Perkembangan Kerjasama Ekonomi Luar Negeri ASEAN 1. Kesepakatan-kesepakatan Ekonomi ASEAN

35 C. Perkembangan Kerjasama Ekonomi Luar Negeri ASEAN C.1. Kesepakatan-kesepakatan Ekonomi ASEAN Sejak dibentuknya ASEAN, ASEAN telah menunjukkan sikap untuk aktif dalam menjalin hubungan dengan pihak-pihak di luar ASEAN. ASEAN sendiri telah memiliki sepuluh mitra dialog penuh, yang dimulai sejak tahun 1974 dengan Australia. Kemudian diikuti oleh Selandia Baru pada 1975, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Uni Eropa pada 1977, Republik Korea pada 1991, India 1995, Cina dan Rusia di tahun 1996. Selain itu, Pakistan menjadi Mitra Dialog Sektoral ASEAN pada 1997 Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 159. Namun sejak tahun 1999, ASEAN memberlakukan kebijakan penghentian sementara moratorium penambahan hubungan kemitraan baru hingga waktu yang tidak ditentukan. Hal ini bertujuan agar ASEAN dapat mengintensifkan dan mengkonsolidasikan hubungannya dengan Mitra Dialog yang sudah ada. Dalam ruang lingkup ASEAN sendiri, sejak awal pembentukannya sudah secara intensif menyepakati berbagai kesepakatan dalam bidang ekonomi. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pembentukan PTA, AFTA, AFAS, ataupun AIA. Sampai pada tahap selanjutnya, menurut Elisabeth ed. 2009, h. 2, pada tahun 1997, Kepala Negara ASEAN menyepakati ASEAN Vision 2020 yang bertujuan mewujudkan kawasan yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan pembangunan ekonomi yang merata, ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi ASEAN Summit, Kuala Lumpur, Desember 1997. Kemudian pada tahun 2003, kembali pada pertemuan Kepala Negara ASEAN, disepakati tiga pilar untuk mewujudkan ASEAN Vision 2020 yaitu: 1. ASEAN Economic Community, 2. ASEAN 36 Political-Security Community , 3. ASEAN Socio-Cultural Community ASEAN Summit, Bali Oktober 2003. Untuk mendorong perwujutan ASEAN Vision tersebut, maka pada November 2002, ASEAN mulai bekerjasama dengan negara di luar ASEAN dalam bidang ekonomi. Di antaranya, membuat Framework Agreement ASEAN- Cina Free Trade Area dalam sektor barang goods yang kemudian disepakati pada November 2004. Pada Oktober 2003 disepakati Framework Agreement untuk membentuk ASEAN-Japan FTA dalam sektor barang goods yang kemudian disepakati 2008. Kemudian pada Desember 2005, disepakati Framework Agreement ASEAN-Korea Selatan FTA goods ASEAN Secretariat. Pada Januari 2007, para kepala negara sepakat untuk mempercepat pembentukan ASEAN Economic Community AEC dari tahun 2020 menjadi 2015. Pada tahun 2007, ditandatangani ASEAN Charter, AEC Blueprint, ASEAN-Cina FTA services, dan ASEAN-Korea FTA services. Selanjutnya, pada 2008, AEC Blueprint mulai diimplementasikan dan ASEAN Charter mulai berlaku 15 Desember 2008 ASEAN Secretariat 2008. Pada waktu yang sama ASEAN Japan Comprehensive Economic Partnership CEP mulai berlaku. Pada tahun 2009, ditandatangani ASEAN-Australia-New Zealand FTA, ASEAN-India FTA goods juga mulai berlaku pada tahun ini, yang Framework sebelumnya telah disepakati pada Oktober 2003, ASEAN-Korea FTA investment, dan ASEAN-Cina FTA investment juga disepakati pada tahun 2009. Berbagai kesepakatan ekonomi ASEAN dengan lingkungan eksternalnya, merupakan bukti dari keseriusan ASEAN dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Pada bagian selanjutnya akan membahas kerjasama ekonomi 37 ASEAN dengan tiga negara di Asia Timur, yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian ASEAN. C.2 ASEAN+3 Cina, Jepang, Korea Selatan Krisis ekonomi yang menimpa kawasan Asia pada tahun 1997 telah menunjukkan ketidakberdayaan negara-negara ASEAN untuk mengatasi krisis tersebut. Situasi ini juga memicu negara-negara ASEAN untuk berpaling kepada negara tetangga terdekatnya di kawasan Asia Timur, yaitu Jepang, Cina dan Korea Selatan. Kenyataan ini mendorong terbentuknya kerjasama di antara negara- negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur melalui forum ASEAN+3. Efek domino dari krisis ekonomi tersebut menunjukkan suatu realitas adanya interdependensi di antara perekonomian negara-negara tersebut Sungkar ed. 2005, h. 1. Sungkar juga menambahkan ed. 2005, h. 25 bahwa regionalisme yang melibatkan ASEAN, Cina, Jepang serta Korea Selatan pertama kali memperoleh momentum saat berlangsungnya ASEAN Informal Summit ke-dua di Malaysia pada Desember 1997. Pada tahap ini fokusnya lebih ditekankan pada proses daripada kegiatan yang berorientasi kerja nyata. Namun, baru pada 1999 proses kerjasama ASEAN+3 ditetapkan sebagai forum resmi, yaitu ketika para pemimpin kedua kawasan mengeluarkan pernyataan bersama mengenai kerjasama Asia Timur pada ASEAN Plus Three APT Summit ke-tiga di Manila. Sejak saat itu KTT ASEAN Plus Three APT diadakan setiap tahun dan pertemuan berbagai tingkat antara ASEAN dan ketiga negara tersebut diadakan secara rutin. Secara bertahap forum ASEAN+3 memperluas cakupan kerjasamanya sehingga meliputi 38 isu-isu pertanian, keuangan, tenaga kerja, iptek, perdagangan, investasi, lingkungan, kesehatan, seni dan budaya, energi, kepariwisataan, teknologi informasi dan komunikasi, politik dan keamanan. Menurut Sungkar ed. 2005, h. 35 saat ini ASEAN+3 telah membentuk suatu kerjasama di bidang keuangan regional yang dikenal dengan “Chiang Mai Initiative” CMI. Kerjasama ini dibentuk pada pertemuan para Menteri Keuangan ASEAN+3 di Chiang Mai pada tahun 2000. Pelaksanaan CMI ini memuat ketentuan ASEAN Swap Arrangement ASA di antara negara anggota ASEAN+3, jadi memungkinkan terjadinya pertukaran dana antar sesama negara anggota. Inisiatif ini didorong oleh pengalaman pahit krisis Asia 1997 yang membuktikan bahwa salah satu penyebab utamanya adalah ketergantungan yang tinggi pada pinjaman jangka pendek dari luar wilayah Asia. Penurunan nilai mata uang lokal mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor dan kreditor asing sehingga terjadi pelarian modal dalam jumlah besar. Dengan demikian, banyak negara di Asia yang kekurangan aset mata uang asing dan mengalami kesulitan dalam membayar hutang yang menumpuk. Oleh karena itu, dengan dibentuknya CMI ini maka diharapkan dapat meminimalisir kejadian serupa yang mungkin terjadi kembali. Sementara itu, gagasan dan prospek ke arah suatu perjanjian perdagangan Asia Timur juga tetap mengalami berbagai masalah. Salah satunya adalah hubungan persaingan antara Jepang dan Cina. Secara ekonomi, salah satu hambatan adalah ketidaksediaan Jepang untuk membuka pasar pertanian, perikanan dan kehutanannya. Jepang takut bahwa produk-produk ASEAN yang lebih murah akan menekan petani Jepang. Bagi Jepang perjanjian perdagangan 39 bebas atau pengaturan kerjasama ekonomi lainnya yang lebih erat, harus menjamin bahwa Jepang mengambil tempat paling utama di Asia Timur. ASEAN+3 dipandang sebagi mekanisme yang penting untuk melibatkan Cina sebagai anggota Asia Timur yang konstruktif dan kooperatif, baik dalam bidang ekonomi ataupun politik. Tanpa suatu rekonsiliasi antara Jepang dan Cina, suatu integrasi ekonomi regional Asia Timur akan mengalami banyak hambatan non- ekonomi. Salah satu butir hasil KTT ASEAN+3 di Vientianne pada November 2004 menekankan bahwa proses kerjasama ASEAN+3 akan menjadi kendaraan utama dalam mencapai sasaran jangka panjang, yaitu terbentuknya East Asian Community EAC Sungkar ed. 2005, h. 6. Seperti yang dikemukakan oleh Sungkar 2005 ed. h. 32 yaitu bahwa dari perspektif ekonomi, motivasi yang mendorong ketiga negara Asia Timur untuk menjalin kerjasama dengan ASEAN pertama, ASEAN dengan penduduk lebih dari 500 juta jiwa merupakan pasar yang sangat potensial untuk terus dikembangkan. Kedua, ASEAN merupakan sumber bahan baku dan energi bagi ketiga negara tersebut. Ketiga, ASEAN dapat dijadikan tempat tujuan investasi bagi industri dari ketiga negara karena masih memiliki keunggulan komparatif, seperti upah buruh yang relatif murah. Faktor ASEAN sangatlah penting dalam menarik ketiga negara Asia Timur Jepang, Cina dan Korea Selatan untuk duduk bersama dalam ASEAN+3. Negara-negara Asia Timur tersebut sedang berusaha untuk menjadi satu entitas. Namun, memang sampai saat ini hal itu masih sangat sulit diwujudkan karena masih banyak perselisihan antara ketiga negara tersebut berupa problem sejarah historical barrier. Oleh karena itu, sampai kapanpun posisi ASEAN masih 40 sangat diperlukan dalam menjaga perdamaian, tidak saja di kawasan Asia Tenggara tetapi juga di kawasan Asia Timur. Bukan hanya ketiga negara tersebut yang membutuhkan ASEAN, tetapi ASEAN juga sangat membutuhkan negara-negara tersebut dalam mengembangkan perekonomian. Dari segi perdagangan, ketiga negara Asia Timur ini merupakan lima besar mitra dagang bagi ASEAN. Pada tahun 2008 misalnya, secara berurutan yaitu Jepang sebesar 214.400 juta US,Uni Eropa 208.291 juta US, Cina 196.883 juta US, Amerika Serikat 186.242 juta US, dan Korea Selatan 78.250 juta US ASEAN Statistical Book 2010. Oleh karena itu, ketiga negara ini, posisinya juga sangat penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara. Namun, dari ketiga negara ini yang secara persentase pertumbuhan perdagangannya dengan ASEAN cukup tinggi adalah Cina. Dari tahun 2003 hingga 2009 misalnya, pertumbuhan perdagangan antara ASEAN dan Cina sebesar 22,62 persen dan menjadi pertumbuhan perdagangan terbesar bagi ASEAN. Pada periode yang sama Jepang sebesar 7,40 persen dan Korea Selatan sebesar 13,64 persen ASEAN Statistical Book 2010. Dari data ini dapat dilihat bahwa meskipun secara jumlah, Cina masih kalah dibandingkan Jepang, namun persentase pertumbuhan perdagangannya jauh lebih tinggi daripada persentase pertumbuhan perdagangan ASEAN dengan Jepang. Oleh karena itu, hubungan ekonomi antara ASEAN dan Cina akan terus berkembang dan bukan tidak mungkin akan menggantikan peran Jepang bagi ASEAN, khususnya dalam bidang ekonomi. Pada bagian selanjutnya, akan dijelaskan mengenai hubungan yang terjadi antara ASEAN dengan salah satu 41 mitra dialognya, yang juga menjadi fokus utama dalam penulisan skripsi ini, yaitu dengan Cina. C.3 Hubungan Awal Kerjasama ASEAN-Cina Menurut Inayati ed. 2006, h. 33, sebelum tahun 1990-an, belum ada hubungan resmi antara ASEAN sebagai suatu kelompok dengan Cina sebagai sebuah negara. Meskipun hubungan bilateral beberapa negara ASEAN secara individual dengan Cina sudah ada, contohnya Thailand. Namun pada Juli 1991, Menlu Cina saat itu, Qian Qichen menghadiri pembukaan ASEAN Ministerial Meeting AMM ke-24 di Kuala Lumpur atas undangan pemerintah Malaysia. Saat itu juga Menlu Cina Qian Qichen menyampaikan keinginan Pemerintah Cina untuk bekerjasama dengan ASEAN. Hal ini disambut positif, dapat dilihat dari kunjungan Sekjen ASEAN Dato’ Ajit Singh ke Beijing pada September 1993 dan menyepakati pembentukan dua Joint Committee yakni di bidang kerjasama ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kerjasama ekonomi dan perdagangan yang diresmikan pada Juli 1994 di Bangkok oleh Sekjen ASEAN dan Departemen Luar Negeri Cina. Pambudi dan Chandra 2006, h. 26 menambahkan bahwa membaiknya hubungan antara ASEAN dan Cina pada pertengahan 1990-an juga diikuti dengan meningkatnya status Cina, yang awalnya hanya diberikan status mitra konsultatif oleh Komite Tetap ASEAN, kini menjadi mitra dialog penuh ASEAN. Status ini ditetapkan pada saat AMM ke-29 di Jakarta pada tahun 1996, setelah sebelumnya pada tahun 1994 Cina juga telah menjadi mitra dalam ASEAN Regional Forum ARF. 42 Menurut Hadi dalam Wibowo Hadi eds. 2009, h. 59, hubungan Cina dengan ASEAN menemukan momentum setelah krisis ekonomi Asia 1997. Selama krisis, Cina mendapatkan citra yang positif karena tidak melakukan penurunan nilai mata uangnya devaluasi, yang bila dilakukan akan menjatuhkan daya saing produk dari negara-negara ASEAN. Pambudi dan Chandra 2006, h. 28 juga menambahkan, hubungan antara ASEAN dan Cina kembali diperkuat ketika para pemimpin dari kedua belah pihak bertemu dalam informal meeting ASEAN+3 yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia, 1997. Pada waktu itu, pertemuan para pemimpin ASEAN-Cina juga diadakan di samping informal meeting ASEAN+3. Dalam kesempatan itu, pemimpin Cina, Jiang Zemin membacakan suatu pernyataan tentang membangun kemitraan yang bertetangga baik dan saling percaya menghadapi abad ke-21. Setelah diadakannya pertemuan tersebut, kedua pihak sepakat untuk mengeluarkan pernyataan bersama yang menekankan adanya norma-norma dasar yang mengatur hubungan antara kedua belah pihak, sekaligus sebagai satu usaha dari Cina dan ASEAN untuk membentuk hubungan kemitraan yang berorientasi pada abad ke-21 berdasarkan cara hidup bertetangga yang baik dan saling percaya. Maka sejak saat itu, kedua pihak sepakat untuk melaksanakan Pertemuan Puncak ASEAN-Cina yang akan diadakan setiap tahunnya. Oleh karena itu, sejak reformasi Cina dijalankan, hubungan ASEAN dan Cina semakin erat pada dekade 1990-an. Menurut Soebagjo dalam Wibowo Hadi eds. 2009, h. 107, dalam bidang politik dan keamanan, hubungan ASEAN-Cina ditunjukkan dengan niat Cina untuk membuktikan bahwa Cina bukanlah suatu ancaman. Hal ini dibuktikan 43 melalui penandatanganan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea pada 2002 untuk mengurangi ketegangan teritorial dan membuka jalan untuk mengadakan eksplorasi bersama terhadap penyelesaian konflik di laut Cina Selatan. Deklarasi ini kemudian disusul dengan ditandatanganinya Treaty of Amity and Cooperation TAC setahun kemudian pada KTT ke-7 ASEAN-Cina di Bali pada 2003, Cina sendiri merupakan mitra dialog pertama ASEAN yang menandatangani perjanjian ini. Sedangkan dalam bidang kerjasama ekonomi, ASEAN dan Cina juga mengalami peningkatan. Hal ini ditandai dengan ditandanganinya Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation pada November 2002, yang menjadi cikal bakal dibentuknya kawasan perdagangan bebas ASEAN-Cina ACFTA Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 169. Cina sendiri merupakan negara pertama yang menandatangani perjanjian sejenis ini dengan ASEAN. Dengan demikian terlihat bagaimana dalam waktu singkat hubungan ASEAN dan Cina mengalami peningkatan ke arah yang lebih bersahabat. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai kerjasama yang terjadi antara ASEAN dan Cina dalam kerangka perjanjian ACFTA dengan lebih spesifik. C.4 ASEAN-China Free Trade Area ACFTA Ide untuk membentuk ACFTA dikemukakan pertama kalinya oleh Perdana Menteri Cina Zhu Rongji dalam ASEAN+3 Summit di Singapura November 2001. Oleh karena itu, menurut Yu dalam Leong Ku eds. 2005, h. 44 dibentuklah kelompok ahli dari kedua belah pihak yang disebut ASEAN-Cina Expert Group, guna mempelajari kemungkinan terbentuknya ACFTA. Yu dalam Leong Ku 44 eds. 2005, h. 45 menambahkan, pada 2002 kelompok ahli ini mengemukakan temuannya antara lain, bahwa pembentukan ACFTA dalam jangka waktu 10 tahun akan menciptakan kawasan ekonomi dengan populasi 1,7 milyar penduduk, dengan total GDP Gross Domestic Product regional mencapai 2 triliyun dolar AS dan total perdagangan di antara keduanya diperkirakan 1,23 triliyun dolar AS. Maka pada ASEAN-Cina Summit ke-6 tahun 2002 di Kamboja, para pemimpin ASEAN dan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation lihat lampiran 2. Kerangka ini merupakan landasan bagi kerjasama perdagangan dalam sebuah kawasan perdagangan bebas ASEAN-Cina yang ditargetkan bisa dicapai pada 2010 untuk ASEAN-6 Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan pada 2015 untuk ASEAN-CMLV Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam. Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h. 54 menambahkan bahwa kerangka ini juga berisi kerjasama ekonomi yang mencakup lima sektor prioritas kerjasama, yaitu: pertanian, teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan sumber daya alam, investasi, serta pengembangan sub-kawasan lembah sungai Mekong. Menurut Sungkar 2005, h. 53, kerangka perjanjian ekonomi dalam ACFTA dibagi dalam tiga tahapan waktu implementasinya, yaitu lihat juga ASEAN Secretariat 2002: 1.Early Harvest Program EHP Produk-produk dalam EHP antara lain: dalam Chapter 1 sampai 8 dalam kerangka ACFTA lihat artikel 6 dalam lampiran 2, diantaranya: binatang hidup, ikan, daging, tumbuhan, sayuran, serta buah dan kacang-kacangan. Penurunan tarif dimulai 1 Januari 2004 secara bertahap dan akan menjadi 0 persen pada 1 45 Januari 2006. Dalam EHP juga diatur tentang Rules of Origin RoO yang mengikuti aturan dalam AFTA. RoO menyatakan bahwa produk yang mengalami penghapusan tarif haruslah memiliki setidaknya 40 persen kandungan asli negara- negara ASEAN dan Cina. Aturan mengenai pengurangan tarif dan juga penghapusannya mengikuti alur yang sama dengan CEPT yang ada di AFTA. 2.Normal Track NT Produk yang terdaftar dalam Normal Track adalah produk yang tidak dimasukkan dalam program EHP. Dalam tahap ini negara-negara ASEAN dan Cina menghapuskan tarif secara bertahap hingga akhir waktu yang disepakati. Cina dan ASEAN-6 pada 2005-2010, sedangkan CMLV pada 2005-2015. 3. Sensitive Track ST Produk-produk yang dianggap sensitif ini memerlukan waktu untuk penyesuaian diri dan dilakukan ASEAN secara bertahap sebelum benar-benar bisa dimasukkan untuk diliberalisasi. Macam-macam produk yang dimasukkan ke dalam kategori sensitive track dibagi menjadi dua, yaitu Sensitive List SL dan Highly Sensitive List HSL. SL terdiri dari 304 Produk antara lain Barang Jadi Kulit: tas, dompet; Alas kaki: Sepatu sport, Casual, Kulit; Kacamata; Alat Musik; Tiup, petik, gesek; Mainan: Boneka; Alat Olah Raga; Alat Tulis; Besi dan Baja; Sparepart; Alat angkut; Glokasida dan Alkaloid Nabati; Senyawa Organik; Antibiotik; Kaca; Barang-barang Plastik. Produk-produk tersebut harus dikurangi menjadi hanya 20 persen pada tahun 2012 dan 0-5 persen pada tahun 2018. HSL terdiri dari 47 produk yang antara lain terdiri dari Produk Pertanian, seperti Beras, Gula, Jagung dan Kedelai; Produk Industri Tekstil dan produk Tekstil; Produk Otomotif; 46 Produk keramik. Pada tahun 2015 tarif dalam HSL harus sudah dikurangi sebesar 50 persen. Pada dasarnya mekanisme penurunan tarif dalam ACFTA dilakukan untuk mempermudah negara-negara yang menyepakatinya dalam mempersiapkan komoditi yang diperdagangkan, oleh karena itu hal ini dilakukan secara bertahap. Bagi negara-negara anggota WTO, sebenarnya telah mempunyai mekanisme pengurangan tarif tersendiri atau yang biasa disebut tarif MFN. Namun, setelah ACFTA disepakati maka komoditi yang diperdagangkan menggunakan mekanisme pengurangan tarif dalam ACFTA hingga tarif yang dikenakan hanya sebesar 0 persen di tahun 2010 lihat tabel II.3. Tabel II.3 Skema Penurunan Tarif ACFTA dalam Tarif rata-rata 2005 2007 2009 2010 X20 20 12 5 15X20 15 8 5 10X15 10 8 5 5X10 5 5 X5 5 ASEAN-6 Sumber: Pambudi Chandra 2006, h. 56 Melalui tabel di atas dapat terlihat, misalnya pada tahun 2009, semua produk dengan tingkat awal tarif sebesar 10 hingga 20 persen harus diturunkan hingga 5 persen, sedangkan produk-produk dengan tingkat awal tarif di bawah 10 persen harus diturunkan hingga nol persen. Selanjutnya, pada 2010 semua produk yang terdaftar dalam normal track harus diperdagangkan tanpa pengenaan tarif apapun. Oleh karena itu, setelah ACFTA disepakati maka setiap negara berusaha mengkategorikan komoditinya masing-masing kedalam skema ACFTA ini. Proses pengelompokan komoditi tersebut tentunya berbeda-beda antara satu negara 47 dengan negara lainnya, tergantung tingkat kesiapan dan sensitifitas komoditi yang dimiliki. Sehingga keuntungan yang diperoleh pada akhirnya juga berbeda-beda. Menurut Yu dalam Leong Ku eds. 2005, h. 45 kerangka ACFTA ini juga menetapkan liberalisasi di bidang jasa dan investasi. Persetujuan di bidang Jasa, dalam ACFTA telah berlaku efektif sejak Juli 2007. Dengan adanya persetujuan ini para penyedia jasa di kedua wilayah akan mendapatkan manfaat perluasan akses pasar jasa sekaligus national treatment untuk sektor dan subsektor yang dikomitmenkan oleh masing-masing pihak di ACFTA. Sedangkan persetujuan di bidang investasi, pemerintah negara-negara anggota ASEAN dan Cina secara kolektif sepakat untuk mendorong peningkatan fasilitas, transparansi dan iklim investasi yang kompetitif dengan menciptakan kondisi investasi yang positif, disertai berbagai upaya untuk mendorong promosi arus investasi dan kerjasama di bidang investasi yang disepakati sejak 2009. Selain itu, kedua belah pihak juga secara bersama-sama akan memperbaiki aturan investasi menjadi lebih transparan dan kondusif demi peningkatan arus investasi, di samping juga memberikan perlindungan investasi. Menurut Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h. 52; lihat juga lampiran 1 ada beberapa kondisi ekonomi Cina yang merupakan faktor daya tarik bagi ASEAN dalam menyambut tawaran FTA dari Cina. Pertama, ASEAN memandang Cina sebagai pasar yang berpotensi dengan luas wilayah dua kali wilayah ASEAN dan penduduk 1,3 milyar. Daya beli di Cina yang semakin meningkat dan pasarnya yang semakin terbuka sehingga membuka peluang bagi ekspor ASEAN yang selama ini tidak tertolong dengan rendahnya tingkat perdagangan intra-ASEAN. Kedua, ekonomi Cina bisa lebih komplementer 48 dengan ekonomi ASEAN dibandingkan intra ekonomi ASEAN itu sendiri. Dengan masuknya Cina dalam komunitas ekonomi global, maka ASEAN bisa ikut ambil bagian dalam rantai produksi Cina dan sebaliknya, pertumbuhan di Cina yang membutuhkan semakin banyak energi yang dalam hal ini bisa dipenuhi oleh negara-negara ASEAN, yang juga kaya akan sumber energi tersebut. Ketiga, ASEAN bisa memanfaatkan kebangkitan ekonomi Cina dimana kekuatan ekspor juga diimbangi kekuatan pasar domestiknya. Jika pada masa lalu kebangkitan ekonomi Jepang dapat membawa serta kebangkitan ekonomi ASEAN, maka sekarang hal yang sama diharapkan dari kebangkitan ekonomi Cina. Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h. 53 juga menambahkan, selain pertimbangan ekonomi tersebut, aspek politik juga ikut menyumbang dalam perubahan kebijakan negara-negara Asia Tenggara terhadap Cina, antara lain: pentingnya melibatkan Cina dalam mengatasi potensi konflik intra-regional, perlunya menyeimbangkan kekuatan di kawasan yang selama ini didominasi Amerika Serikat dan Jepang, dan kebutuhan akan kekuatan suara yang lebih besar dalam forum internasional di mana ASEAN dan Cina banyak mempunyai kesamaan pandangan. Alasan-alasan inilah yang menyebabkan ASEAN menyambut baik usulan Cina untuk membentuk sebuah Free Trade Area. Setelah melihat perkembangan kerjasama dalam bidang ekonomi yang terjadi baik intra ASEAN, maupun antara ASEAN dengan lingkungan eksternalnya, dapat disimpulkan bahwa saat ini faktor ekonomi merupakan bagian terpenting yang mendasari kerjasama yang dilakukan ASEAN. Persoalan politik ataupun ideologi bukan lagi menjadi penghalang dalam melakukan kerjasama. Selama dapat memicu pertumbuhan ekonomi ASEAN, maka ASEAN akan 49 menyambutnya dengan baik. Termasuk kerjasama yang terjadi antara ASEAN dan Cina dalam kerangkan ACFTA. Faktor keberadaan Cina saat ini di dalam ruang lingkup ASEAN dinilai sangatlah penting, meskipun juga banyak menimbulkan pro dan kontra. Namun para pembuat kebijakan dalam ASEAN menilai kerjasama yang dilakukan dengan Cina ini merupakan alternatif lain yang harus dilakukan ASEAN dalam menghadapi persaingan ekonomi saat ini. Pada Bab selanjutnya akan dijelaskan mengenai faktor terbentuknya ACFTA dalam perspektif Cina. Karena sangat penting melihat kerjasama ini dibentuk dari sisi pihak lain yang juga terlibat, agar mampu menggambarkan ketergantungan ekonomi yang terjadi di antara keduanya. 50

BAB III KEPENTINGAN CINA TERHADAP PEMBENTUKAN ACFTA