Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan

dengan Peraturan Pemerintah nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Dalam peraturan pemerintah ini mengatur lebih khusus tentang pelaksanaan pemotongan hewan di Rumah Potong Hewan Ruminansia RPH-R. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewant menjelaskan bahwa pemotongan hewan harus memenuhi persyaratan teknis yang telah diatur dan menerapkan cara yang baik. Cara-cara yang baik tersebut meliputi: a. Pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum dipotong; b. Penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan lingkungannya; c. Penjaminan kecukupan air bersih; d. Penjaminan kesehatan dan kebersihan personel; e. Pengurangan penderitaan hewan potong ketika dipotong; f. Penjaminan penyembelihan yang halal bagi yang dipersyaratkan dan bersih; g. Pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah hewan potong dipotong; dan h. Pencegahan tercemarnya karkas, daging, dan jeroan dari bahaya biologis, kimiawi, dan fisik. Pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum dipotong dan pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah hewan potong dipotong harus dilakukan oleh dokter hewan di Rumah Potong Hewan Ruminansia RPH-R atau paramedik veteriner di bawah pengawasan dokter hewan berwenang. Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menjelaskan bahwa pemotongan hewan harus dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum dipotong pemeriksaan dilakukan untuk memastikan bahwa hewan potong yang akan dipotong sehat dan layak untuk dipotong. Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menyatakan bahwa hewan potong yang layak untuk dipotong harus memenuhi kriteria paling sedikit a. Tidak memperlihatkan gejala penyakit hewan menular danatau zoonosis; b. Bukan ruminansia besar, betina, anakan, dan betina produktif; c. Tidak dalam keadaan bunting; dan d. Bukan hewan yang dilindungi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hewan potong yang telah diperiksa kesehatannya akan diberi tanda SL untuk hewan potong yang sehat dan layak untuk dipotong dan TSL untuk hewan potong yang tidak sehat danatau tidak layak untuk dipotong. Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan haruslah berasal dari Rumah Potong Hewan Ruminansia RPH-R akan tetapi diperbolehkan pemotongan hewan dilakukan di luar Rumah Potong Hewan Ruminansia RPH-R. Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menjelaskan bahwa pemotongan hewan diperbolehkan dilakukan di luar Rumah Potong Hewan Ruminansia RPH-R dalam hal untuk upacara keagamaan dan upacara adat. Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menjelaskan bahwa pemotongan hewan di luar Rumah Potong Hewan Ruminansia RPH-R untuk keperluan upacara keagamaan ini hanya diperbolehkan apabila disuatu daerah tersebut tidak memiliki Rumah Potong Hewan Ruminansia RPH-R atau kapasitas Rumah Potong Hewan Ruminansia RPH-R tersebut belum memadai, sedangkan untuk keperluan upacara adat dalam rangka upacara pemakaman atau pernikahan masyarakat tertentu dapat dilakukan di luar Rumah Potong Hewan Ruminansia RPH-R hanya saja pemilik ataupun penanggung jawab hewan terlebih dahulu melapor kepada pihak otoritas veteriner dibidang kesehatan masyarakat veteriner kabupatenkota. Penjaminan higiene dan sanitasi juga merupakan salah satu hal yang terpenting dalam rantai produksi produk hewan dan harus dilaksanakan dengan cara-cara yang baik misalnya seperti pada proses pengumpulan dan penjualan daging. Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menjelaskan bahwa proses pengumpulan dan penjualan daging dapat dilakukan dengan cara-cara yaitu: . a. Penjaminan kebersihan sarana, prasarana, peralatan, dan lingkungannya; b. Pencegahan bersarangnya hewan pengganggu; c. Penjaminan kesehatan dan kebersihan personel; d. Pencegahan tercemarnya produk hewan oleh bahaya biologis, kimiawi, dan fisik yang berasal dari petugas, alat, dan proses produksi; e. Pemisahan produk hewan yang halal dari produk hewan atau produk lain yang tidak halal; f. Penjaminan suhu ruang tempat pengumpulan dan penjualan produk Hewan yang dapat menghambat perkembangbiakan mikroorganisme; dan g. Pemisahan produk hewan dari hewan dan komoditas selain produk hewan. Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menjelaskan bahwa pengawasan produk hewan yang diproduksi di dalam negeri harus dilakukan terhadap produk hewan sejak diproduksi sampai dengan diedarkan. Pengawasan dilakukan oleh dokter hewan berwenang yang memiliki kompetensi sebagai pengawas kesehatan masyarakat veteriner pada kementerian, provinsi, dan kabupatenkota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menjelaskan bahwa pengawasan terhadap pemasukan produk hewan dari luar dilakukan pada: a. Negara dan unit usaha asal; b. Tempat pemasukan; dan c. Peredaran. Pengawasan terhadap pemasukan dilaksanakan oleh otoritas veteriner di bidang kesehatan masyarakat veteriner kementerian. Pengawasan terhadap pemasukan dilaksanakan oleh otoritas veteriner di bidang karantina hewan di tempat pemasukan yang telah ditetapkan oleh menteri. Pengawasan terhadap peredaran dilakukan oleh dokter hewan berwenang yang memiliki kompetensi sebagai pengawas kesehatan masyarakat veteriner pada kementerian, provinsi, dan kabupatenkota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan menjelaskan bahwa pengawasan produk dilakukan melalui pemeriksaan pada Kondisi fisik produk hewan, dokumen; danatau ,label.

E. Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha

Setiap pelaku usaha dibebani tanggung jawab atas perilaku yang tidak baik yang dapat merugikan konsumen. Pengenaan tanggung jawab terhadap pelaku usaha digantungkan pada jenis usaha atau bisnin yang digeluti. Bentuk dari tanggung jawab yang paling utama adalah ganti kerugian yang dapat berupa pengembalian uang, atau penggantian barang danatau jasa yang setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan. Tanggung jawab pelaku usaha di atur dalam Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28Undang- Undang Perlindungan Konsumen. Istilah tanggung jawab hukum adalah kewajiban menanggung suatu akibat menurut ketentuan hukum yang berlaku. Misalnya, apabila terdapat perbuatan yang melanggar norma hukum, maka pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan norma hukum yang dilanggarnya. Adapun bentuk-bentuk dari tanggung jawab hukum: 21

1. Tanggung Jawab Berdasarkan Atas Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan liability based on fault adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Pasal 21 Wahyu Sasongfko, Op.Cit, hlm 96 1365 KUHPerdata atau yang dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, menyatakan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Unsur-unsur pokok dari ketentuan pasal tersebut, yaitu: 1. Adanya perbuatan melawan hukum ; 2. Adanya unsur kesalahan; 3. Adanya kerugian yang diderita; 4. Adanya hubungan kausaflitas antara kesalahan dan kerugian. 22 Pertanggungjawaban dalam hukum perdata juga dapat disebabkan karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak dari pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Pertanggungjawaban dalam hukum perdata juga dapat disebabkan karena adanya perbuatan melawan hukum. Adapun persyaratan perbuatan melawan hukum: 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 2. Melanggar hak orang lain; 3. Melanggar kaidah tata susila; 4. Bertentangan dengan asas kepastian serta sikap kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. 22 Ibid, hlm.97

2. Tanggung Jawab Secara Langsung

Tanggung jawab langsung biasa disebut juga sebagai tanggung jawab mutlak karena digantungkan pada adanya kerusakan yang muncul. Tanggung jawab secara langsung atau tanggung jawab berdasarkan risiko diatur dalam Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau diperdagangkan. Prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena: 1. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks. 2. Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya. 3. Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati. Ketiadaan pembuktian kesalahan oleh konsumen atau pengalihan beban pembuktian kesalahan kepada pelaku usaha merupakan ciri khas dari strict liability yang juga dijumpai pada product liability. 23

3. Tanggung Jawab Produk

Prinsip tanggung jawab produk dan tanggung jawab langsung memiliki kesamaan, yaitu ketiadaan unsur kesalahan yang harus dibuktikan oleh konsumen. Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah 23 Ibid, hlm.98