Indikator Peningkatan Hubungan Ekonomi ASEAN-Cina 1 Aspek Perdagangan Luar Negeri

83 ini, maka manfaat jangka panjang dari mekanisme ini diharapkan dapat terwujud yaitu makin terciptanya interdependensi baik ekonomi maupun politik di antara keduanya. Dampak jangka pendek dari penerapan skema ini yaitu melemahnya sektor manufaktur negara-negara ASEAN seperti pada komoditi tekstil. Sebagai timbal baliknya, ASEAN dapat mengambil keuntungan melalui ekspor komoditi bahan mentah, sebagai penunjang dari kelangsungan proses industri yang terjadi di Cina. Jadi sebagai produsen bahan baku dan energi, negara ASEAN akan diuntungkan, tetapi sebagai produsen barang-barang manufaktur, Cina akan lebih diuntungkan. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai indikator atau tolak ukur dari perdagangan luar negeri yang terjadi antara ASEAN dan Cina, selain juga aspek investasi yang menjadikan ACFTA memiliki orientasi jangka panjang. B. Indikator Peningkatan Hubungan Ekonomi ASEAN-Cina B.1 Aspek Perdagangan Luar Negeri Peningkatan hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan Cina yang berujung pada pembentukan ACFTA, mengindikasikan meningkatnya juga perdagangan luar negeri di antara keduanya. Meningkatnya perdagangan ini juga mengindikasikan adanya situasi saling ketergantungan di antara keduanya. Kedua pihak sama-sama membutuhkan rekannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri masing-masing yang tidak dapat dipenuhi melalui produksi nasionalnya. Namun, yang menjadi persoalan adalah apakah perdagangan yang terjadi di antara keduanya bersifat saling menguntungkan atau hanya lebih menguntungkan di satu 84 pihak saja. Oleh karena itu, bagian ini akan mencoba menggambarkan peningkatan perdagangan luar negeri yang terjadi di antara keduanya. Melalui mekanisme ACFTA selain bidang investasi dan jasa, maka sektor perdagangan barang juga menjadi cakupannya. Dengan adanya pengurangan hambatan tarif dan non-tarif yang terjadi dalam ACFTA, maka peningkatan jumlah perdagangan menjadi suatu hal yang sangat logis. Peningkatan jumlah perdagangan yang terjadi antara kedua pihak dapat dilihat pada tabel IV.1. Tabel IV.1 ASEAN Ekspor dan Impor menuju Cina: 2003-2009 juta US 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total Ekspor 29.059 41.351 52.257 65.010 77.945 87.594 81.591 434.807 Impor 30.577 47.714 61.136 74.951 93.172 109.289 96.594 513.433 Total 59.636 89.065 113.393 139.961 171.117 196.883 178.185 948.240 Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Dari data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa kecenderungan total perdagangan yang terjadi di antara keduanya memang mengalami peningkatan. Jika dibandingkan dengan dua tahun sebelum pelaksanaan mekanisme ini, yaitu 2001 dan 2002 yang total perdagangan di antara keduanya hanya sebesar 31.915 dan 42.759 jutaUS, maka pelaksanaan ACFTA mampu memberikan kemudahan untuk meningkatkan intensitas jumlah perdagangan yang terjadi. Hal ini membuktikan bahwa mekanisme perdagangan bebas dapat meningkatkan jumlah perdagangan di antara pihak yang menyepakatinya. Melalui mekanisme ini, Cina juga telah menjadi mitra dagang terbesar ketiga bagi ASEAN di tahun 2008 setelah Jepang dan Uni Eropa. Padahal di tahun 2007 Cina masih menduduki peringkat keempat di bawah Amerika Serikat. Rata- rata pertumbuhan perdagangan yang terjadi antara ASEAN dan Cina sejak 2003 hingga 2009 yaitu 22,62 persen. Atau pertumbuhan perdagang terbesar yang 85 terjadi antara ASEAN dengan negara lain. Jepang sendiri dalam periode yang sama hanya mengalami peningkatan sebesar 7,40 persen ASEAN Statistical Book 2010. Sedangkan bagi Cina, ASEAN merupakan mitra dagang terbesar ketiga di tahun 2010 setelah Uni Eropa dan Amerika Serikat dengan peningkatan perdagangan sebesar 66,4 persen dari tahun sebelumnya Ministry of Commerce PRC. Hal ini mengindikasikan cukup pesatnya pertumbuhan perdagangan yang terjadi di antara keduanya. Namun dengan total Ekspor ASEAN menuju Cina yang lebih sedikit dibandingkan jumlah Impornya dari Cina, hal ini menunjukkan bahwa dari segi nilai ekonomi maka ASEAN lebih dirugikan. Meskipun dari segi total perdagangan ASEAN lebih dirugikan, namun pada beberapa sektor ASEAN dapat menarik keuntungan. Sektor-sektor tersebut seperti pada hasil-hasil pertanian agricultural. 14 Pada periode 2007 ASEAN mendapatkan keuntungan 2.587 juta US, 4.824 juta US pada 2008, dan 5.817 juta US pada 2009 ASEAN Statistical Book 2010. Bagi ASEAN, meningkatnya keuntungan dari sektor pertanian mungkin suatu hal yang wajar, mengingat bahwa jumlah penduduk Cina yang sangat besar yaitu 1,3 milyar jiwa atau seperlima dari penduduk dunia. Cina tidak mungkin dapat memenuhi sendiri kebutuhannya pada sektor ini. Di sisi lain, Cina juga mendapatkan keuntungan dari kerjasamanya dengan ASEAN. Melalui skema ini, Cina dapat leluasa memasarkan produk manufakturnya, seperti komoditi elektronik. Sebagai contoh, pada 2007 Cina mendapatkan keuntungan sebesar 5.590 juta US, 8.298 juta US pada 2008, dan 6.794 jutaUS pada 2009 melalui sektor ini ASEAN Statistical Book 14 Padi, pisang, nanas, minyak kelapa sawit, minyak kelapa, udang, lobster, tembakau, dan karet mentah. 86 2010. Jika jumlah penduduk menjadi hambatan bagi Cina untuk memenuhi konsumsi domestiknya, maka dalam hal komoditi olahan manufaktur Cina mampu meraih keuntungan. Karena dengan jumlah penduduk yang begitu banyak, serta upah buruh yang jauh lebih murah dari ASEAN, Cina mampu mentransformasikannya menjadi sebuah pabrik raksasa yang mampu menghasilkan komoditi berlimpah. Dari data-data ini dapat dilihat bahwa perdagangan bebas mampu meningkatkan intensitas jumlah perdagangan yang terjadi. Namun, keuntungan yang diperoleh tidak sama jumlahnya bagi pihak yang menyepakatinya, tergantung tingkat kompetitif dari sektor-sektor yang bersaing. Oleh karena itu, mekanisme dalam ACFTA memungkinkan bagi setiap negara untuk merubah jangka waktu penerapan skema ini, ataupun membatasi sektor-sektor yang dianggap sensitif lihat lampiran 2 artikel 2. Merubah jangka waktu penerapan, berarti bisa mempercepat ataupun memperlambat pelaksanaannya. Seperti yang terjadi pada Thailand, yang mempercepat pelaksanaan mekanisme ACFTA ini dengan Cina sejak tahun 2003, padahal sebenarnya melalui mekanisme EHP baru dimulai pada 2004 Yu dalam Leong Ku eds. 2005, h. 47. Atau ASEAN-CMLV yang justru menundanya hingga 2015 karena belum siap dalam menghadapi perdagangan bebas ini. Oleh karena itu, masing-masing negara harus mampu meningkatkan kualitasnya agar mampu bersaing dalam perdagangan bebas ini. B.2 Aspek Investasi Investasi juga menjadi bagian dalam perjanjian ini. Melalui investasi yang masuk, maka setiap negara mampu mengatasi minimya modal untuk 87 meningkatkan perekonomiannya. Investasi ini dapat dilakukan di berbagai sektor, misalnya infrastruktur, finansial, transportasi dan lain sebagainya. Menurut Ethier dalam Pambudi Chandra 2006, h. 22, negara-negara dengan ekonomi yang lebih besar khususnya, biasanya ingin memperluas pasar mereka secara lebih cepat melalui pelaksanaan FTA. Sebaliknya, negara-negara dengan ekonomi yang relatif lebih rendah, lebih memilih pelaksaan FTA dengan negara lain yang lebih besar guna menarik investasi. Menurut Bank Dunia yang membagi tingkatan sebuah negara berdasarkan pendapatan perkapitanya, Cina berada pada posisi negara dengan kategori pendapatan menegah atas upper middle income, bersama dengan Thailand dan Malaysia. Pada posisi di atasnya, yaitu pendapatan tinggi Singapura dan Brunei Darussalam high income. Sementara Indonesia, Filipina, Laos dan Vietnam pada posisi menengah bawah lower middle income, Kamboja dan Myanmar pada posisi pendapatan rendah low income World Bank 2010. 15 Melalui pembagian ini, memang tidak mencerminkan kemampuan suatu negara untuk berinvestasi maupun menyerap investasi dari negara lain, namun dengan posisi Cina yang paling tidak lebih di atas sebagian besar negara ASEAN lainnya, maka skema ACFTA diharapkan mampu menjadi daya tarik bagi investasi Cina di kawasan Asia Tenggara. Salah satu penyebab dari pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu cepat, selain karena ekspansi pasar yang luar biasa adalah kemampuan Cina untuk menyerap investasi asing. Kondisi politik domestik yang relatif stabil, ditambah 15 Data berdasarkan dari nilai semua produk barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam satu tahun, bersama dengan penghasilan bersih yang diterima dari negara lain Gross National Income GNI kemudian dihitung melalui World Bank Atlas Method. Pendapatan rendah 1.005 atau kurang; menegah bawah, 1.006 - 3.975; menegah atas, 3.976 - 12.275; dan pendapatan tinggi, 12.276 atau lebih. Hasil berdasarkan GNI 2010. 88 terus berkembangnya kebijakan ekonomi Cina ke arah keterbukaan, membuat banyak negara menanamkan modalnya ke negara ini. Wong dalam Wibowo 2007, h. 32 menyatakan pada 1988 misalnya jumlah modal asing yang ditanamkan di Cina hanya 2 milyar US. Namun, tiga belas tahun kemudian, pada 2001 angka itu telah meningkat lebih dari 45 milyar US. Bahkan di 2002 Cina melewati Amerika Serikat sebagai negara penerima FDI terbesar di dunia dengan nilai sebesar 53 milyar US. Dari nilai FDI tersebut kebanyakan berasal dari negara-negara Asia Timur Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan yang secara keseluruhan menyumbang 60 persen dari seluruh FDI. FDI yang bersal dari ASEAN hanya 6 persen, baru sisanya dari Amerika Serikat dan Eropa Barat. Lebih jauh Pambudi dan Chandra 2006, h. 27 menyatakan bahwa pada tahun 2005 misalnya, penanaman modal asing dari negara-negara ASEAN ke Cina mencapai 38 milyar US, namun 80 persen dari penanaman tersebut hanya didapat dari Singapura. Hal ini makin menunjukkan bahwa investasi akan mengalir dari negara yang memiliki skala ekonomi lebih besar menuju negara yang lebih kecil dari nilai ekonomi. Bagi investasi Cina menuju ASEAN sendiri, meskipun menurut Danyang dalam Hock, Jun, Wah eds. 2005, h. 216 lebih kecil nilainya dari investasi ASEAN menuju Cina yang didominasi Singapura. Namun, investasi Cina ini juga mengalami peningkatan, pada 2001 misalnya sebesar 1,1 milyar US atau sekitar 7,7 persen dari total investasi Cina. Lebih jauh Chirathivat dalam Hock, Jun, Wah eds. 2005, h. 235 menyatakan bahwa investasi Cina ke ASEAN sejak 1990 hingga 2001 mencapai 660 juta US, dengan tujuan utama ke negara-negara seperti Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam. Jadi meskipun nilai 89 investasi Cina lebih kecil jika dibandingkan nilai investasi ASEAN ke Cina, hal ini bukan berarti dapat merugikan salah satu pihak, seperti yang terjadi pada persoalan perdagangan. Jadi bukan berarti investasi yang mengalir ke luar kawasan dari salah satu negara dapat merugikan kawasan tersebut, karena negara yang berinvestasi maupun penerimanya sama-sama diuntungkan. Investasi dari ASEAN menuju Cina, hanya didominasi oleh Singapura sekitar 80 persen dari total keseluruhannya. Namun, FDI Cina menuju ASEAN kecenderungannya juga terus meningkat, yaitu sebesar 2,3 persen sejak 2002 hingga 2009 dengan nilai sebesar 7.807 juta US. Atau menempati peringkat ke-5 setelah Uni eropa, Jepang, Amerika Serikat dan Korea Selatan ASEAN Statistical Book 2010. Selain itu, kemampuan Cina untuk menarik penanaman modal asing, dianggap oleh ASEAN tidak lagi sebagai ancaman bagi pertumbuhan ekonomi ASEAN, namun justru sebagai peluang. Karena menyatunya hubungan ekonomi ASEAN dan Cina dalam ACFTA, maka ASEAN tidak hanya mengharapkan investasi yang berasal dari Cina tetapi juga dengan negara-negara lain yang memang sudah lebih dulu menanamkan modalnya di Cina. Dengan terintegrasinya ASEAN dan Cina, hal ini akan menjadi daya tarik sendiri bagi investasi asing yang mengalir ke kawasan ini. Dalam hal ini, daya tarik ASEAN sebagai suatu kawasan akan semakin meningkat karena kehadiran Cina di wilayah ini, sehingga mekanisme ini diharapkan akan terus menguntungkan bagi kedua belah pihak. 90

C. Dampak Terbentuknya ACFTA Terhadap Hubungan Ekonomi ASEAN- Cina