Kondisi Eksternal Terbentuknya ACFTA 1 Perkembangan Regionalisme Pasca Perang Dingin

67 C. Kondisi Eksternal Terbentuknya ACFTA C.1 Perkembangan Regionalisme Pasca Perang Dingin Berakhirnya Perang Dingin pada 1991 dengan ditandai oleh bubarnya Uni Soviet, merupakan awal dari berubahnya konstelasi dalam hubungan internasional. Perubahan ini salah satunya ditandai dengan munculnya fenomena regionalisme di dunia ini. Regionalisme yang dicirikan dengan kedekatan geografis, memungkinkan sejumlah negara untuk membentuk sebuah institusi yang menaunginya agar dapat mengakomodir setiap keinginan yang beraneka ragam dari angoota-anggotanya. Hal ini pada dasarnya sangat menguntungkan bagi negara yang tergabung dalam suatu kelompok tersebut, namun bagi negara di luar kelompok tersebut justru terjadi sebaliknya. Karena terjadinya diskriminasi terhadap negara di luar anggota suatu kelompok regional, terutama dari segi ekonomi. Hal inilah yang juga dikhawatirkan oleh Cina, karena diskriminasi yang terjadi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Cina. Diskriminasi yang dimaksud adalah munculnya Free Trade Area FTA di suatu kawasan. Dalam konsep FTA, seperti yang diungkapkan Balassa dalam Elisabeth ed. 2009, h.17; Leong Ku eds. 2005, h. 21 negara anggota FTA mengurangi dan bahkan sampai menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan dalam bentuk tarif dan non-tarif di antara sesama anggota. Namun, negara anggota bebas untuk mempertahankan kebijakan proteksinya ataupun pengenaan tarif yang beragam terhadap negara luar yang bukan anggota FTA ini. Ini berarti FTA akan sangat menguntungkan bagi negara anggota, namun merugikan bagi negara di luar anggotanya, karena pengurangan tarif hanya diberikan kepada negara yang 68 tergabung dalam kelompok ini. FTA yang terbentuk misalnya wilayah Amerika Utara dengan NAFTA, Asia Tenggara dengan AFTA, Amerika Selatan dengan Mercosur ataupun bentuk regionalisme yang lebih tinggi lagi, seperti yang terjadi di kawasan Eropa. 11 Perkembangan Internasional ini membuat Cina tertarik untuk lebih mendekatkan diri ke kawasan Asia Tenggara. Hal ini dikarenakan hampir tidak adanya peluang untuk membentuk suatu institusi formal di kawasan Asia Timur, terkait persaingan antara Cina dan Jepang. Selain karena kedekatan geografis, Asia Tenggara juga dipandang banyak memiliki daya tarik bagi Cina, terutama terkait dengan ketersediaan bahan baku untuk proses industrinya. Selain itu dengan semakin membaiknya hubungan diplomatik Cina dengan ASEAN, yang sudah menjadikan Cina sebagai mitra dialog penuhnya, hal ini menambah lagi kemungkinan bersatunya Cina dan ASEAN dengan membentuk sebuah FTA. Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h. 49 menyatakan, ASEAN dan Cina sama-sama menghadapi tekanan dari semakin luas dan dalamnya integrasi ekonomi di kawasan Eropa dan Amerika. Dari waktu ke waktu, anggota Uni Eropa semakin bertambah dan diperkirakan integrasi ekonominya akan semakin kuat. Demikian pula dengan perkembangan di benua Amerika, dengan adanya NAFTA di Amerika Utara dan Mercosur di Amerika Selatan. Bila dua kawasan ini yaitu Eropa dan Amerika berhasil memperdalam dan memperluas integrasi ekonominya, maka akan terjadi diskriminasi terhadap negara dan kawasan yang 11 Kawasan Eropa ini telah membentuk Uni Eropa yang telah sampai kepada tahap Economic and Political Union. Hal ini berarti fasilitas yang bisa dinikmati oleh anggota integrasi ekonomi ini adalah semua kemudahan yang diperoleh dalam bentuk level integrasi sebelumnya Free Trade Area,Custom Union dan Common Market , ditambah dengan penyatuan kebijakan politik dan ekonomi, seperti penggunaan mata uang tunggal dan penyatuan proses imigrasi. Tahap ini merupakan tahap tertinggi dari integrasi ekonomi. 69 tidak termasuk di dalamnya. Selain itu, investasi asing akan mengalir ke kedua kawasan tersebut untuk mengambil keuntungan dari tarif khusus dan skala ekonomi bagi produksi dengan pasar yang besar dan terintegrasi. Gambaran ini membawa tekanan pada Cina, jika Asia Tenggara dan Asia Timur secara ekonomi terpisah, maka kedua kawasan ini akan mengalami kesulitan menghadapi Eropa dan Amerika yang semakin terintegrasi perekonomiannya. Oleh karena itu, membangun blok ekonomi regional di kawasan Asia adalah pilihan yang harus ditempuh untuk mengimbangi dua kekuatan tadi. Di satu sisi FTA memudahkan negara yang terlibat untuk meningkatkan kerjasama melalui perdagangan barang, jasa ataupun investasi, namun di sisi lain FTA justru menyulitkan negara di luar anggotanya. Oleh karena itu, pembentukan ASEAN-Cina Free Trade Area menjadi pilihan terbaik bagi Cina untuk ikut terlibat dalam fenomena regionalisme ini, agar dapat bekerjasama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk mengimbangi kelompok- kelompok regional lainnya di dunia ini. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai dorongan eksternal lainnya yang menyebabkan Cina lebih tertarik lagi kepada ASEAN dalam melakukan kerjasama di bidang ekonomi. C.2 Masuknya Cina menjadi anggota WTO Sejak Cina menjalankan “kebijakan pintu terbuka” open door policy pada tahun 1978, Cina berusaha untuk mengintegrasikan perekonomiannya dengan sistem perekonomian internasional serta berusaha untuk turut berpartisipasi dalam seluruh aspek globalisasi dan kerjasama internasional dengan mengakomodasi setiap aturan yang berlaku Inayati ed. 2006, h. 30. Menurut 70 Inayati, bergabungnya Cina dalam WTO pada tahun 2001 merupakan pertanda akan keinginannya untuk mengintegrasikan sistem perekonomian Cina dengan sistem global. Cina dinyatakan secara resmi menjadi anggota WTO pada 17 September 2001 di Geneva, Swiss Wibowo 2007, h. 62. Wibowo 2007, h. 63 menambahkan bahwa Cina sebenarnya adalah salah satu negara pendiri dari organisasi perdagangan internasional yang sebelumnya masih bernama GATT pada 1948. Tetapi pada tahun 1950, Cina yang waktu itu diwakili oleh Republik Cina sekarang Taiwan memutuskan untuk keluar. Semangat untuk masuk ke dalam GATT mulai berkobar lagi pada tahun 1987, dan perundingan itu sudah berlangsung hingga mencapai tahap yang cukup matang. Pada Juni 1989, terjadi peristiwa Tiananmen yang menghentikan proses bergabungnya Cina ke WTO. Untuk kedua kalinya pada tahun 1992, Cina mengajukan permohonan kembali agar masuk menjadi anggota WTO, dan baru pada 2001 Cina secara resmi diterima ke dalam WTO GATT menjadi WTO pada 1995. Keanggotaan Cina dalam WTO mengikat Cina untuk melakukan reformasi kelembagaan searah dengan aturan internasional dalam berbagai bidang, mulai dari akses pasar, penurunan bea masuk serta penghapusan hambatan non-tarif yang bertentangan dengan aturan main WTO. Wibowo 2007, h. 63 menambahkan bahwa keuntungan yang ingin didapat oleh Cina dengan masuk menjadi anggota WTO di antaranya yaitu sebagai sarana untuk mencapai industrialisasi yang cepat, yang ingin dicapai jelas meningkatnya pendapatan lewat ekspor yang tinggi serta modal dan investasi dari luar negeri, selain juga dengan masuknya teknologi maju. Dengan masuknya Cina 71 menjadi anggota WTO, diharapkan Cina akan mendapatkan perlakuan pengurangan tarif dalam Most Favoured Nation MFN yang diperlukan untuk memacu ekspor Cina. Dengan pengurangan tarif yang diterima Cina, maka komoditi ekspor dari Cina akan lebih leluasa memasuki wilayah pemasarannya dan ini akan memacu pertumbuhan ekspor Cina. Wibowo 2007, h. 64 juga menambahkan bahwa dengan mengintegrasikan dirinya ke dalam organisasi internasional seperti WTO, pemerintah Cina akan memperoleh prestise atau pengakuan internasional dan dengan demikian memperkuat legitimasinya baik di dalam negeri maupun di luar negeri, apalagi jika dilihat dalam kerangka persaingannya dengan Taiwan. Setelah bergabung dengan WTO, Cina secara aktif berpartisipasi dalam setiap negosiasi serta ikut berperan dalam pembentukan sistem perdagangan multilateral. Sebagai negara berkembang, tuntutan Cina akan mewakili tuntutan sesama negara berkembang lainnya. Sebagai negara anggota WTO, Cina akan melindungi kepentingannya sebagaimana negara-negara lainnya. Maka masuknya Cina ke dalam WTO juga dikaitkan dengan tujuan untuk mengubah rezim WTO “dari dalam” sesuai dengan kepentingannya Wibowo 2007, h. 74. Seperti yang diungkapkan Wibowo 2007, h. 74, bahwa upaya Cina ini diperlihatkan dalam konferensi WTO pada tanggal 10 sampai 14 September 2003 di Cancun, Mexico. Pada kesempatan itu, Cina bergabung dengan negara-negara berkembang lainnya, termasuk India, Brazil, Indonesia, dan menjadi sponsor utama yang menuntut penghapusan subsidi pertanian oleh Amerika Serikat maupun Uni Eropa. Meskipun pada akhirnya tuntutan ini gagal dipenuhi, tetapi sikap Cina ini tentu saja sangat dihargai oleh negara-negara berkembang 72 developing countries. Sebagai anggota baru, sikap Cina dianggap sangat berani. Karena sebelumnya lewat perundingan panjang dan melelahkan selama lebih dari sepuluh tahun, Cina akhirnya diterima menjadi anggota WTO, namun setelah berada di dalamnya Cina justru menjadi pihak kontra dalam setiap kebijakan yang diprakarsai negara-negara maju. Cina sendiri pada dasarnya membutuhkan WTO dalam hubungan dagang dengan AS dan Uni Eropa. Negara-negara maju sendiri terutama AS tentulah berharap bahwa Cina akan lebih condong kepada mereka daripada negara-negara sedang berkembang, tetapi di Cancun hal yang sebaliknyalah yang terjadi. Wibowo 2007, h. 75 menambahkan bahwa Cina sendiri sebenarnya belum secara penuh mengintegrasikan dirinya ke dalam peraturan yang telah disepakati dalam WTO. Dalam hal ini, AS yang paling lantang mengkritik Cina. Dalam majalah Far Eastern Economic Review Oktober 2003, di dalamnya memuat sebuah laporan yang dikeluarkan oleh US Chamber of Commerce menyebutkan bahwa Cina setelah dua tahun menjadi anggota WTO masih belum patuh terhadap aturan WTO. Ada lima hal pokok yang dicatat dalam laporan tersebut;1Pembajakan hak kekayaan intelektual, 2tidak adanya distribusi bebas barang-barang impor, 3hambatan non-tarif, 4tidak adanya transparasi dalam pembuatan peraturan, 5tingginya syarat kapitalisasi bagi bank asing maupun perusahaan asuransi serta penyedia layanan telekomunikasi. Cina sebenarnya sadar akan kekurangannya ini, tetapi Cina tidak mau mengikuti keinginan AS atau negara manapun yang juga melanggar aturan WTO, terlebih jika melihat praktik pelanggaran WTO oleh negara-negara maju sendiri terutama dalam bidang hambatan non-tarif dan subsidi pertanian. 73 Wibowo 2007, h. 76 menambahkan, dengan kekuatan ekonominya yang semakin besar, bukan tidak mungkin Cina akan mampu mempengaruhi pembuatan pasal-pasal dalam peraturan WTO. Karena semua keputusan dalam WTO harus diambil dengan suara bulat konsensus, Cina dianggap satu-satunya negara berkembang yang mempunyai kekuatan berarti untuk menentang peraturan yang dianggap tidak adil yang disponsori oleh negara-negara maju AS, Uni Eropa, Kanada, Jepang. Jika hal ini terjadi, maka negara-negara berkembang patut mendukung apa yang dilakukan oleh Cina. Oleh karena itu, hal ini juga menjadi alasan peningkatan hubungan ekonomi antara Cina dengan ASEAN yang mayoritas anggotanya termasuk dalam kategori negara berkembang, di mana Cina dianggap memiliki kepentingan yang sejalan dengan ASEAN dalam kaitannya dengan penerapan kebijakan perdagangan internasional, sehingga hal ini makin memudahkan bersatunya Cina dengan ASEAN dalam mewujudkan ACFTA. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan tentang motivasi lain dari Cina untuk mendekatkan dirinya dengan ASEAN, karena kerjasama yang dilakukan oleh Cina ini bukan hanya terkait dengan kepentingan ekonomi, tetapi juga ada motivasi politik lain di balik pendekatannya kepada ASEAN. C.3 Membendung Pengaruh Jepang di Kawasan Asia Tenggara Adanya konflik antara negara bertetangga tidaklah selalu menjadi penghambat terjalinnya kerjasama yang erat, baik secara bilateral maupun regional. Dalam beberapa kasus, terjadinya peperangan atau konflik justru menjadi pendorong utama dibentuknya kerjasama regional, seperti dapat dilihat 74 dari lahirnya Uni Eropa. Perang Dunia II yang banyak menghilangkan nyawa dan kehancuran ekonomi negara-negara Eropa telah mendorong Jerman dan Perancis, dua negara yang tadinya bermusuhan, akhirnya dapat mempelopori kerjasama ekonomi setelah Perang Dunia II berakhir. Menurut Anwar dalam Sungkar ed. 2005, h. 99, kerjasama ekonomi dimaksudkan untuk menciptakan saling ketergantungan yang semakin tinggi dan luas, sehingga akan sangat sulit bagi suatu negara untuk memerangi tetangganya tanpa mencederai dirinya sendiri. Hal inilah yang juga diharapkan oleh ASEAN terhadap hubungan yang terjadi antara Cina dan Jepang. Kedua Negara ini diharapkan akan mampu memacu pertumbuhan ekonomi di wilayah Asia Tenggara. Konflik di masa lalu juga tidak menghalangi hubungan yang semakin baik antara negara-negara di Asia Tenggara dengan Negara-negara lain di kawasan Asia Timur, khususnya Cina dan Jepang. Walaupun Jepang pernah menduduki Asia Tenggara selama Perang Dunia II, sikap negara-negara Asia Tenggara terhadap Jepang pada umumnya saat ini cukup positif, karena Jepang merupakan salah satu investor utama di kawasan Asia Tenggara dan telah menjadi mitra dialog penuh ASEAN. Demikian juga hubungan ASEAN dengan Cina yang terus berkembang pesat, seiring dengan perubahan orientasi politik luar negeri dan ekonomi Cina yang semakin terbuka dan bersahabat. Dari negara yang tadinya dipandang sebagai ancama utama terhadap keamanan ASEAN terkait dengan perkembangan komunisme di Asia Tenggara, Cina telah menjelma menjadi salah satu mitra yang paling bersahabat dengan ASEAN. Menurut Anwar dalam Sungkar ed. 2005, h. 101, Jepang yang pernah menduduki Cina menjelang dan selama Perang Dunia II dengan brutal 1931- 75 1945 sangat berbeda dengan Jerman, yang mengakui kesalahannya di masa lalu secara terbuka sehingga ia dapat diterima dengan baik oleh negara-negara korban agresinya. Jepang dianggap belum sepenuhnya mau mengakui kesalahannya terhadap negara-negara yang menjadi korban kejahatan perangnya. Anwar dalam Sungkar ed. 2005, h. 102 menambahkan, hal ini terlihat dari penulisan buku sejarah di Jepang yang cenderung membenarkan tindakan Jepang di Korea, Cina dan Asia Tenggara, serta kunjungan yang berulang kali dilakukan Perdana Menteri Jepang ke Kuil Yasukuni, 12 tempat korban Perang Dunia II dimakamkan, termasuk para pemimpin militer yang telah dijatuhi hukuman sebagai penjahat perang. Menurut Anwar dalam Sungkar ed. 2005, h. 102, negara-negara bekas jajahan Jepang di Asia Tenggara pada umumnya tidak terlalu perduli dengan masalah tersebut. Lain halnya dengan Cina, yang melihat perbuatan Jepang tersebut sebagai bukti bahwa Jepang belum berubah dan tidak peka terhadap perasaan negara-negara tetangga yang pernah menjadi korban kekejamannya. Walaupun Jepang merupakan investor utama yang turut mendorong pertumbuhan ekonomi Cina, namun Cina tetap menaruh kecurigaan terhadap Jepang. Persaingan kedua negara ini tidak hanya tercermin dari sikap Cina terhadap Jepang, tetapi juga persepsi Jepang terhadap Cina. Menurut Sukarnaprawira 2009, h. 213, persoalan yang dikhawatirkan oleh negara lain, 12 Kunjungan para pemimpin Jepang ke Kuil Yasukuni merupakan kebijakan yang sangat populer di Jepang, terutama bagi kalangan nasionalis Jepang untuk kepentingan politik domestik. Walaupun hal tersebut dapat menimbulkan ketegangan bilateral dengan negara-negara tetangganya. Karena para penjahat perang yang dimakamkan di Kuil Yasukuni tersebut tetap dianggap sebagai pahlawan bagi sebagaian besar masyarakat Jepang. Bahkan akibat dari kunjuangan para pemimpin Jepang ke kuil Yasukuni ini, pernah mengakibatkan pembekuan kontak antar pejabat tinggi Cina dengan Jepang dari 2001-2006 selama pemerintahan Junichiro Koizumi. Kunjungan Koizumi yang kontroversial secara berulang-ulang ke kuil Yasukuni serta perbedaan persepsi tentang hubungan keduanya menjadi salah satu penyebab dan ganjalan dalam hubungan Cina dan Jepang pada masa itu. 76 termasuk Jepang dan Amerika Serikat adalah meningkatnya anggaran pertahanan Cina. Walaupun menurut Cina, pembangunan dan modernisasi militer hanya digunakan untuk pertahanan diri. Selain itu, peningkatan anggaran pertahanan Cina ini masih dianggap kecil jika dibandingkan dengan luas teritorial Cina serta situasi geopolitik di sekitarnya. Konsekuensi logis dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara adalah meningkatnya juga anggaran pertahanannya. Bakry juga menambahkan ed. 1996, h. 113, pengembangan kekuatan militer sebenarnya merupakan fenomena yang biasa dari pembangunan suatu bangsa. Tetapi, peningkatan kekuatan militer yang dilakukan oleh Cina dianggap sebagai potensi ancaman yang nyata bagi kawasan Asia Timur. Pernyataan akan potensi ancaman ini diperkuat dengan data yang ada, yaitu Cina mengalami peningkatan rata-rata anggaran militernya sebesar 12,9 persen sejak 1989 sampai 2010. Pada tahun 2010 Cina menganggarkan sekitar 77,9 milyar US, naik 7,5 persen dari tahun sebelumnya 2009 yang hanya 70,27 milyar US Global Security 2011. Bakry ed. 1996, h. 115 menyatakan bahwa bagi Cina pengembangan kekuatan militer ini sebenarnya ditujukan untuk pertahanan wilayah saja dan hal itupun sebenarnya masih dianggap belum memadai. Karena dengan sekitar 20 ribu kilometer perbatasan darat dan 14 ribu kilometer garis pantai, Cina membutuhkan pengamanan dari kekuatan militer yang besar. Cina menganggap sebenarnya kekuatan yang ada saat ini belum sepadan untuk melindungi batas-batas kedaulatannya. Kalau peningkatan persenjataan dan anggaran militer dijadikan indikator ancaman, seharusnya ada negara lain di luar Cina yang harus lebih diwaspadai. 77 Perkembangan ekonomi Cina yang diterjemahkan dalam meningkatnya anggaran pertahanannya, sebenarnya menurut Tjeng dalam Bakry ed. 1996, h. 119 juga bertujuan untuk mengimbangai kekuatan pasukan beladiri Jepang, sehingga Jepang tidak menjadi kekuatan yang dominan di kawasan Asia Timur. Pengalaman pahit di masa lalu sudah membulatkan tekad Cina untuk tidak menerima kepemimpinan Jepang di Asia Timur. Akan tetapi, yang dikhawatirkan oleh Cina adalah negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang dirasakan sudah mulai menggantungkan diri kepada ekonomi Jepang, yang mungkin tidak dapat menolak kepemimpinan Jepang. Oleh karena itu, Cina akan menentang Asia Tenggara dirangkul oleh Jepang, karena ini dirasakan sebagai ancaman terhadap Cina. Tjeng dalam Bakry ed. 1996, h. 133 juga menambahkan bahwa, sebenarnya Cina sadar akan kontribusi Jepang dalam pembangunan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Inilah sebabnya mengapa Cina mendekatkan diri kepada Asia Tenggara. Cina tidak menginginkan Jepang memonopoli Asia Tenggara secara ekonomi. Dengan kata lain, tujuan Cina terhadap Asia Tenggara adalah membantu negara-negara ini mempertahankan kemerdekaan mereka terhadap dominasi Jepang. Usaha Cina untuk membendung pengaruh ekonomi Jepang di kawasan Asia Tenggara ini, tercermin dalam pembentukan ACFTA. Cina lebih agresif dalam mengajukan proposal kerjasama ini kepada ASEAN pada tahun 2002, hasilnya adalah dibentuknya ACFTA yang merupakan Free Trade Area yang pertama kali dibentuk di kawasan Asia. Atas keberhasilan Cina ini, maka Jepang juga mengajukan hal yang sama satu tahun sesudahnya, yaitu pada 2003. 78 Dari kesepakatan-kesepakatan ini sangatlah terlihat persaingan yang terjadi antara Cina dan Jepang di kawasan Asia Tenggara. Sebagai negara maju dari segi ekonomi developed country, Jepang berambisi untuk meninngkatkan perannya di lingkungan regional dan global. Menurut Anwar dalam Sungkar ed. 2005, h. 103, Jepang sangat menginginkan kembali menjadi negara normal yang memiliki kekuatan militer yang dapat secara terbuka dipakai untuk pertahanan dan misi keamanan luar negeri, 13 serta berambisi untuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa PBB. Hal ini sangatlah ditentang oleh Cina, hal ini dikarenakan kekhawatiran bahwa Jepang akan kembali menjadi negara militer yang agresif dan ekspansionis. Cina tampaknya tidak menginginkan melihat Jepang muncul sebagai kekuatan ekonomi dan militer regional maupun global. Selama Jepang dapat dicitrakan sebagai negara yang belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari masa lalunya sebagai agresor, ambisi Jepang untuk menjadi kekuatan regional dan global akan mendapat tantangan. Walaupun interaksi yang terjadi antara Cina dan Jepang terjalin cukup intensif, terutama di bidang ekonomi dan perdagangan, namun sampai saat ini belum ada indikasi bahwa kedua negara tersebut akan berhasil membentuk suatu kerjasama sub-regional sendiri yang dapat meningkatkan rasa saling percaya dan meredam konflik, sebagaimana telah berhasil dilakukan ASEAN di kawasan Asia Tenggara. Mempertahankan hubungan baik antara kedua negara bukan hanya 13 Sejak berakhirnya Perang Dunia II, seperti halnya Jerman yang mendapatkan sangsi ekonomi dan militer, Jepang yang juga menjadi negara agresor dalam perang Dunia II tersebut juga mendapatkan sangsi berupa tidak diperbolehkannya memiliki tentara pertahanan militer, hal ini ditujukan untuk meredam kemungkinan ambisi ekspansionis yang akan terjadi kembali Perjanjian San Francisco. Namun dengan diberlakukannya sangsi ini, Jepang tetap mendapatkan perlindungan dan jaminan pertahanan militer dari Amerika Serikat, sehingga memang hubungan kedua negara ini sangatlah dekat baik dari segi ekonomi maupun pertahanan keamanan. 79 merupakan kepentingan Cina dan Jepang saja, tetapi juga kepentingan negara lain di kawasan ini mengingat Cina dan Jepang merupakan negara penting dan besar di kawasan Asia. Oleh karena itu, peran ASEAN bagi kestabilan hubungan antara Cina dan Jepang sangatlah dibutuhkan, mengingat kedua negara sama-sama memiliki kepentingan di kawasan ini. Setelah menjelaskan seluruh bagian dalam bab ini, maka dapat disimpulkan bahwa posisi ASEAN sangat penting dalam perkembangan perekonomian Cina. Motivasi Cina untuk membentuk FTA dengan ASEAN bersumber pada faktor internal maupun dinamika internasional yang menyertainya. Semua penyebab itu menempatkan ASEAN sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pertumbuhan ekonomi Cina, sehingga Cina terus berusaha mendekatkan diri kepada ASEAN dalam menjaga kepentingan ekonominya. Hingga pada akhirnya menyepakati pembentukan ACFTA. Pembentukan ACFTA ini juga mencerminkan interdependensi yang terjadi di antara keduanya, karena telah terbukti keduanya sangat saling membutuhkan terutama dalam meningkatkan perekonomian. Pada bab selanjutnya akan membahas dampak dari pembentukan ACFTA terhadap perekonomian kedua belah pihak. 80

BAB IV ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA