PENDAHULUAN Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Elang Jawa (Nisaetus Bartelsi Stresemann, 1924) Di Taman Nasional Gunung Halimun- Salak.

3 yang termasuk raptor, yaitu ordo Falconiformes yang merupakan raptor yang aktif pada siang hari diurnal, dan ordo Strigiformes yang aktif pada malam hari nokturnal. Di Indonesia terdapat tiga famili raptor yang berasal dari ordo Falconiformes yaitu Pandionidae 1 jenis, Accipitridae 64 jenis dan Falconidae 10 jenis dengan 15 jenis endemik Prawiradilaga et al. 2003 dalam Supriatna, 2006. Ordo Strigiformes atau jenis burung hantu tercatat 34 jenis yang berasal dari dua famili Tytonidae dan Strigidae dan 16 jenis diantaranya adalah jenis endemik Colijn, 2002 dalam Supriatna 2006. Elang jawa merupakan jenis elang yang memiliki penyebaran terbatas endemik hanya dapat dijumpai di Pulau Jawa. Sebaran yang terbatas serta populasi yang sedikit mengakibatkan tingginya tingkat ancaman kepunahan spesies ini selain dari tekanan terhadap perubahan habitat karena kebutuhan lahan yang tinggi di Pulau Jawa. Tingkat ancaman kepunahan diperparah dengan tingginya perburuan EJ untuk dijadikan hewan peliharaan dengan prestige tinggi bagi pemeliharanya IUCN redlist ver. 3.1. Mengingat pentingnya peran dan tingkat ancaman, maka EJ termasuk ke dalam jenis burung pemangsa yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah PP nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Perlindungan hukum bagi EJ diperkuat dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Keppres nomor 4 tahun 1993 yang menetapkan EJ sebagai burung nasional dan lambang spesies langka. Upaya pelestarian EJ sudah mulai dilakukan secara intensif oleh pemerintah, salah satunya dengan disahkannya Peraturan Menteri Kehutanan nomor P-58 tahun 2013 Tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa Spizaetus bartelsi Tahun 2013-2022. Gambar 1. Kerangka pemikiran pemodelan kesesuaian habitat EJ Pemodelan kesesuaian habitat EJ ini diharapkan mampu mengidentifikasi faktor habitat serta sebaran areal yang penting bagi keberlanjutan populasi di areal TNGHS. Data dan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan dasar dari model pengelolaan satwa liar dalam hal ini EJ yang berdasar pada faktor habitat sehingga dalam pelaksanaannya mampu mencapai sasaran yang lebih terarah. Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Perumusan Masalah 1.3. Habitat yang sesuai bagi satu spesies berbeda dengan spesies lainnya, hal ini disebabkan kerena masing-masing spesies memiliki karakteristik komponen Biotik Kebijakan pengelolaan Keberadaan elang jawa Faktor habitat Model Kesesuaian Habitat Abiotik 4 habitat yang berbeda untuk mendukung kehidupannya Alikodra 2002. Dengan demikian, dalam pengelolaan satwaliar yang berkelanjutan, harus berdasarkan karakter habitat yang sesuai dengan karakter dari satwaliar tersebut sehingga dalam pelaksanaannya akan lebih efektif dan terarah. Strategi dan rencana aksi konservasi EJ telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan nomor P-58 tahun 2013. Strategi dan rencana aksi tersebut telah mencakup berbagai stakeholder seperti lembaga penelitian, lembaga pemerintah dan non pemerintah, serta lembaga pelaksana teknis di lapangan. Salah satu sasaran dalam pelaksanaan rencana aksi adalah dengan mempertahankan populasi dan habitat EJ di seluruh Pulau Jawa. Oleh karena itu, populasi, distribusi serta karakteristik habitat EJ mutlak diperlukan guna menentukan kebijakan dalam perencanaan maupun manajemen konservasi. Mengingat pentingnya pengetahuan mengenai habitat EJ, maka studi mengenai model karakteristik dan sebaran habitat EJ sudah mulai dilakukan. Terdapat beberapa metode untuk penentuan model karakteristik dan sebaran habitat. Syartinilia et al. 2008 menggunakan metode analisis regresi logistik untuk menduga sebaran habitat EJ di Pulau Jawa. Penelitian lainnya dilakukan oleh Cahyana 2010 menggunakan metode analisis skoring PCA untuk menduga sebaran kesesuaian habitat EJ di Kabupaten Ciamis bagian utara. Perbedaan metode analisis yang dipakai tentunya mempengaruhi hasil yang didapat. Berdasarkan model kesesuaian habitat hasil penelitian Syartinilia et al. 2008, areal TNGHS tidak termasuk ke dalam habitat yang sesuai bagi EJ, hal ini bertentangan dengan hasil ekstrapolasi data Raptor Indonesia 2000 yang menyebutkan bahwa jumlah perkiraan populasi EJ di kawasan Gunung Halimun- Salak adalah 23-33 pasang Permenhut 2013. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu dikaji dalam mengidentifikasi karakteristik dan kesesuaian habitat bagi EJ khususnya di areal TNGHS, diantaranya adalah dengan menggunakan metode pemodelan kesesuaian habitat yang berbeda dan spesifik pada areal tersebut. Tujuan 1.4. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui model sebaran habitat EJ di areal penelitian. 2. Mengetahui variabel habitat yang mempengaruhi sebaran EJ. Manfaat 1.5. Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan model kesesuaian habitat pada EJ di areal penelitian, termasuk peta peluang sebaran distribusi beserta faktor habitat yang mempengaruhi sebarannya. Data tersebut dapat dijadikan acuan dan pertimbangan dalam berbagai penerapan pengelolaan ekologi dan konservasi khususnya pada EJ baik di lokasi penelitian maupun lokasi lainnya. 5

II. METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu 2.1. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Agustus 2014. Lokasi penelitian berada pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak TNGHS dan sekitarnya dengan total luas areal 435,596.66 Ha. Areal fokus pengambilan data berada di bagian timur TNGHS. Pemilihan areal fokus penelitian dipilih berdasarkan peluang perjumpaan EJ yang relatif tinggi dari hasil survey dan observasi terdahulu. Selain dari itu, lokasi areal fokus penelitian memiliki kondisi habitat dan aktivitas manusia yang beragam dan diharapkan dapat mewakili dari seluruh areal penelitian. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Alat dan Bahan 2.2. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Global Positioning System GPS yang digunakan untuk mengetahui posisi titik tempat pengambilan data. 2. Kompas, digunakan untuk mengetahui posisi objek EJ dari pengamat. 3. Kamera digital, digunakan untuk keperluan dokumentasi. 4. Alat pencatat waktu jam. 5. Binokulermonokuler. 6. Rangefinder, digunakan untuk mengetahui jarak objek terhadap pengamat. 7. Seperangkat komputer beserta software ArcGIS 10.1, SPSS 20, FCD mapper dan software penunjang lainnya Bahan atau objek yang digunakan yaitu titik perjumpaan EJ Nisaetus bartelsi sebagai data kehadiran presence untuk variabel dependent pembentukan model. Sedangkan untuk mengetahui variabel independent 6 menggunakan data citra lansat, peta topografi, peta kontur, peta penutupan lahan, peta rupa bumi Indonesia, peta iklim mikro di lokasi penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian serta sumber data dapat dilihat pada Lampiran 14 . Metode Pengumpulan Data 2.3.

2.3.1. Kegiatan Pendahuluan

Kegiatan pendahuluan meliputi : a. Orientasi lapangan, kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui informasi mengenai daerah penelitian baik melalui survey lapangan maupun melalui wawancara dengan masyarakat di sekitar lokasi penelitian. b. Kajian pustaka, kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan literatur dan informasi yang berkaitan dengan penelitian diantaranya mengenai history sebaran EJ di areal penelitian, serta pemodelan yang sudah dilakukan. c. Pengidentifikasian dan pengolahan peta faktor habitat yang diduga mempengaruhi sebaran EJ di lokasi penelitian. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi wilayah penelitian serta untuk penentuan daerah-daerah yang akan dijadikan sebagai plot sampel untuk pengambilan data.

2.3.2. Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pemilihan lokasi dan pengambilan data diantaranya adalah sebagai berikut : a. Metode Titik Metode titik dilakukan dengan menentukan titik pengamatan pada areal fokus penelitian. Penentuan titik pengamatan ditentukan dari hasil survey pendahuluan dimana lokasi tersebut terdapat populasi EJ. Terdapat tujuh titik utama penelitian dengan total 64 titik perjumpaan EJ. Sebaran titik perjumpaan EJ di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 11. b. Metode Eksplorasi Lapang Metode ini dilakukan untuk mengetahui posisi atau keberadaan EJ dalam wilayah penelitian dengan cara menjelajahi wilayah fokus penelitian. Metode eksplorasi dilakukan untuk mengetahui keberadaan EJ yang tidak terdeteksi pada titik pengamatan. Analisis Data dan Peta 2.4.

2.4.1. Analisis Peta

Terdapat 10 variabel habitat yang dijadikan parameter untuk membangun model kesesuaian habitat EJ. Variabel-variabel tersebut dipilih dengan mempertimbangkan pendekatan karakter habitat EJ yang dapat terukur secara spasial. Variabel-variabel tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan Principle Component Analysis PCA guna mendapatkan skor atau bobot untuk menduga kesesuaian habitat EJ pada areal penelitian. Tahapan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. 2.4.1.1.Peta Forest Canopy Density FCD Penelitian Prawiradilaga 2006 menunjukan bahwa EJ lebih sering menggunakan hutan baik hutan sekunder dan hutan alam dibandingkan dengan tipe tutupan lahan lainya. Terdapat beberapa pendekatan spasial mengenai tipe tutupan hutan diantaranya adalah Normalized Differential Vegetation Index 7 NDVI, Leaf Area Index LAI, dan Forest Canopy Density FCD. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan FCD karena memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi untuk menduga klasifikasi kerapatan hutan Nugroho 2012. Peta FCD merupakan peta dugaan kerapatan kanopi hutan. Metode pendugaan FCD adalah menggabungkan Vegetation Index VI, Bare Soil Index BI, Shadow Index SI, dan Thermal Index TI pada analisis citra landsat untuk mendapatkan gambaran nilai kerapatan kanopi di suatu lokasi Rikimaru 2002. Berikut persamaan masing-masing indeks. a. Vegetation Index VI Terdapat tiga indeks yang digunakan untuk menduga VI yaitu : • Normalized Differential Vegetation Index NDVI = Near Infra Red- Red Near Infra Red+Red; • Advanced Vegetation Index AVI = Near Infra Red x 256-Red x Near Infra Red-Red + 113, 0 Near Infra Red-Red ITTOJOFCA 2003; • Advanced Normalized Vegetation Index ANVI adalah indeks sintetik dari NDVI dan AVI menggunakan Principal Component Analysis . b. Bare Soil Index BI Persamaan untuk mengetahui BI adalah : BI = MIR+R - B+NIR MIR+R + B+NIR; dimana: NIR = Near Infra-Red Band dan MIR = Middle Infra-Red Band c. Shadow Index SI Persamaan untuk SI adalah : SI = 256-B x 256-G x 256-R 13 dimana B= band biru, G = band hijau dan , R = band merah d. Thermal Index TI TI diketahui dengan cara mengkalibrasi nilai band thermal pada peta citra. Nilai FCD didapatkan dari persamaan : FCD = VD x SSI+1 12 -1 Dimana nilai VD adalah Vegetation Density atau kerapatan tutupan vegetasi per pixel dihitung dengan Principal Component dari VI dan BI, dan dikalibrasi dengan minimum dan maximum tutupan vegetasi. Sedangkan nilai SSI merupakan nilai kalibrasi dari Shadow Index pada areal berhutan. Alur atau skema pembuatan kelas FCD dapat dilihat pada Gambar 3 . Analisis FCD dilakukan menggunakan software FCD Mapper ITTOJOFCA. Peta utama yang digunakan adalah peta citra Landsat 8 bulan Oktober 2013 http:earthexplorer.usgs.gov. Varian data pada FCD merupakan persen tutupan kanopi. Rentang nilai FCD di lokasi penelitian berkisar antara 0- 97. Peta FCD di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1