22
Gambar 9. Sebaran nilai SH pada kelas KT Curah hujan berpengaruh terhadap kondisi vegetasi di suatu wilayah van
Steenis 2006. Penelitian Alder 2007 menyatakan bahwa setiap kenaikan curah hujan di suatu wilayah diikuti dengan meningkatnya keragaman vegetasinya. Hal
tersebut juga berlaku untuk suhu udara, berdasarkan penelitian Francis 2003, rata-rata tahunan suhu dan curah hujan berpengaruh secara signifikan terhadap
keragaman angiosparmae. EJ memiliki satwa mangsa yang beragam dari jenis mamalia, burung, serta reptil Lampiran 12. Vegetasi yang beragam tentunya
menjadi jaminan bagi keberadaan satwa mangsa sekaligus keberlangsungan hidup EJ. Selain dari kondisi vegetasi, suhu atau temperatur merupakan faktor yang
penting pada wilayah biosfer, karena berpengaruh besar terhadap segala bentuk kehidupan. Setiap organisme memiliki selang temperatur optimum dimana
kegiatan harian organisme tersebut berjalan secara normal. Perubahan temperatur atau suhu dari keadaan yang normal dapat menyebabkan perubahan struktur biotik
Alikodra 2002. EJ merupakan satwa yang beraktifitas pada siang hari diurnal antara
pukul 07.00 sampai dengan 16.30 Prawiradilaga 2006. Salah satu aktifitas yang sering dilakukan adalah terbang soaring dengan memanfaatkan udara panas
thermal dari pemanasan sinar matahari yang dilakukan untuk mengintai mangsa yang berada di antara kanopi dan tajuk pohon Sozer Nijman 1995. Selain dari
itu, EJ sering dijumpai terbang soaring dan terkadang bersuara untuk menandai areal teritorial dari elang lainnya.
3.2.3. Ketinggian
Distribusi EJ tersebar di semua tipe hutan dari dataran rendah sampai pegunungan dengan penyebaran terbanyak terdapat di daerah hutan pegunungan
dan hutan perbukitan dibandingkan dengan tipe hutan lainya van Balen et al. 1999. Di Jawa Barat bagian selatan, penyebaran EJ ditemukan dari permukaan
laut hingga 2,400 m dpl, dengan jumlah penyebaran terbesar pada ketinggian 500– 1,000 mdpl Setiadi et al. 2000. Berdasarkan hasil penelitian ini, sebaran kelas
KT pada EJ di lokasi penelitian tersebar pada rata-rata ketinggian 1,136.05 ±271.46 mdpl.
23
Gambar 10. Sebaran nilai KG pada kelas KT Simbolon 1997 dalam Dewi 2005 menyebutkan bahwa di kawasan
TNGHS berada pada zona collin ketinggian di bawah 900 mdpl yang didominasi oleh Altingia excelsa, zona sub- montana ketinggian 1,050-1,400 mdpl yang
didominasi oleh Schima wallichii, Antidesma montanum, Eurya acuminata, Evodia aromatica
, dan juga spesies-spesies dari famili Fagaceae, dan zona montana ketinggian 1,500-1,800 mdpl yang didominasi oleh spesies-spesies dari
famili Fagaceae Castanopsis sp., Lithocarpus sp., dan Quercus sp.. Jenis-jenis pohon tersebut umumnya merupakan jenis pohon penting yang teramati sering di
manfaatkan EJ baik untuk bersarang, bertengger, maupun berburu Lampiran 13. Selain dari itu, faktor ketinggian berkaitan erat dengan keragaman biota baik
tumbuhan maupun satwa. Ketinggian kelas KT pada EJ di TNGHS merupakan zona atau areal
peralihan antara tipe hutan dataran rendah dan hutan pegunungan bawah van Steenis 2006 yang memiliki tingkat keanekaragaman spesies yang tinggi.
Comber 1990 dalam Whitten 1996 menyatakan bahwa 99 dari 217 spesies anggrek di Pulau Jawa tercatat pada ketinggian 800-1,200 mdpl. Pada selang
ketinggian tersebut juga tercatat memiliki keragaman jenis tikus paling banyak dibandingkan dengan rentang ketinggian lainnya 12 jenis yang merupakan salah
satu pakan utama EJ.
3.2.4. Aktivitas Manusia
Selain dari karakteristik kondisi habitat, kualitas habitat juga dipengaruhi oleh besaran tingat gangguan terhadap habitat. Besaran tingkat gangguan
ditentukan oleh tingkat toleransi atau adaptasi suatu spesies terhadap perubahan lingkungan atau habitatnya. Kerusakan dan degradasi hutan termasuk perubahan
hutan menjadi perkebunan, padang rumput, dan areal budidaya lainnya merupakan ancaman paling utama bagi EJ Sozer 1995. Pendekatan parameter yang dapat
diukur untuk mengetahui tingkat gangguan terhadap EJ pada penelitian ini adalah jarak dari jalan, jarak dari permukiman dan jumlah penduduk.
Variabel JJ berkaitan dengan aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya. Mayoritas masyarakat di sekitar kawasan TNGHS memiliki aktivitas
di bidang pertanian seperti berkebun, berladang dan bertani. Semakin dekat dengan jalan, maka kegiatan-kegiatan tersebut semakin intensif sehingga tingkat
aktivitas manusia pada areal sekitar jalan relatif tinggi dibandingkan dengan areal