Makna ziarah kubur DESKRIPSI TRADISI ZIARAH KUBUR
42
c. Kelompok orang-orang tertentu seperti: kerabat, sahabat, saudara terdekat,
mereka yang mempunyai tali kasih atau pengorbanan semasa hidupnya. Ziarah kubur merupakan satu titik temu yang istimewa antar agama,
hampir di belahan dunia manapun terdapat makam-makam khusus yang dikunjungi baik oleh orang Islam maupun non Islam.
Menurut „Ali al-Harawi yang menulis sebuah Pedoman Tempat-Tempat Ziarah Kubur bahwa ziarah kubur
ziyarat al-qubur adalah suatu bentuk ritual yang sudah berakar di masyarakat sejak zaman dahulu.
101
Ziarah kubur yang dilakukan di makam telah memberikan tambahan ekonomi kepada penduduk sekitar lokasi kuburan keramat, sehingga masyarakat
banyak yang berjualan makanan, keperluan ziarah, oleh-oleh bagi para peziarah kubur.
102
Bagi tokoh-tokoh agama tertentu, terutama bagi kalangan tradisional upacara tardisi lokal ini bermanfaat untuk alat mobilisasi masyarakat kelas bawah,
alat poltik bagi tokoh-tokohnya, dan menjadikan sumber ekonomi yang mencukupi bagi sang tokoh keagamaan bisa dijadikan untuk memperkuat
kharismanya. Ziarah kubur merupakan satu dari sekian tradisi yang ada dan berkembang
di masyarakat, berbagai maksud dan tujuan serta motivasi selalu menyertai aktivitas ziarah kubur. Ziarah kubur yang dilakukan oleh masyarakat ke kuburan
dianggap keramat karena sebenarnya ziarah kubur adalah tradisi agama Hindu yang pada masa lampau memuja terhadap roh leluhur.
101
Henri, Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, Depok: Komunitas Bambu, 2010, h. 2
102
Hasil peneleitian penulis hal ini juga sama seperti di makam Syeh Quro,terutama pada malam Sabtu
43
Di Indonesia terutama Jawa, kebiasaan ziarah kubur tersebar luas diantaranya ke makam para wali dan tokoh yang dianggap suci, disana mereka
melakukan berbagai kegiatan seperti membaca al- Qur‟an, kalimat Syahadat,
berdoa dan bertafakur. Sepeti halnya ziarah yang sering dilakukan di makam Sunan Gunung Jati, makam Sunan Gunung Jati selalu ramai dipadati peziarah
yang datang secara perorangan, dengan keluarga, ada pula yang datang secara berombongan dari satu desa dengan mencarter bis bersama-sama. Kebanyakan
dari peziarah yang datang hanya mengadakan kunjungan secara singkat, tetapi ada juga yang tinggal menyepi selama satu atau beberapa malam di dalam komplek,
disamping itu ada sejumlah kegiatan ziarah besar pada hari-hari tertentu, misalnya setiap malam jumat kliwon pengunjung ziarah banyak yang berdatangan sehingga
menyebabkan berdesak-desakan di depan gerbang makam, ziarah tahunan yang teramai banyak pengunjungnya adalah ketika bulan maulid, biasanya pada
perayaan bulan maulid benda-benda pusaka digelarkan berarak-arakan di sekitar alun-alun masing-masing kraton, atau dalam perayaan tersebut disebut dengan
“panjang jimat”. Ketika acara puncak tersebut orang-orang peziarah berlari berdesakan
dari alun-alun yang satu ke alun-alun yang lain untuk menengokpiring-piring pusaka yang sebenarnya tertutup oleh kain. Kemudian mereka masuk ke dalam
kraton untuk melihat sejenak salah seorang yang dianggap sebagai keturunan hidup sang wali.
103
103
Henri, Chambert-Loir dan Claude Guillot. Ziarah dan Wali di dunia Islam, h. 366.
44
Letak makam tersebut terletak di puncak sebuah bukit buatan yaitu bukit sembung yang khusus didirikan di kota Cirebon. Komplek makam keramat Sunan
Gunung Jati mencakupi kedua bukit yang diantaranya adalah Bukit Sembung dan Bukit sunan Gunung Jati.
104
Banyak juga orang-orang berziarah ke kuburan tertentu disertai kepercayaan bahwa tokoh tersebut dapat sesuai dengan kebutuhan pribadi mereka,
antara lain dengan ziarah kubur seseorang dapat berdampak pada kemungkinan mendapat rezeki dan Sya‟faat.
105
Bila dilihat secara mendalam maka, tradisi yang masih dipertahankan oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia adalah benar-benar peninggalan nenek
moyang yang masih primitif atau pra Islam. Upacara tradisi lokal yang hampir seluruhnya merupakan peninggalan zaman Hindu Budha tetap dipertahankan oleh
masyarakat. Kegiatan ziarah kubur, haul dan sebagainya merupakan peninggalan pra
Islam yang tidak dihilangkan.
106
Dengan berbagai nilai Islam, tradisi-tradisi tersebut berusaha untuk diakulturasikan
107
kedalam Islam dan disatukan sedemikian rupa menjadi budaya bercitarasa Islam dan Islam yang bercitarasa
lokal, melalui perpaduan yang meyakinkan tersebut dengan memakai doa-doa Islam, Tahlil, dan sebagainya.
104
Ibid., h. 364-365.
105
Haryadi Soebady, Agama dan Upacara, Jakarta: Buku antar Bangsa, 2002, h. 34.
106
Ayatrohaedi, Sundakala cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah Panitia Wangsakerta Cirebon, Jakarta: PT dunia Pustaka Jaya, 2005, h. 136.
107
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980, h. 262
45