Ketinggian HASIL DAN PEMBAHASAN

24 yang jauh dari jalan. Selain dari itu, komoditas pertanian intensif yang dikembangkan biasanya berupa tanaman pangan seragam seperti sayuran dan persawahan dengan tutupan vegetasi yang sangat rendah. EJ di lokasi penelitian, bereaksi negatif terhadap keberadaan jalan. Sebaran kelas KT berada pada jarak yang cukup jauh dari jalan dengan rata-rata JJ 2,207.69 ± 1,445.86 m. Gambar 11. Sebaran nilai JJ pada kelas KT Gambar 12 Sebaran nilai JP pada kelas KT Gambar 13. Sebaran nilai KP pada kelas KT 25 Variabel lainnya yang dapat diukur untuk mengetahui tingkat aktifitas manusia adalah keberadaan permukiman serta jumlah penduduk. Permukiman merupakan pusat dari aktivitas manusia sehingga semakin dekat jarak dengan permukiman serta jumlah penduduknya maka tingkat aktivitas manusia semakin meningkat. Di lokasi penelitian, permukiman penduduk berkelompok pada areal tertentu dan berdekatan dengan areal pertanian intensif sehingga memiliki tutupan vegetasi yang relatif rendah. Sebaran kelas KT bagi EJ berada pada pada lokasi yang relatif jauh dari pusat aktivitas manusia serta memiliki jumlah penduduk yang relatif sedikit dengan rata-rata JP 2,727.51 ± 1,554.61 m, dan rata-rata KP 3,829.08 ± 1,504.37 m. Kelemahan Model Kesesuaian Habitat EJ 3.3. Metode analisis serta data yang digunakan untuk membangun model menjadi faktor utama yang mempengaruhi tingkat ketepatan serta keakuratan model yang dihasilkan. Kendala utama yang sering dijumpai dalam pemodelan spasial untuk menduga habitat pada satwaliar adalah penentuan variabel pembentuk model yang sulit diukur secara spasial. Komposisi pembentuk habitat satwaliar di alam, terdiri dari komponen bioltik serta komponen fisik. Identifikasi habitat yang ideal bagi satwaliar didasarkan dari kesatuan fungsi komponen habiatat sebagai penyedia pakan, air, dan tempat berlindung bagi satwa liar tersebut Alikodra 2002. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan untuk menduga kesesuaian habitat EJ hanya berdasarkan komponen pembentuk habitat khususnya kondisi fisik kawasan. Hal ini disebabkan oleh belum tersedianya data yang mewakili pada komponen biotik di lokasi penelitian. Indikasi dampak dari pemilihan variabel pembentuk model yang hanya berdasarkan komponen fisik habitat dapat dilihat dari nilai validasi model yang memiliki tingkat ketepatan atau validitas 72. Dengan demikian, dapat juga diartikan bahwa terdapat 28 komposisi habitat yang tidak terwakili oleh variabel yang digunakan. Hal ini dapat juga diakibatkan kurang terwakilinya titik sampel perjumpaan EJ. Tititk perjumpaan EJ yang digunakan dalam analisis hanya berasal dari areal fokus penelitian yang kemungkinan belum bisa mewakili keseluruhan areal penelitian. Kendala lain yang dijumpai pada waktu penelitian adalah titik perjumpaan EJ sebagian besar berada pada tepi hutan dimana EJ relatif lebih mudah teramati dibandingkan pengamatan di dalam tegakan hutan dengan jarak pandang yang terbatas. Selain dari keterwakilan variabel yang diukur, metode analisis yang digunakan juga berpengaruh terhadap ketepatan model yang dibuat. Model kesesuaian habitat EJ pada penelitian ini menggunakan metode PCA untuk menentukan bobot pada tiap varibel pembentuk. Nilai bobot pada tiap variabel yang terbentuk didasarkan pada nilai eigenvalues atau nilai keterwakilan varian data dari variabel komponen habitat pembentuk. Berdasarkan hasil analisis, nilai total eigenvalues kumulatif berada pada 75.28. Nilai ini menunjukkan bahwa model yang tebentuk mewakili dari 75.28 varian data dan terdapat 24.72 varian data yang belum terwakili. Salah satu faktor yang diduga mempengaruhi tingkat keterwakilan data pada penelitian ini adalah perbedaan rentang varian serta satuan data pada tujuh variabel pembentuk. Evolusi dan adaptasi menghasilkan relung ekologi pada setiap jenis makhluk hidup yang merupakan faktor pembatas dalam pemanfaatan sumberdaya.