25 Variabel lainnya yang dapat diukur untuk mengetahui tingkat aktifitas
manusia adalah keberadaan permukiman serta jumlah penduduk. Permukiman merupakan pusat dari aktivitas manusia sehingga semakin dekat jarak dengan
permukiman serta jumlah penduduknya maka tingkat aktivitas manusia semakin meningkat. Di lokasi penelitian, permukiman penduduk berkelompok pada areal
tertentu dan berdekatan dengan areal pertanian intensif sehingga memiliki tutupan vegetasi yang relatif rendah. Sebaran kelas KT bagi EJ berada pada pada lokasi
yang relatif jauh dari pusat aktivitas manusia serta memiliki jumlah penduduk yang relatif sedikit dengan rata-rata JP 2,727.51 ± 1,554.61 m, dan rata-rata KP
3,829.08 ± 1,504.37 m.
Kelemahan Model Kesesuaian Habitat EJ 3.3.
Metode analisis serta data yang digunakan untuk membangun model menjadi faktor utama yang mempengaruhi tingkat ketepatan serta keakuratan
model yang dihasilkan. Kendala utama yang sering dijumpai dalam pemodelan spasial untuk menduga habitat pada satwaliar adalah penentuan variabel
pembentuk model yang sulit diukur secara spasial. Komposisi pembentuk habitat satwaliar di alam, terdiri dari komponen bioltik serta komponen fisik. Identifikasi
habitat yang ideal bagi satwaliar didasarkan dari kesatuan fungsi komponen habiatat sebagai penyedia pakan, air, dan tempat berlindung bagi satwa liar
tersebut Alikodra 2002. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan untuk menduga kesesuaian habitat EJ hanya berdasarkan komponen pembentuk habitat
khususnya kondisi fisik kawasan. Hal ini disebabkan oleh belum tersedianya data yang mewakili pada komponen biotik di lokasi penelitian.
Indikasi dampak dari pemilihan variabel pembentuk model yang hanya berdasarkan komponen fisik habitat dapat dilihat dari nilai validasi model yang
memiliki tingkat ketepatan atau validitas 72. Dengan demikian, dapat juga diartikan bahwa terdapat 28 komposisi habitat yang tidak terwakili oleh variabel
yang digunakan. Hal ini dapat juga diakibatkan kurang terwakilinya titik sampel perjumpaan EJ. Tititk perjumpaan EJ yang digunakan dalam analisis hanya
berasal dari areal fokus penelitian yang kemungkinan belum bisa mewakili keseluruhan areal penelitian. Kendala lain yang dijumpai pada waktu penelitian
adalah titik perjumpaan EJ sebagian besar berada pada tepi hutan dimana EJ relatif lebih mudah teramati dibandingkan pengamatan di dalam tegakan hutan
dengan jarak pandang yang terbatas. Selain dari keterwakilan variabel yang diukur, metode analisis yang
digunakan juga berpengaruh terhadap ketepatan model yang dibuat. Model kesesuaian habitat EJ pada penelitian ini menggunakan metode PCA untuk
menentukan bobot pada tiap varibel pembentuk. Nilai bobot pada tiap variabel yang terbentuk didasarkan pada nilai eigenvalues atau nilai keterwakilan varian
data dari variabel komponen habitat pembentuk. Berdasarkan hasil analisis, nilai total eigenvalues kumulatif berada pada 75.28. Nilai ini menunjukkan bahwa
model yang tebentuk mewakili dari 75.28 varian data dan terdapat 24.72 varian data yang belum terwakili. Salah satu faktor yang diduga mempengaruhi
tingkat keterwakilan data pada penelitian ini adalah perbedaan rentang varian serta satuan data pada tujuh variabel pembentuk.
Evolusi dan adaptasi menghasilkan relung ekologi pada setiap jenis makhluk hidup yang merupakan faktor pembatas dalam pemanfaatan sumberdaya.
26 Setiap jenis menempati habitat spesifik yang sesuai dengan lingkungan yang
diperlukan dalam kehidupannya Alikodra 2002. Model habitat yang ideal adalah model yang dapat menggambarkan rentang habitat spesifik dari jenis tersebut.
Pada penelitian ini, persamaan model yang dihasilkan merupakan persamaan dalam bentuk linear, sehingga rentang skor kumulatif kesesuian habitat menjadi
tidak terbatas. Hal ini mengakibatkan tingkat ketepatan model menjadi riskan apabila diaplikasikan di luar areal penelitian.
Implikasi Model Terhadap Pengelolaan 3.4.
Hasil dari model analisis spasial diketahui bahwa sebagian besar areal yang memiliki tingkat kesesuaian habitat yang tinggi bagi EJ berada pada
kawasan TNGHS. Oleh karena itu, kawasan TNGHS merupakan areal yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan EJ. Peta sebaran kelas kesesuaian
EJ dalam kawasan TNGHS bisa dijadikan acuan dasar dalam strategi pelestarian. Salah satu upaya yang mungkin bisa dilakukan adalah pengamanan serta
perlindungan habitat berdasarkan sebaran tingkat kesesuaian habitat yang telah diketahui. Upaya lain yang bisa dilaksanakan adalah pengelolaan habitat dengan
cara rehabilitasi dan pengkayaan habitat pada areal yang memiliki kelas kesesuaian habitat rendah dan sedang yang diharapkan mampu menambah jumlah
populasi EJ guna mencapai program peningkatan populasi 3 spesies terancam punah dari pemerintah. Terdapat sekitar 41,000 ha atau 39.9 kawasan yang
memiliki tingkat kesesuaian rendah dan sedang di kawasan TNGHS, kawasan tersebut dapat dijadikan prioritas pengelolaan dalam peningkatan kualitas habitat
pada EJ. Selain dari itu, upaya rehabilitasi dan pengkayaan habitat diharapkan mampu menghubungkan kantung-kantung habitat EJ sehingga mengurangi resiko
fragmentasi habitat di areal TNGHS. Upaya lainnya yang sudah dilaksanakan adalah program pelepasliaran EJ
dan jenis elang lainya dari pusat-pusat rehabilitasi satwa. Kendala yang sering dijumpai adalah penentuan lokasi atau areal pelepasliaran, dimana informasi dasar
mengenai karakteristik habitat masih bersifat deskriptif dan sulit diaplikasikan di lapangan. Dengan adanya penelitian mengenai karakteristik dan pemodelan
spasial kesesuaian habitat ini diharapkan mampu dijadikan acuan dalam proses identifikasi habitat bagi areal pelepasliaran.
Model kesesuaian habitat yang dihasilkan dari penelitian ini berbentuk persamaan berdasarkan variabel-variabel yang mempengaruhi sebaran EJ. Dengan
demikian, persamaan atau model tersebut dapat diaplikasikan pada kawasan lain yang memiliki karakteristik habitat yang tidak jauh berbeda dengan lokasi
penelitian. Selain dari itu, nilai bobot pada setiap variabel dalam persamaan yang terbentuk merupakan bobot dari nilai variabel sebenarnya real, sehingga mudah
diaplikasikan pada areal lainnya.
27
IV. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 4.1.
Terdapat dua kesimpulan dalam penelitian ini : 1. Model kesesuaian habitat EJ yang terbentuk menunjukkan areal dengan kelas
KT bagi EJ sebagian besar 94.43 berada pada kawasan TNGHS. Hal ini mengindikasikan bahwa TNGHS merupakan areal yang sangat penting bagi
keberadaan EJ. 2. Variabel yang mempengaruhi sebaran EJ di lokasi penelitian adalah
ketinggian, FCD, curah hujan, suhu, jarak dari jalan, jarak dari pemukiman, dan kepadatan penduduk. EJ di lokasi penelitian cenderung menyukai habitat
hutan perbukitan yang cukup basah dan sejuk dengan tingkat gangguan atau aktifitas manusia yang relatif sedikit dibandingkan dengan lokasi lainnya.
Saran 4.2.
1.
TNGHS merupakan areal yang sangat penting bagi keberadaan EJ. Guna menjaga kelestarian populasi EJ, maka areal-areal yang merupakan habitat
utama bagi EJ khususnya di dalam kawasan TNGHS perlu tetap dipertahankan dan dilestarikan.
2.
Terdapat empat patch areal dengan kesesuaian habitat tinggi bagi EJ di areal TNGHS yang saling terpisah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk
menghubungkan tiap kantung habitat tersebut agar keragaman genetik EJ tetap terjaga. Salah satu upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan
pengkayaan jenis vegetasi pada areal dengan kesesuaian habitat sedang dan rendah mengingat vegetasi merupakan salah satu variabel yang
mempengaruhi sebaran EJ.
3.
Model kesesuaian habitat EJ yang telah terbentuk diperoleh dari variabel dengan skala ukur yang luas sehingga model serta inoformasi yang
didapatkan hanya bisa diaplikasikan pada skala makro. Untuk mendapatkan informasi dan model yang spesifik seperti areal berburu atau area bersarang
maka perlu dilakukan kajian dengan skala mikro habitat dengan variabel yang lebih spesifik.
28
V. DAFTAR PUSTAKA
Alder, P.B., J.M. Levine. 2007. Contrasting relationships between precipitation and species richness in space and time. Oikos. 116: 221-232.
Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Braunisch, V, K. Bollmann, Roland F. G, A. H. Hirzel .
2008. Living on the edge—modelling habitat suitability for species at the edge of their
fundamental niche. Ecological Modelling 214: 153–167. Cahyana, AN. 2009. Pemodelan Spasial Habitat Elang Jawa Spizaetus bartelsi
Stresemann, 1924, Elang Hitam Ictinaetus malayanus Temminck, 1822, dan Elang-Ular Bido Spilornis cheela Latham, 1790 dengan
Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Ciamis Bagian Utara. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dale, V.H, PJ. Mulholland, LM. Olsen, JW. Feminella, KO. Maloney, DC. White,
A. Peacock, 3 and T. Foster. 2004. Selecting a suite of ecological indicators for resource management. ASTM International.3-17.
Dewi, H. 2005. Tingkat Kesesuaian Habitat Owa Jawa Hylobates moloch Audebert di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tesis. Sekolah
Pascasrjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ferrier, S. Watson, G. 1996. An Evaluation of the Effectiveness of
Environmental Surrogates and Modelling Techniques in Predicting The Distribution of Biological Diversity
. Armidale, Australia: Environment Australia.
Francis, AP. dan David, JC. 2003. A globally consistent richness-climate relationship for angiosperms. The American Naturalist. 1614: 523–536.
Galbraith, H., J. Price, M. Dixon and J. Stromberg. 2004. Development of hsi models to evaluate risks to riparian wildlife habitat from climate change
and urban sprawl. ASTM International.148-168. Gjershaug JO, Røv N, Nygård T, Prawiradilaga DM, Afianto MY, Hapsoro
Supriatna A. 2004. Home-range size of the javan hawk-eagle Spizaetus bartelsi
estimated from direct observations and radiotelemetry. J. Raptor Res.
38:343-349. Graham CH, Ferrier S, Huettman F, Mortiz C, Peterson AT. 2004. New
developments in museum based informatics and applications in biodiversity analysis. Trends Ecol Evol 19:497–503.
Hadi, A.N. 2002. Studi Karakteristik Wilayah Jelajah Owa Jawa
Hylobates moloch,
Audebert 1798 di Taman Nasional Gunung Halimun Studi Kasus di Resort Cikaniki. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hirzel, A.H., Hausser, J., Chessel, D. Perrin, N. 2002. Ecological-niche factor
analysis: how to compute habitat-suitability maps without absence data. Ecology
. 837: 2027–2036. Hirzel, A.H., Le Lay, G., Helfer, V., Randin, C. Guisan, A. 2006. Evaluating
the ability of habitat suitability models to predict species presences. Ecological Modelling
. 1992: 142–152.
29 Hirzel, A.H., Le Lay, G. 2008. Habitat suitability modelling and niche theory.
Journal of Applied Ecology . 45: 1372–1381.
Kastanya, F. J. P. 2001. Landscape Characteristic Of Javan Hawk-Eagle Habitat’s Using Remote Sensing and GIS In Western Part Of Java. Graduate
Program. Bogor Agricultural University. Bogor. Kumar, S., Stohlgren, T.J. 2009. Maxent modeling for predicting suitable habitat
for threatened and endangered tree Canacomyricamonticola in New Caledonia. Ecology and Natural Environment. 14, pp: 094-098.
Kuswandono. 2010. Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa Spizaetus bartelsi. Tesis. Sekolah Pascasrjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. Li YD. 2008. An Introduction to The Raptors of Southeast Asia. Singapura SN:
Nature Society. Nijman, V. dan R. Sojer. 1998. Field identification of the javan hawk eagle
Spizaetus bartelsi . FORKTAIL 14: 13-16.
Nijman, V, C. R. Shepherd, B van Balen. 2009. Declaration of the javan hawk eagle Spizaetus bartelsi as Indonesia’s National rare animal impedes
conservation of the species. Fauna Flora International. Oryx. 431: 122–128.
Nugroho, S. 2012. Metode Deteksi Degradasi Hutan Menggunakan Citra Satelit Landsat di Hutan Lahan Kering Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Tesis. Sekolah Pascasrjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nursal, W. I. 2004. Stand-Alone Gis Application for Wildlife Distribution And
Habitat Suitability Case Study: Javan Gibbon, Gunung Salak, West Java. Graduate Program. Bogor Agricultural University. Bogor.
[PerMenhut] Peraturan Menteri Kehutanan P.58Menhut-II2013 tentang Strategi Dan Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa Spizaetus bartelsi Tahun
2013-2022. Phillips, S.J. 2004. A maximum entropy approach to species distribution
modeling. Proceedings of the Twenty-First International Conference on Machine Learning. ACM Press, New York, pp. 472-486.
Phillips, S.J. RP. Andersonb, RE. Schapired .
2006. Maximum entropy modeling of species geographic distributions. Ecological Modelling. 190: 231-259.
Phillips, S.J., Dudic, M. 2007. Modeling of species distributions with maxent: new extensions and a comprehensive evaluation. Ecography. 31: 161-175.
Prawiradilaga, D. M. 2006. Ecology and conservation of endangered javan hawk- eagle Spizaetus bartelsi. The Ornithological Society of Japan. Ornithol Sci
5: 177–186. Rikimaru, A. 2003. Concept of FCD Mapping Model and Semi-Expert System.
Japan: Overseas Forestry Consultants Association. Santoso, S. 2002. Buku Latihan Statistik Multivariat. PT Elex Media Komputindo,
Jakarta. Setiadi AP, Rakhman Z, Nurwatha PF, Muchtar M dan Raharjaningtrah W. 2000.
Status, Distribusi, Populasi, Ekologi dan Konservasi Elang Jawa Spizaetus bartelsi, Stressemann 1924 Di Jawa Barat Bagian Selatan
. Bandung: BPFFI-BirdLife International-YPAL-HIMBIO UNPAD.