Metil Ester Sulfonat MES

4 Menurut Matheson 1996 surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan surface-active. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu linear alkilbenzen sulfonate LAS, alkohol sulfat AS, alkohol eter sulfat AES, alfa-olefin sulfonate AOS, parafin secondary alkane sulfonate, SAS, dan metil ester sulfonat MES. Menurut Sadi 1994 surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester dan fatty alcohol. Proses-proses yang diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya, yaitu asetilasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi. Menurut Flider 2001 surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi ke dalam empat kelompok dasar, yaitu : a berbasis minyak-lemak, seperti monogliserida, digliserida, poligliserol ester, fatty alkohol sulfat, fatty alkohol etoksilat, Metil Ester Sulfonat MES, dietanolamida, sukrosa ester, dan sebagainya, b berbasis karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan N-metil glukamida, c ekstrak bahan alami, seperti lesitin dan saponin, serta d biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme, seperti rhamnolipida, sophorolipida, lipopeptida, threhaloslipida, dan sebagainya. Menurut Hui 1996 karena karakteristik detergensi yang cukup baik dari metil ester C 16 -C 18 , maka fraksi stearin merupakan sumber bahan baku yang sesuai dan murah untuk memproduksi MES. Karakteristik deterjensi MES yang berbahan baku stearin diketahui mirip dengan LAS linier alkylbenzene sulfonates. Metil ester stearin sawit memiliki rasio distribusi asam lemak dari C 16 hingga C 18 sebesar 2:1. Bahan ini menghasilkan produk MES dengan nilai merupakan nilai maksimum kelarutan dibandingkan dengan kombinasi C 16 dan C 18 lainnya. MES dengan karakteristik ini sangat berguna untuk menghasilkan deterjen pada suhu rendah Sheat dan MacArthur 2002. Saat larutan surfaktan diinjeksikan kedalam sebuah sistem minyak dan air, surfaktan akan mendesak minyak bergerak hingga surfaktan terserap atau hilang karena adsorpsi batuan. Untuk memperoleh kondisi residual oil yang rendah dengan mengabaikan perubahan sifat kebasahan wettability oleh surfaktan, tegangan antarmuka antara minyak dan air formasi harus diturunkan dari 20-30 mNm ke 0.001-0.01 mNm Schramm 2000. Surfaktan yang biasa digunakan dalam proses EOR adalah petroleum sufonate yang merupakan turunan dari minyak bumi. Kelemahan surfaktan tersebut adalah sifatnya yang tidak memiliki ketahanan terhadap kondisi sadah dan salinitas yang tinggi, sedangkan kelebihannya adalah mempunyai kinerja maksimal dalam menurunkan tegangan antar muka, bahkan dilaporkan mencapai 0.1 µNm atau 10 -4 dynecm Salager 2002. Dengan semakin tingginya harga minyak dunia dan perhatian dunia terhadap persoalan-persoalan lingkungan maka diperlukan surfaktan yang berbasis renewable resources, seperti methyl ester sulfonate MES Eka 2008.

2.2 Metil Ester Sulfonat MES

Surfaktan Metil Ester Sulfonat MES termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan surface-active. Hui 1996. Surfaktan metil ester sulfonat MES diproduksi dengan mereaksikan antara metil ester dengan gas SO 3 Rosen 2004. Penelitian pembuatan MES telah dilakukan oleh Chemiton Corporation, Inc. Sheats dan MacArthur 2002, menyampaikan bahwa metil ester sulfonat dapat disintesis dari beberapa minyak seperti minyak kelapa, minyak sawit CPO dan PKO, tallow lemak sapi, dan minyak kedelai. Metil Ester termasuk ke dalam golongan ester, ester dibuat dengan mereaksikan asam karboksilat dan alkohol. Cox dan Weerasoriya 2001 melaporkan bahwa sebagian besar metil ester diproduksi dari oleokimia. 5 Metil ester dapat diproduksi melalui esterifikasi dan transesterifikasi asam lemak dengan metanol. Reaksi transesterifikasi dapat dilihat di Gambar 2. Metil ester juga dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi antara asam lemak dengan alkohol, seperti pada reaksi yang terlihat pada Gambar 3. Hart 1990. MinyakLemak Metanol Metil ester Gliserin Gambar 2. Reaksi transesterifikasi antar trigliserida dan methanol. RCOOH + R’OH RCOOR’ + H 2 O Asam lemak Alkohol Ester Air Gambar 3. Reaksi esterifikasi asam lemak dan alkohol. MacArthur et al. 2001 menyatakan bahwa studi tentang MES dengan rantai C 16 -C 18 menunjukkan bahwa MES memiliki sifat yang lebih baik dari pada surfaktan LAS atau AS dalam hal pencucian di air dingin dan air sadah hingga 100 ppm. Hal tersebut menyebabkan metil ester sulfonat pada masa mendatang diindikasikan akan menjadi surfaktan anionik yang paling penting Watkins 2001. Struktur kimia metil ester sulfonat dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Struktur kimia MES Watkins 2001. Kelebihan surfaktan MES dibanding surfaktan yang berbasis petrokimia adalah sifatnya yang renewable , mudah didegradasi good biodegradability, biaya produksi lebih rendah, karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik walaupun berada pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi hard water dan tidak adanya fosfat, daya deterjensi sama dengan petroleum sulfonat pada konsentrasi MES yang lebih rendah, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam disalt lebih rendah Matheson 1996. Panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besar afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan surface active karena ketidakcukupan 6 gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya, panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon Swern 1979. Menurut Hovda 1994 karakteristik bahan baku memberikan pengaruh terhadap kualitas produk MES yang dihasilkan. Adapun sifat fisikokimia metil ester stearin yang dapat diuji meliputi: bilangan asam, bilangan iod, kadar gliserol total, total kadar gliserol bebas, kadar gliserol terikat, bilangan penyabunan dan komposisi asam lemak metil ester stearin. Menurut Watkins 2001 komposisi asam lemak metil ester stearin didominasi oleh C 16 ester asam lemak palmitat dan C 18:1 ester asam lemak oleat yaitu 51.05 dan 25.19 . Asam lemak C 16 dan C 18 memiliki sifat deterjensi yang baik sehingga sesuai untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pada proses produksi surfaktan. Komposisi asam lemak metil ester seperti di atas dimiliki oleh stearin sawit seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan komposisi asam lemak pada ME dari beberapa jenis minyak Asam Lemak Kelapa C 12 -C 14 Inti Sawit C 8 -C 18 Stearin Sawit C 16 -C 18 Tallow C 16 -C 18 Kaplirat C 8 - 5.2 - - Kaprat C 10 - 4.4 - - Laurat C 12 71.5 51.0 0,2 - Miristat C 14 28.0 15.0 1,5 3.1 Palmitat C 16 0.6 7.2 65.4 31.6 Stearat C 18 - 17.2 32.2 63.6 Arakidat C 20 - - 0.7 1.8 Sumber: Sheat dan MacArthur 2002 Stearin merupakan produk hasil dari proses fraksinasi CPO, proses fraksinasi CPO menghasilkan 73 olein, 21 stearin, 5 destilat asam lemak minyak sawit palm fatty acid destilate PFAD dan 0.5 losses. Saat ini stearin banyak digunakan sebagai bahan baku pembuat margarin dan shortening, dengan produktifitas CPO yang tinggi stearin prospektif untuk dikembangkan menjadi surfaktan MES karena memiliki availabilityketersedian bahan baku yang selalu tersedia dan terbaharui. Stearin termasuk ke dalam lemak nabati yang memiliki rantai ikatan C 16 -C 18 dominan, yang memiliki daya deterjensi tinggi sehingga memungkinkan akan berkemampuan tinggi dalam memperkecil nilai interfacial tension IFT apabila diproduksi menjadi surfaktan MES LIPI 2008. Menurut MacArthur 2002 asam lemak yang mempunyai atom C 12 -C 14 berperan terhadap pembusaan, sedangkan asam lemak yang mempunyai C 16 -C 18 berperan terhadap kekerasan dan deterjensi. Metil ester palm stearin memiliki rasio distribusi asam lemak dari C 16 hingga C 18 sebesar 2:1. Bahan ini menghasilkan produk MES dengan nilai krafft point minimum 17°C dan ini merupakan nilai maksimum kelarutan dalam air dingin, dibandingkan dengan kombinasi C 16 dan C 18 lainnya. Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan agen sulfonasi. Pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat H 2 SO 4 , oleum larutan SO 3 di dalam H 2 SO 4 , sulfur trioksida SO 3 , NH 2 SO 3 H, dan ClSO 3 H Bernardini 1983. Proses sulfonasi berbeda dengan proses sulfatasi, walaupun secara struktur memiliki kesamaan. Pada proses sulfonasi, SO 3 terikat langsung pada atom karbon C sedangkan pada sulfatasi membentuk ikatan karbon-oksigen-sulfur Foster 1996. Dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rahmi 2010 melaporkan analisis sifat fiskokimia dari metil ester dari stearin sawit adalah sebagai berikut: 7 Tabel 2. Hasil Analisis sifat fisikokimia metil ester stearin Sifat fisikokimia Metil Ester Stearin Referensi Bilangan asam mg KOH g ME 0.21 Maks. 0.5 Bilangan iod mg Ig ME 29.91 Maks. 3.0 Kadar gliserol total b 0.20 Maks. 0.5 Kadar gliserol bebas b 0.018 - Kadar gliserol terikat b 0.19 - Bilangan penyabunan mg KOHg ME 207.39 Komposisi ester asam lemak C 12:0 0.07 C 14:0 1.12 C 16:0 51.05 C 18:0 2.27 C 18:1 25.19 C 18:2 10.31 Keterangan: Moretti dan Adami 2001, Sheat dan MacArthur 2002 Menurut Speight 2002 dan Kucera 2001 reaksi sulfonasi adalah reaksi pembentukan asam sulfonat SO 3 H pada molekul organik dengan menggunakan agen sulfonasi. Agen sulfonasi didefinisikan sebagai komponen atau bahan yang dapat menggantikan ikatan hidrogen dalam suatu senyawa dengan gugus sulfonat SO 3 H. Karakteristik MES dari stearin sawit C 16 -C 18 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik MES dari stearin sawit C 16 -C 18 Analisa Nilai Metil ester sulfonat MES bb 83 Disodium karboksi sulfonat di-salt bb 3.5 Metanol bb 0.07 Hidrogen peroksida bb 0.13 pH 5.3 Klett color 5 aktif 310 Sodium metil sulfat 7.2 Petroleum ether extractables PEX bb` 2.4 Sodium karboksilat bb 0.3 Sodium sulfat bb 7.2 Sumber: Sheats dan MacArthur 2002 Menurut Watkins 2001 proses produksi metil ester sulfonat dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan gas SO 3 dalam falling film reactor pada suhu 80-90°C. Proses sulfonasi ini akan menghasilkan produk berwarna gelap, sehingga dibutuhkan proses pemurnian meliputi pemucatan dan netralisasi. Untuk mengurangi warna gelap tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan H 2 O 2 atau larutan methanol, yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan larutan alkali KOH atau NaOH. Setelah melewati tahapan netralisasi, produk yang berbentuk pasta dikeringkan sehingga produk akhir yang dihasilkan berbentuk concentrated pasta, solid flake, atau granula. Menurut Hovda 1994 semakin tinggi suhu reaksi dalam reaksi sulfonasi maka produk yang dihasilkan menjadi semakin gelap warnanya. Selain itu warna gelap dikarenakan reaksi gas SO 3 8 terhadap ikatan rangkap metil ester stearin sehingga terbentuk senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Pada pembentukan warna, ikatan rangkap terkonjugasi berperan sebagai kromofor, yaitu gugus fungsi yang dapat menyerap gelombang elektromagnetik pada senyawa pemberi warna Robert et al. 2008. Menurut Matheson 1996 metil ester sulfonat MES telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih washing and cleaning products. Pemanfaatan surfaktan jenis ini pada beberapa produk adalah karena metil ester sulfonat memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi hard water dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C 14 , C 16 , dan C 18 memberikan tingkat deterjensi terbaik serta bersifat mudah didegradasi good biodegradability. Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam disalt lebih rendah.

2.3 Produksi Tahap LanjutEnhanced Oil Recovery EOR