Pertanyaan Penelitian Kerangka Pemikiran

6 yang perekonomiannya sering menghadapi goncangan. Dengan kedekatan ASEAN dan Cina tersebut maka akan meningkatkan stabilitas ekonomi dan keamanan regional sendiri, karena banyaknya alternatif kerjasama yang dimiliki ASEAN dan masing-masing pihak juga membutuhkan lingkungan regional yang aman untuk mengoptimalkan nilai investasi yang ada. Atas latar belakang inilah, peningkatan kerjasama di bidang ekonomi antara ASEAN dan Cina dapat disepakati, sehingga membentuk ASEAN-Cina Free Trade Area ACFTA, yang selanjutnya menjadi pokok pembahasan utama dalam penulisan skripsi ini.

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang akan dibahas adalah: 1. Faktor internal maupun eksternal apa saja yang membuat ASEAN dan Cina meningkatkan hubungan kerjasama di bidang ekonomi melalui ACFTA? 2. Bagaimana pembentukan ACFTA ini berimplikasi pada hubungan ekonomi ASEAN dan Cina?

C. Kerangka Pemikiran

Globalisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia telah memberikan peluang bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya, serta mampu mengubah struktur dan pembangunan sosial masyarakatnya. Menurut Jackson dan Sorensen 2005, h. 266 globalisasi berarti meluas dan meningkatnya hubungan ekonomi, sosial dan budaya yang melewati batas-batas internasional. Globalisasi yang dicirikan dengan adanya saling ketergantungan interdependensi, menyebabkan semakin sulit bagi suatu negara 7 untuk mempertahankan kebijakannya yang independen dan otonom Perwita Yani 2005, h. 77. Kebijakan yang diambil oleh suatu negara baik yang bersifat domestik terlebih lagi luar negeri, harus disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang cepat terjadi pada lingkungan internasional. Oleh karena itu, globalisasi telah membuka peluang yang tidak terbatas bagi negara-negara untuk melakukan kerjasama dan integrasi ekonomi yang saling menguntungkan dalam bidang perdagangan barang, jasa, maupun investasi. Penulis akan berkonsentrasi pada aspek ekonomi dari globalisasi, karena aspek ekonomi ini berkaitan dengan saling ketergantungan interdependensi yang terjadi di antara negara-negara di dunia ini. Selain dari konsep interdependensi, penulisan skripsi ini juga akan dilihat dari perspektif neoliberal institusionalis, agar dapat menggambarkan peran institusi ataupun rezim serangkaian peraturan yang terjadi dalam pembentukan ASEAN- Cina Free Trade Area ini. Menurut Jackson dan Sorensen 2005, h. 147 interdependensi berarti ketergantungan timbal balik antara suatu negara dengan negara lainnya. Jadi suatu negara dipengaruhi oleh apa yang terjadi di manapun, oleh tindakan rekannya di negara lain. Dengan adanya interdependensi, maka yang terjadi bukan hanya keterkaitan dari segi ekonomi, namun interdependensi antar negara dapat mengurangi konflik kekerasan antar negara. Keohane dan Nye dalam Jackson Sorensen 2005, h. 151 menambahkan bahwa, dalam interdependensi complex interdependence kekuatan militer merupakan instrumen kebijakan yang kurang bermanfaat. Oleh karena itu, sumber daya kekuatan selain dari militer semakin penting, seperti keahlian bernegosiasi. Akhirnya negara-negara menjadi lebih tertarik dengan isu kesejahteraan, ekonomi low politics dan kurang 8 menghiraukan dengan isu keamanan high politics. Dalam interdependensi ini, hubungan yang terjadi menjadi lebih bersahabat dan kooperatif. Lebih jauh, Jackson dan Sorensen menyatakan 2005, h. 65 bahwa, ketika terdapat derajat interdependensi yang tinggi, negara-negara akan sering membentuk institusi-institusi internasional untuk menghadapi masalah-masalah bersama. Institusi-institusi itu dapat berupa organisasi internasional formal Uni Eropa,WTO,ASEAN, atau dapat berupa serangkaian persetujuan sering disebut rezim yang menghadapi aktivitas-aktivitas atau isu-isu bersama, seperti perjanjian tentang perdagangan, komunikasi, penerbangan, atau lingkungan. Peran institusi dalam bentuk ini akan dilihat dari perspektif neoliberal institusionalis. Ada banyak varian dalam liberalisme, neoliberal institusionalis adalah salah satunya. Namun, yang membedakan neoliberal institusionalis dengan jenis liberalisme lainnya, menurut Keohane dalam Hobson 2003, h. 95-98; lihat juga Grieco dalam Baldwin ed. 1993, h. 123 adalah tanggapannya yang menerima sejumlah asumsi dari pemikiran realis struktural realis mengenai anarkinya hubungan internasional. Menurut Keohane, negara secara rasional adalah egois dengan berusaha memaksimalkan keuntungan masing-masing, namun kehadiran sebuah rezim sangatlah penting dan efektif, meskipun dalam kondisi yang secara rasional memaksimalkan keuntungan masing-masing tersebut. Neoliberal institusionalis menurutnya juga bertentangan dengan pemikiran normatif dari liberal institusionalis sebelumnya. Keohane menolak pendapat dari liberalisme klasik, yang menyatakan bahwa kerjasama terjadi secara alami. Menurut Keohane, kerjasama tidak akan terjadi secara alami, kerjasama harus dirancang melalui pembentukan dari rezim internasional. 9 Menurut Keohane, sistem politik dunia tidak didominasi oleh harmoni dan kerjasama, tetapi dari perselisihan yang sering terjadi, seperti pendekatan neorealis. Secara fakta, perselisihan sangatlah penting, karena dapat menciptakan kebutuhan akan suatu rezim. Tanpa adanya konflik maka kerjasama tidak akan dibutuhkan. Negara dapat bernegosiasi atau merancang sebuah institusi, karena nilai dari keuntungan jangka panjang dari sebuah rezim. Rezim dapat mengusahakan negara untuk menyelesaikan permasalahan bersama dari situasi yang anarki. Kerjasama tidak terjadi karena alasan moral atau motivasi idealisme, tetapi karena menjanjikan kepentingan jangka panjang. Oleh karena itu, dalam perspektif neoliberal institusionalis masih terdapat optimisme dalam melakukan kerjasama, dan institusi memiliki peran dalam mewujudkan kerjasama tersebut. Jackson dan Sorensen 2005, h. 158 menambahkan bahwa institusi internasional membantu memajukan kerjasama antara negara-negara, selain itu juga membantu mengurangi ketidakpercayaan dan rasa takut di antara negara satu dengan yang lainnya yang dianggap menjadi masalah tradisional yang dikaitkan dengan anarki internasional. Steans dan Pettiford 2009, h. 132 menjelaskan bahwa negara-negara tidak mampu memenuhi berbagai kebutuhan warga negara mereka yang beranekaragam tanpa bekerja sama dengan negara-negara lain. Institusi-institusi dan rezim-rezim internasional diperlukan untuk mengatur kekuatan interdependensi yang ada. Meskipun konflik itu selalu ada, namun institusi-institusi atau rezim-rezim menyediakan acuan bagi negara-negara untuk menyelesaikan berbagai perbedaan. Menurut Steans dan Pettiford 2009, h. 135, keberhasilan neoliberal institusionalis dalam mengedepankan kerjasama tidak sepenuhnya tergantung 10 pada keberadaan suatu negara yang berhegemoni dominan. Namun, ada kepentingan-kepentingan bersama yang bisa dicapai melalui kerjasama. Pada pandangan ini, negara-negara masih menjadi aktor dominan meskipun bukan satu- satunya, tetapi aturan-aturan institusi berpengaruh penting terhadap hasil-hasil dalam berbagai permasalahan. Mingst 2003, h. 65 menambahkan, bagi neoliberal institusionalis, kerjasama muncul karena setiap aktor mempunyai interaksi terus-menerus kontinuitas dengan yang lainnya. Institusi menyediakan jaminan kerjasama, di mana ada harapan untuk interaksi di masa selanjutnya. Mengenai keuntungan yang akan diperoleh dengan melakukan kerjasama, Steans dan Pettiford 2009, h. 135; Keohane dalam Hobson 2003, h. 98 mengungkapkan bahwa bagi neoliberal institusionalis, umumnya negara-negara merupakan aktor yang berusaha memaksimalkan keuntungan yang absolut, 4 bukan memaksimalkan keuantungan relatif. Keuntungan Absolut berarti perolehan mutlak yang didapatkan negara, tanpa membandingkan dengan seberapa besar yang didapatkan oleh negara lain. Oleh karena itu, kerjasama menjadi hal yang lebih masuk akal rasional, dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi keuntungan absolut. Dalam hal inilah tersimpan penjelasan tentang kemunculan dan daya tahan berbagai organisasi, institusi dan rezim internasional. Jackson dan Sorensen 2005, h. 169 menambahkan, jika negara-negara memiliki kepentingan yang sama maka mereka tidak akan mencemaskan tentang keuntungan relatif. Dalam situasi tersebut institusi dapat membantu meningkatkan kerjasama. 4 Keuntungan Absolut, berarti sepanjang kita mengerjakannya dengan baik, tidak masalah jika yang lain mengerjakan lebih baik. Contoh: perekonomian negara A tumbuh mendekati 25 dalam satu dekade, perekonomian negara B tumbuh 75. Sedangkan Keuntungan Relatif, berarti kita akan melakukan yang terbaik, tetapi prioritas nomor satu adalah yang lain tidak boleh mendahuluinya asumsi realis. Contoh: perekonomian negara A tumbuh 10 dalam satu dekade, perekonomian negara B tidak boleh tumbuh lebih besar daripada itu. lihat Jackson Sorensen 2005, h. 170. 11 Dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini, pandangan neoliberal institusionalis dapat dikaitkan dengan peran ASEAN sebagai organisasi formal di kawasan Asia Tenggara yang sedang berusaha untuk lebih memajukan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggotanya, melalui berbagai hubungan kerjasama ekonomi yang dilakukan baik intra ASEAN maupun dengan lingkungan eksternalnya. Dalam perspektif ini juga dapat dilihat peran institusi dalam menerapkan berbagai aturan ataupun program yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi negara anggotanya. Institusi dianggap mampu memberikan pedoman kerjasama bagi negara-negara yang memiliki banyak perbedaan baik dari segi ekonomi, politik dan lainnya. Selain peran ASEAN sebagai suatu institusi, melalui perspektif neoliberal institusionalis juga dapat dilihat mengenai perjanjian pembentukan ACFTA. Keberadaan rezim atau perjanjian kerjasama ini bisa dikaitkan dengan anggapan anarkinya hubungan internasional, dalam hal ini misalnya, perkembangan ekonomi Cina yang dianggap menjadi pesaing dari perekonomian ASEAN baik dalam segi perdagangan maupun investasi, selain itu makin terkelompok- kelompoknya berbagai negara dalam suatu bentuk regionalisme Uni Eropa, NAFTA, Mercosur menjadikan hal yang lebih sulit bagi suatu negara di luar kawasan tersebut untuk melakukan kerjasama, dengan kata lain masing-masing negara berusaha memaksimalkan keuntungannya. Oleh karena itu, ASEAN dan Cina menanggapinya dengan lebih mendekatkan diri dengan membentuk ACFTA. Terlebih lagi Cina, karena dalam wilayah Asia Timur sendiri hampir tidak adanya kemungkinan bagi Cina untuk membentuk suatu institusi formal terkait persaingannya dengan Jepang. 12 Oleh karena itu, optimisme Cina dan ASEAN dalam melakukan kerjasama di bidang ekonomi tertuang dalam pembentukan ACFTA. Kedua belah pihak menganggap keberadaan perjanjian ini akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi keduanya. Meskipun dalam pembentukannya juga banyak menuai protes, terkait dengan komoditi ekspor Cina yang luar biasa melimpah, namun sesuai dengan pandangan neoliberal institusionalis tentang keuntungan absolut yang akan diperoleh, maka perjanjian ini dapat diwujudkan, dengan harapan manfaat jangka panjang dari hubungan yang akan terjadi bagi keduanya termasuk dari segi investasi. Fenomena globalisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia tidaklah mungkin untuk dihindari, yang menjadi persoalan adalah sejauh mana negara- negara di dunia ini mampu mengambil keuntungan dari proses globalisasi ini. Salah satu bentuk nyata dari interdependensi yang juga disebabkan oleh proses globalisasi, adalah terbentuknya ACFTA. Saling ketergantungan yang terjadi di antara kedua belah pihak baik ASEAN maupun Cina menyebabkan terbentuknya perjanjian ini. Perjanjian kawasan perdagangan bebas ini tentunya dapat terwujud jika setiap negara anggotanya mau menerima semua aturan ataupun perjanjian yang telah disepakati bersama. Hubungan interdependensi yang terjadi antara ASEAN dan Cina sehingga menyebabkan terbentuknya ACFTA akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya pada skripsi ini. Kerjasama ekonomi yang terjadi dalam ACFTA haruslah dapat menguntungkan bagi semua negara yang terlibat di dalamnya. Eksploitasi dalam bentuk ekspansi ekonomi sangatlah dihindari dalam kerangka kerjasama ini. Salah satu contoh dari pencegahan tindakan eksploitasi itu adalah dengan menunda 13 pemberlakuan skema ACFTA bagi anggota ASEAN-CMLV Cambodia, Myanmar, Laos, Vietnam hingga pada 2015 Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h. 42. Hal ini dimaksudkan agar ke-empat anggota baru ASEAN ini tidak menjadi sasaran empuk dalam penyebaran komoditi ekspor negara lainnya, khususnya oleh Cina. Dengan melakukan penundaan ini, maka diharapkan dapat memperpanjang waktu persiapan bagi negara-negara tersebut untuk lebih menguatkan lagi kondisi perekonomian domestiknya. Sehingga nantinya lebih mampu bersaing di dalam skema kawasan perdagangan bebas ini. Integrasi ekonomi yang terjadi di dalam skema ACFTA ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi seluruh negara anggotanya, meskipun keuntungan dari segi ekonomi yang diperoleh antara satu negara dengan negara lainnya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini terjadi akibat dari tingkat kemampuan ataupun kesiapan yang berbeda-beda dari setiap negara yang bekerjasama dalam sistem ini. Pada dasarnya, setiap negara yang terlibat dalam perjanjian ini memiliki posisi yang setara, karena masing-masing pihak memang membutuhkan kerjasama ekonomi ini. Sehingga diharapkan tidak ada negara yang merasa dirugikan. Saat ini tidak ada satu negarapun di dunia ini yang betul-betul dapat memenuhi kebutuhannya dari hasil produksi negaranya sendiri. Langsung atau tidak langsung negara-negara tersebut membutuhkan hubungan ekonomi sehingga masing-masing negara sudah berada pada situasi yang saling ketergantungan. Untuk mewujudkan hal itu maka instrumen kerjasama ekonomi menjadi sesuatu yang harus dilakukan. Pada pelaksanaannya hubungan kerjasama ekonomi antara Cina dengan ASEAN didasari oleh situasi saling ketergantungan interdependensi. Dalam 14 Faktor internal: Hambatan ekonomi intra ASEAN Faktor eksternal: alternatif hubungan ekonomi Hubungan ekonomi intra ASEAN: Faktor eksternal: motivasi ekonomi dan politik ASEAN-Cina Free Trade Area Perubahan kebijakan ekonomi perspektif Cina pertumbuhan ekonomi yang pesat hasil dari program empat modernisasi yang sukses dan interaksi Cina dengan ekonomi global, telah membuka mata negara itu akan pentingnya interdependensi dan keterbukaan dengan pihak asing. Interdependensi Cina telah mentransformasikan peran negara itu dan sikap seluruh dunia dalam berhubungan dengan Cina ke arah yang lebih baik. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina telah membuka mata dunia, dan berpaling ke negeri itu. ASEAN sendiri juga sangat menyadari hal ini, sehingga membuat negara-negara di kawasan Asia Tenggara menyambut baik tawaran dari Cina dalam pembentukan ACFTA. Keinginan ASEAN di satu sisi dan kebijakan Cina di sisi lain yang sangat membuka diri untuk melakukan hubungan ekonomi, mengakibatkan upaya-upaya membentuk ACFTA dapat diwujudkan. Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah dan kerangka pemikiran pada bagian sebelumnya, maka penulis mencoba menggambarkan penelitian ini di dalam sebuah model, yang dapat dilihat seperti di bawah ini: ASEAN CINA Faktor internal: meningkatnya perekonomian 15

D. Metode Penelitian