Daya Saing Komoditi Udang Indonesia Analisis RCA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Daya Saing Komoditi Udang Indonesia Analisis RCA

Analisis daya saing komoditi udang Indonesia di pasar dunia menggunakan pendekatan Revealed Comparative Advantage RCA. Metode ini didasarkan pada konsep perdagangan antarwilayah yang sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu negara. Metode ini diukur berdasarkan kinerja ekspor komoditi udang beku dan tak beku Indonesia terhadap total ekspor seluruh komoditi Indonesia dibandingkan dengan kinerja ekspor udang beku dan tak beku dunia terhadap total ekspor seluruh komoditi dunia. Perhitungan RCA dapat didefinisikan jika pangsa ekspor komoditi udang Indonesia dalam total ekspor komoditinya lebih besar daripada pangsa ekspor komoditi udang dunia dalam total ekspor komoditinya maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dalam produksi dan ekspor komoditi udang. Dalam hal ini jika nilai RCA lebih besar dari 1 RCA 1 berarti komoditi udang Indonesia di atas rata-rata dunia dan Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dalam komoditi udang dan berdaya saing kuat. Tetapi jika nilai RCA kurang dari satu RCA 1 berarti komoditi udang Indonesia berada di bawah rata-rata dunia dan Indonesia tidak mempunyai keunggulan komparatif dalam komoditi udang dan berdaya saing lemah. Hasil analisis daya saing komoditi udang Indonesia udang beku dan tak beku dapat diperlihatkan pada Tabel 5.1 berikut. Tabel 5.1 Daya Saing Udang Beku dan Tak Beku Indonesia Periode 1989-2007 Tahun RCA Udang Tahun RCA Udang 1988 - 1998 14,12 1989 12,35 1999 14,04 1990 11,63 2000 12,45 1991 11,50 2001 12,92 1992 10,19 2002 12,71 1993 10,70 2003 13,15 1994 12,23 2004 12,47 1995 12,81 2005 11,42 1996 12,94 2006 12,01 1997 12,67 2007 12,62 Sumber : Un Comtrade, 2009 diolah Keterangan : RCA 1 : Berdaya saing kuat RCA 1 : Berdaya saing lemah Berdasarkan Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa pada tahun 1989-1993 komoditi udang beku dan tak beku Indonesia berdaya saing kuat karena terlihat dari nilai RCAnya yang lebih besar dari satu hanya saja berkurang nilainya dari 12,35 pada tahun 1989 sampai menjadi 10,70 pada tahun 1993. Hal ini mungkin disebabkan oleh penurunan kualitas udang Indonesia di pasar Jepang akibat penyakit. Adapun pada waktu itu munculnya jenis penyakit bintik-bintik putih White Spot Syndrome yang menyerang komoditas udang windu Indonesia sehingga menurunkan kinerja ekspor udang Indonesia dan membuat daya saing komoditi udang Indonesia menjadi berkurang. Pada tahun 1994-1999 nilai RCA komoditi udang kembali meningkat sampai tahun 1999 yang nilainya sebesar 14,04 dan masih berdaya saing kuat karena bertambahnya pasar ekspor udang Indonesia yaitu selain diekspor ke Jepang juga diekspor ke AS dan Uni Eropa. Diketahui pada periode tersebut mulai terjadinya krisis ekonomi dimana terdepresiasinya nilai tukar rupiah dari level Rp 2.400US pada tahun 1997 sampai ke level Rp 14.900US pada tahun 1998 dan terjadinya kelumpuhan pada sektor industri dan lembaga-lembaga keuangan di Indonesia. Tetapi walaupun terjadi krisis ekonomi, nilai daya saing komoditi udang tidak anjlok, bahkan semakin meningkat sehingga krisis ekonomi tidak berpengaruh terhadap komoditi udang Indonesia. Hal ini disebabkan pada krisis ekonomi 1997 tersebut hanya berimbas pada perekonomian negara-negara di Asia tetapi tidak berpengaruh pada negara-negara pada pasar ekspor udang Indonesia seperti AS atau Uni Eropa sehingga permintaan ekspor udang Indonesia bisa tetap meningkat. Pada tahun 2000-2002 nilai RCA Indonesia cenderung stagnan atau tetap, yaitu sebesar 12,45 pada tahun 2000, 12,92 pada tahun 2001 dan sebesar 12,71 pada tahun 2002. Hal ini mungkin disebabkan masih lesunya ekspor udang Indonesia karena adanya wabah White Spot Syndrome yang menyerang komoditi udang windu Indonesia. Hal ini ditambah dengan adanya penetapan larangan dari pasar ekspor AS dan Eropa pada tahun 2002 untuk negara-negara produsen yang udangnya mengandung Chloraphenicol dan Nitrofurant seperti India dan Pakistan yang berakibat peralihan ekspor udang negara-negara tersebut ke pasar Jepang. Akibatnya persaingan pasar ekspor udang di Jepang semakin ketat dan daya serap Indonesia di pasar ekspor Jepang menjadi berkurang. Akibatnya nilai ekspor udang turun sekitar 30-40 diikuti oleh harga ekspor yang juga berkurang sekitar 20 23 . Meskipun begitu diketahui bahwa komoditi udang Indonesia masih tetap berdaya saing kuat karena lebih besar dari satu. Pada tahun 2003-2005 juga terjadi penurunan pada nilai RCA komoditi udang Indonesia dari 13,15 pada tahun 2003 sampai pada nilai 11,42 pada tahun 2005. Hal ini disebabkan karena adanya standarisasi yang ditetapkan Uni Eropa yang memberatkan negara-negara pengekspor udang 24 . Standarisasi itu melarang tidak boleh adanya binatang di lokasi tambak, pakaian pekerja harus rapi dan bersih, pekerja tidak boleh sakit, dalam air tambak tidak boleh ada bakteri salmonela bakteri yang ada di dalam air dan tidak boleh memakai antibiotik. Menurut Kasubdit Pola Pengembangan Produksi Dirjen Perikanan Budidaya, Chaery Novari, standarisasi itu tidak mungkin semuanya dapat dipenuhi petambak udang Indonesia karena pada umumnya sebagian besar dari 300 ribu ha total luas lahan tambak Indonesia para pekerjanya makan, tidur dan hidup sehari-hari di tambak. Hal ini mengakibatkan penolakan 10 kontainer udang dari Sumatera Utara di pelabuhan Brussels, Belgia. Meskipun mengalami penurunan daya saing, komoditi udang Indonesia masih dapat dikatakan kuat. Terakhir pada tahun 2006-2007 terjadi peningkatan daya saing komoditi udang Indonesia karena terjadi peningkatan nilai RCA dari sebesar 11.42 pada tahun 2005, menjadi 12,01 pada tahun 2006 dan 12,62 pada tahun 2007. Hal ini mungkin disebabkan terjadinya peningkatan kinerja ekspor komoditi udang Indonesia karena adanya perkembangan budidaya jenis udang baru yang tahan 23 Srihartini, R. 2002. “Dollar Turun, Eksportir Udang Menjerit”. http:www.tempointeraktif.combrk,20020616-05,id.html [8 Mei 2009]. 24 Rusdi. 2007. “Indonesia Andalkan FAO Atasi Masalah Budidaya Udang”. http:forum.kapanlagi.comIndonesia-Andalkan-FAO-Atasi-Masalah-Budidaya- Udang0000166668.html [12 Juni 2009]. terhadap penyakit bintik putih White Spot Syndrome yaitu jenis udang vanname yang mulai masuk ke Indonesia pada tahun 2001. Udang vanname ini ditetapkan sebagai jenis benih unggul baru untuk diekspor dan untuk sementara menggantikan jenis udang windu Indonesia. Berdasarkan data dari Tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa nilai RCA komoditi udang Indonesia pada periode 1989-2007 semua nilainya berada di atas pangsa pasar ekspor rata-rata dunia karena lebih besar dari satu RCA 1 sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produksi dan ekspor komoditi udang yang berdaya saing kuat. Untuk dapat mengetahui kinerja ekspor komoditi udang Indonesia yaitu pada jenis udang beku dan tak beku Indonesia dapat dilihat melalui indeks komoditi udang Indonesia di pasar dunia pada Tabel 5.2 Tabel 5.2 Indeks RCA Komoditi Udang Indonesia di Pasar Internasional Tahun Indeks RCA Tahun Indeks RCA 1988 - 1998 1,11 1989 - 1999 0,99 1990 0,94 2000 0,88 1991 0,99 2001 1,04 1992 0,88 2002 0,98 1993 1,05 2003 1,03 1994 1,14 2004 0,95 1995 1,05 2005 0,91 1996 1,01 2006 1,05 1997 0,98 2007 1,05 Sumber : UN Comtrade, 2009 diolah Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui bahwa pada tahun 1990-1992 indeks RCA komoditi udang Indonesia di bawah satu yaitu sebesar 0,94 pada tahun 1990 sampai sebesar 0,88 pada tahun 1992. Dapat disimpulkan bahwa pada periode 1990-1992 telah terjadi penurunan RCA komoditi udang Indonesia atau kinerja ekspor udang Indonesia di pasar dunia lebih rendah dari tahun sebelumnya. Kemudian pada periode 1993-1996 indeks RCA komoditi udang Indonesia lebih besar dari satu yaitu sebesar 1,05 pada tahun 1993 sampai sebesar 1,01 pada tahun 1996. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada tahun 1993-1996 telah terjadi kenaikan RCA atau kinerja ekspor udang Indonesia di pasar dunia tahun 1993-1996 lebih tinggi daripada tahun sebelumnya. Begitu pula pada nilai-nilai indeks RCA pada tahun-tahun berikutnya yaitu pada tahun 1997, 1999, 2000, 2002, 2004 dan 2005 menunjukkan nilai kurang dari satu seperti tahun 2000 sebesar 0.88 atau pada tahun 2004 sebesar 0,95 artinya telah terjadi penurunan RCA di tahun-tahun tersebut atau kinerja ekspor udang Indonesia di pasar dunia lebih rendah pada tahun-tahun tersebut daripada tahun-tahun sebelumnya. Lalu pada tahun 1998, 2001, 2003, 2006 dan 2007 nilai indeks RCA nya lebih besar daripada satu seperti 1,11 pada tahun 1998 atau 1,05 pada tahun 2006 dan 2007 yang artinya telah terjadi kenaikan RCA atau kinerja ekspor komoditi udang Indonesia di pasar dunia pada tahun-tahun tersebut lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya.

5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Komoditi Udang Indonesia