Kondisi Internal Ekonomi ASEAN 1. Perkembangan Awal Kerjasama Ekonomi Intra ASEAN
20 juga meningkatkan kerjasama intra regional bagi pertumbuhan ekonomi yang
lebih maju. Akan tetapi dengan adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh negara-negara ASEAN menyebabkan perlunya upaya untuk memperluas
kerjasama ekonomi kawasan dengan negara lain, termasuk dengan mitra dialognya seperti dengan Cina, Jepang, India, Korea Selatan, Kanada, Australia,
dan Selandia Baru. Selain itu, pada KTT ASEAN kedua di Kuala lumpur pada 1977
dikemukakan mengenai perlu ditingkatkannya kerjasama ekonomi dengan pihak lain baik negara, kelompok negara, dan organisasi internasional di luar ASEAN
untuk menjalin hubungan yang saling bersahabat serta saling menguntungkan bagi semua pihak ASEAN Secretariat 1977. Hal ini menunjukkan bagaimana
ASEAN sangat menginginkan kerjasama dalam bidang ekonomi baik dengan lingkungan internalnya maupun dengan negara lain di luar kawasan Asia
Tenggara. Pada bagian berikutnya, penulis akan memaparkan perkembangan kerjasama ekonomi Intra ASEAN.
B. Kondisi Internal Ekonomi ASEAN B.1. Perkembangan Awal Kerjasama Ekonomi Intra ASEAN
Preferential Trading Arrangements PTA merupakan bentuk kerjasama
ekonomi yang pertama kali terjalin antar negara ASEAN, selain juga merupakan yang pertama kali terjadi di kawasan Asia. PTA pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1977 sebagai bentuk komitmen awal negara-negara ASEAN untuk melaksanakan perdagangan bebas Pangestu dalam Weatherbee et al. 2005, h.
188; ASEAN Secretariat 1977. Dalam skema PTA berlaku pengurangan tarif
21 bagi barang-barang yang diperdagangkan dan berasal dari negara-negara anggota
ASEAN. Dalam PTA ini diterapkan preferensi tarif yang dikenal dengan istilah
MoP Margin of Preference Prabowo Wardoyo 2004, h. 9. Lebih jauh Prabowo dan Wardoyo menjelaskan, aturan yang termuat dalam MoP bahwa
semua barang komoditi yang berasal dari ASEAN akan dikenakan tarif preferensi yang besarnya lebih rendah dari tarif Most Favoured Nation MFN
6
dari negara- negara anggota ASEAN. Jadi pada intinya pengenaan tarif dalam sistem MoP ini
harus lebih rendah dari segala bentuk pemotongan tarif yang telah berlaku di negara anggota ASEAN.
MoP sendiri dihitung berdasarkan persentasi tertentu dari tingkat tarif yang berlaku di negara-negara anggota ASEAN Prabowo Wardoyo 2004, h.
9. Selain itu dalam skema PTA juga berlaku keharusan kandungan muatan lokal rules of origin sebesar 50 persen. Oleh karena itu, setiap komoditi yang
diperdagangkan dalam skema PTA harus memiliki kandungan yang benar-benar berasal dari negara anggota ASEAN yaitu sebesar 50 persen. Menurut Pangestu
dalam Weatherbee et al. 2005, h. 188 setiap negara dalam skema PTA ini juga mempunyai daftar pengecualian exclusion list, yaitu daftar barang yang tidak
diperdagangkan atau dikecualikan yang diajukan oleh setiap negara.
6
Most Favoured Nation MFN, prinsip ini menyatakan bahwa setiap fasilitas atau keringanan yang diberikan oleh suatu negara terhadap impor barang dari suatu negara tertentu harus diberikan
pula kepada barang yang sama yang berasal dari negara anggota GATT General Agreement on Tariff and Trade
sekarang WTO yang lain. Dengan demikian, maka tidak ada satu negarapun yang diperlakukan lebih buruk daripada negara yang lain. Prinsip ini juga dikenal dengan istilah
azas non-diskriminasi, yang berarti tidak adanya perbedaan antara negara satu dengan negara yang lain. Namun, pada perkembangannya prinsip ini mendapatkan tentangan dari negara-negara
berkembang, karena dengan cara ini berarti negara industri maju akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu, negara-negara berkembang menuntut diubahnya prinsip ini
dengan memperhatikan perbedaan yang ada antara negara industri maju di satu sisi dan negara berkembang di sisi yang lain lihat Isaak 1995, h. 112.
22 Pada perkembangannya implementasi dari PTA ini berjalan kurang efektif,
di antaranya akibat terlalu banyak barang-barang yang dimasukkan dalam “exclusion list” atau daftar pengecualian, sehingga tidak memperoleh penurunan
tarif. Selain itu, terdapat kesulitan dalam membuktikan kandungan muatan lokal barang dan kurangnya penyebaran informasi tentang PTA terhadap para
pengusaha di negara-negara anggota ASEAN. Hal inilah yang menjadi penyebab tidak berjalannya program ini secara efektif. Akibat sistem PTA yang tidak begitu
efektif, maka pada ASEAN Summit ke-4 di Singapura pada Januari 1992 disepakatilah pembentukan program baru, khususnya di bidang perdagangan yaitu
ASEAN Free Trade Area AFTA atau kawasan Perdagangan Bebas ASEAN Singh 1997, h. 47.
Pembentukan AFTA ini juga mencerminkan perkembangan situasi ekonomi dan politik yang terjadi bukan hanya di lingkungan ASEAN tetapi juga
dinamika yang terjadi pada lingkungan internasional. Faktor eksternal itu di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Prabowo dan Wardoyo 2004, h. 18,
yaitu keprihatinan terhadap lambatnya pencapaian kesepakatan Putaran Uruguay
7
tentang negosiasi perdagangan multilateral, kemajuan yang cepat dari pembentukan Pasar Tunggal Eropa European Common Market, serta karena
lahirnya NAFTA North American Free Trade Area
8
lihat juga Weatherbee et
7
Merupakan babak kedelapan dari perundingan yang berlangsung dalam kerangka kerja GATT yang dimulai pada tahun 1986 sampai 1994. Dalam perundingan ini juga disepakati perubahan dari
GATT menjadi WTO. Selain itu juga disepakati pengurangan subsidi pertanian bagi negara-negara maju, investasi asing, tekstil, dan perdagangan di bidang jasa seperti bank dan asuransi. Uruguay
Round dalam perundingannya juga berusaha menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan non-tarif, seperti; kuota, pajak, subsidi ekspor, pembatasan-pembatasan sukarela, serta standar dan
peraturan birokratis di dalam negeri. Uruguay Round juga dianggap sebagai salah satu perundingan terbesar di bidang perdagangan sebelum adanya Doha Round yang di mulai tahun
2001 hingga saat ini lihat Isaak 1995, h. 114.
23 al. 2005, h. 190. Dinamika ini dianggap menjadi tantangan yang serius bagi
ASEAN dalam menarik investasi asing ke dalam lingkungan ASEAN. Oleh karena itu, pembentukan AFTA ini dinilai sangatlah penting untuk meningkatkan
daya tarik ASEAN dalam dunia perdagangan dan investasi internasional. Prabowo dan Wardoyo 2004, h. 20 menyatakan bahwa ASEAN Free
Trade Area AFTA merupakan wujud dari kesepakatan Negara-negara ASEAN
untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN
sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. Dengan adanya AFTA diharapkan perekonomian menjadi lebih
efisien, bersaing, dan menarik bagi penanaman modal ke kawasan ini. Menurut Sungkar ed. 2003, h. 1, AFTA merupakan kawasan perdagangan bebas ASEAN
di mana tidak ada hambatan tarif bea masuk 0-5 maupun hambatan nontarif
9
bagi Negara-negara anggota ASEAN, melalui Common Effective Preferential Tariff Scheme
CEPT-AFTA. CEPT adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh anggota ASEAN.
Awalnya AFTA ditargetkan akan dicapai dalam waktu 15 tahun yaitu pada 2008, namun dipercepat menjadi 2003, dan dipercepat lagi menjadi 2002 bagi
ASEAN-6. Sedangkan untuk Vietnam pada 2006, bagi Laos dan Myanmar 2008,
8
NAFTA North American Free Trade Area Organisasi perdagangan bebas Amerika Utara yang beranggotakan tiga Negara yaitu, Amerika Serikat, Kanada dan Mexico.Didirikan pada 1994
bertugas mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga; komunikasi; kegiatan kebudayaan; kewarganegaraan, paspor, dan visa; kegiatan sosial; dan kegiatan kesehatan.
9
Hambatan non-tarif adalah hambatan non-moneter terhadap produk-produk ataupun jasa yang disediakan oleh pihak asing. Salah satu contohnya adalah standarisasi produk-produk yang
dihasilkan oleh negara lain. Standarisasi di sini terkait dengan mutu produk, pengemasan produk, sertifikasi halal, jaminan kesehatan,dll. Hambatan non-tarif bisa saja berupa peraturan-peraturan
yang memberatkan produk asing masuk ke suatu negara lihat Pambudi Chandra 2006, h. 54.
24 serta Kamboja pada 2010 Wuryandari ed. 2000, h. 120; lihat juga ASEAN
Secretariat. Seperti yang dikemukakan oleh Pangestu dalam Weatherbee et al. 2005, h. 191, pengurangan tarif dalam AFTA ini hanya dapat diaplikasikan pada
produk-produk yang memenuhi persyaratan kandungan muatan lokal rules of origin
sebesar 40 persen dari negara-negara anggota. CEPT dirancang untuk mewujudkan AFTA. Sehingga, isinya merupakan
aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara ASEAN dalam melaksanakan AFTA. Menurut Prabowo dan Wardoyo 2004, h. 28, produk yang
diatur dalam CEPT adalah seluruh produk manufaktur dan produk pertanian. Lebih jauh Prabowo dan Wardoyo 2004, h. 29-32; ASEAN Secretariat 1999
menjelaskan bahwa klasifikasi produk dalam CEPT dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu:
1.Inclusion List IL Produk yang terdapat dalam IL adalah produk-produk yang harus
mengalami liberalisasi dengan dikenai pengurangan tarif secepatnya secara terjadwal di bawah program CEPT, hingga harus turun maksimal 0-5 persen pada
2002 untuk ASEAN-6. Sedangkan bagi negara-negara CMLV Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam diberikan kelonggaran waktu yang berbeda untuk
menerapkannya yaitu 2006 untuk Vietnam, 2008 untuk Laos dan Myanmar, serta 2010 untuk Kamboja. Kelompok barang dalam IL ini dibagi lagi menjadi dua
kelompok, seperti: normal track dan fast track. 2.Temporary Exclusion List TEL
TEL adalah daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT karena ketidaksiapannya. Namun semua
25 produk dalam TEL pada akhirnya harus ditransfer ke dalam Inclusion List paling
lambat 1 Januari 2002. 3.Sensitive List SL
Produk yang masuk dalam kategori ini terdiri dari produk-produk pertanian yang belum diproses atau produk pertanian bukan olahan Unprocessed
Agricultural Products . Produk dalam SL ini harus dimasukkan ke dalam IL
dengan jangka waktu 2003 untuk ASEAN-6, Vietnam pada 2013, Laos dan Myanmar 2015, sedangkan Kamboja pada 2017. Contoh produk dalam SL adalah:
beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh. 4.General Exception List GEL
GEL adalah daftar produk yang dikecualikan secara permanen dari program CEPT oleh suatu Negara karena dianggap penting dengan alasan
perlindungan terhadap keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, serta barang-barang yang
mengandung nilai sejarah, seni, dan arkeologis. Ketentuan yang termasuk dalam GEL ini sesuai dengan pasal 10 dari GATT, seperti senjata api, amunisi, narkotika
dan sebagainya. Pada perkembangannya, AFTA berhasil meningkatkan intensitas jumlah
perdagangan intra ASEAN, akibat penurunan hambatan tarif maupun non-tarif di antara anggotanya. Namun, peningkatan perdagangan tersebut masih dianggap
kurang berarti atau dengan kata lain perkembangan perdagangan intra ASEAN sangatlah lambat. Volume perdagangan dalam AFTA ini masih dianggap kurang
mampu menggantikan ketergantungan ASEAN terhadap negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara lihat Tabel II.1. Dari tabel ini dapat dikatakan
26 perdagangan intra ASEAN mengalami peningkatan, namun peningkatan itu belum
mampu menggeser ketergantungan ekspor ASEAN ke luar kawasan Asia Tenggara.
Tabel II.1 Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN: 2003-2009
dalam juta US
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 Total
Intra
206.731 260.697
304.893 352.771
401.920 470.112
376.207 2.373.331
Extra
617.807 811.150
919.996 1.052.034
1.208.867 1.427.015
1.160.635 7.197.504
Total
824.538 1.071.847
1.224.889 1.404.805
1.610.787 1.897.127
1.536.842 9.570.835
Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010
Menurut Luhulima et al. 2008, h. 122 rendahnya perdagangan intra ASEAN ini antara lain dikarenakan masih adanya hambatan non-tarif, perbedaan
standar produk dan belum harmonisnya prosedur bea cukai. Persoalan lain yang sama pentingnya adalah kurang populernya skema CEPT-AFTA di kalangan
swasta, kurang jelasnya aturan kandungan lokal dan belum kuatnya mekanisme penyelesaian masalah perdagangan. Oleh karena itu, ASEAN memperbolehkan
negara anggota yang belum siap berintegrasi untuk menyusul di kemudian hari agar tidak memperlambat anggota yang lebih siap. Hal inilah yang menyebabkan
penerapan program ini berjalan tidak bersamaan antara satu negara dengan negara lainnya.
Selain itu Ariff dalam Yue dan Pacini eds. 1997, h. 68 menambahkan bahwa minimnya perdagangan intra ASEAN ini mungkin disebabkan karena
beberapa alasan. Pertama, negara-negara ASEAN memiliki sumber daya alam yang relatif sama sehingga tidak adanya saling melengkapi di antara anggota,
namun justru terjadi persaingan. Sebagai contoh; Indonesia, Malaysia dan Thailand adalah sesama negara penghasil utama karet alam dunia, kemudian
27 Malaysia, Singapura dan Filipina sama-sama pengekspor produk-produk
elektronik. Jadi perekonomian ASEAN lebih cenderung untuk berkompetisi antara satu negara dengan negara lain dalam memperebutkan pasar. Kedua, negara-
negara ASEAN lebih banyak melakukan hubungan dagang dengan negara-negara di luar ASEAN daripada antar anggota ASEAN. Perdagangan negara-negara
ASEAN lebih banyak dilakukan dengan negara-negara di luar kawasan, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan juga Jepang. Hal ini disebabkan karena negara-
negara tersebut adalah daerah utama pemasaran komoditi ekspor dari negara ASEAN, selain juga merupakan sumber investasi bagi negara ASEAN.
Kemudian, sebagai bentuk lanjutan dari integrasi ekonomi ASEAN, seiring dengan pemberlakuan AFTA maka disepakatilah gagasan yang lebih besar
lagi pada Konferensi Tingkat Tinggi KTT ASEAN ke-8 di Phnom Penh, November 2002. Pada saat itu, menurut Elisabeth ed. 2009, h. 1, para pemimpin
ASEAN menyetujui prakarsa Perdana Menteri Singapura, Goh Chok Tong mengenai pembentukan ASEAN Economic Community AEC sebagai bentuk
lanjutan dari proses integrasi ekonomi ASEAN. Kemudian pada KTT ASEAN ke- 9 di Bali tahun 2003, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk
Komunitas Ekonomi ASEAN yang ditargetkan dicapai pada 2020. Pada KTT inilah dihasilkan ketetapan Bali Concord II yang menjadi cikal bakal
pembentukan AEC. Lebih jauh Elisabeth ed. 2009, h. 2 menyatakan bahwa, pembentukan AEC ini sesuai dengan tujuan pembentukan komunitas ASEAN
yang ditetapkan dalam ASEAN Vision 2020 pada 1997, yaitu pembentukan tiga pilar utama ASEAN; ASEAN Political-Security Community APSC, ASEAN
Economic Community AEC, dan ASEAN Socio-Cultural Community ASCC.
28 Menurut Elisabeth ed. 2009, h. 2, pada tahap selanjutnya dalam KTT
ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina Januari 2007, para peserta pertemuan menyepakati untuk mempercepat jadwal pembentukan Komunitas ASEAN yang
semula ditetapkan pada 2020 menjadi 2015. Namun, target pembentukan ketiga pilar utama tersebut tidak bersamaan. Target pencapaian disesuaikan dengan
kondisi ekonomi dan politik masing-masing negara anggota ASEAN. Misalnya, Singapura dan Brunei menargetkan ASEAN Community AC pada 2010,
sedangkan Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand pada 2015, sedangkan CMLV tetap pada 2020.
Sungkar dalam Inayati ed. 2007, h. 117 menambahkan bahwa, percepatan pembentukan AC ini terjadi dikarenakan adanya kekhawatiran
ASEAN terhadap perkembangan ekonomi dunia. Dalam situasi persaingan ekonomi yang semakin tajam, ada kekhawatiran bahwa Asia Tenggara akan
tertinggal jauh dari pesatnya pertumbuhan ekonomi kawasan atau negara lain seperti pertumbuhan ekonomi Cina dan India. Gagasan membentuk ASEAN
Economic Community AEC diharapkan bisa mengalirkan semangat baru untuk
berintegrasi ke dalam, dan meningkatkan daya saing kawasan agar dapat merebut investasi asing.
Elisabeth ed. 2009, h. 3 menambahkan, dalam rangka perwujutan AEC ini, pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura November 2007 disahkan langkah
kerja untuk mempercepat integrasi ekonomi dan realisasi pembentukannya, yaitu dengan menjadikan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, kawasan
ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan yang memiliki pembangunan
29 ekonomi yang relatif setara equitable, serta kawasan yang terintegrasi penuh
dengan ekonomi global lihat juga ASEAN Secretariat 2008. Intinya, komunitas ekonomi ASEAN ingin membentuk suatu pasar dan
basis produksi tunggal di mana di dalamnya terdapat pembebasan terhadap barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan liberalisasi modal. AEC juga
dimaksudkan untuk membantu mengurangi kemiskinan dan juga mempersempit jurang ekonomi dan pembangunan bagi negara ASEAN-6 dan CMLV pada tahun
2020 mendatang ASEAN Secretariat 2008. Menurut Sungkar dalam Inayati ed. 2007, h. 129 walaupun tidak mudah
untuk mencapai tingkat integrasi ekonomi yang lebih tinggi, sebenarnya saat ini kerjasama ekonomi ASEAN bukan pada tahap paling awal dari integrasi ekonomi.
ASEAN sudah meletakkan landasan dan menjalani proses integrasi ekonomi seperti, ASEAN Free Trade Area AFTA, ASEAN Framework Agreement on
Services AFAS, yang ditetapkan dalam ASEAN Summit ke-5 di Bangkok pada
Desember 1995. Untuk memperkuat kerjasama sektor jasa antar anggota ASEAN dengan penghapusan hambatan perdagangan jasa intra-regional.
Selain itu, juga disepakati pembentukan ASEAN Investment Area AIA pada tahun 1998 ASEAN Secretariat. Selain kemudahan dalam perdagangan di
bidang barang dan jasa, sektor investasi ini merupakan bagian penting dalam peningkatan investasi intra-ASEAN yang masih cukup rendah lihat Tabel II.2.
Penanaman modal asing Foreign Direct Investment bagi negara-negara ASEAN sebagian besar masih berasal dari negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara.
Jadi, dalam perjalanan menuju Komunitas Ekonomi ASEAN, ASEAN dapat dikatakan telah berada di tengah jalan dan perlu menciptakan mekanisme dan
30 langkah-langkah baru untuk memperkuat implementasi kerjasama ekonomi yang
sedang berlangsung.
Tabel II.2 Investasi Asing Langsung FDI Menuju ASEAN: 2003-2009
dalam juta US
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 Total
Intra
2.702 2.958
4.060 7.755
9.682 10.461
4.428 42.046
Extra
21.364 32.242
35.980 47.002
63.746 38.729
35.052 274.115
Total 24.066
35.200 40.040
54.757 73.428
49.190 39.480
316.161 Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010
Oleh karena itu, menurut Arbi dalam Sungkar ed. 2005, h. 21 ASEAN telah mengesahkan sebelas sektor prioritas proyek percontohan percepatan
integrasi pasar tunggal ASEAN yang direncanakan akan tercapai menjelang 2020. Tujuan ini akan dicapai melalui penghapusan berbagai hambatan perdagangan
intra-ASEAN. Kesebelas sektor yang dipilih di antaranya: elektronika, e-ASEAN, perawatan kesehatan, produk-produk berbasis kayu, otomotif, produk-produk
berbasis karet alam, tekstil dan pakaian jadi, produk-produk agro-industri, perikanan, penerbangan dan pariwisata. Sektor-sektor ini dipilih berdasarkan
tingkat keunggulan kompetitif masing-masing negara dalam hal ketersediaan sumber daya alam, keterampilan pekerja, daya saing dalam hal biaya produksi dan
kontribusi nilai tambah bagi perekonomian ASEAN. Menurut Sungkar dalam Inayati ed. 2007, h. 134, dalam usaha menuju
integrasi ekonomi yang lebih tinggi, selain melalui program-program yang disepakati sepuluh negara anggota, sebenarnya ada juga usaha-usaha yang dijalani
sebagian negara anggota yang dikenal dengan kerjasama sub-regional. Kerjasama ini memanfaatkan kedekatan geografis dari masing-masing anggota. Sebagai
31 contoh; Segitiga pertumbuhan “Sijori” Singapura-Johor-Riau adalah bentuk
kerjasama sub-regional yang sudah berlangsung secara resmi sejak 1992. Dengan semakin bertambahnya wilayah di Malaysia dan Indonesia yang ikut dalam
kerjasama segitiga pertumbuhan tersebut, maka “sijori” diubah menjadi Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle IMS-GT.
Sungkar dalam Inayati ed. 2007, h. 135 lebih jauh menjelaskan bahwa, pendekatan sub-regional ini telah diikuti oleh tiga bentuk kerjasama sub-regional
lainnya. Pertama, Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle IMT-GT pada 1993 yang meliputi wilayah utara Sumatera dan Riau di Indonesia, negara bagian
Johor dan Penang di Malaysia, dan wilayah selatan Thailand. Kedua, Brunei- Indonesia-Malaysia-Philipines East ASEAN Growth Area BIMP-EAGA pada
1994 yang meliputi Brunei, Kalimantan dan Sulawesi Utara di Indonesia, Malaysia timur dan wilayah Filipina bagian selatan. Ketiga, wilayah sepanjang
West-East Corridor WEC di Mekong Basin, yang meliputi Vietnam, Laos,
Cambodia dan timur laut Thailand yang dibentuk sejak 1996. Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa AEC lebih merupakan proses pendalaman dari
integrasi ekonomi ASEAN AFTA, AFAS, AIA, ataupun pengembangan sektor prioritas dan kerjasama sub-regional.
Dalam penerapan AEC, sebenarnya ASEAN mencontoh integrasi ekonomi yang dilakukan Uni Eropa Elisabeth ed. 2009, h. 21. Namun, perlu dilihat
kembali apakah gagasan ini dapat terlaksana seperti harapan para pemimpin ASEAN, mengingat banyaknya perbedaan yang dimiliki negara-negara anggota
ASEAN, baik dari segi ekonomi, politik, dan lainnya. Sebagai gambaran, Uni Eropa EU sampai ke tahap seperti saat ini Economic and Political Union
32 membutuhkan waktu 35 tahun Perjanjian Roma 1957-Perjanjian Maastricht
1992. Integrasi ekonomi ASEAN memang berbeda dengan EU, namun dengan pencanangan ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar utama politik dan
keamanan, ekonomi, sosial dan budaya, ASEAN mencontoh model Traktat Maastricht
untuk membangun masyarakat ASEAN sebagaimana hasil KTT ASEAN di Bali Pada tahun 2003 Bali Concord II. Oleh karena itu, perlu dilihat
kembali alternatif dalam meningkatkan perekonomian negara-negara ASEAN, seperti negara lain yang dianggap mampu memacu pertumbuhan integrasi
ekonomi tersebut, di antaranya bekerjasama dengan Cina membentuk ASEAN- China Free Trade Area. Setelah membahas tentang kerjasama ekonomi yang
terjadi dalam ruang lingkup intra ASEAN, pada bagian selanjutnya, penulis akan mencoba memaparkan hambatan yang menyertai integrasi ekonomi ASEAN.
B.2 Hambatan Integrasi Ekonomi ASEAN
Proses integrasi di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara tergolong sangat lambat. Ketika terjadi regionalisasi di kawasan Eropa dan Amerika Utara,
kawasan Asia Tenggara belum memiliki kesadaran untuk melakukan kerjasama atau integrasi ekonomi regional. Regional Trading Agreements RTA tidak
muncul di Asia Tenggara, hingga tahun 1977 ketika ASEAN mencapai kesepakatan dalam hal Preferential Trading Arrangements PTA Prabowo
Wardoyo 2004, h. 2. Menurut Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h. 51; Sinaga dalam Elisabeth ed. 2009, h. 118, setidaknya ada beberapa alasan yang dapat
menyebabkan keterlambatan hadirnya integrasi regional di kawasan Asia Tenggara:
33 Alasan pertama, secara umum negara-negara di kawasan Asia Tenggara
memiliki latar belakang budaya, sistem politik, agama, bahasa, dan tingkat perekonomian yang berbeda. Adanya perbedaan tingkat kemajuan ekonomi ini
juga menyebabkan sulitnya menetapkan suatu penerapan kebijakan yang seragam antara satu negara dengan negara lainnya, sebagai contoh dalam penerapan AFTA
dan ACFTA; terdapat perbedaan dalam penerapan skema ini, hal ini disebabkan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang jauh berbeda, sehingga ada negara yang
dianggap telah siap menghadapi perdagangan bebas Singapura dan Brunei dan ada juga negara yang memerlukan waktu persiapan yang lebih panjang Kamboja,
Laos, Myanmar, Vietnam. Selain itu, perbedaan sistem politik dan pemerintahan juga dianggap
sebagai penghalang, banyak negara yang menjalankan pemerintahan dengan demokratis dan terbuka, namun ada juga beberapa negara seperti Laos dan
Vietnam yang merupakan negara dengan sistem komunis sehingga lebih tertutup terhadap perkembangan dan pengaruh asing. Selain itu, Myanmar yang
pemerintahannya dikuasai oleh junta militer juga menyebabkan perkembangan demokrasi cukup terhambat sehingga berpengaruh pada perkembangan ekonomi.
Alasan kedua, negara-negara ASEAN ini cenderung untuk melakukan kerjasama perdagangannya dengan negara-negara di luar kawasan Asia, yaitu
dengan AS dan Eropa. Kedua kawasan tersebut berperan sebagai pasar ekspor terbesar negara-negara Asia Tenggara dan juga sebagai sumber investasi asing
bagi mayoritas negara ASEAN. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Uni Eropa, di mana mayoritas perdagangan dan investasi yang terjadi di kawasan Eropa justru
terjadi dengan sesama negara di dalam satu kawasan.
34 Alasan ketiga, justru adanya kesamaan komoditi ekspor ataupun kekayaan
alam, sehingga dalam prosesnya antara negara-negara di Asia Tenggara justru melakukan persaingan dalam memperebutkan wilayah pemasarannya, karena
tidak adanya spesialisasi dari masing-masing negara, sehingga antara satu negara dengan yang lainnya tidak dapat saling melengkapi tetapi justru bersaing.
Menurut Ricardo dalam Isaak 1995, h. 108 suatu negara akan menikmati keuntungan jika melakukan spesialisasi dalam produk-produknya yang
mengandung keunggulan yang paling besar keunggulan komparatif. Ricardo menggambarkan prinsip keunggulan komparatif dengan suatu contoh, yaitu:
“Misalnya ada dua orang, masing-masing dapat membuat sepatu dan topi, dan salah satu di antaranya lebih unggul dibanding dengan yang lain dalam membuat kedua produk
tersebut. Namun dalam membuat topi, salah seorang di antaranya itu hanya bisa melebihi pesaingnya sebesar seperlima 20 persen, sedang dalam membuat sepatu, ia bisa
melebihi setengahnya 50 persen dari kemampuan pesaingnya. Tidakkah lebih baik bagi keduanya jika yang unggul lebih baik mengkhususkan diri membuat sepatu saja, sedang
yang punya kemampuan lebih rendah membuat top
i saja?”
Dengan adanya spesialisasi ini maka akan tercipta komplementaritas atau saling melengkapi. Masing-masing negara harus melakukan spesialisasi dan
mengekspor apa yang dapat diproduksi dengan lebih murah, sebagai ganti dari barang dan jasa yang secara komparatif dihasilkan dengan lebih murah di negara
lain trade creation Isaak 1995, h. 115. Oleh karena itu, kawasan perdagangan bebas seharusnya mengurangi produksi domestik yang tidak efisien dan
meningkatkan impor barang dari negara anggota yang diproduksi lebih efisien, agar lebih terciptanya rasa saling ketergantungan dari segi ekonomi. Pada bagian
selanjutnya akan dipaparkan mengenai perkembangan Kerjasama Ekonomi ASEAN dengan lingkungan eksternalnya.
35
C. Perkembangan Kerjasama Ekonomi Luar Negeri ASEAN C.1. Kesepakatan-kesepakatan Ekonomi ASEAN