KONDISI INTERNAL EKONOMI CINA 1 Keterbatasan Bahan Mentah dan Sumber Daya Alam di Cina

61 B. KONDISI INTERNAL EKONOMI CINA B.1 Keterbatasan Bahan Mentah dan Sumber Daya Alam di Cina Pertumbuhan ekonomi Cina yang pesat secara berkelanjutan mengharuskan Cina memastikan bisa memperoleh cukup pasokan energi dan bahan mentah. Dalam hal ini, negara-negara ASEAN yang kaya akan sumber daya alam dipandang sebagai pemasok energi yang sangat penting Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h. 46. Salah satu alasan yang membuat Cina menjalin dan meningkatkan hubungan ekonomi dengan ASEAN adalah karena sebagian besar negara-negara anggota ASEAN memiliki stok bahan mentah dan sumber daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi Cina. Cina menyadari bahwa bahan-bahan mentah sangat diperlukan guna menunjang proses industrialisasinya. Menurut Wibowo dan Kusuma dalam Wibowo Hadi eds. 2009, h. 170, sejak tahun 1950-an hingga awal 1990-an Cina telah mengembangkan lebih dari 18 ladang minyak dan gas tepi pantai onshore dan tujuh ladang minyak lepas pantai offshore, yang menghasilkan 140 juta ton per tahun. Terlebih lagi pada tahun 1985, Cina dapat mengekspor 25 persen dari produksi minyaknya dan 25 persen devisanya diperoleh dari ekspor minyak dan produk-produk minyak. Seiring dengan proses pembangunan ekonomi yang semakin cepat, kebutuhan akan minyak juga semakin meningkat. Oleh karena itu, menurut Wibowo dan Kusuma dalam Wibowo Hadi eds. 2009, h. 170, mulai tahun 1986 Cina menghentikan kebijakan lamanya, yaitu larangan mengimpor minyak. Pada tahun 1990 Cina mulai mengimpor minyak mentah hingga 3,5 juta barel per hari. Kebutuhan minyak terus meningkat, sementara pasokan minyak dalam negeri terus berkurang, hingga puncaknya pada tahun 1993 Cina tidak lagi 62 mengekspor minyak, tetapi justru mengimpornya. Saat ini kebutuhan minyak Cina telah mencapai angka 8,2 juta barel per hari peringkat ke-3 dunia dan akan terus meningkat. Pemenuhan kebutuhan tersebut 50 persen lebih berasal dari impor yaitu sebesar 4,4 juta barel per hari yang didapatkan dari berbagai negara di belahan dunia CIA World Factbook 2011. Pada beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Indonesia, Thailand dan Vietnam terdapat bahan-bahan mentah yang sangat diperlukan bagi Cina. Beberapa jenis komoditi itu antara lain adalah minyak bumi, karet, agrikultur, dan timah. Menurut Haacke dalam Leong Ku eds. 2005, h. 137, dengan kebutuhan energi yang semakin meningkat, tidaklah mengherankan jika investasi besar yang dilakukan Cina selama ini dalam konteks memperluas sumber pasokan energi dari berbagai kawasan di Asia Tenggara terus dilakukan. Di antaranya adalah pembelian lahan minyak Widuri di kepulauan seribu Indonesia senilai 585 juta Dolar AS oleh China National Offshore Oil Corporation CNOOC. Cina juga menunjuk Indonesia tanpa tender dalam kontrak selama 20 tahun untuk menyuplai gas alam ke Fujian. Lalu sesuai dengan pernyataan Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h. 47 bahwa bukanlah suatu kebetulan saat kunjungan Presiden Hu Jintao ke negara-negara Asia Tenggara pada April 2005, beliau mengumumkan dua kesepakatan bisnis. Pertama, kontrak senilai 950 juta dolar AS oleh Shanghai Baosteel Group Corporation dan Jinchuan Nonferrous Metal Corporation untuk merehabilitasi pabrik nikel di Filipina. Kedua, komitmen sebesar 500 juta dolar AS oleh China International Trust and Investment Company CITIC untuk berinvestasi di bidang perkebunan minyak sawit di Indonesia. 63 Menurut Soebagya eds. et al. 2008, h. 81, beberapa negara di Asia Tenggara memiliki potensi yang besar dan dianggap penting bagi Cina dalam konteks keberadaan pasokan minyak bumi yang dimiliki beberapa negara tersebut, seperti; Indonesia, Brunei, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Negara-negara tersebut tidak bisa terlepas dari diplomasi Cina, baik untuk eksplorasi minyak di negara mereka masing-masing ataupun kerjasama untuk mengadakan eksplorasi bersama. Soebagya eds. et al. 2008, h. 83 menambahkan, salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki kerjasama yang cukup baik dengan Cina dalam bidang eksplorasi minyak bumi adalah Brunei Darussalam. Kerjasama Cina dan Brunei, terutama dalam bidang energi ini telah mengalami banyak peningkatan, perusahaan minyak bumi milik Cina CNOOC telah mendapat izin untuk memberikan pelayanan kepada perusahaan minyak bumi setempat di bidang eksploitasi minyak dan gas. Soebagya menambahkan, dengan kemampuan untuk memproduksi minyak sebanyak 200 ribu barel per hari, maka Brunei telah menjadi produsen minyak bumi yang sangat potensial di Asia Tenggara dan hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Cina dalam meningkatkan kerjasamanya di kawasan ini. Selain dari bahan baku energi, jaminan pasokan pangan juga sangat penting bagi kondisi dalam negeri Cina. Menurut Wibowo 2007, h. 163 masalah pangan adalah masalah abadi di Cina. Untuk dapat mencukupi diri sendiri, Cina harus menemukan cara bagaimana memberi makan kepada 20 persen 1,3 milyar jiwa dari penduduk dunia, sementara hanya tersedia 7 persen dari bagian dunia yang dapat ditanami. Oleh karena itu, kedekatannya dengan ASEAN dianggap dapat menjadi solusi dalam memenuhi kebutuhannya ini. 64 Ketersediaan bahan mentah di negara-negara ASEAN ini menjadi orientasi kerjasama ekonomi yang senantiasa dikembangkan Cina kepada ASEAN. Artinya Cina ingin memperoleh akses yang sebesar-besarnya dan dalam jangka panjang atas komoditi-komoditi tersebut. Kegunaannya tentu untuk proses industrialisasi dan penguatan ekonomi Cina, terlebih lagi dengan jumlah penduduknya yang sangat besar memang membutuhkan keberadaan bahan-bahan mentah yang berasal dari negara-negara ASEAN tersebut. Pada bagian selanjutnya, akan dijelaskan faktor internal lainnya yang memicu Cina untuk terus mengembangkan kerjasama di bidang ekonomi dengan ASEAN. B.2 Perluasan Akses Pasar Akibat kemajuan ekonomi yang dialami oleh Cina, tidak hanya berimplikasi terhadap meningkatnya kebutuhan negara tersebut akan sumber daya alam yang dapat dipenuhi oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Namun selain faktor sumber daya alam, ASEAN menurut pandangan Cina juga memiliki potensi lain yang menjadi daya tarik untuk melakukan kerjasama. Daya tarik itu adalah potensi untuk memasarkan barang-barang produksi manufaktur dari Cina ke wilayah Asia Tenggara. Jika faktor sumber daya alam menjadi keuntungan bagi ASEAN untuk melakukan kerjasama dengan Cina, maka perluasan akses pasar berlaku sebaliknya. Meskipun ASEAN hanya berpenduduk setengah dari penduduk Cina yang berjumlah 1,3 milyar jiwa, namun potensi 500 juta penduduk yang dimiliki ASEAN sangat menarik bagi Cina untuk membentuk kerjasama ini. Menurut Haacke dalam Pambudi Chandra 2006, h. 32, Cina memilih ASEAN sebagai mitra integrasi kawasan, karena selain menyediakan pasar yang 65 besar bagi ekspor Cina, kawasan Asia Tenggara juga kaya akan sumber daya alam yang diharapkan dapat memberikan kontribusi besar terhadap kebutuhan industri Cina yang kian berkembang. Pambudi dan Chandra 2006, h. 40 menambahkan bahwa potensi pasar yang besar di Asia Tenggara menjadi faktor daya tarik yang mendorong Cina untuk merapatkan hubungannya dengan negara-negara di kawasan ini. Kemajuan ekonomi yang pesat di Cina membutuhkan pasar sekaligus sumberdaya alam, dan negara-negara Asia Tenggara memiliki kemampuan untuk mendukung kebutuhan industri Cina tersebut. Menurut Wibowo 2007, h. 31 pertumbuhan GDP Cina sejak membuka diri dan mengadakan reformasi pada tahun 1978 terus mengalami peningkatan. Ada dua puncak dari pertumbuhan ekonomi tersebut, yang pertama pada tahun 1984, yaitu pada fase pertama reformasi ekonomi yang mencapai 15 persen. Tetapi kemudian terus menurun dan paling rendah adalah 4 persen, ketika Cina mengalami boikot negara-negara barat sehubungan dengan pembantaian demonstran mahasiswa di lapangan Tiananmen. Tapi pada tahun 1990 angka itu meningkat lagi, hingga mencapai puncaknya pada tahun 1992 puncak kedua ketika kembali mencapai angka 14 persen. Inayati dalam Sungkar ed. 2005, h. 54 menambahkan bahwa perekonomian Cina telah tumbuh dengan cepat sejak tahun 90-an. GDP Cina tumbuh rata-rata 10,1 persen selama kurun waktu tersebut dan merupakan suatu pertumbuhan terbesar di dunia. Total perdagangan Cina terhadap ekonomi dunia juga meningkat dari 1 persen pada 1980 menjadi 1,7 persen pada tahun 1990 dan mencapai 4,1 persen di tahun 2000. Yusuf dan Nabeshima 2010, h. 16 menambahkan bahwa menurut data Bank Dunia persentase ekspor Cina ke 66 seluruh dunia juga terus meningkat hingga 6,4 persen pada 2005 dan 7,7 persen pada 2007 dari total keselurahan ekspor komoditi manufaktur yang terjadi di dunia. Hal ini mengindikasikan meningkatnya kemampuan Cina secara drastis dalam mengekspor komoditinya ke seluruh dunia. Menurut Wibowo 2007, h. 30, dilihat dari struktur ekspornya, Cina bukan lagi pengekspor produk-produk hasil pertanian seperti negara-negara berkembang pada umumnya. Pada awal tahun1980-an, ekspor barang-barang manufaktur Cina masih di bawah ekspor hasil pertanian. Tetapi memasuki tahun 1990-an, perbandingannya menjadi terbalik. Pada tahun 2000 misalnya, struktur ekspor Cina hanya 10 persen terdiri dari hasil pertanian, selebihnya adalah barang-barang manufaktur berupa ekspor barang-barang elektronik dan mesin. Oleh karena itu, dengan pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu pesat dan perkembangan ekspornya ke seluruh dunia yang juga meningkat, sehingga hal ini memberikan konsekuensi bagi Cina untuk mencari tempat dalam perluasan akses pasarnya yang didominasi oleh komoditi manufaktur. Maka ASEAN menjadi tempat yang paling tepat untuk perluasan akses pasar tersebut, selain karena akan menimbulkan komplementaritas di antara keduanya. Dalam hal ini ASEAN dapat memasarkan bahan-bahan mentahnya ke Cina, sedangkan Cina dapat memasarkan produk manufakturnya ke ASEAN. Oleh karena itu, hal ini menjadi salah satu pendorong bagi Cina untuk membentuk ACFTA dengan ASEAN. Setelah membahas tentang motivasi internal yang membuat Cina terus mendekatkan diri kepada ASEAN dalam mewujudkan ACFTA, maka pada bagian selanjutnya akan dijelaskan tentang faktor eksternal atau dinamika internasional yang membuat Cina lebih tertarik lagi kepada ASEAN dalam kerjasamanya di bidang ekonomi. 67 C. Kondisi Eksternal Terbentuknya ACFTA C.1 Perkembangan Regionalisme Pasca Perang Dingin