Model Skoring Principle Component Analysis PCA

14 Tabel 4. Bobot dan konstanta tiap variabel Variabel PC1 PC2 Konstanta 3.530324 -3.034688 CH -0.000061 0.000979 FCD -0.003129 0.0213 JJ -0.000441 -0.000137 KP 0.00023 -0.000608 JP 0.000626 -0.000074 SH -0.033565 0.012802 KG 0.00214 -0.000539 Berdasarkan nilai bobot tersebut maka bentuk persamaan untuk setiap PC adalah sebagai berikut : PC1 = 3.530324 - 0.000061CH - 0.003129FCD - 0.000441JJ + 0.00023KP + 0.000626JP - 0.033565SH + 0.002140KG PC2 = -3.034688 + 0.000979CH + 0.021300FCD -0.000137JJ - 0.000608KP - 0.000074JP + 0.012802SH - 0.000539KG Berdasarkan persamaan yang telah terbentuk, maka didapatkan nilai skor kumulatif kesesuaian habitat pada areal penelitian antara -2.64 sd 2.73. Nilai tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelas kesesuaian yaitu kelas kesesuaian rendah KR, kelas kesesuaian sedang KS, dan kelas kesesuaian tinggi KT. Rentang nilai skor kumulatif pada kelas KR antara -2.64--0.85, kelas KS antara -0.86-0.94, dan kelas KT antara 0.95-2.73. Validasi Model 2.5. Validasi model dilakukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan atau ketepatan model yang dibuat. Berdasarkan hasil validasi dengan menggunakan 25 titik perjumpaan terhadap model yang didapat diketahui bahwa 18 titik perjumpaan 72 berada pada kelas KT, 6 titik 24 berada pada kelas KS, dan 1 titik 4 berada pada kelas KR. Proporsi sebaran titik perjumpaan EJ tersebut menggambarkan model yang terbentuk memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi 72. Uji Beda Kelas Kesesuaian EJ 2.6. Uji beda dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata- rata pada tiap kelas kesesuaian habitat EJ. Proses pengujian varian data dilakukan dengan metode one way anova dengan hipotesis : H : Ketiga kelas kesesuaian EJ memiliki varian data yang sama. H 1 : Ketiga kelas kesesuaian EJ memiliki varian data yang berbeda. 15

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Kesesuaian Habitat EJ 3.1. Berdasarkan peta kesesuaian haitat EJ yang telah terbentuk, maka didapatkan nilai kesesuaian habitat pada seluruh areal penelitian antara -2.64 sd 2.73. Rentang nilai tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelas kesesuaian yaitu kesesuaian rendah KR dengan nilai rentang -2.64 – -0.85, kesesuaian sedang KS dengan nilai rentang -0.86 – 0.94, dan kesesuaian tinggi KT dengan nilai rentang 0.94 – 2.73. Total luasan areal yang dianalisis adalah 435,596.66 ha dengan proporsi 66.5 areal termasuk kedalam KR, 18.07 termasuk kedalam KS, dan 15.39 termasuk kedalam KT Tabel 5. Proporsi tersebut menunjukan bahwa hanya sebagian kecil habitat yang sesuai bagi keberlangsungan populasi EJ di areal penelitian. Tabel 5. Luas dan proporsi kelas kesesuaian EJ di areal penelitian Kelas Kesesuaian Luas Ha Proporsi Rendah 289,865.60 66.54 Sedang 78,701.67 18.07 Tinggi 67,029.39 15.39 Model yang terbentuk menunjukkan areal dengan kelas KT bagi EJ 94.43 berada pada kawasan TNGHS. Hal ini mengindikasikan bahwa TNGHS merupakan areal yang sangat penting bagi keberadaan EJ pada seluruh areal penelitian. Diperkirakan populasi EJ di areal TNGHS sebanyak 23-33 pasangan yang merupakan jumlah perkiraan populasi EJ terbanyak di seluruh Jawa Permenhut, 2013. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di kawasan TNGHS, perjumpaan EJ tercatat di hampir seluruh kawasan termasuk areal perkebunan teh Nirmala Kuswandono et al. 2003, van Balen 1999, Gjershaug et al . 2004. Kawasan TNGHS merupakan hutan hujan tropis terluas di Pulau Jawa. Berdasarkan peta tutupan lahan Dephut 2011, kawasan TNGHS didominasi oleh tipe hutan lahan kering sekunder, hutan lahan kering primer, serta hutan tanaman. Komposisi tipe hutan tersebut teridentifikasi merupakan habitat yang disukai oleh EJ Prawiradilaga 2006, Nijman 2003, Kuswandono et al. 2003, Sozer 1995. Pemodelan habitat pada EJ sebelumnya telah dilakukan oleh Syartinilia et al . 2009 dengan menggunakan analisis regresi logistik yang diekstrapolasi pada seluruh areal Pulau Jawa. Variabel penduga yang digunakan adalah ketinggian, kelerengan, NDVI, Indeks cahaya matahari, jarak dari sungai, jarak dari permukiman, dan jarak dari jalan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa areal TNGHS tidak termasuk kedalam habitat yang sesuai bagi EJ karena memiliki peluang kehadiran EJ kurang dari 0.5 atau luasan areal habitat sesuai kurang dari 50 Km 2 . Selain dari faktor analisis, faktor variabel penduga serta perbedaan sampel perjumpaan EJ diduga menjadi faktor yang menyebabkan perbedaan hasil dan kesimpulan dengan penelitian ini. Syartinilia et al. 2009 menggunakan titik sarang EJ sebagai variabel dependen pada model sehingga model yang dihasilkan menjadi lebih spesifik pada karakteristik tempat bersarang EJ. Pada penelitian ini, variabel data sebaran yang digunakan adalah titik sarang 16 serta titik perjumpaan langsung EJ. Hal ini mengakibatkan teridentifikasinya areal-areal habitat yang tidak teridentifikasi pada model sebelumnya. Total areal pengelolaan TNGHS memiliki luas areal sekitar 105.100 ha, 63,3 areal termasuk kedalam kelas KT, 29.71 termasuk kelas KS, dan 10.11 termasuk kelas KR Tabel 6. Secara umum, sebaran areal kelas KT di areal TNGHS terbagi menjadi 4 patches yang saling terpisah yaitu areal Gunung Salak 9,298.25 ha, areal Pegunungan Halimun 50,307.79 ha, areal Gunung Endut 2,349.83 ha, dan areal Gunung Talaga 334.85 ha. Areal Pegunungan Halimun merupakan habitat utama EJ karena mencakup 80.7 dari total keseluruhan areal KT di TNGHS. Jarak patch paling jauh adalah areal Gunung Talaga dengan jarak dari patch utama 8.4 km, areal Gunung Salak 3 km, dan yang terdekat adalah areal Gunung Endut sejauh 0.4 km. Peta sebaran kelas kesesuaian serta patches habitat dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Tabel 6. Luas dan proporsi kelas kesesuaian EJ di kawasan TNGHS Kelas Kesesuaian Luas Ha Proporsi Rendah 10,638.90 10.114 Sedang 31,251.06 29.71 Tinggi 63,296.91 60.175 Habitat yang terfragmentasi merupakan salah satu ancaman bagi kelestarian EJ karena terjadi isolasi populasi yang berdampak pada penurunan kualitas genetik karena inbreeding Sozer 1995. Mengacu pada wilayah jelajah Gjershaug et al. 2004 dan jarak antar patch, areal habitat EJ di Gunung Talaga memiliki tingkat ancaman yang paling tinggi karena memiliki areal yang kecil serta jarak dari patch lainnya yang cukup jauh. Salah satu upaya yang mungkin dilakukan untuk mengurangi dampak fragmentasi habitat adalah dengan menghubungkan setiap patch yang ada dengan koridor habitat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas habitat yang memiliki kelas KS. Berdasarkan hasil validasi model, 24 perjumpaan EJ terdapat pada areal dengan kelas KS. Hal ini mengindikasikan bahwa habitat dengan kelas KS memiliki tingkat peluang keberadaan EJ yang relatif tinggi. Luas areal kelas KS mencapai 29.7 dari wilayah TNGHS yang merupakan areal penghubung antar patch habitat kelas KT, maka areal kelas KS bisa dijadikan acuan untuk pengembangan koridor habitat EJ di kawasan TNGHS. Gambar 5. Peta kelas kesesuaian haitat EJ di lokasi penelitian. 17