20
Menurut konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaanya. Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebut sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Makna denotative bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda dan pada intinya disebut sebagai gambaran sebuah
pertanda. Makna konotatif adalah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkannya. Di dalam mitos sebuah
petanda dapat memiliki beberapa petanda. Menurut Okke Koyuma Sumantri zaimar dikemukakan oleh barthes
bahwa ada tiga cara berbeda dalam membaca mitos, contoh penerapannya diambil dari teks yang dikemukakan barthes, yaitu :
1. Pembaca menyesuaikan diri dengan penanda yang kosong, ia membiarkan
konsep mengisi bentuk tanpa ambiguitas, dan ia akan berhadapan dengan system yang sederhana. Disini pemaknaan bersifat harfiah. Contoh: prajurit
kulit hitam yang memberi hormat pada bendera prancis adalah contoh kebesaran prancis. Cara pembacaan seperti ini adalah yang dilakukan oleh si
pembuat mitos, yang mulai dengan konsep, kemudian mencari bentuk yang sesuai dengan konsep itu.
2. Apa bila pembaca menyesuaikan diri dengan penanda yang penuh, artinya
telah ada bentuk dan arti disitu, dan mulai dari deformasi yang terjadi pada
21
pemaknaan tahap ke dua, ia mengungkapkan signifikasi mitos-mitos prajurit kulit hitam yang memberi hormat pada bendera prancis itu merupakan alibi
demi kebesaran prancis orisini pembaca beerlaku sebagai ahli mitos, ia menganalisis mitos, ia memahami adanya deformasi.
3. Akhirnya, apabila si pembaca mitos menyesuaikan diri dengan penanda
mitos yang terdiri dari bentuk yang sudah menyatu dengan arti, ia mendapati makna ambigu, ia mengikuti mekanisme pembentukan mitos,
benar-benar sebagai pembaca awan: selalu kulit hitam itu bukan lagi contoh kebesaran prancis ataupun alibi kebesaran itu melainkan merupakan
gambaran tentang kebesaran itu. Bedasarkan penjabaran tersebuut, dalam membaca mitos dapat dilakukan
seseorang dengan menentukan dirinya. a.
Pembuat Mitos Pesan yang disampaikan adalah untuk mencapai tujuan tertentu.
b. Ahli Mitos
Menjelaskan tujuan disebarkannya pesan tersebut. c.
Pemirsa mitos Pesan dianggap sebagai konsep alamiah penerima ideologi.
C. Makna Denotatif dan Konotatif
Salah satu cara yang digunakan digunakanan para ahli untuk membahasas lingkup makna yang lebih besar ini adalah dengan membedakan
antara makna denotatif dengan makna konotatif. Makna denotatif pada
22
dasranya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata yang disebut sebagai makna referensial. Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat
pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. Makna denotasi ini bersifat langsung, yaitu makna khusus yang
terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda.
23
Sedangkan makna konatatif akan sedikit berbeda dan akan dihubungkan dengan kebudayaan yang tersirat dalam pembungkusnya-tentang makna yang
terkandung didalamnya. Makna tersebut juga akan dihubungkan dengan kebudayaan amerika, tentang gambaran apa yang dipancarkan dan akibat yang
akan ditimbulkan, dan lain-lain. Akhirnya, makna konotasi dari beberapa tanda akan menjadi semacam mitos atau mitos petunjuk dan menekan makna-makna
tersebut. Sehingga makna konotasi dalam banyak hal merupakan sebuah perwujudan yang sangat berpengaruh.
24
Dalam buku Tanda-tanda dalam kebudayaan kontemporer karya arthur asa berger dijelaskan bahwa:
“ mekanisme suatu mitos adalah cara gambaran-gambaran biasa terikat pada objek dan penerapannya sehingga makna-makna ideologis menjadi
tampak alami dapat diterima dengan akal sehat. Jika demikian maka akan ada dua sistem kebermaknaan: makna denotati
f dan konotatif, “bahasa objek” seperti film, mainan anak, makanan, mobil seperti benda yang dilambangkan,
dan mitos yang terkait mengandung makna konotatif yang membahaskannya secara tidak langsung.”
23
Alex Sobur, “Semiotika Komunikasi”, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, cet
ke-4, hal. 262.
24
Arthur Asa Berger, Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, cet 1, hal. 55.
23
Sebagian proses semiologis menjadi kegiatan yang menguraikan mitos tersebut
sebagaimana disebut „mitologi’ oleh barthes dari makna denotasi yang terkandung. Secara teknis, barthes menyebutkan bahwa mitos merupakan
urutan kedua dari sistem semiologis dimana tanda-tanda dalam urutan pertama pada sistem itu yaitu kombinasi antara petanda dan penanda menjadi penanda
dalam sistem kedua. Dengan kata lain, tanda dalam sistem ligusitik menjadi penanda dalam sebuah sistem mitos dan kesatuan antara penanda dan petanda
dalam sistem itu disebut “penandaan”. Barthes meggunakan istilah khusus untuk membedakan sistem mitos dari
hakikat bahasannya. Dia juga mengambarkan penanda dalam mitos sebagai sebagai bentuk dan petanda sebagai konsep. Kombinasi kedua istilah seperti
tersebut di atas, merupakan penandaan.
25
Pada kenyataannya bahwa penanda dan petanda membentuk sebuah tanda inilah yang menjadi sebuah penanda untuk petanda yang berbeda dan
tanda dalam bahasa asli. Jika kita melihat dari segi mitos, penanda yang merupakan tanda dalam bahasa asli disebut bentuk, sedang petanda adalah
konsep dan tanda yang dihasilkan berasal dari proses perasaan. Dalam membaca mitos-mitos yang bersifat citrawi, terlebih dahulu harus membedakan
dua buah tipe pesan yang niscaya terkandung di dalam sebuah citra. Pertama, citra itu sendiri sebagai pesan ikonik iconic message yang dapat dilihat, entah
beberapa adegan scene, lanskap, atau realitas harfiah yang terekam. Menurut Barthes, citra dapat dibedakan lagi kedalam dua tataran, yaitu :
25
Arthur Asa Berger, Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, yogyakarta: tiara wacana yogya,2010, cet 1, hal. 56.