Makanan, Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Pelangi Arfak (Melanotaenia arfakensis Allen) di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokrawi

(1)

DI SUNGAI NIMBAI DAN SUNGAI AIMASI, MANOKWARI

EMMANUEL MANANGKALANGI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Makanan, Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Pelangi Arfak (Melanotaenia arfakensis, Allen) di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokwari” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2009

Emmanuel Manangkalangi NRP C151050101


(3)

ABSTRACT

EMMANUEL MANANGKALANGI. Food, Growth and Reproduction of Rainbow Arfak (Melanotaenia arfakensis Allen) in Nimbai and Aimasi Streams, Manokwari. Under direction of SULISTIONO, M. F. RAHARDJO and DJADJA S. SJAFEI.

Research aimed to study on food, growth, and reproduction of arfak rainbowfish (Melanotaenia arfakensis) in Nimbai and Aimasi streams, in Prafi river systems conducted from June to December 2007. Samplings were collected out monthly using hand net in four different habitat types. During June to September which had low flow, especially in slow and medium littoral habitats, abundance of plankton, benthic and drifting macroinvertebrates were high, and temperature was warm. Gut content dominated by insect groups, i.e. Diptera, Ephemeroptera, Coleoptera, and Trichoptera. There were trends of food electivity to natural abundance conditions. Intestinal length was relatively shorter compared to standard length, ranged 0.31-0.62. Male fish grew faster than female, so attained earlier maturation stage. There was no different proportion in both sexes, with habitat type and time. This species has relative low fecundity, producing 23-1,351 eggs with relative larger diameter (0.5-1.3 mm). Large egg diameter that distributed in posterior of ovarium, 2-3 modes, and presence of atretic eggs indicating that the fish was multiple spawner. Based on gonado-somatic index (GSI), condition factor, presence of eggs and larvae in limited period, spawning season in both location occurred from June to September, with low flow condition. The consentration of reproduction to the dry season ensured that larvae were produced during a period of relatively stable and benign physical conditions. In addition, during this periods, both of streamside habitats supported food abundance, warmer temperature, and availability of submerged vegetation, so were essensial for spawning and nursering. In order to maintain the population of this species, both of these streams as their natural habitats must be reserved, thereby its life cycles could go on.


(4)

Pelangi Arfak (Melanotaenia arfakensis Allen) di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokwari. Dibimbing oleh SULISTIONO, M. F. RAHARDJO dan DJADJA S. SJAFEI.

Ikan pelangi arfak (M. arfakensis) adalah salah satu sumberdaya hayati yang endemik di beberapa sungai di Manokwari, dan statusnya saat ini sudah berada dalam kategori rentan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi makanan, pertumbuhan dan reproduksi ikan pelangi arfak secara temporal di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokwari. Pada kedua lokasi penelitian ditetapkan empat tipe habitat untuk pengambilan contoh organisme dan parameter lingkungan, yaitu daerah lubuk (L), daerah beraliran deras (AD), tepi sungai beraliran sedang (TAS), dan tepi beraliran lambat (TAL). Pengambilan contoh ikan pelangi, plankton dan makroavertebrata serta pengukuran parameter perairan dilakukan setiap bulan yang dimulai dari Juni-Desember 2007.

Kecepatan aliran air pada tipe habitat di bagian tepi sungai (TAL dan TAS) lebih lambat dibandingkan dua tipe habitat lainnya (AD dan L). Rata-rata kecepatan aliran air yang rendah terjadi selama Juni-Oktober. Debit air berkisar 0,987-2,192 di S. Nimbai dan 5,924-13.417 m3/detik di S. Aimasi. Konsentrasi oksigen terlarut secara keseluruhan berkisar 4,73-7,41 mg/l di S. Nimbai dan 5,09-7,98 mg/l di S. Aimasi. Tipe habitat TAL dan TAS menunjukkan konsentrasi oksigen terlarut lebih rendah. Nilai pH pada semua tipe habitat bersifat basa (7,91-8,65). Nilai kekeruhan berkisar 0,16-2,97 NTU di S. Nimbai dan 0,97-5,03 NTU di S. Aimasi. Nilai rata-rata kekeruhan tertinggi ditemukan selama Agustus, November dan Desember. Beberapa vegetasi riparian (I. cylindrica, S. spontaneum, C. diffusa, C. ternatea, dan Mikania sp.) ditemukan dalam kondisi sebagian terendam pada tipe habitat TAL dan TAS.

Kelimpahan plankton yang ditemukan pada kedua lokasi relatif rendah (<1,04 individu/liter) dan didominasi oleh kelompok Chlorophyta dan Bacillariophyta. Kelimpahan plankton yang lebih tinggi ditemukan pada habitat di bagian tepi. Makroavertebrata yang ditemukan terutama dari kelompok Insekta (tahap larva dan pupa). Kelimpahan makroavertebrata bentik yang tinggi ditemukan pada tipe habitat beraliran lambat (TAL dan TAS) dan pada saat kondisi debit air yang rendah. Dua kelompok Insekta yang ditemukan lebih melimpah pada semua tipe habitat dan waktu yaitu Diptera dan Ephemeroptera. Beberapa kelompok makroavertebrata juga ditemukan dalam kondisi hanyut dan kelimpahannya yang tinggi ditemukan pada saat kondisi aliran rendah (Juli-Oktober) pada habitat di daerah tepi (TAL dan TAS).

Tahap perkembangan ikan pelangi arfak yang ditemukan meliputi telur, larva, juvenil, individu muda dan dewasa. Tahap perkembangan awal ditemukan hanya di bagian tepi (TAL dan TAS), sedangkan individu muda dan dewasa ditemukan pada semua tipe habitat.

Isi lambung ikan pelangi arfak di kedua lokasi didominasi oleh kelompok insekta, yaitu Diptera, Ephemeroptera, Coleoptera, dan Trichoptera. Juga terdapat kecenderungan pemilihan makanan yang ditemukan dalam kondisi melimpah di alam. Panjang usus relatif berkisar di antara 0,31-0,62.

Individu jantan tumbuh lebih cepat dan ditandai dengan koefisien pertumbuhan (K) yang lebih besar di kedua lokasi. Nilai rata-rata faktor kondisi yang relatif lebih tinggi ditemukan selama periode Juni-September di S. Nimbai dan Juli-September di S. Aimasi.

Perbandingan jumlah individu jantan dan betina relatif sama. Ukuran tubuh individu jantan pada saat pertama kali matang gonad lebih kecil dibandingkan betina. Nilai rata-rata IKG pada individu jantan dan betina yang ditemukan di Sungai Nimbai masing-masing


(5)

berkisar 0,275-0,69 dan 0,60-1,95, sedangkan di Sungai Aimasi berkisar 0,43-0,90 dan 0,57-1,94. Nilai rata-rata IKG yang tinggi pada individu jantan dan betina di S. Nimbai ditemukan selama Juni-Agustus, sedangkan di lokasi Aimasi ditemukan selama Juli-Agustus.

Jumlah telur yang dihasilkan berkisar 23-1351 butir. Koefisien korelasi (r) di antara fekunditas dan panjang baku cukup tinggi. Diameter telur berkisar di antara 0,5 dan 1,3 mm. Rata-rata diameter telur di bagian posterior ovari lebih besar, sebarannya terdiri atas 2-3 modus, dan kehadiran telur-telur matang sisa (atretic) menjadi indikasi tipe reproduksi pemijah bertahap. Berdasarkan nilai rata-rata IKG, faktor kondisi, keberadaan telur dan larva mengindikasikan aktivitas pemijahan yang lebih tinggi selama Juni-September pada kondisi debit air yang relatif lebih rendah. Konsentrasi upaya reproduksi selama periode ini adalah suatu adaptasi agar larva sedikit mungkin mangalami pemindahan secara fisik atau mortalitas yang tinggi. Selama periode ini juga, khususnya di bagian tepi sungai ditemukan kelimpahan makanan (plankton dan makroavertebrata) yang lebih tinggi serta suhu air yang lebih hangat sehingga memungkinkan metabolisme dan pertumbuhan larva menjadi lebih cepat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pertumbuhan dan reproduksi ikan pelangi arfak sangat berkaitan dengan kondisi temporal hidrologis sungai dan keberadaan vegetasi di bagian tepi sungai. Namun, adanya berbagai aktivitas penebangan hutan untuk lahan perkebunan kelapa sawit, pertanian dan pemukiman, terutama di bagian utara dari lokasi penelitian ini akan mempengaruhi kondisi habitat alami ikan pelangi arfak. Oleh karena itu perlu adanya upaya pelestarian populasi ikan pelangi arfak melalui konservasi habitat alaminya dan secaraex-situ, agar proses siklus hidupnya bisa berlangsung dengan baik dan terjaga kelestariannya.


(6)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

MAKANAN, PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI

IKAN PELANGI ARFAK (

Melanotaenia arfakensis

ALLEN)

DI SUNGAI NIMBAI DAN SUNGAI AIMASI, MANOKWARI

EMMANUEL MANANGKALANGI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

(9)

Puji dan syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena dengan rahmat-Nya sehingga laporan penelitian dengan judul “Makanan, Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Pelangi Arfak (Melanotaenia arfakensis Allen) di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokwari” dapat diselesaikan. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kondisi makanan, pertumbuhan dan reproduksi ikan pelangi arfak sebagai dasar bagi upaya menjaga kelestarian populasinya pada habitat alami.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc., Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA. dan Dr. Ir. Djadja S. Sjafei selaku komisi pembimbing yang dengan kesabaran dan ketulusan hati telah membimbing dalam penyusunan laporan penelitian ini, serta kepada Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA selaku penguji luar komisi pada ujian tesis. Ungkapan terima kasih pula disampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Perairan IPB beserta staf, Rektor UNIPA beserta staf, Ditjen Dikti yang telah memberikan dana BPPS, Depdiknas melalui Program Beasiswa Unggulan P3SWOT, Program Mitra Bahari-Coremap II dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang telah memberikan dana bantuan penulisan tesis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kepada kedua orang tua, istri, dan seluruh keluarga atas dukungan doa, material, dan kasih sayang mereka. Juga penulis menyampaikan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu kegiatan di lapangan maupun di laboratorium, yaitu Simon P.O. Leatemia, S.Pi., Luky Sembel, S.Ik., Agustinus Lebang, S.Pi., Benyamin Mandosir, S.Pi., Hengky Kaiway, S.Pi., Novalius S. Leatemia, S.P., M.Si. Demikian juga penulis menyampaikan terima kasih kepada Ir. Fadly Y Tantu, M.Si., Ir. Yusri Nilawati, M.Sc. dan Muslih, S.Pi. yang telah memberi bantuan literatur dan motivasi hingga bisa selesainya laporan ini, serta kepada semua pihak lainnya yang telah membantu kegiatan penelitian ini.

Bogor, Juli 2009


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 dari Ayah Judson Bowohiabe Makasunggal dan Ibu Dorothea Lamoyer Manangkalangi. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi dan lulus tahun 1998. Selanjutnya pada tahun 1999-2002, penulis mengabdi sebagai dosen luar biasa di almamaternya. Semenjak tahun 2002, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua. Pada tahun 2005 penulis diberi kesempatan mengikuti program magister sains di Program Studi Ilmu Perairan IPB atas bantuan dana dari BPPS.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 1

1.3 Tujuan dan Manfaat ………..…….. 2

1.4 Hipotesis ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ..……….…..…... 4

2.1 Tipologi Perairan Sungai Bagian Ritral ………..… 4

2.2 Bioekologi Ikan Pelangi ... 4

2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Pelangi Arfak ... 4

2.2.2 Distribusi dan Habitat ... 6

2.2.3 Pertumbuhan ... 6

2.2.4 Reproduksi ... 7

3. METODE ………...………..….. 11

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………..……….... 11

3.2 Metode dan Desain Penelitian ... 11

3.2.1 Penentuan Tipe Habitat ………..…………...……… 11

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 13

3.2.3 Analisis Data ... 15

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1 Karakteristik Lokasi Penelitian …....………...……… 19

4.1.1 Hidrologi ... 19

4.1.2 Suhu Air ... 20

4.1.3 Oksigen Terlarut ... 20

4.1.4 Nilai pH ... 21

4.1.5 Kekeruhan ... 22

4.1.6 Vegetasi ... 23

4.1.7 Komposisi dan Kelimpahan Biota ... 24

4.2 Pertumbuhan Ikan Pelangi Arfak …………...……… 31

4.2.1 Tahap Perkembangan dan Karakteristik Seksual ... 31

4.2.2 Distribusi Spasial Tahap Perkembangan dan Ukuran Ikan ... 33

4.2.3 Makanan ... 35

4.2.4 Komposisi Ukuran Panjang Tubuh, Berat Tubuh dan Pertumbuhan ... 37

4.2.5 Faktor Kondisi ... 40

4.3 Reproduksi Ikan Pelangi Arfak ... 41

4.3.1 Perbandingan Kelamin ... 41

4.3.2 Perkembangan Gonad ... 41

4.3.3 Ukuran Pertama Kali Matang Gonad ... 47

4.3.4 Fekunditas ... 48

4.3.5 Diameter Telur ... 49

4.3.6 Musim Pemijahan dan Strategi Reproduksi ... 51


(12)

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 56

5.1 Simpulan ………...……… 56

5.2 Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ………..………... 57


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman

1. Persamaan pertumbuhan pada ikan pelangi ... 6

2. Ukuran panjang baku (PB) ikan pelangi saat matang gonad ... 7

3. Fekunditas dan diameter telur pada beberapa ikan pelangi ... 9

4. Posisi geografis dan ketinggian setiap tipe habitat di lokasi penelitian ... 11

5. Debit air, jumlah hari hujan dan rata-rata curah hujan tahun 2007 ... 20

6. Komposisi plankton pada setiap tipe habitat di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 24

7. Komposisi makroavertebrata pada setiap tipe habitat di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 27

8. Persentase kelimpahan famili makroavertebrata bentik yang dominan ... 29

9. Jumlah individu setiap tahap perkembangan awal ikan pelangi arfak berdasarkan waktu penangkapan di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 32

10. Indeks bagian terbesar makanan ikan pelangi arfak yang dominan di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 36

11. Indeks pilihan makanan ikan pelangi arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 36

12. Panjang usus relatif ikan pelangi arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 37

13. Ukuran panjang baku (PB) dan berat tubuh ikan pelangi arfak berdasarkan tahap perkembangan dan jenis kelamin di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 37

14. Indeks kematangan gonad ikan pelangi arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 47

15. Ukuran panjang baku pertama kali matang gonad ikan pelangi arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 48

16. Fekunditas ikan pelangi arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 48

17. Ukuran diameter telur ikan pelangi arfak berdasarkan bagian gonad di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 50

18. Beberapa modus diameter telur ikan pelangi arfak berdasarkan TKG di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 50


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Teks Halaman

1. Diagram alir pendekatan dan pemecahan masalah ... 3 2. Dimorfisme dan dikromatisme seksual padaM. arfakensis... 5 3. Telur-telur yang menempel pada tumbuhan air (Allen 1995) dan

beberapa tahap perkembangannya (Humphreyet al.2003) ... 9 4. Morfologi larva beberapa jenis ikan pelangi ... 10 5. Lokasi penelitian (Sumber: dimodifikasi dari Bakorsurtanal 2006),

sistem ordo dan daerah tangkapan air serta skema tipe habitat di lokasi (a) S. Nimbai dan (b) S. Aimasi ……... 12 6. Kecepatan aliran air pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran

di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 19 7. Suhu air pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran di S. Nimbai

dan S. Aimasi ... 20 8. Konsentrasi oksigen terlarut pada setiap tipe habitat dan waktu

pengukuran di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 21 9. Nilai pH pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran di S. Nimbai

dan S. Aimasi ... 22 10. Tingkat kekeruhan air pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran

di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 23 11. Kelimpahan plankton pada setiap tipe habitat dan waktu pengambilan

contoh di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 25 12. Kelimpahan makroavertebrata bentik pada setiap tipe habitat dan

waktu pengambilan contoh di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 28 13. Kelimpahan makroavertebrata hanyut pada setiap tipe habitat dan

waktu pengambilan contoh di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 30 14. Kumpulan telur ikan pelangi arfak yang ditemukan pada habitat tepi

beraliran lambat di S. Aimasi ... 31 15. Larva ikan pelangi arfak (a) PB 4,03 mm dan (b) PB 6,14 mm yang

ditemukan pada habitat tepi beraliran lambat di S. Nimbai ... 32 16. Juvenil ikan pelangi arfak (PB 11,08 mm) yang ditemukan pada

habitat beraliran lambat di S. Aimasi ... 32 17. Perbandingan tinggi tubuh terhadap panjang baku individu jantan

dan betina ikan pelangi arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 33 18. Pemanfaatan tipe habitat oleh setiap tahap perkembangan ikan pelangi

arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 34 19. Sebaran panjang baku individu jantan dan betina ikan pelangi arfak


(15)

20. Sebaran panjang baku individu jantan dan betina ikan pelangi arfak

di S. Aimasi ... 38 21. Kurva pertumbuhan ikan pelangi arfak berdasarkan jenis kelamin

di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 39 22. Faktor kondisi ikan pelangi arfak berdasarkan jenis kelamin dan

waktu penangkapan di (a) S. Nimbai dan (b) S. Aimasi ... 40 23. Struktur morfologis testes dan ovari ikan pelangi arfak berdasarkan

TKG ... 43 24. Tahap perkembangan struktur histologis testes ikan pelangi arfak ... 44 25. Tahap perkembangan struktur histologis ovari ikan pelangi arfak ... 45 26. Persentase jumlah individu ikan pelangi arfak pada berbagai TKG

berdasarkan waktu penangkapan di (a) S. Nimbai dan (b) di S. Aimasi ... 46 27. Hubungan fekunditas dan panjang baku ikan pelangi arfak

di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 49 28. Sebaran diameter telur ikan pelangi arfak pada tingkat kematangan

gonad IV dan V di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 51 29. Kumpulan oosit dengan berbagai diameter yang ditemukan dalam ovari


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Teks Halaman

1. Skema fiksasi contoh gonad ... 65

2. Skema pewarnaan sediaan histologis gonad ... 66

3. Tipe habitat pada lokasi penelitian ... 67

4. Jenis plankton yang ditemukan di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 68

5. Jenis makroavertebrata yang ditemukan di S. Nimbai dan S. Aimasi ... 70

6. Jenis vegetasi riparian di bagian tepi S. Nimbai dan S. Aimasi ... 81

7. Rata-rata, kisaran panjang baku dan jumlah individu ikan pelangi arfak pada setiap tipe habitat dan waktu penangkapan di S. Nimbai ... 82

8. Rata-rata, kisaran panjang baku dan jumlah individu ikan pelangi arfak pada setiap tipe habitat dan waktu penangkapan di S. Aimasi ... 83

9. Komposisi makanan, indeks bagian terbesar (I) dan indeks pilihan makanan (E) ikan pelangi arfak di S. Nimbai ... 84

10. Komposisi makanan, indeks bagian terbesar (I) dan indeks pilihan makanan (E) ikan pelangi arfak di S. Aimasi ... 85

11. Ringkasan analisis pertumbuhan ikan pelangi arfak jantan di S. Nimbai dengan menggunakan program FiSAT II dan excel ... 86

12. Ringkasan analisis pertumbuhan ikan pelangi arfak betina di S. Nimbai dengan menggunakan program FiSAT II dan excel ... 87

13. Ringkasan analisis pertumbuhan ikan pelangi arfak jantan di S. Aimasi dengan menggunakan program FiSAT II dan excel ... 88

14. Ringkasan analisis pertumbuhan ikan pelangi arfak betina di S. Aimasi dengan menggunakan program FiSAT II dan excel ... 89

15. Perbandingan kelamin ikan pelangi arfak pada lokasi S. Nimbai ... 90

16. Perbandingan kelamin ikan pelangi arfak pada lokasi S. Aimasi ... 91

17. Ringkasan analisis sidik ragam dan Uji Tukey IKG individu jantan ikan pelangi arfak di S. Nimbai berdasarkan waktu penangkapan ... 92

18. Ringkasan analisis sidik ragam dan Uji Tukey IKG individu betina ikan pelangi arfak di S. Nimbai berdasarkan waktu penangkapan ... 93

19. Ringkasan analisis sidik ragam dan Uji Tukey IKG individu jantan ikan pelangi arfak di S. Aimasi berdasarkan waktu penangkapan ... 94

20. Ringkasan analisis sidik ragam dan Uji Tukey IKG individu betina ikan pelangi arfak di S. Aimasi berdasarkan waktu penangkapan ... 95

21. Analisis pendugaan ukuran pertama kali matang gonad individu jantan ikan pelangi arfak di S. Nimbai menggunakan metode Spearman-Karber ... 96


(17)

22. Analisis pendugaan ukuran pertama kali matang gonad individu betina ikan pelangi arfak di S. Nimbai menggunakan metode

Spearman-Karber ... 98 23. Analisis pendugaan ukuran pertama kali matang gonad individu

jantan ikan pelangi arfak di S. Aimasi menggunakan metode

Spearman-Karber ... 100 24. Analisis pendugaan ukuran pertama kali matang gonad individu

betina ikan pelangi arfak di S. Aimasi menggunakan metode

Spearman-Karber ... 102 25. Ringkasan analisis sidik ragam dan Uji Tukey diameter oosit ikan

pelangi arfak di S. Nimbai berdasarkan bagian ovari ... 104 26. Ringkasan analisis sidik ragam dan Uji Tukey diameter oosit ikan


(18)

1.1 Latar Belakang

Ikan pelangi arfak (Melanotaenia arfakensis) adalah salah satu sumberdaya hayati yang endemik di perairan tawar Papua, khususnya pada beberapa sungai di Manokwari. Jenis ini memiliki potensi sebagai ikan hias karena warna tubuhnya yang cemerlang dan ukuran yang relatif kecil. Selain itu, di daerah Kebar, ikan yang dikenal dengan nama ”Wadjen” ini juga ditangkap untuk dikonsumsi oleh masyarakat setempat (Manangkalangi & Pattiasina 2005).

Keberadaan jenis ikan pelangi arfak saat ini cukup banyak mengalami tekanan, dan statusnya sudah berada dalam kategori rentan (vulnerable) dengan kriteria A2ce (IUCN 2006) sehingga perlu dilakukan langkah-langkah konservasi. Selain penyebarannya yang sangat terbatas (hanya pada beberapa sungai di Manokwari), menurut Allen (1995) dan Polhemus et al. (2004) hal ini berkaitan dengan perubahan habitat alaminya yang disebabkan oleh aktivitas penebangan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertanian serta pemukiman transmigrasi. Juga, kelompok ikan ini mudah tersaingi atau dimangsa oleh ikan-ikan introduksi (Allen 1991; Polhemus et al. 2004), misalnya Clarias batrachus seperti yang dilaporkan di lokasi Prafi (Allen 1995).

Walaupun telah ada informasi mengenai aspek taksonomi dan distribusi (Allen 1991; 1995), morfologi (Tapilatu & Renyaan 2005), parasit (Sabariahet al. 2005), makanan (Sabariah et al. 2006), serta reproduksi dan pertumbuhan (Manangkalangi & Pattiasina 2005), namun informasi ini masih relatif terbatas. Mengingat banyaknya gangguan terhadap populasi ikan ini dan untuk kelestariannya maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui aspek biologi dan ekologinya sebagai dasar bagi upaya pengelolaan sumberdaya hayati ini.

1.2 Perumusan Masalah

Populasi ikan pelangi arfak yang terdapat di bagian hulu Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi diperkirakan akan mengalami degradasi. Penurunan populasi ikan ini diduga disebabkan oleh perubahan habitat alaminya akibat aktivitas penebangan hutan untuk lahan perkebunan kelapa sawit, pertanian dan permukiman. Kondisi ini akan berdampak pada perubahan kondisi hidrologi


(19)

sungai (peningkatan intensitas banjir) yang mengakibatkan peningkatan erosi di bagian tepi sungai dan masukan partikel tersuspensi ke dalam kolom air sungai, berkurangnya habitat insekta sebagai sumber makanan serta berkurangnya habitat pemijahan bagi ikan pelangi arfak. Perubahan kondisi habitat alami ini selanjutnya bisa berdampak pada terganggunya proses pertumbuhan dan reproduksi ikan pelangi arfak. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai aspek pertumbuhan dan reproduksi ikan pelangi arfak secara spasial dan temporal. Kerangka pendekatan dan pemecahan masalah yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi makanan, pertumbuhan dan reproduksi ikan pelangi arfak secara temporal pada beberapa tipe habitat di Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi, Manokwari. Diharapkan melalui penelitian ini dapat ditentukan waktu dan tipe habitat yang sesuai bagi pertumbuhan dan reproduksinya, sehingga proses siklus hidup ikan pelangi arfak (M. arfakensis) yang endemik ini dapat berlangsung dengan baik dan terjaga kelestariannya.

1.4 Hipotesis

Pertumbuhan somatik ikan pelangi arfak ditentukan oleh tingkat kelimpahan makanan, dan pertumbuhan reproduktif sebagai kelanjutannya sangat ditentukan oleh kondisi hidrodinamika sungai. Oleh karena itu, apabila pada suatu periode waktu tersedia cukup makanan dan habitat pemijahan maka pertumbuhan ikan pelangi arfak akan menjadi lebih baik sehingga potensial untuk matang gonad atau siap memijah.


(20)

Hidro- – dinamika

Tipe + Adaptasi Habitat

?

Spasial & Temporal –

Dinamika Pertumbuhan + +

Populasi -Reproduktif Makanan TKG

- Somatik ? ?

Input Proses Output

Gambar 1. Diagram alir pendekatan dan pemecahan masalah Hidrologi

- Kec. Aliran air

- Debit air

Struktur Populasi

Kelestarian ikan pelangi arfak Substrat reproduksi

(makrofita) Kualitas Air

Makanan

- Plankton

- Makroavertebrata

Ikan pelangi arfak

Habitat


(21)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tipologi Perairan Sungai Bagian Ritral

Bagian ritral ditujukan pada sungai-sungai berukuran kecil (stream) dan anak-anak sungai (tributary) yang terdapat di pegunungan atau perbukitan dengan kemiringan lebih dari 0,15% (Angelier 2003). Bagian ini dimulai pada sungai-sungai dari saluran ordo 2, yaitu pertemuan sungai-sungai pada hypocrenalsampai sungai ordo 4 (hyporhithral). Sungai bagian ritral dicirikan dengan arus yang cepat dan bergolak (turbulent), substrat kasar yang terdiri atas batuan, batuan berukuran lebih kecil (rubble), kerikil (pebbles), dan kerikil berukuran lebih kecil (gravel), serta dengan konsentrasi oksigen terlarut yang sama dengan kejenuhan (Angelier 2003).

Pada perairan sungai terdapat dua tipe habitat yang umumnya jelas, yakni tipe habitat mengalir dan tenang. Walaupun demikian, kedua tipe ini bisa dibagi lagi secara spesifik berdasarkan kedalaman dan kecepatan arusnya, kedalaman dan ada atau tidaknya pergolakan air (Hawkinset al. 1993). Beberapa contoh tipe habitat ini di antaranya adalah daerah sungai beraliran deras (run), lubuk (pool), daerah tepi sungai (littoral) dan daerah limpasan (backwater). Copp (1992) membagi habitat tepi menjadi tiga berdasarkan kecepatan aliran air, yaitu: habitat tepi yang tenang (still littoral) dengan kecepatan aliran air 0-0,02 m/detik; habitat tepi beraliran lambat (slow littoral) dengan kecepatan 0,07-0,22 m/detik; dan habitat tepi beraliran sedang (medium littoral) dengan kecepatan 0,17-0,47 m/detik.

2.2 Bioekologi Ikan Pelangi

2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Pelangi Arfak

Klasifikasi ikan pelangi arfak (Melanotaenia arfakensis Allen) menurut Allen (1991) dan Nelson (2006) sebagai berikut:

Filum : Chordata Kelas : Osteichthyes

Ordo : Athriniformes Famili : Melanotaeniidae

Subfamili : Melanotaeniinae Genus :Melanotaenia


(22)

Deskripsi M. arfakensis berdasarkan Allen (1991; 1995) dan Nelson (2006) sebagai berikut. Bentuk tubuh pipih menyamping (compressed); terdapat dua sirip punggung yang terpisah oleh celah yang sempit di antaranya, D1. IV-VI; D2. I.12-16; P. 13-15; A. I.22-25; sisik di bagian depan sirip punggung 15-18; sisik di bagian pipi 13-17; perbandingan tinggi tubuh yang paling tinggi pada individu jantan terhadap panjang baku 34,0-38,7%; warna secara umum lembayung muda dengan garis kebiru-biruan di bagian sisi tengah tubuh, terdapat garis-garis tipis berwarna kuning-oranye di antara setiap barisan sisik yang membujur dan pada dasar sirip ekor sebagian besar berwarna kekuningan. Sirip punggung kedua dengan bagian tepi berwarna hitam dan dibatasi dengan warna putih; tepi bagian atas dan bawah sirip ekor dengan lintasan berwarna hitam. Ukuran panjang baku maksimum sampai sekitar 80 mm.

Karakter seksual sekunder pada ikan pelangi meliputi karakter dimorfisme dan dikromatisme seksual. Kedua karakter ini sangat jelas terlihat, terutama pada individu yang berukuran cukup besar. Individu jantan memiliki tubuh yang lebih tinggi dan berwarna lebih cerah dibandingkan individu betina (Gambar 2) (Allen 1991; 1995).

Gambar 2. Dimorfisme dan dikromatisme seksual padaM. arfakensis


(23)

2.2.2 Distribusi dan Habitat

Penyebaran jenis ini pada awalnya diketahui hanya terbatas pada anak sungai dari Sistem Sungai Prafi, dekat Manokwari (Allen 1991), misalnya S. Warmare, S. Madrad, S. Subsay, S. Aimasi (Tapilatu & Renyaan 2005), dan S. Nimbai (Sabariah et al. 2006). Selain itu, ikan ini juga ditemukan pada beberapa sungai lainnya, yaitu di Sungai Nuni (Sabariah et al. 2005) dan Sungai Asiti, S. Appi, dan S. Atai di Distrik Kebar (Manangkalangi & Pattiasina 2005).

Sungai-sungai pada sistem Sungai Prafi mengalir melalui hutan hujan tropis dan lahan-lahan perkebunan (terutama kelapa sawit) pada dataran alluvial yang datar (Allen 1991). Hasil penelitian King (2004) mengenai habitat ikan pelangi lainnya, yaitu M.s. fluviatilis di Sungai Broken (timur laut Victoria, Australia) menunjukkan bahwa beberapa tahap ontogeni (preflexion, postflexion, metalarva, juvenil dan dewasa) ikan ini terutama mendiami daerah limpasan, daerah tepi yang tenang dan daerah tepi dengan aliran lambat.

2.2.3 Pertumbuhan

Pertumbuhan yang digambarkan melalui persamaan von Bertalanffy pada M. s. fluviatilis dan M. arfakensis ditunjukkan pada Tabel 1. Milton dan Arthington (1984) menunjukkan bahwa ikan jantan M. s. fluviatilis tumbuh lebih cepat dan mencapai ukuran yang lebih besar daripada betina. Hal ini berkaitan dengan alokasi energi individu jantan yang relatif lebih besar pada pertumbuhan jaringan somatik dibandingkan jaringan reproduksinya (Milton & Arthington 1984).

Tabel 1. Persamaan pertumbuhan pada ikan pelangi

Jenis Persamaan Lokasi

M. arfakensis1 Lt= 82,23 [1-e-0,2027 (t - 0,1942)] Sungai Appi, Atai, Asiti (Manokwari Papua)

Lt= 82,6 [1-e-0,016 (t – 0,02)]

M.s. fluviatilis2

Lt= 76,8 [1-e-0,013 (t + 0,16)

]

Enoggera Creek

(Queensland bag. tenggara) Ket.: 1Manangkalangi dan Pattiasina (2005),2Milton dan Arthington (1984).


(24)

2.2.4 Reproduksi

2.2.4.1 Perkembangan Gonad dan Musim Pemijahan

Kematangan secara seksual ikan famili Melanotaeniidae mulai berlangsung pada akhir tahun pertama masa hidupnya (Allenet al. 2000). Kisaran dan rata-rata ukuran tubuh ikan pelangi saat matang gonad dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Manangkalangi dan Pattiasina (2005) menemukan bahwa M. arfakensis mulai matang gonad pada kisaran umur 0,97-1,19 tahun pada individu jantan dan 1,13-1,43 tahun pada individu betina, sedangkan M. s. fluviatilis mulai matang gonad pada kisaran umur 10-12 bulan (Milton & Arthington 1984) dan M. s. splendida pada umur berkisar di antara 6-12 bulan (Beumer 1979).

Tabel 2. Ukuran panjang baku (PB) ikan pelangi saat matang gonad PB (mm)

Jenis Jenis

kelamin Kisaran Lokasi

M. s. fluviatilis ♀ 30,8 Enoggera Creek, Queensland bag. tenggara1

♀ 38,0 Queensland2

♂ 48

M. s. splendida

♀ 38

♂ 49

M. eachamensis

♀ 37

Lembah Sungai Johnstone

(Queensland bagian utara)3

♂ 23,65

♀ 27,55 Sungai Appi (Kebar, Manokwari)

4

♂ 24,35

♀ 25,40 Sungai Atai (Kebar, Manokwari)

4

♂ 26,15

M. arfakensis

♀ 28,75 Sungai Asiti (Kebar, Manokwari)

4

Ket.: 1Milton dan Arthington (1984);2Beumer (1979);3Puseyet al. (2001);4Manangkalangi dan Pattiasina (2005).

Informasi tahap perkembangan gonad dan indeks gonadosomatik (IGS) menunjukkan bahwa M. s. fluviatilis memiliki siklus reproduksi musiman di Enoggera Creek dengan puncak aktivitas pemijahan berlangsung pada akhir bulan September sampai awal bulan Oktober (Milton & Arthington 1984). Pada M. s. splendida, M. eachamensis dan C. rhombosomoides, walaupun memperlihatkan periode puncak aktivitas reproduksi yang hampir sama dengan M. s. fluviatilis, yaitu selama bulan Agustus-November (musim kering), namun


(25)

pemijahan berlangsung sepanjang tahun. Waktu pemijahan yang lama ini juga dibuktikan dengan kehadiran larva sepanjang tahun pada beberapa lokasi di Sungai Johnstone dan dengan kelimpahannya yang paling besar ditemukan pada periode puncak pemijahan (Puseyet al. 2001).

2.2.4.2 Aktivitas Pemijahan dan Perkembangan Awal

Populasi ikan M. arfakensis yang ditemukan pada beberapa daerah aliran sungai dalam kawasan lindung Pegunungan Arfak (Tapilatu & Renyaan 2005) dan di beberapa sungai di Kebar (Manangkalangi & Pattiasina 2005) menunjukkan perbandingan kelamin 1:1. Demikian juga ikanM. s. fluviatilis,M. s. splendidadan M. eachamensis, terdapat perbandingan yang proporsional di antara kedua jenis kelamin (Milton & Arthington 1984; Puseyet al. 2001).

Pemijahan kelompok ikan ini berlangsung secara berpasangan pada daerah perairan yang terdapat vegetasi (Allen et al. 2000) dan biasanya terjadi pada waktu pagi hari (Allen 1995). Ikan pelangi umumnya memiliki fekunditas yang kecil dengan ukuran diameter telur cukup besar (Tabel 3). Telur-telur yang telah dibuahi (Gambar 3) diletakkan pada tumbuhan air dengan menggunakan benang perekat (Allen et al. 2000) pada kedalaman sekitar 10 cm dari permukaan dan dalam kondisi berkelompok di antara 3-10 (Milton & Arthington 1984).

Pada suhu 26-27ºC, telur-telur akan menetas dalam 6-7 hari pada ikan M.s. fluviatilis (Backhouse & Frusher 1980, diacu dalam Milton & Arthington 1984) dan 7-12 hari pada ikan M.s. splendida (Beumer 1979). Morfologi dan ukuran larva pada saat baru menetas sampai berumur 21 hari ditunjukkan pada Gambar 4. Juvenil akan tetap tinggal di sekitar tumbuhan air selama sekitar dua hari dan selanjutnya berenang bebas setelah sembilan hari (Munro 1980, diacu dalam Milton & Arthington 1984). Oleh karena itu, tersedia waktu yang cukup bagi telur dan larva untuk berkembang sehingga bisa melewati periode yang rentan terhadap kekeringan atau gangguan yang disebabkan fluktuasi permukaan air (Milton & Arthington 1984).


(26)

Tabel 3. Fekunditas dan diameter telur pada beberapa ikan pelangi

Fekunditas (butir) Diameter Telur (mm) Jenis

Kisaran x SE Kisaran x SE

35 - 333 131,8 ± 9,02 - 1,41 ± 0,321

- - 0,93 - 0,95 0,942*

M. s. fluviatilis

- - 0,98 - 1,07 1,0153*

M. duboulayi - - 0,88 - 0,93 0,912*

- - 0,55 - 0,75 1,494

M. s. splendida

370 - 1.655 - - 1,124 ± 0,0085

M. s. inornata - - - 0,886*

M. s. nigrans - - - 1,056*

M. s. australis - - - 1,076*

M. eachamensis 206 - 2.126 - 1,207 - 1,324 1,238 ± 0,0225

G. multisquamatus - - - 0,69 ± 0,0527

C. rhombosomoides 131 - 737 - 1,091 ± 0,0195

Ket.: 1Milton dan Arthington (1984);2Crowleyet al. (1986);3Reid dan Holdway (1995);4Beumer (1979); 5Pusey et al. (2001); 6 Ivantsoff et al. (1988), diacu dalam Reid dan Holdway (1995);7Coates (1990); * Diameter telur yang telah dibuahi.

Gambar 3. Telur-telur yang menempel pada tumbuhan air (Allen 1995) dan beberapa tahap perkembangannya (Humphreyet al. 2003). (a) 0,5 jam, (b)cleavagepertama, 1 jam, (c) 2 jam, dan (d) 10,5 jam


(27)

Gambar 4. Morfologi larva beberapa jenis ikan pelangi. (a) M. s. fluviatilis, (b) M. duboulayi yang baru menetas (Crowley et al. 1986), dan (c-e) M. s. splendida yang baru menetas (PB 3,7 mm), berumur 14 hari (PB 6,74 mm), berumur 21 hari (PB 9,32 mm) (Humphreyet al. 2003)


(28)

3. METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada dua sungai dalam sistem Sungai Prafi, yaitu Sungai Nimbai dan Sungai Aimasi (Gambar 5). Lokasi penelitian pada kedua lokasi ini terletak di daerah ritral, yaitu di antara ordo 2 dan 3. Pengambilan contoh ikan pelangi, plankton dan makroavertebrata serta pengukuran parameter perairan dilakukan setiap bulan yang dimulai dari bulan Juni sampai dengan Desember 2007. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Perikanan, Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Metode dan Desain Penelitian 3.2.1 Penentuan Tipe Habitat

Pada kedua lokasi penelitian ditetapkan empat tipe habitat untuk pengambilan contoh organisme dan parameter lingkungan. Keempat tipe habitat ini meliputi daerah lubuk (L), daerah beraliran deras (AD), tepi sungai beraliran sedang (TAS) dan tepi beraliran lambat (TAL) (Tabel 4, Gambar 5, Lampiran 3).

Tabel 4. Posisi geografis dan ketinggian setiap tipe habitat di lokasi penelitian

Lokasi Tipe

Habitat Lintang Selatan Bujur Timur

Ketinggian (m dpl) TAL 00 56'01,8" 133 51'52,8" 117 TAS 00 56'02,3" 133 51'51,7" 117 L 00 55'55,0" 133 51'49,7" 115 S. Nimbai

AD 00 56'05,4" 133 51'53,2" 117 TAL 00 55'17,0" 133 48'28,3" 133 TAS 00 55'17,5" 133 48'28,4" 134 L 00 55'17,6" 133 48'28,4" 134 S. Aimasi

AD 00 55'16,0" 133 48'26,1" 131 Ket.: m dpl = meter di atas permukaan laut


(29)

Gambar 5. Lokasi penelitian (Sumber: dimodifikasi dari Bakorsurtanal 2006), sistem ordo dan daerah tangkapan air serta skema tipe habitat di lokasi (a) S. Nimbai dan (b) S. Aimasi


(30)

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan contoh organisme dan pengukuran parameter lingkungan dilakukan dalam satu hari yang dimulai dari jam 09.00-11.30 di Sungai Aimasi dan jam 13.00-16.30 di Sungai Nimbai. Penangkapan contoh ikan pada setiap tipe habitat dilakukan dengan menggunakan alat hand net(panjang 3 m, tinggi 2 m dan ukuran mata jaring 1 mm). Frekuensi penangkapan pada setiap habitat dilakukan sebanyak 8-10 kali. Contoh ikan yang telah dikumpulkan berdasarkan lokasi dan tipe habitat selanjutnya diawetkan dengan larutan formalin 4%, kecuali 30 ekor untuk melihat perkembangan gonad secara histologis yang mewakili berbagai ukuran dari kedua jenis kelamin diawetkan dalam larutan Bouin dan dilanjutkan dengan beberapa tahap fiksasi dan pewarnaan (Lampiran 1 dan 2).

Pengumpulan contoh plankton dilakukan menggunakan plankton net (ukuran mata jaring 40 μm) dan volume air sungai yang disaring sebanyak 50 liter, sedangkan pengumpulan contoh makroavertebrata hanyut dengan jaring hanyut berukuran luas permukaan 0,25 m2 (ukuran mata jaring 200 µm) yang diletakkan selama 30 menit dengan posisi berlawanan dengan arah aliran sungai, dan makroavertebrata bentik dengan alat surber berukuran 0,25 m2. Contoh dari ketiga kelompok organisme ini selanjutnya diawetkan dengan larutan formalin 4 %; namun untuk contoh makroavertebrata, larutan pengawet ini diberi larutan pewarna Rose Bengal untuk memudahkan pemilahannya dari partikel sedimen (Hauer & Resh 2007).

Di laboratorium, setelah satu hari diawetkan, contoh ikan selanjutnya dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70%. Setiap contoh ikan dilakukan penimbangan berat tubuh dengan menggunakan timbangan berketelitian 0,001 gram dan pengukuran karakter morfometrik (yaitu panjang baku dan tinggi tubuh) dengan menggunakan kaliper digital berketelitian 0,01 mm. Selanjutnya gonad dan saluran pencernaan dikeluarkan. Gonad ditimbang dengan timbangan berketelitian 0,001 g.

Penentuan jenis kelamin dilakukan melalui pengamatan karakter jenis kelamin sekunder (dimorfisme dan dikromatisme seksual) dan/atau struktur morfologis gonad dengan bantuan miskroskop. Tingkat kematangan gonad ditentukan dengan mengamati bentuk dan warna gonad mengikuti petunjuk Pusey et al. (2001) serta secara histologis berdasarkan West (1990); Koya dan Iwase


(31)

(2004); dan Nasution (2004). Pada individu betina dengan tingkat kematangan gonad IV dan V ditentukan fekunditas dan dilakukan pengukuran diameter oosit pada bagian anterior, tengah dan posterior dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler. Pada ketiga bagian ovari diukur sebanyak lima buah oosit. Fekunditas total ditentukan dengan menghitung oosit secara keseluruhan di dalam ovari.

Makanan dari lambung dikeluarkan dan dihitung jumlah individunya. Identifikasi organisme makanan yang terdapat dalam lambung, plankton dan makroavertebrata dilakukan dengan menggunakan mikroskop mengikuti petunjuk Davis (1955); Needham dan Needham (1963); McCafferty (1983); Carver et al. (1996); Colless dan McAlpine (1996); Greenslade (1996); Lawrence dan Britton (1996); Naumann (1996); Neboiss (1996); Nielsen dan Common (1996); Peters dan Campbell (1996); Watson dan O’Farrell (1996); Bouchard (2004); Pescador dan Richard (2004); dan Pescadoret al. (2004) sampai tingkatan taksa terdekat. Sebagai informasi penunjang tentang kebiasaan makanan ikan ini dilakukan pengukuran panjang usus. Penentuan panjang usus relatif dilakukan dengan menggunakan metode Herper (1988), diacu dalam Utojo et al. (1999), yaitu panjang usus dibagi panjang tubuh (dalam penelitian ini digunakan panjang baku, PB).

Pada setiap tipe habitat dilakukan pengukuran kualitas air pada setiap waktu sampling dengan tiga ulangan. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu air, oksigen terlarut (DO meter), pH (pH meter), dan kekeruhan (HI 93703 microprocessor turbidity meter). Kecepatan aliran sungai diukur dengan menggunakan basic handheld stream flowmeter Ward’s berketelitian 0,1 m/det. Selain itu juga dilakukan pengukuran lebar genangan dan kedalaman air pada segmen sungai di sekitar tipe habitat. Penentuan debit air di lokasi Sungai Nimbai dilakukan pada segmen di sekitar habitat lubuk, sedangkan di Sungai Aimasi dihitung berdasarkan rata-rata debit air pada segmen di sekitar lubuk, tepi beraliran lambat, tepi beraliran sedang dan ditambah dengan debit air pada segmen di daerah beraliran deras (Gambar 5). Untuk menentukan debit air, maka dilakukan pengukuran lebar dan kedalaman air pada segmen sungai sekitar tipe habitat lubuk di S. Nimbai, sedangkan pada S. Aimasi dilakukan pada semua tipe habitat.


(32)

3.2.3 Analisis Data

3.2.3.1 Dinamika Hidrologi

Debit air dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Umaly & Cuvin 1988): V x D x W R 

dengan R = debit air (m3/detik), W = lebar dari segmen sungai (m), D = kedalaman dari segmen (m), dan V = kecepatan arus rata-rata (m/detik).

3.2.3.2 Dinamika Kelimpahan Plankton dan Makroavertebrata

Kelimpahan plankton dihitung dengan Sedgewick-Rafter Cell menggunakan rumus sebagai berikut (Umaly & Cuvin 1988):

S x W x D x L C plankton

Kelimpahan  ,

dengan C = jumlah plankton yang dihitung, L = panjang strip (50 mm), D = kedalaman strip (1 mm), W = lebar strip (1 mm), dan S = jumlah strip yang dihitung.

Kelimpahan makroavertebrata bentik dihitung berdasarkan jumlah individu yang terdapat dalam luasansurber, sedangkan kelimpahan makroavertebrata hanyut dihitung menggunakan rumus (Smock 2007) sebagai berikut:

V x H x W x t N hanyut ebrata makroavert

Kelimpahan  ,

dengan N = jumlah makroavertebrata dalam contoh air yang tersaring, t = waktu jaring hanyut diletakkan dalam air, W = lebar bukaan jaring hanyut, H = tinggi bukaan jaring hanyut, dan V = kecepatan air rata-rata (m/detik) di depan jaring hanyut.

3.2.3.3 Makanan

Untuk mendapatkan gambaran makanan secara kuantitatif digunakan indeks bagian terbesar (index of preponderance). Indeks ini dimodifikasi dari Natarajan dan Jhingran (1961) yang merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dan metode jumlah menggunakan rumus sebagai berikut:

x100

F x N F x N I j i j i i

 ,


(33)

dengan Iisebagai indeks bagian terbesar jenis makanan ke-i; Nisebagai persentase jumlah jenis makanan ke-i; Fi sebagai persentase kejadian jenis makanan ke-i, dan

 Nix Fi sebagai total perkalian dari persentase volume dan persentase frekuensi kejadian semua jenis makanan.

Pemilihan terhadap jenis makanan tertentu diukur menggunakan indeks pilihan (Ivlev 1961) sebagai berikut:

i i

i i

p r

p r E

 

 ,

dengan E = indeks pilihan, ri = proporsi dari mangsa taksa ke-i dalam perbandingan, dan pi= proporsi dari taksa ke-i dalam lingkungan.

Nilai indeks pilihan bisa berkisar dari -1,000 (pemanfaatan yang sedikit dari suatu taksa mangsa) sampai + 1,000 (pemilihan kesukaan untuk suatu taksa mangsa). Nilai 0,000 menunjukkan bahwa suatu taksa mangsa dikonsumsi dalam proporsi yang sama dengan yang terdapat dalam lingkungan.

3.2.3.4 Pertumbuhan

Untuk penentuan kelompok umur (kohort) digunakan analisis distribusi frekuensi panjang yang dilanjutkan dengan pemisahannya menggunakan metode Bhattacharya dalam program FiSAT II (ver 1.1.3). Pertumbuhan diduga menggunakan persamaan von Bertalanffy (Sparre & Venema, 1992), yaitu:

) e

(1 L

Lt K(tt0)

 

 ,

dengan Lt= panjang waktu ke-t, L∞= panjang infiniti, K= koefisien pertumbuhan, dan t0= umur teoritis saat panjang ikan sama dengan 0.

Selanjutnya pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K), panjang infiniti (L) dan t0 dilakukan dengan menggunakan metode Ford-Walford dengan persamaan garis lurus:

t K K 1

t L (1 e ) e L

L    

Dalam metode ini dipetakan (Lt + 1) terhadap Lt dengan sudut kemiringan garisnya (b) sama dengan e- K (ln b = - K; maka K = - ln b). Jadi logaritma natural dari kemiringan garis Ford Walford dengan tanda yang berlawanan merupakan penduga koefisien pertumbuhan (K). Apabila panjang ikan pada umur tertentu (Lt + 1) dipetakan terhadap panjang ikan pada umur yang lebih muda satu tahun


(34)

(Lt), maka akan dihasilkan suatu garis lurus dengan kemiringan lebih kecil dari satu atau mempunyai sudut lebih kecil dari 45. Dengan metode ini dapat diduga panjang asimptot (L) yaitu perpotongan antara garis dari data yang dipetakan dengan garis transformasi Ford Walford (sudut 45o).

Parameter t0diduga dengan persamaan von Bertalanffy yang dibuat dalam bentuk persamaan garis lurus dengan memetakan ln (L - Lt) terhadap t, dengan sudutnya = - K dan intersepnya = ln L+ K t0, yaitu:

t K t K L ln ) L (L

ln  t    0

Dengan memetakan ln (L- Lt) terhadap t maka dapat diperoleh nilai a (intersep), dan t0dapat dihitung dari a = ln L+ K t0sehingga t0= (a - ln L)/K.

3.2.3.5 Faktor Kondisi

Perhitungan faktor kondisi (K) dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie 1979):

3 5

L W 10

K  ,

dengan K = faktor kondisi, W = berat tubuh (gram), L = panjang baku (mm), a dan b = konstanta.

3.2.3.6 Nisbah Kelamin

Perbandingan antara jumlah ikan jantan dan ikan betina yang terdapat pada setiap lokasi dan waktu pengambilan sampel yang dihitung menggunakan rumus :

F M

X  ,

dengan X = nisbah kelamin, M = jumlah ikan jantan (ekor), dan F = jumlah ikan betina (ekor).

Untuk menguji apakah perbandingannya sama (1 : 1) di antara kedua kelamin atau tidak, maka digunakan uji statistik Chi-kuadrat (2) sebagai berikut (Gasperz 1991).

E E O χ

2 hitung

2

,


(35)

3.2.3.7 Struktur Kematangan Gonad

Struktur kematangan gonad disusun berdasarkan tingkat kematangan gonad (TKG) dan indeks kematangan gonad (IKG). Indeks kematangan gonad (IKG) dihitung menggunakan rumus (Effendie 1979), sebagai berikut:

100 x Bt Bg

IKG  ,

dengan IKG = indeks kematangan gonad, Bg = bobot gonad (g), dan Bt = bobot tubuh (g). Nilai rata-rata IKG setiap bulan selanjutnya diuji dengan analisis sidik ragam dan Uji Tukey (Gasperz 1991).

3.2.3.8 Ukuran Pertama Kali Matang Gonad

Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ditentukan dengan menggunakan metode Spearman-Karber (Udupa 1986, diacu dalam Najamuddin et al. 2004), sebagai berikut:

 

 ) (X p )

2 X ( X

m k i ,

dengan m = logaritma panjang ikan saat pertama kali matang gonad, Xk= logaritma nilai tengah kelas panjang yang terdapat 100% ikan matang gonad, X = selisih logaritma nilai tengah kelas, Xi = logaritma nilai tengah kelas ke-i, pi = proporsi dari ikan yang matang gonad dalam kelas panjang ke-i, ri = jumlah ikan matang gonad dalam kelas panjang ke-i, ni = jumlah ikan dalam kelas panjang ke-i, pi= ri/ni, qi= 1-pi.

        1 n q p X Ragam i i i 2

Selang kepercayaan 95% yaitu:

ragam Z

m  α/2

3.2.3.9 Hubungan Fekunditas dan Panjang Tubuh

Hubungan di antara fekunditas total dan panjang ikan dinyatakan dalam persamaan berikut:

b L a

F ,


(36)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Lokasi Penelitian

4.1.1 Hidrologi

Kecepatan aliran air di kedua sungai sangat bervariasi berdasarkan tipe habitat dan waktu pengukuran. Kecepatan aliran air pada tipe habitat di bagian tepi sungai (TAL dan TAS) lebih lambat dibandingkan dua tipe habitat yang berada di bagian tengah sungai (L dan AD). Berdasarkan waktu, secara umum rata-rata kecepatan aliran air yang rendah terjadi pada bulan Juni-Oktober dan paling tinggi terjadi pada bulan November dan Desember (Gambar 6).

S. Nimbai 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan K ec . A li ra n (m /d et .) TAL TAS L AD Rata-Rata S. Aimasi 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan

Gambar 6. Kecepatan aliran air pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran di S. Nimbai dan S. Aimasi

Curah hujan yang tinggi untuk daerah Manokwari dan sekitarnya (BMG 2007) terjadi pada bulan Agustus dan Desember, sedangkan paling rendah ditemukan pada bulan Juni dan September (Tabel 5). Pola debit air pada kedua lokasi penelitian juga menunjukkan kecenderungan yang hampir sama dengan curah hujan. Debit air meningkat sampai bulan Agustus, paling rendah pada bulan September dan Oktober, selanjutnya meningkat kembali pada bulan November dan Desember. Variasi debit air pada kedua lokasi penelitian berkisar 0,987-3,083 m3/detik (S. Nimbai) dan 4,685-17,271 m3/detik (S. Aimasi). Walaupun kedua lokasi pengambilan contoh berada pada tingkatan ordo yang relatif sama, namun kondisi debit air yang lebih tinggi pada Sungai Aimasi diduga berkaitan dengan daerah tangkapan air yang lebih besar di bagian hulunya (Gambar 5).

K ec ep at an A li ra n A ir (m /de ti k)


(37)

Tabel 5. Debit air, jumlah hari hujan dan rata-rata curah hujan tahun 2007

Debit Air (m3/det.)

Bulan

S. Nimbai S. Aimasi

Jumlah Hari

Hujan1

Curah Hujan

(mm)1

Januari - - 22 245

Februari - - 18 248

Maret - - 17 137

April - - 15 145

Mei - - 13 96

Juni 1,197 - 12 49

Juli 1,423 8,248 13 89

Agustus 2,248 12,756 19 121

September 1,018 5,342 7 26

Oktober 0,987 4,685 18 85

November 2,306 17,271 13 99

Desember 3,083 13,587 15 152

Ket.: 1sumber dari BMG Manokwari, - tidak dilakukan pengukuran. 4.1.2 Suhu Air

Hasil pengukuran suhu air berdasarkan tipe habiat dan waktu ditunjukkan pada Gambar 7. Suhu air yang berbeda di antara kedua lokasi penelitian diduga berkaitan dengan perbedaan waktu pengukuran dan kondisi naungan vegetasi riparian. Perbedaan suhu air juga terlihat di antara tipe habitat, dan terdapat kecenderungan bahwa tipe habitat di bagian tepi (TAL dan TAS) memiliki suhu yang lebih tinggi dari pada dua tipe habitat lainnya di bagian tengah (L dan AD).

S. Nimbai 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan S u h u ( o C ) TAL TAS L AD Rata-Rata

Gambar 7. Suhu air pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran di S. Nimbai dan S. Aimasi

4.1.3 Oksigen Terlarut

Hasil pengukuran oksigen terlarut secara keseluruhan berkisar 4,73-7,41 mg/l di Sungai Nimbai dan 5,09-7,98 mg/l di Sungai Aimasi. Konsentrasi rata-rata

S. Aimasi 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des

Bulan S uhu ( o C )


(38)

oksigen terlarut paling tinggi ditemukan pada bulan Oktober-Desember dan paling rendah pada bulan September (Gambar 8). Namun jika berdasarkan tipe habitat, menunjukkan bahwa pada tipe habitat yang beraliran lambat (TAL dan TAS) cenderung menunjukkan konsentrasi oksigen terlarut yang lebih rendah. Variasi konsentrasi oksigen terlarut berdasarkan tipe habitat dan waktu diduga berkaitan dengan kondisi hidrologi sungai. Angelier (2003) mengemukakan bahwa pada anak sungai yang dangkal di daerah ritral, gejala turbulensi membantu pertukaran gas pada permukaan di antara air-udara, dan proses pertukaran ini lebih dominan.

Oksigen terlarut sangat memengaruhi kehidupan dalam perairan (Eriksen et al. 1996, diacu dalam Hauer & Hill 2007) dan bisa menjadi faktor pembatas selama perkembangan dan pertumbuhan embrio dan larva ikan (Carlson & Siefert 1974). Namun demikian, beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ikan yang berukuran kecil lebih toleran terhadap kondisi oksigen terlarut yang rendah (Burleson et al. 2001; Robb & Abrahams 2003) sehingga bisa menempati daerah dengan konsentrasi oksigen terlarut yang lebih rendah (Burlesonet al. 2001).

S. Nimbai 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan O k si g en T er la ru t (m g /l TAL TAS L AD Rata-Rata S. Aimasi 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan

Gambar 8. Konsentrasi oksigen terlarut pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran di S. Nimbai dan S. Aimasi

4.1.4 Nilai pH

Nilai pH pada semua tipe habitat menunjukkan bahwa kondisi perairan Sungai Nimbai dan Aimasi bersifat basa, yaitu dengan kisaran 7,91-8,65 (Gambar 9). Sifat basa pada lokasi penelitian diduga disebabkan oleh kadar kalsium yang cukup tinggi dari sedimen berkapur di bagian hulu. Robinson et al. (1990) melaporkan bahwa beberapa daerah di sekitar dataran tinggi Arfak atas dari batuan kapur.

O ks ige n T er la rut (m g/ l)


(39)

Hasil penelitian sebelumnya (Tapilatu & Renyaan 2005) menemukan bahwa ikan pelangi arfak hidup pada perairan dengan dengan kisaran nilai pH di antara 6,27-7,10 pada beberapa anak sungai dalam sistem Sungai Prafi. Walaupun umumnya ditemukan pada kisaran pH perairan yang normal (Allen 1995), beberapa jenis ikan pelangi juga ditemukan pada perairan dengan kisaran pH yang cukup lebar dan bersifat basa. Melanotaenia boesemani yang terdapat di Danau Ayamaru dan beberapa anak sungai di sekitarnya, hidup pada kondisi perairan yang bersifat basa (pH > 8) (Allen 1995).

S. Nimbai 7,0 7,2 7,4 7,6 7,8 8,0 8,2 8,4 8,6 8,8 9,0

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan p H TAL TAS L AD Rata-Rata S. Aimasi 7,0 7,2 7,4 7,6 7,8 8,0 8,2 8,4 8,6 8,8 9,0

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan

Gambar 9. Nilai pH pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran di S. Nimbai dan S. Aimasi

4.1.5 Kekeruhan

Nilai kekeruhan di lokasi Nimbai dan Aimasi secara berturut-turut berkisar 0,16-2,97 NTU dan 0,97-5,03 NTU. Nilai rata-rata kekeruhan tertinggi terutama ditemukan pada bulan Agustus, November dan Desember (Gambar 10). Tingginya nilai kekeruhan pada periode waktu tersebut diduga berkaitan dengan kondisi debit air yang tinggi sehingga meningkatkan masukan bahan tersuspensi yang berasal dari sedimentasi di bagian hulu sungai. Selain itu juga, kondisi kekeruhan yang tinggi bisa disebabkan melimpahnya mikroorganisme dalam kolom air.

Walaupun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan pelangi arfak ditemukan pada kondisi perairan yang relatif jernih, namun ikan ini juga ditemukan pada kondisi yang agak keruh. Tapilatu dan Renyaan (2005) melaporkan bahwa jenis ikan ini juga ditemukan pada kisaran kekeruhan 24,6-58,1 FTU di beberapa anak sungai dalam sistem Sungai Prafi. Meskipun demikian


(40)

beberapa jenis ikan akan cenderung menghindari perairan yang keruh karena tidak bisa mencari makan secara efektif. Terdapat sejumlah penelitian yang mengindikasikan bahwa tingkat kekeruhan yang tinggi akan mengurangi jarak reaktif secara visual mencari makan ikan (Barrett 1992, diacu dalam Rowe & Dean 1998) atau dapat menurunkan kecepatan ikan dalam mencari makan (Rowe & Dean 1998). Kondisi ini akan berakibat pada penurunan laju pertumbuhan dan gangguan pernapasan melalui mekanisme penjarangan tapis insang (Sutherland dan Meyer 2007).

S. Nimbai 0 1 2 3 4 5 6

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan K ek er u h an (N T U ) TAL TAS L AD Rata-Rata S. Aimasi 0 1 2 3 4 5 6

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan

Gambar 10. Tingkat kekeruhan air pada setiap tipe habitat dan waktu pengukuran di S. Nimbai dan S. Aimasi

4.1.6 Vegetasi

Vegetasi riparian umumnya masih ditemukan pada bagian tepi segmen sungai di kedua lokasi penelitian. Namun hanya beberapa di antaranya yang ditemukan dalam kondisi sebagian terendam dalam kolom air pada tipe habitat TAL dan TAS. Vegetasi tersebut di antaranya, yaitu alang-alang (Imperata cylindrica), gelagah (Saccharum spontaneum), aur-aur (Commelina diffusa), kembang telang (Clitoria ternatea), dan mikania (Mikania sp.). Vegetasi yang ditemukan sebagian terendam pada bagian tepi sungai dapat dilihat pada Lampiran 6. Keberadaan vegetasi di bagian tepi sungai, selain menurunkan kecepatan aliran air sehingga membentuk habitat yang relatif tenang (Green 2005), juga berperan menyediakan makanan, tempat perlindungan terhadap predasi (Rozas & Odum 1988; Grenouillet et al. 2002) dan tempat menempelkan telur bagi ikan pelangi (Allen 1995; Allenet al. 2000).

K eke ruh an (N T U )


(41)

4.1.7 Komposisi dan Kelimpahan Biota 4.1.7.1 Plankton

Plankton yang ditemukan terdiri atas kelompok Chlorophyta, Bacillariophyta, Cyanophyta, Protozoa, Rotifera, Cladocera, dan Arachnida (Tabel 6, Lampiran 4). Namun di antara beberapa kelompok ini, anggota Chlorophyta dan Bacillariophyta mendominasi komposisi plankton. Kelimpahan berdasarkan tipe habitat dan waktu ditunjukkan pada Gambar 11. Kelimpahan plankton yang ditemukan pada kedua lokasi relatif rendah (<1,04 individu/liter). Di antara tipe habitat, kelimpahan plankton tertinggi ditemukan pada daerah tepi beraliran lambat (TAL dan TAS).

Tabel 6. Komposisi plankton pada setiap tipe habitat di S. Nimbai dan S. Aimasi S. Nimbai S. Aimasi

Kelas Genus

TAL TAS L AD TAL TAS L AD Fitoplankton

Diatoma + + +

Melosira + + + + + + + +

Navicula + + +

Nitzschia + + + +

Rhizosolenia + + + + +

Bacillariophyta

Thalassiothrix + + + +

Actinastrum + + + +

Closterium + + + +

Cosmarium +

Docidium + + +

Draparnaldia + + + +

Microspora + + +

Mougeotia + + + + + + + +

Pleurotaenium + + +

Chlorophyta

Spirogyra + + +

Anabaena +

Cyanophyta

Spirulina + + + + + +

Fitoplankton sp1 + + +

Fitoplankton sp2 + + + +

Fitoplankton sp3 + Zooplankton

Difflugia + + + + + + + +

Protozoa

Paramecium +

Rotifera Keratella + + +

Cladocera Daphnia +

Arachnida Diplodontus(larva) + +

Zooplankton sp4 + +

Zooplankton sp5 + + +

Ket.: TAL = tepi sungai beraliran lambat, TAS = tepi sungai beraliran sedang, L = daerah lubuk, dan AD = daerah aliran deras, + = ditemukan di lokasi.


(42)

Gambar 11. Kelimpahan plankton pada setiap tipe habitat dan waktu pengambilan contoh di S. Nimbai dan S. Aimasi

Ket.: TAL = tepi sungai beraliran lambat, TAS = tepi sungai beraliran sedang, L = daerah lubuk, dan AD = daerah aliran deras. Angka di bagian atas menunjukkan kelimpahan total. TAL 0,00 0,40 0,80 1,20

0,30 0,34 0,26

0,14 0,16 0,08 Sungai Aimasi TAS 0,00 0,40 0,80 1,20

0,20 0,24 0,18 0,30 0,26 0,04 0,18 TAL 0,00 0,40 0,80 1,20 0,34 0,60 0,68 1,04 0,84 0,16 0,50 Sungai Nimbai TAS 0,00 0,40 0,80 1,20

0,16 0,12 0,12 0,30 0,08 0,06 L 0,00 0,40 0,80 1,20 0,12 0,18 0,32 0,50 0,20 0,14 0,46 L 0,00 0,40 0,80 1,20 0,08 0,24 0,12 0,22 0,02 0,02 AD 0,00 0,40 0,80 1,20

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan 0,08 0,24 0,34 0,24 0,20 AD 0,00 0,40 0,80 1,20

Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan 0,16 0,14 0,06 K el im pa ha n P la nkt on (I n di vi du/ li te r)


(43)

4.1.7.2 Makroavertebrata

Makroavertebrata yang ditemukan terdiri atas empat kelas, yaitu Insekta, Arachnida, Oligochaeta, dan Gastropoda (Lampiran 5). Makroavertebrata yang umumnya ditemukan termasuk dalam kelas Insekta, khususnya dalam tahap perkembangan larva dan pupa. Namun di antaranya juga ditemukan insekta terrestrial, yaitu Formicidae (semut), Pisauridae (laba-laba), dan Onychiuridae (Collembola) dalam kondisi hanyut. Komposisi makroavertebrata berdasarkan tipe lokasi ditunjukkan pada Tabel 7.

Kelimpahan makroavertebrata bentik sangat bervariasi berdasarkan tipe habitat dan waktu pengambilan contoh (Gambar 12). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umumnya kelimpahan makroavertebrata yang tinggi ditemukan pada tipe habitat beraliran lambat (TAL dan TAS) dan pada saat kondisi debit air yang rendah (Juni-Oktober). Giller dan Malmqvist (1998), diacu dalam Brown et al. (2006) mengemukakan bahwa kondisi hidrologi dan fisikokimia habitat yang berbeda-beda pada lingkungan sungai berperan penting dalam menentukan komposisi dari komunitas makroavertebrata berdasarkan waktu.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di antara beberapa kelompok makroavertebrata bentik, Diptera dan Ephemeroptera selalu ditemukan pada semua tipe habitat dan waktu dengan kelimpahan yang lebih tinggi (Gambar 12). Kelompok Diptera terutama didominasi oleh Chironomidae dan Ceratopogonidae, sedangkan Ephemeroptera terutama didominasi oleh Baetidae, Caenidae dan Leptoplebiidae (Tabel 8).

Hasil penelitian Jowett et al. (1991) pada beberapa sungai di Selandia Baru menunjukkan bahwa larva Chironomidae menyukai perairan yang dangkal dengan kecepatan aliran dari lemah-sedang. Kelompok ini ditemukan sangat melimpah saat musim hujan dan kemarau di Sungai Macaé Brasil (ordo 2 dan 3) (Silveira et al. 2006). Berg dan Hellenthal (1992) mengemukakan bahwa Chironomidae berperan penting sebagai sumber energi pada lingkungan akuatik, demikian juga Ephemeroptera (Covich et al. 1999). Yan dan Li (2008) menemukan kelimpahan paling tinggi Ephemeroptera berlangsung dalam dua interval waktu (Juni-September dan Desember-Maret) di Sungai Hanjiang Cina (ordo 2).


(44)

Tabel 7. Komposisi makroavertebrata pada setiap tipe habitat di S. Nimbai dan S. Aimasi S. Nimbai S. Aimasi

Taksa Tahap Tipe

TAL TAS L AD TAL TAS L AD

Insecta

Ephemeroptera

Baetidae L B, H + + + + + + + +

Caenidae L B, H + + + + + + + +

Leptophlebiidae L B, H + + + + + + + +

Trycorythidae L B, H + + + + + +

Tidak teridentifikasi L B, H + + + + + +

Hemiptera

Gerridae D H + +

Naucoridae L B, H + + + + + + + +

Veliidae D H + + +

Odonata

Calopterygidae L H + + + +

Corduliidae L B, H + + + + + + +

Libellulidae L B, H + + + + + + + +

Tidak teridentifikasi L H + +

Coleoptera

Elmidae L B, H + + + + + + + +

Hydrophilidae L H + +

Diptera

Ceratopogonidae L, P B, H + + + + + + + +

Chironomidae L, P B, H + + + + + + + +

Culicidae P B, H + + +

Dixidae L H + +

Ephydridae L B, H +

Simuliidae L B, H + + + + +

Tidak teridentifikasi L B, H + + + + + Hymenoptera

Formicidae D H + + + + + +

Tricoptera

Glossosomatidae L B, H + + + +

Hydropsychidae L B, H + + + + + + + +

Hydroptilidae L B, H + + + + + + + +

Leptoceridae L B, H + + + + + +

Lepidostomatidae L H +

Philopotamidae L B + +

Polycentropodidae L B, H + + + + + +

Rhyacophilidae L B, H + + + + + +

Tidak teridentifikasi L B, H + + + + + + + +

Lepidoptera

Pyralidae L B, H + + + + + + +

Tidak teridentifikasi L H + + +

Collembola

Onychiuridae D H +

Arachnida Araneae

Pisauridae D H + + + +

Oligochaeta D B + + + + + +

Gastropoda D B +

Ket.: D = dewasa, L = larva, P = pupa, B = bentik, H = hanyut, + = ditemukan di lokasi, TAL = tepi sungai beraliran lambat, TAS = tepi sungai beraliran sedang, L = lubuk, AD = daerah aliran deras.


(45)

Gambar 12. Kelimpahan makroavertebrata bentik pada setiap tipe habitat dan waktu pengambilan contoh di S. Nimbai dan S. Aimasi

Ket.: TAL = tepi sungai beraliran lambat, TAS = tepi sungai beraliran sedang, L = lubuk, dan AD = daerah aliran deras, Angka di bagian atas menunjukkan kelimpahan. TAL 0 2000 4000 6000 Sungai Nimbai 1856 2080 1232 1296 1744 1360 656 TAL 0 500 1000 1500 2000 Sungai Aimasi 1344 1216 1952 480 144 240 TAS 0 2000 4000 6000 3344 5568 1824 4608 3856 592 736 TAS 0 500 1000 1500 2000 1120 1356 1072 272 128 304 L 0 2000 4000 6000 912 1008 480 1088 1408 304 496 L 0 500 1000 1500 2000 336 352 544

128 208 80

AD

0 2000 4000 6000

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan

784 1168 544

1808

464 640 480

AD 0 500 1000 1500 2000

Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan 464 256 624 208 96 144 K el im pa ha n M akr o ave rt ebr at a B ent ik (I ndi vi du/ m 2 )


(46)

Tabel 8. Persentase kelimpahan famili makroavertebrata bentik yang dominan Kelimpahan (%)

S. Nimbai S. Aimasi

Taksa

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Juli Agt Sep Okt Nov Des

Daerah tepi beraliran lambat(TAL)

Baetidae 2,6 10,8 2,6 22,2 0,9 7,1 2,4 25,0 23,7 8,2 0,0 0,0 6,7

Caenidae 0,0 6,9 10,4 7,4 11,9 28,2 24,4 4,8 3,9 30,3 20,0 11,1 20,0

Leptophlebiidae 5,2 1,5 2,6 2,5 18,3 21,2 9,8 8,3 7,9 15,6 16,7 0,0 0,0

Ceratopogonidae 6,9 3,1 2,6 6,2 10,1 2,4 0,0 6,0 2,6 4,1 0,0 0,0 6,7

Chironomidae 65,5 43,1 74,0 50,6 45,9 24,7 29,3 38,1 50,0 30,3 50,0 33,3 53,3 Famili lain* 19,8 34,6 7,8 11,1 12,8 16,5 34,1 17,9 11,8 11,5 13,3 55,6 13,3 Daerah tepi beraliran sedang(TAS)

Baetidae 1,4 0,9 6,1 28,5 6,6 24,3 2,2 2,9 42,7 13,4 11,8 0,0 0,0

Caenidae 16,3 8,6 21,1 24,3 22,8 13,5 4,3 15,7 2,1 9,0 0,0 12,5 0,0

Leptophlebiidae 3,8 2,3 5,3 1,4 14,9 5,4 13,0 1,4 1,0 7,5 11,8 37,5 0,0

Ceratopogonidae 10,0 7,2 1,8 2,1 0,8 0,0 8,7 8,6 1,0 0,0 5,9 0,0 5,3

Chironomidae 61,2 74,7 60,5 28,5 39,8 37,8 32,6 58,6 44,8 68,7 29,4 12,5 89,5

Famili lain* 7,2 6,3 5,3 15,3 14,9 18,9 39,1 12,9 8,3 1,5 41,2 37,5 5,3

Lubuk(L)

Baetidae 0,0 0,0 0,0 0,0 4,5 0,0 0,0 14,3 27,3 8,8 0,0 7,7 60,0

Caenidae 1,8 1,6 6,7 32,4 12,5 36,8 19,4 28,6 22,7 2,9 0,0 38,5 0,0

Leptophlebiidae 1,8 1,6 6,7 2,9 22,7 10,5 16,1 0,0 0,0 2,9 0,0 7,7 0,0

Ceratopogonidae 1,8 7,9 3,3 0,0 0,0 0,0 3,2 4,8 0,0 0,0 0,0 7,7 0,0

Chironomidae 89,5 87,3 73,3 61,8 44,3 26,3 58,1 33,3 27,3 67,6 75,0 23,1 40,0

Famili lain* 5,3 1,6 10,0 2,9 15,9 26,3 3,2 19,0 22,7 17,6 25,0 15,4 0,0

Daerah beraliran deras(AD)

Baetidae 4,1 5,5 38,2 9,7 34,5 12,5 3,3 6,9 0,0 5,1 7,7 16,7 22,2

Caenidae 24,5 27,4 5,9 44,2 13,8 37,5 0,0 17,2 0,0 0,0 15,4 0,0 0,0

Leptophlebiidae 2,0 2,7 26,5 3,5 0,0 12,5 3,3 17,2 0,0 0,0 0,0 33,3 22,2

Ceratopogonidae 2,0 1,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Chironomidae 55,1 46,6 17,6 28,3 41,4 22,5 56,7 44,8 31,3 69,2 30,8 50,0 33,3 Famili lain* 12,2 16,4 11,8 14,2 10,3 15,0 36,7 13,8 68,8 25,6 46,2 0,0 22,2

Ket.: * Trycorythidae, Naucoridae, Corduliidae, Libellulidae, Elmidae, Culicidae, Ephydridae, Simuliidae, Trichoptera, Pyralidae, Oligochaeta, dan Gastropoda.

Selain bersifat bentik, beberapa makroavertebrata juga ditemukan dalam kondisi hanyut. Kelompok benthos yang dominan umumnya mendominasi hanyutan (Brittain & Eikeland 1988). Kondisi ini bisa disebabkan oleh peningkatan kecepatan aliran air saat banjir (Bogatov 1978), predasi (Peckarsky 1980) dan kompetisi (Hildrew & Townsend 1980). Namun dalam penelitian ini, kelimpahan makroavertebrata hanyut yang tinggi ditemukan pada saat kondisi aliran rendah (Juli-Oktober) dan pada habitat di daerah tepi (TAL dan TAS) yang beraliran air lebih lambat (Gambar 13). Pada kondisi aliran air yang lambat akan berimplikasi terhadap peningkatan hanyutan avertebrata (Corrarino & Brusven 1983; Poff & Ward 1991; James et al. 2008). Mekanisme hanyutan akan memungkinkan untuk menghindari habitat yang tidak menguntungkan (Dudgeon 1983).


(47)

Gambar 13. Kelimpahan makroavertebrata hanyut pada setiap tipe habitat dan waktu pengambilan contoh di S. Nimbai dan S. Aimasi

Ket.: TAL = tepi sungai beraliran lambat, TAS = tepi sungai beraliran sedang, L = lubuk, dan AD = daerah aliran deras, Angka di bagian atas menunjukkan kelimpahan. TAL 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 Sungai Nimbai 7,73 6,76 9,20 17,14 19,17 4,88 3,09 TAL 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Sungai Aimasi 2,69 2,33 2,05 2,67 0,61 1,72 TAS 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 3,56 2,20 1,87 3,63 6,88 2,12 1,54 TAS 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 4,22 2,98 4,53 0,94 0,15 0,75 L 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 0,24 3,06

1,28 2,181,07 0,181,11

L 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 1,01

0,08 0,40 0,43 0,09 0,32

AD 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00

Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan

0,27 5,04

0,95 1,56 0,25 0,13 0,40

AD 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00

Juli Agt Sep Okt Nov Des Bulan

0,55

0,15 0,19 0,28 0,03 0,32

K el im p ah an M ak ro av er te b ra ta h an y u t (I n d iv id u /m 3 )


(48)

4.2 Pertumbuhan Ikan Pelangi Arfak

4.2.1 Tahap Perkembangan dan Karakteristik Seksual

Tahap perkembangan yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi telur, larva, juvenil, ikan muda dan dewasa. Identifikasi beberapa tahap perkembangan awal dilakukan berdasarkan perbandingan morfologi dengan telur, larva dan juvenil jenis ikan pelangi lainnya (misalnya, M. s. fluviatilis, M. s. splendida dan M. duboulayi) (Allen 1995; Crowley et al. 1986; Reid & Holdway 1995; Humphrey et al. 2003) (Gambar 3 dan 4). Suatu kelompok telur yang ditemukan pada habitat tepi beraliran lambat di Sungai Aimasi (bulan September) ditunjukkan pada Gambar 14, sedangkan tahap perkembangan larva dan juvenil dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. Berdasarkan kategori perkembangan larva menurut Kelso & Rutherford (1996) yang diacu dalam King (2004), larva yang ditemukan berada dalam tahap preflexion (tidak terdapat lekukan pada ujung notochord) dan postflexion(lekukan ke arah atas dari notokorda dan jari-jari sirip ekor terbentuk). Jumlah individu tahap perkembangan awal berdasarkan tipe habitat dan waktu ditunjukkan pada Tabel 9.

Gambar 14. Kumpulan telur ikan pelangi arfak yang ditemukan pada habitat tepi beraliran lambat di S. Aimasi

Sebagian besar anggota Melanotaeniidae memiliki dimorfisme seksual yang jelas, yaitu individu jantan berwarna lebih cerah dan memiliki tinggi tubuh yang lebih tinggi serta sirip dorsal pertama lebih panjang dibandingkan pada individu betina (Allen 1991; 1995; Allen et al. 2000). Namun demikian, karakteristik seksual ini terutama terlihat jelas pada individu berukuran besar.


(49)

Gambar 15. Larva ikan pelangi arfak (a) PB 4,03 mm dan (b) PB 6,14 mm yang ditemukan pada habitat tepi beraliran lambat di S. Nimbai

Gambar 16. Juvenil ikan pelangi arfak (PB 11,08 mm) yang ditemukan pada habitat beraliran lambat di S. Aimasi

Tabel 9. Jumlah individu setiap tahap perkembangan awal ikan pelangi arfak berdasarkan waktu penangkapan di S. Nimbai dan S. Aimasi

Bulan Tipe Habitat Tahap Perkembangan Jumlah Individu Sungai Nimbai

Juli TAS Juvenil 1

Agustus TAL Larva* 17

TAL Larva* 1

September

TAL & TAS Juvenil 6

Oktober TAL & TAS Juvenil 3

November TAL Juvenil 2

Sungai Aimasi

TAL & TAS Juvenil 4

Agustus

TAL Telur 13

September TAL & TAS Juvenil 2

Oktober TAL & TAS Juvenil 11

November TAL Juvenil 8


(50)

Hasil pengamatan terhadap karakteristik dimorfisme seksual pada ikan pelangi arfak menunjukkan bahwa individu jantan memiliki warna yang lebih cerah pada ukuran sekitar 40 mm (Gambar 2). Walaupun perbandingan tinggi tubuh terhadap panjang baku pada individu jantan lebih besar (34,0-38,7%), namun nilai perbandingan ini relatif sama di antara kedua jenis kelamin pada individu berukuran lebih kecil. Kondisi ini bisa dilihat melalui persamaan garis regresi di antara perbandingan tinggi tubuh terhadap panjang baku dengan panjang baku di antara kedua jenis kelamin yang berpotongan pada ukuran panjang baku 22,48 mm (di Sungai Nimbai) dan 18,22 mm (di Sungai Aimasi) (Gambar 17). Hal ini juga ditemukan pada M.s.splendida, dimorfisme seksual nampak ketika ikan mencapai ukuran panjang baku 37-42 mm (Humphreyet al. 2003).

S. Nimbai

Betina

TT/PB = 0,236 + 0,001 PB R2 = 0,572

Jantan

TT/PB = 0,208 + 0,003 PB R2= 0,833

0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

0 10 20 30 40 50 60 70 80 Panjang Baku (mm)

Jantan Betina

S. Aimasi

Betina

TT/PB = 0,231 + 0,001 PB R2= 0,534

Jantan

TT/PB = 0,210 + 0,003 PB R2= 0,793

0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5

0 10 20 30 40 50 60 70 80 Panjang Baku (mm)

Jantan Betina

Gambar 17. Perbandingan tinggi tubuh terhadap panjang baku individu jantan dan betina ikan pelangi arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi

4.2.2 Distribusi Spasial Tahap Perkembangan dan Ukuran Ikan

Individu muda dan dewasa ditemukan pada semua tipe habitat, sedangkan tahap perkembangan awal (telur, larva, dan juvenil) ditemukan hanya pada tipe habitat di bagian tepi yang beraliran lambat (TAL dan TAS), terutama pada kondisi aliran air yang rendah (Tabel 9, Gambar 18). Demikian juga berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa ukuran ikan yang relatif kecil cenderung mendiami tipe habitat di bagian tepi dengan kondisi aliran yang relatif lebih lambat dan sebaliknya pada individu berukuran besar (Lampiran 7 dan 8).

T inggi T ubuh : P anj ang B aku


(51)

S. Nimbai 0 20 40 60 80 100

TAL TAS L AD

Tipe Habitat 81 90 115 85

S. Aimasi 0 20 40 60 80 100

TAL TAS L AD

Tipe Habitat

Muda & Dewasa Juvenil

Larva Telur 128 84 105 77

Gambar 18. Pemanfaatan tipe habitat oleh setiap tahap perkembangan ikan pelangi arfak di S. Nimbai dan S. Aimasi

Ket.: TAL = tepi sungai beraliran lambat, TAS = tepi sungai beraliran sedang, L = lubuk, dan AD = daerah aliran deras.

Pemanfaatan mikrohabitat di antara jenis yang berbeda atau di antara kelas ukuran yang berbeda dari suatu jenis merupakan suatu penyesuaian di antara kebutuhan secara fisiologis dan interaksi biotik dalam ekosistem. Kecepatan aliran, kedalaman dan suhu air akan mempengaruhi suplai oksigen sehingga membatasi distribusi ikan secara fisiologis dan fisik (Moyle & Baltz 1985 diacu dalam Zweimüller 1995).

Keberadaan individu muda dan dewasa (berukuran besar) pada tipe habitat beraliran lebih deras (L dan AD) diduga berkaitan dengan kemampuan adaptasi renangnya dan untuk memaksimalkan laju pengambilan oksigen (Fry 1971) yang relatif lebih tinggi konsentrasinya di kedua tipe habitat ini. Selain kemampuan adaptasinya pada habitat beraliran deras, keberadaan individu dewasa ikan pelangi pada tipe habitat beraliran lambat di bagian tepi sungai juga berkaitan dengan aktivitas reproduksi (Allenet al. 2000), yaitu untuk menempelkan telur-telur pada vegetasi yang terendam (Allen 1995; Allenet al. 2000) pada kedalaman sekitar 10 cm dari permukaan dan dalam kondisi berkelompok antara 3 dan 10 telur (Milton & Arthington 1984).

Tahap perkembangan awal yang hanya ditemukan pada tipe habitat di bagian tepi diduga berkaitan dengan pergerakannya yang terbatas (Heggenes

Jum la h Indi vi du (% ) S. Aimasi


(1)

APA MASALAH YANG KAMI HADAPI

BALAI PENELITIAN KEHUTANAN PALEMBANG TIDAK MELAKUKAN PENGELOLAAN BLOK AGROFORESTRY / TUMPANGSARI DENGAN BAIK SETELAH SELESAINYA KERJASAMA “JICA”

KEBIJAKAN BALAI MENGENAI PENGELOLAAN KAWASAN BELUM JELAS

BALAI KURANG PEDULI/MAKSIMAL DALAM MENGELOLA BLOK AGROFORESTRY

BELUM ADA SARANA PENDUKUNG PENGELOLAAN KAWASAN AKTIVITAS PENGELOLAAN TERHADAP BLOK AGROFORESTRY

KURANG DIPERHATIKAN

BELUM ADA KEINGINAN KUAT DARI BALAI UNTUK MENGELOLA BLOK AGROFORESTRY

BELUM ADA KESERIUSAN SEMUA PIHAK DALAM MENGELOLA BLOK AGROFORESTRY

BELUM ADA ATURAN DAN KOMUNIKASI DENGAN MASYARAKAT MENGENAI PENGELOLAAN BLOK AGROFORESTRY

KEGIATAN BALAI PASCAKERJASAMA JICA TIDAK DIARAHKAN KE BLOK AGROFORESTRY.

LAHAN DI BLOK AGROFORESTRY SEBAGIAN BESAR TELAH DIGUNAKAN MASYARAKAT UNTUK BERKEBUN

MASYARAKAT SECARA DOMINAN TELAH MELAKUKAN KEGIATAN PENGGUNAAN LAHAN SEHINGGA PENGELOLAAN KAWASAN SULIT DILAKUKAN

KETERGANTUNGAN MASYARAKAT TERHADAP LAHAN SANGAT TINGGI DI BLOK AGROFORESTRY

KEGIATAN MASYARAKAT DI BLOK AGROFORESTRY SULIT DICEGAH KARENA BERHUBUNGAN DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR MASYARAKAT


(2)

Lampiran 3 Kamus istilah (Glossary)

Aktor : Individu yang memiliki kepedulian terhadap situasi masalah. Ia dapat melaksanakan satu atau lebih aktivitas dalam sistem atau

menghentikannya.

Berpikir sistem : System thinking; adalah berpikir secara holistik dengan melihat obyek yang dikaji dalam kaitannya dengan komponen-komponen lainnya.

Debat : Mendiskusikan atau memeriksa sebuah pertanyaan melalui penyampaian dan pertimbangan argumentatif oleh beberapa pihak.

Dialog : Sebuah percakapan antara dua atau lebih orang-orang; pertukaran gagasan dan pendapat.

Diskusi : Proses mempetimbangkan sebuah pertanyaan secara terbuka dan biasanya dalam debat informal.

Fasilitasi : Proses sadar dan sepenuh hati membantu kelompok mencapai tujuannya / mencipta pilihan-pilihan terbaik dengan cara taat pada nilai-nilai dasar partisipasi agar kelompok benar-benar berfungsi sebagai kelompok Fasilitasi reflektif : Gaya fasilitasi yang dilakukan oleh salah

seorang atau sekelompok orang yang berperan pula sebagai aktor dalam proses, melalui pelibatan praktik pemikiran sistem. Rasionalitas gaya fasilitasi ini adalah

komunikasi. Ini memungkinkan fasilitator untuk segera mengubah sikap dan perilaku dirinya dan atau kelompoknya setelah mendapat informasi baru.

Gambar situasi : Rich picture; Sketsa situasi masalah melalui

media gambar yang melukiskan cara pandang para pihak dan interaksinya. Metode ini

sebagai alat untuk membangkitkan diskusi antarpihak.

Hutan penelitian : Adalah kawasan hutan yang difungsikan sebagai areal bagi pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan, terutama untuk sektor kehutanan.

Ice breaking : Kegiatan yang dirancang untuk membuat proses belajar dan atau interaksi lebih

menyenangkan. Ini berfungsi untuk membantu orang untuk saling mengenal dan rileks. Isu : Topik yang menarik untuk didiskusikan karena

menjadi perhatian semua orang. Isu dapat berbentuk pernyataan kebijakan yang belum menjadi kebijakan saat ini. Isu dapat pula


(3)

berarti harapan masa depan yang berpotensi untuk diwujudkan.

Kawasan hutan : Wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Keabsahan : Legitimacy; Atribut yang merujuk kepada

perilaku yang diterima dan diharapkan secara sosial.

Kekuatan : Power; Atribut yang mengacu kepada

kemampuan dalam mengontrol sumberdaya Kepentingan : Interest; Atribut yang berarti terdapat

―sesuatu‖ yang harus menjadi perhatian. Kognitif : Proses mental untuk mengingat, memikirkan,

memahami, mempersepsikan atau menilai sesuatu.

Konflik : Hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik tidak identik dengan perseteruan atau bentrokan fisik, meski itu adalah salah satu wujud konflik.

Konsensus : Kesepakatan umum; kebulatan suara Lokakarya : Search conference; Pertemuan multipihak

yang diselenggarakan untuk memahami suatu masalah kemudian bersama-sama mencari solusi atas masalah tersebut dengan melihat berbagai alternatif dan kemungkinan yang terjadi dalam masa depan tertentu (timeline).

Masalah : Kesenjangan antara sesuatu yang diharapkan dengan fakta saat ini.

Metaplan : Lembaran (biasanya berupa kertas) tempat

menuangkan satu gagasan pikiran. Metodologi : Ilmu atau prinsip-prinsip tentang metode. Metodologi Sistem Keras

(MSK) :

Hard Systems Methodology; Pendekatan

penelitian berbasis sistem yang meyakini bahwa obyek yang dikaji memiliki struktur hubungan dan tujuan yang dapat dibatasi. Kumpulan metodologi ini misalnya

perekayasaan sistem, analisis sistem, dinamika sistem, riset operasi, and manajemen sibernetik. Sistem yang didefinisikan oleh metodologi ini bertujuan untuk optimisasi.

Metodologi Sistem Lunak

(MSL) :

Soft Systems Methodology; merupakan

kerangkakerja (framework) pemecahan

masalah yang dirancang secara khusus untuk situasi dimana hakikat masalah sulit untuk didefinisikan. Esensinya adalah membangun model sistem melalui pemahaman dan


(4)

sesuai fenomena yang dihadapi. Metodologi ini bertujuan untuk memperbaiki masalah sosial yang dihadapi dengan melibatkan secara aktif aktor-aktor yang berkepentingan melalui sebuah siklus pembelajaran yang idealnya tidak pernah berhenti. Proses penyelidikan mengenai kerumitan suatu masalah bagi MSL akan menciptakan pembelajaran.

Model : Abstraksi atau penyederhanaan dari dunia nyata yang mampu menggambarkan struktur dan interaksi elemen serta perilaku

keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang dan tujuan yang diinginkan.

Model konseptual : Model yang dihasilkan dari kognitif orang. Model ini bersifat hipotetik. Dalam MSL model konseptualnya berupa interaksi kumpulan aktivitas bertujuan (purposeful activity model)

dengan kata kerja + frase kata benda sebagai bahasa model.

Negosiasi : sebuah bentuk pembuatan keputusan dimana dua pihak atau lebih saling berbicara dalam usaha untuk merubah kepentingan mereka yang berlawanan

Para pihak : Stakeholders; Istilah stakeholders muncul pertama kali dalam referensi ilmiah pada tahun 1963. Pada saat itu ia mengacu kepada orang-orang yang tanpa dukungan mereka sebuah organisasi akan runtuh. Istilah

stakeholders menjadi terkenal setelah Freeman pada tahun 1984 mempublikasikan buku “Strategic Management, a Stakeholders approach”. Freeman mendefiniskan para pihak sebagai individu atau kelompok yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh

pencapaian tujuan organisasi. Definisi yang lebih terbaru dibuat oleh Mitroff dan Linstone (1993) yaitu ―setiap individu, kelompok, organisasi, atau institusi yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh individu, kelompok, organisasi, atau institusi. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, Rolling dan Wagemaker mendefinisikan para pihak sebagai pengelola dan pemanfaat sumberdaya alam. Pada realitasnya, muncul istilah para pihak utama, sekunder, tertier, pendukung dan sebagainya. Ini mengacu pada derajat kepentingan mereka terhadap sumberdaya atau pencapaian tujuan organisasi.


(5)

mempunyai pengaruh dan membagi

wewenang di dalam prakarsa ‖pembangunan‖, termasuk mengambil keputusan atas

sumberdaya.

Pembelajaran : Learning; terjadi saat umpan balik informasi

memengaruhi keputusan berikutnya. Pembelajaran adalah proses mengambil hikmah atas akibat tindakan-tindakan yang dilakukan secara terus menerus.

Pembelajaran adalah sebuah proses sadar yang disengaja atau dilembagakan, tanpa adanya kesadaran ini maka pembelajaran tidak akan efektif. Pembelajaran adalah konsep proaktif, artinya si pembelajar itu sendiri yang harus aktif untuk belajar, bukan orang lain yang mengajari si pembelajar. Pemodelan : Modelling; cara untuk meningkatkan

pembelajaran (learning) dalam sistem

kompleks. Pemodelan adalah metode untuk mengembangkan model-model simulasi atau tiruan untuk membantu memahami

kompleksitas dari sistem, memahami sumber-sumber masalah dan merancang solusi atas masalah tersebut.

Prasangka : Prejudice: Dugaan terhadap ―sesuatu‖ sebagai

hasil olah kognitif. Prasangka bermakna negatif apabila berhubungan dengan stereotif yang keliru terhadap ―sesuatu‖.

Proses : Kemajuan; sesuatu yang terus berlangsung; sebuah fenomena alami yang ditandai oleh perubahan bertahap menuju sebuah hasil yang khusus.

Proses multipihak : Proses yang bertujuan untuk membawa semua pihak utama dalam bentuk baru komunikasi dan pencarian keputusan (dan mungkin pembuatan keputusan) dalam isu tertentu

Sikap : Respon manusia yang menempatkan obyek yang dipikirkan ke dalam suatu dimensi pertimbangan

Simulasi : Eksekusi sebuah model

Sistem : Suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk

mencapai suatu tujuan atau suatu suatu gugus dari tujuan-tujuan

Sistem Aktivitas Bertujuan : Purposeful Activity Sistems; Sekumpulan

gagasan aktivitas untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Sistem ini terkoneksi antaraktivitas yang menunjukkan hubungan bergantung. Jika aktivitas A menunjuk B, maka berarti B dapat dilakukan jika A telah


(6)

dilaksanakan.

Sistem Lunak : Soft system; sistem yang hanya ada jika

manusia-manusia didalamnya menyusun sistem sepakat untuk memperlakukan interaksi diantara mereka serta dengan lingkungannya sebagai sebuah sistem. Situasi masalah : Semua elemen yang memengaruhi terjadinya

masalah. Situasi masalah lebih luas dari masalah. Situasi masalah tidak hanya

berhubungan obyek masalah namun mengapa orang-orang menyatakan ―sesuatu‖ tersebut sebagai masalah (subyektif).

Skenario : Pemikiran yang leluasa dan terkadang liar tentang masa depan dengan

mempertimbangkan alternatif-alternatif yang bisa terjadi. Skenario berguna untuk

mempertimbangkan dan melihat beragam kemungkinan masa depan. Skenario adalah cara berpikir yang longgar tentang masa depan, tidak rigid dan tidak perlu menganut pola-pola peramalan yang ilmiah

Stereotif : Sebuah kumpulan keyakinan-keyakinan tentang atribut personal dari sekelompok orang-orang. Patut diperhatikan bahwa stereotif bukan ―kebiasan buruk‖; ia melekat dalam proses kognitif kita. Ia membuat persepsi kita tentang sesuatu menjadi lebih cepat. Misalnya, jika kita melihat seseorang yang telah berumur tua, maka pikiran kita langsung mempersepsikan bahwa orang tersebut geraknya lambat.

Transformasi : Proses perubahan suatu keadaan menjadi keadaan lainnya. Dalam MSL transformasi mengubah satu wordview menuju worldview

yang lebih diinginkan

Wawancara kelompok fokus : Metode penelitian kualitatif untuk

mendapatkan jawaban atas satu atau lebih pertanyaan (masalah) dari satu kelompok atau komunitas tertentu. Ini berbeda dengan diskusi yang identik dengan debat dan kontestasi gagasan. Metode ini memungkinkan peneliti mendapatkan data kuantitatif dan kualitatif dalam suatu kelompok.

Worldview : Cara pandang; cara mempersepsikan obyek

yang diperhatikan. Ini dipengaruhi oleh nilai-nilai, keyakinan, status pengetahuan, pengalaman masing-masing orang.