Pendahuluan, Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan

16

BAB II PEMBAHASAN

A. Analisis Semiotika

Semiotika adalah ilmu tentang tanda - tanda. Studi tentang dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda- tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Menurut preminger, ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tokoh-tokoh penting dalam bidang semiotika adalah Ferdinand Saussure, seorang ahli filsafat dan logika Amerika. Kajian semiotika menurut Saussure lebih mengarah pada penguraian sistem yang berkaitan dengan linguistik, sedangkan Peirce lebih menekankan pada logika dan filosofi dari tanda-tanda yang ada di masyarakat. 17 Sejak pertengahan abad ke-20, semiotika telah tumbuh menjadi bidang kajian yang sungguh besar, melampaui diantaranya, kajian bahasa tubuh, bentuk bentuk seni, wacana retoris, komunikasi visual, media, mitos, naratif, bahasa, artefak, isyarat, kontak mata, pakaian, iklan, makanan, upacara- pendeknya, semua yang digunakan, diciptakan, atau diadopsi oleh manusia untuk memproduksi makna. Tujuan bab ini adalah mengguratkan gambaran umum mengenai apa yang dimaksud semiotika dan apa yang bisa 17 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Prenada Media group, 2008, cet ke-3 hal. 263-264 17 dilakukannya, juga maka untuk memperkenalkan konsep dan prinsip dasarnya. 18

B. Model Semiotik Roland Barthes

Roland barthes dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis yang gigih mempraktikan model liguistik dan semiologi saussurean. 19 Menurut Barthes Bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu. Untuk menganalisis teks pada rubrik dalam majalah Aulia, penulis menggunakan analisis menurut metode Roland Barthes, denotasi, konotasi dan mitos. Pendekatan semiotik Roland Barthes secara khusus tertuju kepada sejenis tuturan atau speech yang disebut sebagai mitos. Menurut barthes, bahasa membutuhkan kondisis tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu yang secara semiotis dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikasi yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua atau the second order semiological system, penanda-penanda berhubungan dengan petanda - petanda sedemikian sehingga memghasilkan tanda, selanjutnya tanda - tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda - penanda yang berhubungan pula dengan petanda - petanda pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi tataran kedua inilah mitos berada. Aspek material mitos, yakni penanda-penanda pada the second order semiological system itu, dapat disebut sebagai retorik atau konator-konator, 18 Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, Yogyakarta: Jalasutra, 2010, cet 1, hal. 6. 19 Alex Sobur, M.Si, “ Semiotika Komunikasi”,Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, cet ke-4, hal. 63.