Makna Denotatif dan Konotatif
23
Sebagian proses semiologis menjadi kegiatan yang menguraikan mitos tersebut
sebagaimana disebut „mitologi’ oleh barthes dari makna denotasi yang terkandung. Secara teknis, barthes menyebutkan bahwa mitos merupakan
urutan kedua dari sistem semiologis dimana tanda-tanda dalam urutan pertama pada sistem itu yaitu kombinasi antara petanda dan penanda menjadi penanda
dalam sistem kedua. Dengan kata lain, tanda dalam sistem ligusitik menjadi penanda dalam sebuah sistem mitos dan kesatuan antara penanda dan petanda
dalam sistem itu disebut “penandaan”. Barthes meggunakan istilah khusus untuk membedakan sistem mitos dari
hakikat bahasannya. Dia juga mengambarkan penanda dalam mitos sebagai sebagai bentuk dan petanda sebagai konsep. Kombinasi kedua istilah seperti
tersebut di atas, merupakan penandaan.
25
Pada kenyataannya bahwa penanda dan petanda membentuk sebuah tanda inilah yang menjadi sebuah penanda untuk petanda yang berbeda dan
tanda dalam bahasa asli. Jika kita melihat dari segi mitos, penanda yang merupakan tanda dalam bahasa asli disebut bentuk, sedang petanda adalah
konsep dan tanda yang dihasilkan berasal dari proses perasaan. Dalam membaca mitos-mitos yang bersifat citrawi, terlebih dahulu harus membedakan
dua buah tipe pesan yang niscaya terkandung di dalam sebuah citra. Pertama, citra itu sendiri sebagai pesan ikonik iconic message yang dapat dilihat, entah
beberapa adegan scene, lanskap, atau realitas harfiah yang terekam. Menurut Barthes, citra dapat dibedakan lagi kedalam dua tataran, yaitu :
25
Arthur Asa Berger, Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, yogyakarta: tiara wacana yogya,2010, cet 1, hal. 56.
24
1. Pesan harfiah atau pesan ikonik tak berkode non-coded iconic message
dan 2.
Pesan simbolik atau pesan ikonik berkode coded iconic message Pesan harfiah, sebagai sebuah analogon itu sendiri, merupakan tataran
denotasi citra yang berfungsi untuk menaturalkan pesan simbolik itu sendiri merupakan tataran konotasi yang keberadaannya didasarkan atas kode budaya
tertentu atau familiaritas terhadap stereotip tertentu. Dengan kata lain, sebagai suplemen dari isi analogis tersebut, kita
menemukan makna pada tataran kedua yang petanda-petandanya mengacu kepada budaya tertentu, kode dari tataran konotasi ini mungkin tersususn dari
suatu tatanan simbolik universal atau retorik dari suatu periode tertentu atau, singkatnya, dari semacam stok stereotip kultural. Sebagaimana sempat
disinggung sebelumnya, petanda-petanda dari citra yang berkonotasi ini dapat disebut juga sebagai ideologi, sedangkan penanda-penandanya disebut retorik
atau konotator-konotator.