangkan target DPK agar kinerja menjadi efisien yaitu sebesar 48.947,67 miliar rupiah. Variabel DPK dapat ditekan 6,36 untuk mencapai tingkat efisiensi
100. Pada periode tersebut BUS terkena dampak krisis global yang terjadi di tahun 2008 yaitu terjadi peningkatan DPK sebesar 41,84. Peningkatan DPK
tersebut merupakan salah satu bukti kepercayaan nasabah terhadap kinerja BUS yang masih dapat beroperasi dengan baik pada saat krisis.
Tabel 4.8. Inefisiensi BUS Tahun 2009
Variabel Aktual
Target Potensial
Improvement
Input Beban Operasional
3.135 3.135
Aset 66.090
63.273,01 -4,26 DPK
52.271 48.947,67 -6,36
Output Pembiayaan 46.886
48.410,18 3,25
Pendapatan Operasional
6.620 7.304,74 10,34
Input aset juga mengalami inefisiensi sebesar 4,26. Jumlah aset aktual pada periode tersebut adalah 66.090 miliar rupiah sedangkan targetnya adalah
63.273,01 miliar rupiah. Output pembiayaan aktual periode tersebut yaitu 46.886 miliar rupiah sedangkan target pembiayaan sebesar 48.410,18 miliar rupiah .
Pembiayaan memiliki potensi pengembangan sebesar 3,25 artinya pada periode tersebut masih terdapat input yang berpotensi untuk disalurkan kepada
masyarakat. Variabel pendapatan operasional juga memiliki potensi pengembangan yaitu sebesar 10,34 artinya pada periode tersebut BUS dapat
menghasilkan pendapatan operasional yang lebih besar dari 6.620 miliar rupiah menjadi 7.304,74 miliar rupiah agar mencapai kinerja yang efisien.
Tabel 4.9. Inefisiensi BUS Tahun 2010 Variabel
Aktual Target
Potensial Improvement
Input Beban Operasional
4.472 4.472
Aset 97.519
90.257,39 -7,45 DPK
76.036 69.822,65 -8,17
Output Pembiayaan 68.181
69.055,92 1,28
Pendapatan Operasional
8.757 10.420,03 18,99
Pada tahun 2010 BUS mengalami inefisiensi pada variabel DPK, aset, pembiayaan, dan beban operasinal. BUS masih mengalami kelebihan input DPK
yaitu sebesar 8,17. DPK aktual pada periode tersebut sebesar 76.036 miliar rupiah sedangkan target DPK sebesar 69.822,65 miliar rupiah. Peningkatan DPK
yang terjadi di tahun 2010 sebesar 45,46 atau lebih besar dibandingkan peningkatan di tahun sebelumnya. Akan tetapi, peningkatan tersebut belum
diikutsertai dengan penningkatan penyaluran pembiayaaan sehingga dana yang tersedia belum tersalurkan secara optimal. Variabel aset juga masih mengalami
inefisiensi pada periode tersebut. Jumlah aset aktual yaitu sebesar 97.519 miliar rupiah sedangkan targetnya adalah 90.257,39 miliar rupiah atau terjadi
pemborosan sebesar 7,45. Inefisiensi pada variabel output pembiayaan aktual tahun 2010 yaitu sebesar1,28. Pembiayaan aktual sebesar 68.181 miliar rupiah.
Jumlah tersebut dapat ditingkatkan menjadi 69.055,92 miliar rupiah atau agar mencapai kinerja yang efisien. Pendapatan operasional juga mengalami inefisiensi
dengan potensi pengembangan 18,99 artinya pendapatan operasional aktual periode tersebut masih dapat ditingkatkan dari 8.757 miliar rupiah menjadi
10.420,03 miliar rupiah. Nilai rata-rata efisiensi BUK lebih besar dibandingkan rata-rata efisiensi
BUS. Rata-rata efisiensi BUK pada periode pengamatan yaitu sebaesar 99,56 sedangkan rata-rata efisiensi BUS sebesar 99,26. Akan tetapi, hasil uji beda data
berpasangan menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara efisiensi BUK dan BUS dari tahun 2006-2011.
4.2.2. Efisiensi BUK dan BUS Setelah Krisis Global 2008