50
BAB III KEPENTINGAN CINA TERHADAP PEMBENTUKAN ACFTA
Bab ini akan memaparkan kondisi ekonomi politik di Cina yang mendorong Cina melakukan kerjasama ekonomi dengan ASEAN. Seperti yang
telah dipaparkan pada bab sebelumnya, kerjasama ekonomi ASEAN-Cina terbentuk tidak hanya karena kepentingan ekonomi Cina, melainkan juga karena
kondisi internasional. Dari sisi kepentingan ekonomi, Cina memerlukan bahan mentah dan sumber daya alam, selain juga sebagai upaya perluasan akses pasar
dari komoditi Cina yang berlimpah, akibat dari kemajuan industrinya. Selain itu, dorongan lainnya seperti, perkembangan regionalisme paska perang dingin, dan
masuknya Cina menjadi anggota WTO mengakibatkan terintegrasinya perekonomian Cina dengan sistem internasional. Cina juga harus bersaing dengan
Jepang dalam memperebutkan pengaruh dan kepentingan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Untuk lebih memahami kepentingan Cina terhadap pembentukan
ACFTA, penulis akan mengelaborasi pertumbuhan ekonomi Cina dengan melihat perubahan ekonomi politik di Cina.
A. Kondisi Ekonomi Politik Cina A.1 Masa Mao Zedong
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai perubahan ekonomi politik di Cina, sehingga dapat memberikan gambaran akan kemajuan ekonomi yang
diperoleh Cina saat ini. Pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu pesat pada dua dekade belakangan ini tidak terjadi begitu saja. Pertumbuhan ekonomi yang
51 terjadi berkaitan dengan keputusan-keputusan strategis para pemimpin Cina. Salah
satunya adalah keputusan untuk mengintegrasikan perekonomian negara ini ke dalam sistem internasional, tanpa merubah sistem politik di dalam negeri.
Sejak berdirinya Republik Rakyat Cina pada 1 Oktober 1949, Negara ini menganut sistem politik sosialis-komunis. Seperti negara lainnya yang menganut
sistem ini, dalam pemerintahan Cina yang berideologi komunis peran pemerintah sangatlah dominan. Selain itu, di Cina hanya terdapat satu partai politik, yaitu
Partai Komunis Cina PKC. Mao Zedong sendiri merupakan tokoh pendiri dari Republik Rakyat Cina RRC. Pada awal kepemimpinannya, Mao Zedong
menjalin hubungan yang cukup dekat dengan Uni Soviet, karena Uni Soviet merupakan negara pertama yang mengakui berdirinya RRC dan langsung
memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintahan nasionalis sebelumnya di Cina. Berdirinya RRC tidak terlepas dari usaha Mao Zedong untuk memukul
mundur Pemerintah nasionalis Kuomintang di bawah pimpinan Chiang Kai Shek yang sudah berkuasa empat tahun di Cina 1945-1949 dari seluruh wilayah
Cina daratan. Sampai saat ini, kelompok nasionalis berada di pulau Formosa Taiwan. Oleh karena itu, RRC menganggap dirinya sebagai penerus dari
pemerintahan nasionalis sebelumnya di Cina Taniputera 2009, h. 580. Lebih jauh Taniputera 2009, h. 581 menyampaikan bahwa tugas berat
yang dijalani Mao Zedong adalah membangun kembali Cina yang hancur akibat penjajahan Jepang 1931-1945, serta perang saudara antara kelompok nasionalis
dan komunis. Akibatnya, pemerintahan Mao Zedong berupaya untuk menjaga kestabilan sosial dan pembangunan ekonomi RRC. Mao Zedong berupaya
52 memberikan lebih banyak kekuasaan pada petani dan buruh, sebaliknya
memangkas kekuasaan kaum pemilik modal, tuan tanah, kapitalis dan orang asing. Seperti yang diungkapkan Taniputera 2009, h. 582, restrukturisasi dalam
bidang ekonomi dilakukan dengan mengendalikan peredaran uang, perbankan, serta pemberian kredit. Dalam waktu setahun sejak berdirinya RRC, inflasi
berhasil dikendalikan. Demi mencapai kestabilan dalam bidang keuangan, pada Mei 1949, pemerintah mengeluarkan mata uang baru yang disebut Renminbi
Yuan serta melarang penggunaan mata uang asing. Pemerintah lalu menguasai industri-industri kunci yang sebelumnya telah dibangun pemerintah nasionalis.
Sementara itu, dalam bidang agraria sesuai dengan yang dipropagandakan kaum komunis, tanah garapan mulai dibagi-bagikan kepada rakyat. Pemerintah
merampas tanah milik para tuan tanah, tetapi mengizinkan mereka untuk tetap memiliki bagiannya yang ditetapkan pemerintah. Namun, pada prakteknya sering
sekali pengambilalihan tanah ini disertai dengan kekerasan yang juga menimbulkan korban jiwa. Pada Desember 1952 pembagian tanah rampasan
tersebut dapat diselesaikan revolusi agraria dan yang paling terpengaruh oleh kebijaksanaan ini adalah para tuan tanah serta petani kaya. Agar para tuan tanah
tidak timbul kembali, pemerintah kemudian menetapkan sistem kolektivisme, yakni kepemilikan tanah bersama Taniputera 2009, h. 583. Revolusi Agraria ini
sangatlah mewakili prinsip komunisme, karena mencita-citakan kehidupan sosial tanpa kelas, dan melarang adanya eksploitasi terhadap kelas tertentu dalam suatu
tatanan kehidupan. Untuk membangun kembali dan memajukan bidang industri, pemerintah
mencanangkan apa yang dinamakan “Rencana Lima Tahun Pertama” First Five-
53 Year Plan
yang berlangsung pada 1953-1957 Wibowo dalam Bakri ed. 1996, h. 139. Hasilnya, pada periode pertama dalam program rencana pembangunan lima
tahun Mao Zedong tersebut, Cina mengalami pertumbuhan ekonomi. Namun, masih dikatakan gagal membangun ekonomi Cina. Saat itu bahkan terdapat
ketidakseimbangan antara pertumbuhan industri dan pertanian. Pada tahun 1958 rencana pembangunan lima tahun tahap kedua yang ditujukan melanjutkan
kebijakan tahap pertama sebelumnya ternyata tidak dilaksanakan. Pada akhir tahun 1957, Mao Zedong menyimpulkan bahwa Uni Soviet
tidak dapat dijadikan lagi sebagai model pembangunan Cina. Kemajuan yang dicapai dipandangnya masih terlalu lambat. Seperti yang diungkapkan Wibowo
dalam Bakri ed. 1996, h. 139 hal ini dikarenakan model pembangunan yang meniru Uni Soviet, mengutamakan pengembangan industri berat, sehingga
mengorbankan pertanian yang merupakan sektor terpenting bagi Cina. Oleh karena itu, jika Mao Zedong meneruskan model pembangunan ini, ratusan juta
petani akan menjadi korban. Menurut Mao Zedong Cina perlu menemukan caranya sendiri untuk
memecahkan berbagai permasalahan ekonominya, yakni dengan mengerahkan sumber daya yang sangat berlimpah di Cina. Mao Zedong akhirnya membuat
kebijakan ekonomi baru yang dinamakan gerakan lompatan jauh ke depan the great leap forward
untuk menggantikan program lima tahunnya Johnson 1990, h. 6; Taniputera 2009, h. 584, yaitu gerakan spontan oleh seluruh masyarakat
Cina untuk melaksanakan terobosan besar dengan maksimalisasi produksi di seluruh sektor ekonomi, terutama sektor pertanian dan industri.
54 Taniputera 2009, h. 585 menyatakan bahwa, kebijakan baru yang diawali
pada tahun 1958 ini membuahkan berbagai hasil nyata, seperti pembangunan jembatan, jalan kereta api, bendungan, pembangkit listrik, sarana pengairan, dan
lain sebagainya. Tetapi kebijakan loncatan jauh ke depan ini akhirnya menuai bencana karena banyak memiliki masalah mendasar akibat kurangnya modal
untuk berinvestasi di bidang industri dan pertanian pada waktu yang sama, belum siapnya masyarakat Cina mengadakan perubahan drastis ke arah industri dan
banyaknya kebijakan pendukung yang tidak terlaksana. Sebagai contoh, hasil panen gandum yang berlimpah pada tahun 1958 terpaksa dibiarkan membusuk di
ladang, karena kaum pria yang seharusnya bertugas memanennya dikerahkan bekerja di pabrik. Akibatnya, 30 juta rakyat meninggal karena kelaparan antara
tahun 1959-1962. Untuk mengatasi krisis ekonomi ini, Mao Zedong berusaha merevisi
tujuan ekonomi dan membuat serangkaian kebijakan baru sebagai pengganti kebijakan loncatan jauh ke depan. Salah satunya adalah mencanangkan revolusi
budaya cultural revolution pada tahun 1966 Johnson 1990, h. 12. Menurut Taniputera 2009, h. 587 revolusi budaya ini lahir sebagai tindakan represif Mao
Zedong untuk meredam pandangan yang berbeda dari lawan politiknya seperti Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping yang lebih menginginkan pembangunan di Cina
dengan lebih berdasarkan Konfusianisme ataupun Kapitalisme dibandingkan faham Komunisme. Wibowo 2007, h. 19 menambahkan, selain bahasa, Mao
Zedong dan pengikutnya yang kebanyakan kaum muda, ingin membatasi segala sesuatu yang berasal dari zaman dinasti-dinasti ataupun kapitalisme barat, dan
menggantinya dengan satu macam kebudayaan baru, yaitu kebudayaan sosialis.
55 Menurut Johnson 1990, h. 12 pada pelaksanaannya, revolusi budaya juga
tidak dapat mengeluarkan Cina dari krisis ekonomi, tetapi justru memecah belah kesatuan di Cina, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena krisis
ekonomi tersebut belum dapat diatasi, maka kritikpun banyak ditujukan kepada Mao Zedong. Bahkan kritik tersebut datang dari tubuh Partai Komunis Cina
PKC yang saat itu gencar menghendaki adanya perubahan dan pembaharuan dalam sistem ekonomi Cina. Kebijakan revolusi budaya yang dicanangkan Mao
Zedong gagal untuk membangkitkan ekonomi Cina dari krisis tersebut, dan menjadi akhir dari kepemimpinannya. Sejak krisis ekonomi itu terjadi,
kepemimpinannya mulai goyah dan akhirnya kepemimpinan Mao Zedong berakhir bersamaan dengan wafatnya ia pada September 1976. Pada bagian
selanjutnya akan dijelaskan mengenai kepemimpinan di Cina pada masa Deng Xiaoping, yang menandakan perubahan besar pada sistem perekonomian di Cina.
A.2 Masa Deng Xiaoping
Deng Xiaoping merupakan pemimpin Cina setelah Mao Zedong, yang membawa Cina ke arah kemajuan dalam bidang ekonomi. Cina pada masa
kepemimpinan Deng Xiaoping, meskipun masih berideologi komunis dalam politik, di bidang ekonomi lebih mengedepankan prinsip liberalisme dan
keterbukaan dengan pihak asing. Keterbukaan ekonomi yang dianut oleh Deng Xiaoping ini disebabkan oleh ketidak berhasilan sistem ekonomi terpusat yang
dijalankan oleh pendahulunya Mao Zedong, oleh karena itu Deng Xiaoping ingin mencari alternatif lain dalam membangun ekonomi Cina. Hal ini mungkin juga
disebabkan karena, Deng Xiaoping mendapatkan pendidikan formal di Perancis,
56 di mana keterbukaan ekonomi telah diterapkan di Perancis dan negara-negara
Eropa Barat lainnya Pattiradjawane dalam Bakry ed. 1996, h. 3. Selain itu, Inayati wawancara Jakarta, 29 Maret 2011 menambahkan bahwa keterbukaan
ekonomi yang dijalankan Deng Xiaoping ini juga disebabkan karena kekaguman Deng Xiaoping terhadap pertumbuhan ekonomi dan teknologi Amerika Serikat
AS, karena pada awal 1979 Deng Xiaoping melakukan kunjungan resmi ke AS dan bertemu dengan Presiden Jimmy Carter di Washington. Hal ini semakin
memicu keinginan Deng Xiaoping untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Cina dengan cara yang berbeda dari pendahulunya.
Tjeng dalam Bakry ed. 1996, h. 34 menambahkan bahwa obsesi Deng Xiaoping untuk mengamankan proses modernisasi di Cina ini tercermin dalam
keputusannya, untuk tidak memegang jabatan formal Presiden, Perdana Menteri, Sekjen Partai apapun dalam partai maupun pemerintahan. Hal ini dilakukan
karena menurut Deng Xiaoping dengan tidak menduduki jabatan tertentu, maka pengaruhnya akan terus bertahan, dan jika terdapat kesalahan ataupun kegagalan
maka seseorang yang ditugasinyalah yang akan diganti. Satu-satunya jabatan yang dimiliki oleh Deng Xiaoping adalah Dewan Harian Politbiro,
10
yaitu anggota partai paling elite, yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang. Menurut Bakry
ed. 1996, h. 43 kedudukan informal Deng Xiaoping ini sangatlah diperlukan sebagai highest arbitrator bila sewaktu-waktu terjadi krisis sosial politik atau
pertarungan di internal partai.
10
“Dewan Harian Politbiro” merupakan bagian dari “Politbiro Political Bureau yang terdiri atas 15-20 orang, kebanyakan wakil dari provinsi-provinsi kunci. Dewan Harian Politbiro ini
merupakan puncak dari semua puncak kekuasaan di Cina. Keputusan-keputusan penting dan vital diputuskan oleh mereka pemilihan Presiden, ideologi, kebijakan luar negeri bahkan tanpa perlu
konsultasi dengan Politbiro, Komite Sentral MPR di Indonesia, dan Kongres Rakyat Nasional DPR di Indonesia. Struktur yang mengerucut ke atas inilah ciri khas sistem Partai Komunis Cina.
Wibowo Hadi eds. 2009, h. 256; Wibowo 2007, h. 126.
57 Sejak Deng Xiaoping membacakan buah pikirannya dalam pidato utama di
Pleno Ketiga Sidang Komite Sentral Kesebelas Partai Komunis Cina PKC, 13 Desember 1978, Cina mengawali modernisasi pembangunannya. Modernisasi
pembangunan tersebut meliputi bidang-bidang: pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertahanan dan keamanan. Gagasan ini juga
dikenal dengan istilah “program empat modernisasi” Inayati ed. 2006, h. 23. Inayati ed. 2006, h. 24 juga menambahkan bahwa untuk merealisasikan gagasan
tersebut, pemerintah Cina mengambil “kebijakan pintu terbuka” open door policy
, yaitu peningkatan hubungan dengan negara-negara maju dengan tujuan memperoleh modal dan teknologi, serta berupaya menciptakan lingkungan yang
damai dan stabil di kawasan regionalnya. Dengan melaksanakan kebijakan tersebut, Deng Xiaoping bermaksud menjadikan Cina sebagai negara sosialis yang
modern, kuat, serta sejahtera pada masa mendatang. Instrumen utama kebijakan pintu terbuka adalah perdagangan luar negeri
dan investasi asing, dengan tujuan peningkatan akumulasi modal bagi pembangunan Cina. Pelaksanaan pintu terbuka telah merubah struktur dan pola
hubungan ekonomi eksternal Cina menjadi lebih berorientasi ke Barat terutama kepada AS dan negara-negara di Eropa Barat. Negara-negara tersebut dijadikan
sumber investasi asing langsung, penyuplai modal, teknologi dan sebagai mitra dagang utama luar negeri Cina.
Kebijakan Pintu Terbuka ini pada perkembangannya bukan hanya membuka diri terhadap pengaruh asing dari segi ekonomi, namun dalam bidang
politik juga mendapatkan pengaruh yang cukup besar. Budaya demokrasi seperti yang berkembang di Barat juga mulai tampak di Cina, masyarakat terutama
58 diwakili oleh kalangan mahasiswa menuntut sistem pemerintahan yang bebas,
seperti: pemilihan umum yang demokratis, kemerdekaan pers, berorganisasi, serta kebebasan dalam berekspresi mengeluarkan pendapat dan kritikan terhadap
pemerintah Taniputera 2009, h. 601. Namun pada perkembangannya, Cina membatasi diri pada reformasi
ekonomi dengan membuka ekonomi pasar dan investasi asing seluas-luasnya, tetapi tetap menutup reformasi di bidang politik Inayati ed. 2006, h. 25. Bidang
politik tidak mengalami perubahan, dengan PKC sebagai partai tunggal. PKC tetap memegang peran dominan dalam setiap kebijakan yang dijalankan di Cina,
dengan kata lain partailah yang mengontrol negara. Protes dari rakyat Cina ini mengalami puncaknya, sehingga terjadilah
peristiwa Tiananmen, yaitu pembantaian terhadap ribuan warga Cina pada tanggal 4 Juni 1989 di lapangan Tiananmen, Beijing. Bentrokan ini mengakibatkan
banyaknya jatuh korban jiwa, meskipun jumlahnya bervariasi. Walikota Beijing, Chen Xitong menyatakan bahwa jumlah korban yang tewas adalah 200 orang dan
selain itu 3.000 warga sipil serta 6.000 prajurit mengalami luka-luka. Sedangkan Komite Universitas Tsinghua menyatakan bahwa korban tewas sejumlah 4.000
orang, sementara 30.000 lainnya mengalami luka-luka Taniputera 2009, h. 603. Akibat peristiwa ini Cina mengalami dampak buruk, yaitu menuai
kecaman dari dalam dan luar negeri. Dunia internasional termasuk di antaranya Uni Eropa dan terlebih lagi Amerika Serikat AS. AS mengecam pelanggaran
HAM yang dilakukan Cina. Setelah peristiwa Tiananmen tersebut banyak kalangan yang menyangka bahwa berakhirlah gerakan reformasi di Cina, tetapi
dugaan itu ternyata salah. Ketika melihat ada bahaya ke arah menutup diri, pada
59 tahun 1992, Deng Xiaoping melakukan gerakan terakhir tetapi sangat menetukan.
Gerakan tersebut dikenal dengan nama “perjalanan ke selatan” Wibowo 2007, h. 34. Deng Xiaoping yang sudah berumur 90 tahun pergi mengadakan perjalanan
ke kota-kota di daerah selatan Cina Shenzhen, Zhuhai. Dalam perjalanan itu Deng Xiaoping tidak henti-hentinya mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
Cina harus dipercepat. Pidato ataupun ucapan Deng Xiaoping tersebut bahkan dijadikan dokumen resmi PKC dan diedarkan di kalangan pejabat-pejabat tinggi
Cina Wibowo 2007, h. 34. Wibowo juga menambahkan 2007, h. 86-87 bahwa pada masa
kepemimpinan Deng Xiaoping ini mengalami banyak pertentangan dari kelompok dalam tubuh PKC yang lebih mengutamakan nilai-nilai sosialis di Cina. Oleh
karena itu, diciptakanlah konsep tentang pembangunan ekonomi Cina. Pada Kongres PKC ke-
13 1987 ditetapkan ajaran baru yaitu “sosialisme pada tahap awal”. Pada tahap ini Cina akan mengerjakan industrialisasi, komersialisasi,
sosialisasi dan modernisasi produksi, semua hal yang dicapai pada kondisi kapitalis. Tahap awal ini sendiri akan berlangsung kurang lebih 150 tahun.Tahap
awal sosialisme ekonomi dijalankan dengan mengurangi peran negara dan memperluas mekanisme pasar. Pada kesempatan ini juga diperkenalkan dengan
istilah baru yaitu “ekonomi pasar sosialis”. Dengan maksud untuk tetap menyakinkan kelompok yang anti kapitalis, bahwa Cina tetap berpegang teguh
terhadap perjuangan sosialisme. Dengan diperkenalkannya istilah ini, Deng Xiaoping menginginkan untuk tetap memasukkan unsur sosialis yang tidak
mungkin secara utuh dihilangkan, meskipun dalam praktiknya berdasarkan
60 kapitalis. Selain itu, gagasan ini diharapkan dapat menjaga keharmonisan
hubungan dengan kelompok yang anti ekonomi pasar. Oleh karena itu, pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping, meskipun juga
mengalami hambatan, namun ia berhasil kembali membangkitkan pertumbuhan ekonomi Cina dan kembali meyakinkan bahwa Cina tetap melaksanakan
kebijakan ekonomi yang terbuka, meskipun tidak disertai dengan kebebasan berpolitik. Cina tetap menganut sistem politik sentralistik dengan kendali politik
dari pusat sampai daerah secara ketat, sehingga tercipta stabilitas politik yang kondusif bagi pembangunan ekonomi di Cina. Deng Xiaoping telah berhasil
menancapkan pondasi yang kokoh bagi prinsip ekonomi Cina, bahkan prinsip ekonomi ini terus dilanjutkan oleh para pemimpin Cina setelahnya hingga saat ini.
Setelah mengetahui perubahan yang terjadi dalam sistem ekonomi di Cina pada masa Mao Zedong hingga Deng Xiaoping, penulis tidak akan memaparkan
lebih jauh mengenai kepemimpinan di Cina setelah Deng Xiaoping, hal ini dikarenakan perubahan dari segi sistem ekonomi yang terjadi di Cina tidak begitu
tampak setelah masa kepemimpinan Deng Xiaoping. Cina pasca kepemimpinan Deng Xiaoping hanya menjalankan prinsip ekonomi yang sudah ditetapkan oleh
Deng Xiaoping. Meskipun terdapat kebijakan-kebijakan baru setelah ini, namun kebijakan ini sifatnya hanya pengembangan dari prinsip yang sudah ada. Dengan
kata lain Cina tetap membuka diri dengan pihak asing dan mengutamakan kondisi regional yang damai. Pada bagian selanjutnya akan membahas mengenai keadaan
dalam negeri Cina yang menuntut untuk melakukan kerjasama dengan negara- negara di kawasan Asia Tenggara.
61
B. KONDISI INTERNAL EKONOMI CINA B.1 Keterbatasan Bahan Mentah dan Sumber Daya Alam di Cina