8 Kolaborasi Kerjasama adalah gaya menangani konflik sama-sama
menang. Orang yang memilih gaya ini mencoba mengadakan pertukaran informasi. Ada keinginan untuk melihat sedalam mungkin semua perbedaan yang
ada dan mencari pemecahan yang disepakati semua pihak. Gaya ini erat kaitannya dengan metode memecahkan persoalan dan paling efektif untuk
persoalan yang kompleks Pickering 2001; Hendricks 2004. Gaya penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu obliging
menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Strategi rela membantu berperan dalam menyempitkan perbedaan
antarkelompok dan mendorong mereka untuk mencari kesamaan dasar. Gaya penyelesaian konflik dengan mendominasi meremehkan kepentingan
orang lain. Gaya ini adalah strategi yang efektif bila suatu keputusan yang cepat dibutuhkan atau jika persoalan tersebut kurang penting. Gaya mendominasi
sangat membantu jika kurang pengetahuan atau keahlian tentang isu yang menjadi konflik. Strategi ini paling baik dipakai bila dalam keadaan terpaksa.
Gaya penyelesaian konflik dengan menghindar avoiding tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain. Bila suatu isu tidak
penting, tindakan menangguhkan dibolehkan untuk mendinginkan konflik. Inilah penggunaan gaya penyelesaian konflik menghindar yang paling efektif. Gaya ini
juga efektif bila waktu memang dibutuhkan. Gaya penyelesaian konflik dengan kompromi compromising adalah
orientasi jalan tengah. Dalam kompromi, setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan menerima sesuatu. Kompromi akan menjadi salah bila salah satu
sisi salah. Kompromi adalah efektif sebagai alat bila isu itu kompleks atau bila ada keseimbangan kekuatan. Kompromi dapat menjadi pilihan bila metode lain
gagal dan dua kelompok mencari penyelesaian jalan tengah.
2.1.3. Contoh Kasus: Konflik Kehutanan di Indonesia
Kurang lebih 30 belahan bumi adalah hutan, sehingga menjadi sumberdaya alam yang sangat penting. Pada banyak komunitas, hutan
merupakan sumber pangan, pemenuhan energi dan hasil hutan bukan kayu yang sangat signifikan dalam proporsi pendapatan rumah tangga. Kompetisi dalam
menggunakan dan mengeksploitasi sumberdaya ini merupakan pemicu krisis dan konflik. Di negara berkembang, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
hutan menjadi wilayah konflik, misalnya karena dalam wilayah sengketa, didiami
9 oleh beragam kelompok etnis, kebijakan yang keliru, atau diklaim oleh kelompok-
kelompok yang berbeda secara simultan OECD 2005. Secara khusus, Wulan et al. 2004 melakukan analisis konflik sektor
kehutanan di Indonesia dalam periode 1997 sampai dengan 2003. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa dalam periode tersebut tercatat 359
peristiwa konflik, 39 diantaranya terjadi di areal Hutan Tanaman Industri, 27 di areal Hak Pengusahaan Hutan, dan 34 di kawasan konservasi. Faktor
penyebab konflik-konflik ini, yaitu karena masalah tata batas, pencurian kayu, perambahan hutan, kerusakan lingkungan dan peralihan fungsi kawasan.
Menurut Sardjono 2004 penyebab konflik sosial berkaitan dengan hutan dan kehutanan dapat dikelompokkan secara umum menjadi penyebab yang
sifatnya obyektif dan penyebab yang sifatnya subjektif. Penyebab obyektif berarti bahwa antarkelompok pengguna hutan memiliki kepentingan yang berbeda
terhadap sumberdaya yang sama. Sedangkan penyebab subyektif merupakan hasil dari perbedaan budaya yang tidak pernah diperhitungkan semula. Pihak
pengelola kawasan hutan mendasarkan setiap tindakan yang dilakukan didasarkan pada aspek legal formal dan kepentingan usahanya, sedangkan
pihak masyarakat lokal lebih melihat pada aspek kesejarahan dan keadilan. Davis et al. 2001 menyebutkan bahwa mengelola hutan berarti
memanfaatkan hutan untuk mencapai tujuan pokok dari pemilik hutan dan masyarakat banyak negara. Karenanya, jika tujuan pokok tersebut tidak
tercapai maka kawasan itu dapat dikatakan tidak terkelola. Kinerja buruk kawasan hutan yang tidak terkelola menurut Kartodihardjo 2003 hanyalah
merupakan sympton, masalah utamanya adalah kelembagaan pemerintah dan birokrasinya belum tertata
Jika lebih dicermati, konflik-konflik kehutanan terjadi karena ada perubahan tertentu. Namun demikian, menurut Baron et al. 2004 konflik juga
bisa menciptakan perubahan asalkan ada proses pengelolaan yang efektif. Bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, konflik wilayah hidup
tidak bisa dilihat dari konflik saja namun perlu dilihat dalam kerangka krisis modal sosial dan krisis modal kehidupan Kartodihardjo dan Jhamtani 2006.
Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani 2006 apabila transformasi sosial masyarakat mengarah pada penguatan institusi dan kohesi sosial maka
masyarakat itu akan mampu mencegah dan atau mengelola konflik. Konflik mungkin bisa menjadi alat bantu perubahan ke arah yang lebih baik. Pertanyaan
10 atas pernyataan tersebut adalah ―Bagaimana menciptakan transformasi sosial
yang mampu mengarahkan pada penguatan institusi dan kohesi sosial?‖.
2.2. Aksi Partisipatif; Upaya Transformasi Sosial 2.2.1. Mengapa harus partisipasi