Prinsip-Prinsip Hukum Internasional dalam Perjanjian Internasional perihal Transboudary Water Resources

C. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional dalam Perjanjian Internasional perihal Transboudary Water Resources

Prinsip-prinsip umum hukum internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional 125 yang juga umum dalam masyarakat internasional. Prinsip-

prinsip umum ini dapat diambil dari sistem-sistem nasional yang dapat mengisi kekosongan yang terjadi dalam hukum internasional. 126 Sifat dan fungsi hukum

dalam dunia yang semakin kompleks berubah dengan cepat. Berawal dari berbagai sumber dan lapisan peraturan, peraturan hukum semakin meningkat jumlahnya dan cenderung menjadi spesifik. Menghadapi latar belakang tersebut, prinsip-prinsip umum hukum memainkan peran yang sangat penting di setiap

sistem hukum. 127 Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab merupakan bagian dari hukum yang diterapkan oleh forum permanen

negara-negara, mahkamah internasional. 128 Perihal perjanjian mengenai transboudary water resources, prinsip-prinsip umum hukum lingkungan harus

menjadi salah satu dari banyak dasar terhadap aturan dan kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian tersebut. Prinsip-prinsip umum hukum internasional ini diatur

Statuta Mahkamah Internasional, loc. cit.,, pasal 38 ayat (1) huruf (c) 126 Boer Mauna, op cit., hal. 11 127 Springer International Publishing Switzerland, General Principles of Law-Role of The

Judiciary, (Switzerland: Springer, 2015), hal. xvii 128 Bin Cheng, General Principles of Law as Applied by International Courts and Tribunals, (United States of America: Cambridge University Press, 2006), hal. 1 Judiciary, (Switzerland: Springer, 2015), hal. xvii 128 Bin Cheng, General Principles of Law as Applied by International Courts and Tribunals, (United States of America: Cambridge University Press, 2006), hal. 1

1. State Sovereignty over Natural resources Principle Prinsip ini merupakan prinsip dasar hukum lingkungan internasional dan

sine qua non terhadap kemajuan global untuk melakukan perjanjian internasional sebagai suatu inisiatif yang mengglobal. 129 Sebagian besar perjanjian-perjanjian

hukum lingkungan internasional menegaskan bahwa negara memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan

mereka sendiri. 130 Mengingat kembali bahwa sumber daya alam merupakan hak setiap makhluk hidup di muka bumi. Misalnya dalam prinsip 21 Deklarasi

Stockhold dan prinsip 2 Deklarasi Rio ditegaskan: “States have(…)the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies…” Terlebih, hak tersebut dimanfaatkan demi kepentingan pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam Resolusi

Majelis Umum PBB: 131 “The right of people and nations to permanent sovereignty over their

natural wealth and resources must be exercise in the interest of their national development and the well being of the people of the state concerned.”

129 UNESCO & EOLSS, International Sustainable and Development Law – Vol. I, (United Kingdom: Eolss Publishers Co. Ltd., 2010), hal 178 130 Ibid. 131 United Nations General Assembly Resolution, Permanent Sovereignty over Natural

Resources 1803, XVII (14 Desember 1962), para. 1

Resolusi PBB tersebut juga menekankan bahwa prinsip ini harus dilaksanakan dengan menghormati hak dan kewajiban negara-negara di bawah hukum internasional, serta kesetaraan kedaulatannya.

2. Good Faith Principle Sebagai prinsip umum, itikad baik merupakan bagian dari sumber hukum

internasional. 132 Prinsip ini merupakan prinsip dalam hukum internasional yang memiliki cakupan sangat luas, karena prinsip itikad baik harus diaplikasikan

dalam setiap tindakan yang akan dilakukan para pihak perihal apapun itu. Sebagai contoh, secara umum, maxim seperti pacta sunt servanda, penyalahgunaan hak, estoppel (Hukum estoppel seperti aturan yang mengesampingkan bukti tertentu

dalam keadaan tertentu) 133 , persetujuan dan negosiasi perselisihan didasarkan pada tingkat tertentu, dengan itikad baik. 134 Prinsip itikad baik menunjang berbagai macam aturan-aturan internasional. 135 Prinsip itikad baik dalam konteks

kasus antara Hungaria dan Slowakia ini dititikberatkan pada Perjanjian 1977 yang dibuat oleh para pihak. Penerapan ataupun penegakan itikad baik dalam sebuah perjanjian menekankan kepatuhan terhadap tujuan dan konsistensi yang disetujui

para pihak. 136 Pendefinisian itikad baik dapat dilihat dari penggabungan beberapa elemen, yakni inter alia: 137

132 Steven Reinhold, Good Faith in International Law, UCL Journal of Law and Jurisprudence, 10.14324/111.2052-1871.002, hal. 40 133 Yuvraj Rathore & Shaurya Singh Rathore, The Doctrine of Estoppel as A Rule of Evidence: An Overview, International Journal for Legal Developments and Allied Issues, Vol 1, Issue 4, hal. 231

134 Steven Reinhold, loc. cit. 135 Nuclear Tests Case (Australia v. France), Merits, I.C.J. Reports 1974, para. 46, hal.

253 136 Jay M. Feinman, Good Faith and Reasonable Expectations, (2014), Arkansas Law Review, Vol. 67:525, hal. 527 137 Ibid.

1. Itikad baik berarti sesuai dengan ‘harapan yang dibenarkan’ yang timbul dari perjanjian

2. Hal tersebut juga menuntut kepatuhan terhadap standar perilaku di luar perjanjian

3. Standar tersebut memang ditetapkan bertentangan dengan ‘itikad buruk’

3. Pacta Sunt Servanda Pasal 26 VCLT menyebutkan mengenai maxim pacta sunt servanda

sebagai berikut: “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.” Merujuk pada pasal 26 VCLT di atas, dapat disimpulkan bahwa pacta sunt servanda merupakan prinsip yang menekankan mengenai itikad baik para pihak pembuat perjanjian untuk mematuhi dan tunduk pada perjanjian yang berlaku yang dibuat olehnya, dikarenakan para pihak telah terikat oleh perjanjian yang berlaku tersebut.

Negara dapat menderogasikan diri dari kewajiban yang terdapat dalam perjanjian bilamana adanya perubahan keadaan yang terjadi secara terus-menerus

ataupun konstan. 138 Berdasarkan hal tersebut maka timbullah batasan terhadap prinsip ini. Prinsip ini dibatasi oleh beberapa hal yang ditegaskan dalam VCLT

(pasal 61 mengenai adanya ketidakmungkinan pelaksanaan & pasal 62 mengenai

Christina Binder, et al, Summary-The Limits of Pacta Sunt Servanda in International Law, (2013), Beiträge zum ausländischen öffentlichen Recht und Völkerrecht, Band 245, hal. 671

140 majeure 141 & pasal 25 mengenai necessity atau kebutuhan )

4. Precautionary Principle Eksistensi prinsip ini sangatlah penting dalam hukum lingkungan

internasional, hukum lingkungan secara teratur beroperasi di daerah yang dipersulit oleh tingginya tingkat ketidakpastian ilmiah. Banyak kegiatan yang dalam kasusnya memerlukan perubahan pada lingkungan, tidak mungkin untuk menentukan secara pasti terlebih dahulu mengenai bagaimana dampak aktivitas

terhadap kualitas lingkungan atau kesehatan manusia. 142 Pada umumnya tidak mungkin untuk mengetahui sebelumnya, misalnya, apakah tingkat polusi udara

tertentu akan menghasilkan peningkatan angka kematian akibat penyakit pernafasan, apakah tingkat pencemaran air tertentu akan mengurangi populasi ikan yang sehat, atau apakah pengembangan minyak dalam lingkungan daerah

yang sensitif akan secara signifikan mengganggu satwa liar asli. 143 Prinsip kehati- hatian menegaskan bahwa, jika ada kecurigaan kuat bahwa suatu aktivitas tertentu

mungkin memiliki konsekuensi yang merugikan lingkungan, lebih baik mengendalikan aktivitas itu sekarang daripada menunggu bukti ilmiah yang tak

terbantahkan. 144

139 Kejadian atau keadaan yang terjadi diluar kuasa dari para pihak yang bersangkutan. 140 Dalam hal ini adalah kebutuhan yang sudah using atau yang dianggap sudah tidak

diperlukan lagi. 141 Christina Binder, op. cit., hal. 672

142 ENCYCLOPÆDIA BRITANNICA (1998), dapat diakses pada: https://www.britannica.com/topic/environmental-law/Principles-of-environmental-law

[diakses tangal 17 Juni 2017] 143 Ibid. 144 Ibid.

Prinsip ini diatur dalam UNECE Watercourses Convention pasal 2 ayat (5) huruf (a): “by virtue of which action to avoid the potential transboundary impact of the release of hazardous substances shall not be postponed on the ground that scientific research has not fully proved a causal link between those substances, on the one hand, and the potential transboundary impact, on the other hand.”

Pasal ini menjelaskan bahwa para pihak yang berkepentingan terhadap transboudary waters dengan itikad baik harus melakukan tindakan yang sepatutnya untuk mencegah ataupun menghindari dan mengendalikan serta mengurangi potensi yang menimbulkan dampak lintas batas. Misalnya dengan melakukan tindakan penelitian ilmiah yang membuktikan adanyan hubungan antara penyebab dengan kerusakan yang terjadi.

Prinsip 15 Deklarasi Rio 1992: “In order to protect the environment, the precautionary approach shall be

widely applied by States according to their capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation. ” yang berarti untuk melindungi lingkungan, pendekatan kehati-hatian harus diterapkan secara luas oleh negara-negara sesuai dengan kemampuan mereka. Bila ada ancaman kerusakan serius atau tidak dapat dipulihkan, kurangnya kepastian ilmiah tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menunda langkah-langkah efektif untuk mencegah degradasi atau kerusakan fisik pada lingkungan.

5. Prevention Principle Prinsip ini merupakan prinsip yang juga sangat krusial eksistensinya

dalam hukum lingkungan internasional. Alangkah lebih baik kita sebagai penikmat lingkungan hidup yang dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa menjaga lingkungan hidup tetap lestari dari pada memperbaiki dampak lingkungan yang telah terjadi. Meskipun pengaturan tentang lingkungan banyak dirancang sebagai tanggapan terhadap bencana, namun mencegah kerusakan lingkungan lebih murah, mudah, dan tidak terlalu berbahaya terhadap lingkungan daripada

melakukan tindakan terhadap bahaya lingkungan yang telah terjadi. 145 Merujuk pada perangkat-perangkat hukum internasional yang dijadikan

dasar-dasar dalam penelitian ini, prinsip ini tercermin UNECE Watercourses convetion. Dapat dilihat lebih seksama dalam poin menimbang bahwa prinsip ini merupakan hal yang menjadi landasan terhadap tujuan dibentuknya UNECE Watercourses Convention demi mencegah, mengendalikan dan mengurangi terjadinya hal-hal yang berbahaya serta pencemaran terhadap lingkungan

perairan. 146 Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa: “The Parties shall take all appropriate measures to prevent, control and

reduce any transboundary impact.” Pasal ini menegaskan bahwa para pihak yang berkepentingan dengan transboudary waters terkait harus mengambil tindakan yang sepatutnya yang dianggap penting untuk mencegah dampak lingkungan lintas batas.

Ibid. 146 Convention on the Protection and Use of Transboundary Watercourses and International Lakes, op.cit., poin menimbang hal. 1

Lalu tak lepas dari sumber hukum internasional terkait lainnya, yakni Deklarasi Stockholm yang dalam prinsip 24 menegaskan bahwa: “International..to effectively control, prevent, reduce and eliminate adverse environmental effects resulting from activities conducted in all spheres, in such a way that due account is taken of the sovereignty and interests of all States.”

Prinsip ini metegaskan bahwa kerja sama para pihak sangat dianjurkan untuk mencegah dampak lingkungan akibat aktivitas yang dilakukan di semua bidang. Mengingat semakin kompleksnya aktivitas manusia yang berpotensi menimbulkan dampak pada lingkungan.

Kemudian prinsip 14 Deklarasi Rio menyebutkan: “States should..prevent..any activities and substances that cause severe

environmental degradation or are found to be harmful to human health.” Telah jelas dalam prinsip ini ditekankan bahwa negara-negara harus bekerja sama demi pencegahan kegiatan ataupun substansi yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah atau terbukti berbahaya bagi kesehatan manusia, misalnya suatu kegiatan relokasi.

6. Obligation Not to Cause Transboudary Environmental Harm Principle Prinsip ini merupakan prinsip yang juga umum eksistensinya dalam

hukum lingkungan internasional, terutama terhadap pertimbangan hakim dalam memutus sengketa-sengketa internasional terkait lingkungan. Prinsip ini berkaitan

dengan prinsip hak kedaulatan negara atas sumber daya alam. 147 Mengingat

UNESCO & EOLSS, loc. cit.

urgensi lingkungan merupakan hal yang krusial bagi seluruh masyarakat di dunia. 148 Prinsip ini menekankan agar para pihak yang memiliki sumber daya air

dalam melakukan aktivitas di dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan yang berdampak pada lingkungan sumber daya air itu sendiri maupun lingkungan hidup ekosistem lainnya di luar yurisdiksinya. Prinsip ini tertuang dalam pasal 145 UNCLOS yang berbunyi:

“Necessary measures shall be taken in accordance with this Convention with respect to activities in the Area to ensure effective protection for the marine environment from harmful effects which may arise from such activities.”

Inti dari pasal ini yakni para pihak ataupun negara-negara terkait transboundary water resources terkait harus mengambil segala tindakan yang bermanfaat untuk transboundary water resources di wilayahnya yang sesuai dengan hukum internasional demi memastikan perlindungan lingkungan transboundary water resources tersebut dari segala macam efek yang berbahaya yang timbul dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan terhadap transboundary water resources tersebut.

Prinsip ini juga tercermin dalam Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 sebagaimana berikut: “States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to

Janet R. Hunter dan Zachary A. Smith, op. cit.

the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.”

Kemudian dalam prinsip 2 Deklarasi Rio 1992 yang berbunyi: “States have, in accordance with the Charter of the United Nations and

the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.”

Kedua prinsip ini memiliki makna yang sama, yaitu negara-negara yang berkaitan dengan transboundary water resources dimaksud, sesuai dengan hukum internasional memiliki hak kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber daya mereka berdasarkan kebijakan lingkungan dan pembangunan mereka sendiri. Namun tak dapat dipungkiri pula mereka dibebani juga dengan tanggung jawab untuk memastikan bahwa aktivitas-aktivitas yang dalam yurisdiksi dan kendali mereka tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain ataupun wilayah di luar batas yurisdiksi mereka.

149 Prinsip ini juga diuraikan dalam kasus Trail Smelter yang diselesaikan dalam pengadilan arbitrase. Ditetapkan bahwa bahwa tidak ada negara yang

memiliki hak untuk menggunakan atau mengizinkan penggunaan wilayahnya sedemikian rupa sehingga menyebabkan kerusakan karena asap, di dalam atau ke wilayah lain, dari properti atau orang-orang di dalamnya, bilamana:

The Trail Smelter Case (United States, Canada), Reports of International Arbitral Awards, 1938 & 1941, hal. 1965

(a) kasus tersebut merupakan konsekuensi serius, dan (b) kerusakan tersebut dibentuk dengan bukti yang jelas dan meyakinkan.

Prinsip ini mengandung pengertian untuk tidak menimbulkan kerusakan (not to cause damage), karena dalam pemanfaatan lingkungan juga dipastikan timbul resiko yang dapat menimbulkan kerusakan dalam taraf tertentu pada lingkungan tersebut sehingga lingkungan tersebut tidak utuh lagi. Hal ini lah yang juga menjadi makna dalam significant harm (kerusakan yang serius), karena dapat dikatakan bahwa kerusakan tersebut pasti terjadi namun dalam taraf yang bermacam pula.

7. Sic utere tuo ut alienum non laedas Prinsip ini dalam hukum lingkungan internasional merupakan prinsip tua

yang juga sangat umum. Prinsip sic utere tuo ut alienum non laedas merupakan prinsip hukum Romawi. 150 Prinsip ini sangat kerat kaitannya, bahkan memiliki

makna yang sama dengan prinsip sebelumnya, yaitu Obligation Not to Cause Transboudary Environmental Harm Principle. Pada dasarnya, prinsip ini berawal

dari hukum kebiasaan. 151

150 International Law and Institution, Transboundary Environmental Harm and State Responsibility: Customary International Law, (United Kingdom: Eolss Publishers Co. Ltd., 2009), hal 202

151 Elmer E. Smead, Sic Utere Tuo Ut Alienum Non Laedas: A Basis of the State Police Power,(1936), Cornell Law Review, Vol. 21, hal. 276;

152 Pengertian prinsip ini adalah: “Use your property so as not to damage another's; so use your own as not

to injure another's property.” Negara dalam menggunakan propertinya tidak boleh menikbulkan kerusakan terhadap properti negara lain ataupun kerusakan apapun terhadap negara lain. Maka pada prinsipnya, negara dalam menggunakan propertinya tidak boleh bertujuan untuk merusak properti negara lainnya.

153 Prinsip ini tercermin dalam prinsip 21 Deklarasi Stockholm dan prinsip

2 Deklarasi Rio, di mana prinsip 21 Deklarasi Stockholm berbunyi sebagaimana berikut: “States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.”

Kesimpulan prinsip di atas adalah, sesuai dengan piagam PBB dan prinsip- prinsip hukum internasional, hak kedaulatan suatu negara untuk mengeksploitasi sumber dayanya sendiri harus berdasarkan pada kebijakan lingkungan dari negara

Draft articles on Prevention of Transboundary Harm from Hazardous Activities, with commentaries, (2001), pasal. 3, hal. 153; Black’s Law Dictionary, op. cit., hal. 1872; Sompong Sucharitkul, State Responsibility And International Liability Under International Law, (1996), Golden Gate Unoversity School of Law, Vol. 18:821, hal. 829; Joseph W. Dellapenna, The Customary International Law of Transboundary Fresh Waters, (2001), International Water Law Project, Vol. 1, hal. 279; Elmer E. Smead, op. cit.; Winfried Lang, UN-Principles and International Environmental Law, (1999), Max Planck UNYB 3, hal. 160; Aaron Schwabach, loc. cit.

153 Draft articles on Prevention of Transboundary Harm from Hazardous Activities, Ibid.

itu sendiri. Serta, hak eksploitasi tersebutpun harus berdasar pada tanggung jawab mereka untuk memastikan bahwa aktivitas, kegiatan ataupun program negara tersebut yang terkait dengan lingkungan dalam batas yurisdiksi ataupun kendali agar tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain ataupun wilayah di luar batas yurisdiksi negara tersebut.

Prinsip ini juga tercermin dalam pasal 195 UNCLOS yang berbunyi: “In taking measures to prevent, reduce and control pollution of the marine

environment, States shall act so as not to transfer, directly or indirectly, damage or hazards from one area to another...”

Pasal ini menegaskan bahwa dalam mengambil tindakan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut, negara terkait harus bertindak agar tidak mengalihkan, secara langsung ataupun tidak langsung, kerusakan atau bahaya dari satu area ke area lainnya, dalam konteks penelitian ini yakni dari suatu negara ke wilayah negara lainnya.

Setiap negara dalam dunia internasional memiliki kedaulatannya masing- masing yang juga meliputi hak terhadap yurisdiksi dan teritorial negara tersebut.

Oppenheim berpendapat bahwa: 154 “a state, in spite of its territorial supremacy, is not allowed to alter the

natural conditions of its own territory to the disadvantage of the natural conditions of the territory of a neighbouring state.”

Sebuah Negara, terlepas dari supremasi teritorialnya, tidak diizinkan untuk mengubah kondisi alam dari wilayahnya sendiri kemudian menimbulkan kerugian

154 Nico P. Swartz, State Sovereignty and Environmental Law, (2014), European Journal of Business and Social Sciences, Vol. 3, No. 8, hal. 36 154 Nico P. Swartz, State Sovereignty and Environmental Law, (2014), European Journal of Business and Social Sciences, Vol. 3, No. 8, hal. 36

dengan kedaulatan teritorial dan integritas negara lain. 155 Teori kedaulatan teritolrial itupun kemudian beralih menjadi teori kedaulatan teritorial terbatas

yang merupakan analogi dari hukum internasional. 156 Teori kedaulatan teritorial terbatas menyatakan bahwa sebuah negara dapat menggunakan air yang mengalir

melalui wilayahnya sejauh penggunaan tersebut tidak mengganggu penggunaan air yang wajar oleh negara-negara hilir 157 atau negara lainnya. Praktik negara,

serta keputusan pengadilan internasional dan domestik dan pengumuman badan internasional swasta dan publik, menunjukkan bahwa ini adalah pendekatan yang

paling sering diterapkan pada masalah lintas air. 158 Sebagai rujukan, dapat dilihat kembali kasus Trail Smelter. 159

8. The Polluter-Pays Principle Polluter atau yang dalam bahasa Indonesia disebut pencemar adalah

subjek atau pelaku yang mengkontaminasi tanah, udara ataupun air dengan zat-zat yang berbahaya. 160 Prinsip ini mengehendaki bahwa siapapun yang bertanggung

jawab atas kerusakan atau pencemaran lingkungan harus menanggung biaya kerusakan atau pencemaran tersebut dari aktivitas yang dibuatnya. 161 Memaksa

155 Ibid. 156 Aaron Schwabach, loc. cit. 157 Ibid.

158 Ibid. 159 The Trail Smelter Case, loc. cit.

160 Black’s Law Dictionary, op. cit., hal. 1277 161 Roy E. Cordato, The Polluter Pays Principle: A Proper Guide for Environmental

Policy, (2001), Institute for Research on The Economics of Taxation Studies in Social Cost, Regulation and The Environment, No. 6, hal. I; Petra E. Lindhout Berthy van den Broek, The Policy, (2001), Institute for Research on The Economics of Taxation Studies in Social Cost, Regulation and The Environment, No. 6, hal. I; Petra E. Lindhout Berthy van den Broek, The

pada prinsip polluter pays principle (PPP) memungkinkan kita melindungi lingkungan tanpa mengorbankan efisiensi sistem ekonomi. 163 Interpretasi yang

benar atas prinsip ini yakni menganggap polusi sebagai hasil produksi atau proses konsumsi yang merugikan atau melanggar hak milik orang lain. 164 Pencemarnya

adalah orang, perusahaan, atau organisasi lain yang kegiatannya menghasilkan produk polutan dimaksud. Pada akhirnya, pembayaran tersebut harus sama

dengan kerusakan dan dilakukan terhadap pihak-pihak yang dirugikan. 165 Banyak yang mengklaim bahwa sebagian besar kerusakan lingkungan

disebabkan oleh produsen yang "mengeksternalisasi" biaya aktivitas mereka. 166 Sebagai contoh, pabrik yang asap tanpa filter ke atmosfir atau melepaskan bahan

kimia yang tidak dapat diuraikan ke sungai. Sebaliknya, biaya pembuangan limbah berupa polusi ditanggung oleh seluruh masyarakat. Dengan demikian, tujuan dari peraturan-peraturan lingkungan adalah untuk memaksa pencemar

menanggung biaya yang sebenarnya dari pencemaran yang mereka perbuat, 167 walaupun biaya tersebut seringkali sulit untuk dihitung secara tepat. Secara teori,

tindakan semacam itu mendorong produsen penghasil polusi untuk membuat produk lebih bersih atau menggunakan teknologi yang lebih bersih. 168

Polluter Pays Principle: Guidelines for Cost Recovery and Burden Sharing in the Case Law of the European Court of Justice, (2014), Utrecht Law Review, Vol. 10, Issue No. 2, hal. 46

162 Ibid. 163 Ibid.

164 Ibid. 165 Ibid. 166 ENCYCLOPÆDIA BRITANNICA, loc. cit. 167 Ibid. 168 Ibid.

Prinsip ini berkaitan dengan Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (ARSIWA), with commentaries 2001. Prinsip- Prinsip Umum Hukum merupakan salah satu sumber hukum internasional , dan jika dilanggar maka akan menimbulkan wrongful acts yang harus dipertanggungjawabkan. Kompensasi atau pembayaran ganti rugi merupakan kewajiban utama dalam prinsip ini yang melibatkan tanggung jawab internasional dari negara yang bersangkutan. Maka hal ini sesuai dengan tujuan pengaturan ARSIWA yang mengaplikasikan tanggung jawab internasional negara dari

tindakan yang salah yang bertentangan dengan hukum internasional. 169 Prinsip ini tercermin dalam prinsip 16 Deklarasi Rio, yang menegaskan:

“National authorities should endeavour to promote the internalization of environmental costs and the use of economic instruments, taking into account the approach that the polluter should, in principle, bear the cost of pollution, with due regard to the public interest and without distorting international trade and investment.“

Selanjutnya ditegaskan dalam pasal 139 ayat (2) UNCLOS “Without prejudice to the rules of international law (…) damage caused by

the failure of a State Party or international organization to carry out its responsibilities under this Part shall entail liability..”

Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (ARSIWA), with commentaries, adopted by the International Law Commission, (2001), General Commentary, para.3 huruf (c)

Kemudian pasal 7 ayat (2) UN Watercourses Convention menegaskan : “Where significant harm nevertheless is caused to another watercourse

State, the States whose use causes such harm shall, in the absence of agreement to such use, take all appropriate measures (…) consultation with the affected State, to eliminate or mitigate such harm and, where appropriate, to discuss the question of compensation.”

Lalu dalam pasal 2 ayat (5) huruf (b) UNECE Watercourses Convention ditegaskan: “by virtue of which costs of pollution prevention, control and reduction measures shall be borne by the polluter.” Instrumen-instrumen hukum internasional di atas telah jelas mengemukakan bahwa pihak ataupun negara yang menyebabkan kerusakan, kerugian ataupun polusi haruslah bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Hal tersebut dapat lebih lanjut diatur dalam perjanjian yang emngatur tentang tanggung jawab ataupun lebih jauhnya kompensasi dari pihak atau negara yang menyebabkan kerugian. Hal ini didasari oleh Prinsip 22 Deklarasi Stockholm dan prinsip 13 Deklarasi Rio, di mana prinsip 22 Delarasi Stockholm berbunyi:

“States shall cooperate to develop further the international law regarding liability and compensation for the victims of pollution and other environmental damage caused by activities within the jurisdiction or control of such States to areas beyond their jurisdiction.”

Kemudian prinsip 13 Deklarasi Rio berbunyi: “States shall develop national law regarding liability and compensation

for the victims of pollution and other environmental damage. States shall also co- operate in an expeditious and more determined manner to develop further international law regarding liability and compensation for adverse effects of environmental damage caused by activities within their jurisdiction or control to areas beyond their jurisdiction.”

9. The Principles of Good Neighborliness and International Cooperation Mengacu pada Piagam PBB, khususnya mengutip bagian pembukaan yang

juga menjadi tujuan dari PBB itu sendiri viz.: “to practice tolerance and live together in peace with one another as good neighbors..” Hal tersebut di atas mencerminkan bahwasannya toleransi dan kebersamaan dalam perdamaian sebagai negara-negara yang bertetangga merupakan hal yang dicita-citakan seluruh umat di dunia. Toleransi merupakan kebiasaan yang membutuhkan waktu untuk dan bergantung pada apresiasi dan

penyebaran hukum internasional yang lebih luas. 170 Kita, sebagai bangsa-bangsa di dunia, baru saja memulai proses belajar bagaimana hidup dalam kedamaian

satu sama lain sebagai tetangga yang baik. 171 Prinsip hubungan bertetangga yang baik ini merupakan tindakan pemerintahan dalam suatu negara yang semestinya

Sompong Sucharitkul, The Principles of Good-Neighborliness in International Law, (1996), Golden Gate University School of Law Digital Commons Publications, Paper 559, hal. 2 171 Ibid.

1. Kebutuhan politik dan hubungan baik dalam bertetangga membutuhkan perhatian lebih dalam, terutama bila negara-negara yang bertetangga

memiliki sumber daya bersama, seperti mineral, sumber air dan sumber daya laut, dasar laut dan lapisan bawahnya. negara-negara yang bertetangga dapat berbagi keuntungan bersama bahkan hal-hal berbahaya bersama, termasuk keuntungan-keuntungan dan bencana alam. Dengan demikian, kerjasama yang lebih erat sangat penting untuk kelangsungan hidup semua negara yang bertetangga.

2. Konsep bertetangga tidak lagi terbatas pada faktor geografis. Oleh karena itu, prinsip hubungan baik dalam bertetangga berlaku juga untuk negara-

negara yang secara geografis dipisahkan oleh hamparan air yang luas biasanya laut dan samudera. Penerapan prinsip ini tidak terbatas pada daerah perbatasan saja. Maka dalam praktiknya, prinsip ini juga harus jauh melampaui daerah perbatasan. Cakupan segmen wilayah dan dimensi yang lebih luas dalam hubungan

baik antara negara-negara bertetangga telah berkembang, viz.: 173 laut, dasar laut, kolom air serta wilayah udara yang berada di atasnya. Maka tentunya penggunaan

ruang udara yang baikpun harus secara benar-benar dilakukan oleh semua bangsa. 174 Hal inilah yang mendorong formulasi prinsip hukum yang secara adil

mengatur kegiatan manusia tidak hanya yang di permukaan bumi ataupun di

172 Sompong Sucharitkul, op. cit., hal. 9 173 Sompong Sucharitkul, op. cit., hal. 10 174 Ibid.

ruang udara, namun juga di luar angkasa, di bulan, benda langit lainnya serta di kedalaman dasar laut. 175 Negara-negara yang berteknologi maju harus berusaha

untuk memberikan contoh yang lebih baik bagi negara-negara lain yang belum berteknologi maju, karena setiap negara akan menerima proyek-proyek berbahaya dan aktivitas-aktivitas yang membahayakan dari perusahaan industri, terlepas dari

keberadaan konsekuensi yang merugikan sumber daya tersebut. 176 Adanya hubungan baik dalam konsep negara bertetangga mendukung

adanya hubungan persahabatan dan kerja sama internasional antara negara-negara

yang bertetangga tersebut, 178 sebagaimana yang ditekankan pada Piagam PBB. Prinsip ini menekankan bahwa negara-negara berdasarkan hukum internasional

berkewajiban untuk bekerja sama satu sama lain atas dasar itikad baik untuk memelihara perdamaian dan keamanan serta menyelesaikan sengketa internasional, termasuk masalah-masalah lingkungan dan pencapaian

pembangunan yang berkelanjutan. 179 Sesuai dengan penelitian ini, hubungan persahabatan dan kerja hubungan

baik antara negara bertetangga tersebut membebankan kewajiban untuk melakukan (a) pemberitahuan dan konsultasi sebelumnya dan (b) pertukaran

informasi dan data 180

175 Ibid. 176 Ibid. 177 United Nations General Assembly Resolution, Declaration on Principles of

International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations, UN Doc.A/RES/25/2625 (24 Oktober 1970), pembukaan

178 Charter of the United Nations, op. cit., pasal 74 179 UNESCO & EOLSS, op. cit., hal 179

180 The Corfu Channel Case (United Kingdom v. Albania), Merits, ICJ Reports of Judgments, Advisory Opinions and Orders, April 9 th 1949, hal. 22; Lake Lanoux Arbitration (Spain v. France), Arbitral Tribunal, 12 RIAA 281; 24 I.L.R. 101, (November 16, 1957), hal. 26 & 31; Island of Palmas (United States v. Netherland), (1928) Award of The Tribunal, hal. 19 & 35

Adapun yang dimaksud dengan pemberitahuan dan konsultasi sebelumnya dalam prinsip ini ialah mengenai rencana aktivitas-aktivitas yang memungkinkan terjadinya dampak lintas batas, karena hal ini membutuhkan diadakannya analisis

dampak lingkungan lintas batas. 181 Hal ini tercermin dalam pasal 12 UN Watercourses Convention yang berbunyi:

“Before a watercourse State implements or permits the implementation of planned measures which may have a significant adverse effect upon other watercourse States, it shall provide those States with timely notification thereof...”

Kemudian pertukaran informasi dalam hal ini ialah pertukaran informasi

dan data mengenai keadaan 183 (e.g polusi), program penelitian dan

perkembangan 185 serta bermacam-macam informasi dan data lainnya mengenai transboundary water resources terkait. Termasuk mengenai kerusakan yang

benar-benar akan terjadi, 186 suatu negara harus secepatnya memberitahukan mengenai hal tersebut kepada negara lain yang akan terkena dampak kerusakan

tersebut. Hal ini merupakan kunci dari prinsip hubungan bertetangga yang baik dan kerja sama internasional. 187 Pengumpulan informasi dan data mengenai

sumber daya air bersama dapat mengurangi perselisihan dan mengurangi konflik

181 UNESCO & EOLSS, loc. cit. 182 Andrea K. Gerlak, et al, Greater Exchange, Greater Ambiguity: Water Resources

Data and Information Exchange in Transboundary Water Treaties, (2010), Springer Netherlands, Vol. 11, Issue. 2, hal. 57

183 United Nations Convention on The Law of The Sea, op.cit., pasal 200 184 Convention on The Protection and Use of Transboundary Watercourses and

International Lakes, op. cit., pasal 5 185 Convention on The Protection and Use of Transboundary Watercourses and International Lakes, op. cit., pasal 6 186 United Nations Convention on The Law of The Sea, op.cit., pasal 198 187 Andrea K. Gerlak, loc.cit.

yang lebih luas. 188 Terlebih lagi, penggunaan data dan informasi untuk memahami masalah yang kompleks dianggap sebagai komponen kunci dari keberhasilan

pengelolaan sumber daya air bersama. 189 Isu mengenai akses terhadap informasi dan data sumber daya air yang terletak di perbatasan negara-negara sangat

penting, mengingat potensi konflik dalam hal ini sangat besar. 190 Pemberitahuan dan kosultasi sebelumnya dengan pertukaran informasi dan

data merupakan dua hal yang saling berkaitan. Hal ini dikarenakan pemberitahuan harus disertai dengan data dan informasi teknis yang ada, termasuk hasil penilaian dampak lingkungan, untuk memungkinkan negara-negara yang diberitahu untuk

mengevaluasi kemungkinan dampak dari tindakan yang direncanakan. 191

10. General Priciple of Equitable and Reasonable Utilization and Participation

Negara-negara yang memiliki sumber daya air yang berbatasan dengan negara lain harus memanfaatkan atau mengeksploitasi sumber daya air tersebut sesuai dengan prinsip pemanfaatan dan partisipasi yang adil dan sepantasnya. Pengelolaan air yang adil sangat penting untuk menjaga fungsi ekologis dari

ekosistem air. 192 Prinsip ini juga dapat dikatakan sebagai kebiasaan hukum internasional mengenai perairain yang terbagi antara negara-negara. 193 Prinsip ini

188 Ibid. 189 Ibid.

190 Ibid. 191 United Nations Convention on The Law of The Non-Navigational Uses of

International Watercourses, op. cit., pasal 12 192 Sabine Brels, op. cit., hal. 5 193 Joseph W. Dellapenna, op. cit., hal. 272 International Watercourses, op. cit., pasal 12 192 Sabine Brels, op. cit., hal. 5 193 Joseph W. Dellapenna, op. cit., hal. 272

Pasal 69 ayat (1) UNCLOS berbunyi: “Land-locked States shall have the right to participate, on an equitable

basis, in the exploitation of an appropriate part of the surplus of the living resources of the exclusive economic zones of coastal States of the same subregion or region, taking into account the relevant economic and geographical circumstances…”

Pasal ini menekankan bahwa atas dasar keadilan, negara-negara yang tak memiliki pantai mempunyai hak untuk berperan serta dalam memanfaatkan bagian wilayah ZEE nya yang memiliki kelebihan sumber daya alam. Namun hal itu tak lepas dari keadaan ekonomi dan geografi yang relevan dengan semua negara yang berkepentingan.

Kemudian pasal 5 UN Watercourses Convention berbunyi: (1)

“Watercourse States shall in their respective territories utilize an international watercourse in an equitable and reasonable manner. In particular, an international watercourse shall be used and developed by watercourse States with a view to attaining optimal and sustainable utilization thereof and benefits therefrom, taking into account the interests of the watercourse States concerned, consistent with adequate protection of the watercourse”

(2) “Watercourse States shall participate in the use, development and protection of an international watercourse in an equitable and (2) “Watercourse States shall participate in the use, development and protection of an international watercourse in an equitable and

Ayat 1 pasal ini menegaskan bahwa negara-negara yang memiliki perairan mengalir dalam wilayahnya masing-masing harus menggunakan perairan tersebut dengan cara yang adil dan sepatutnya. Secara khusus, perairan internasional tersebut harus digunakan dan dikembangkan oleh negara-negara terkait dengan maksud untuk mencapai pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan serta manfaatnya dari perairan tersebut, dengan memperhatikan kepentingan negara- negara lain yang terkait dengan perairan tersebut, konsisten dengan perlindungan yang memadai terhadap perlindungannya.

Lalu ayat (2) menegaskan bahwa negara-negara tersebut harus berpartisipasi dalam penggunaan, pengembangan dan perlindungan perairan internasional tersebut secara adil dan sepatutnya. Partisipasi tersebut mencakup hak untuk memanfaatkan air dan tugas untuk bekerja sama dalam perlindungan dan pengembangannya. Terlihat bahwa UN Watercourses Convention tidak hanya mengatur mengenai keadilan dan kepatutan dalam pemanfaatan watercourses saja, melainkan juga mengenai keadilan dan kepatutan negara-negara atau para pihak dalam mengembangkan dan melindungi watercourses terkait.

Lalu pasal 2 ayat (2) huruf (c) UNECE Watercourses Convention berbunyi: “To ensure that transboundary waters are used in a reasonable and equitable way, taking into particular account their transboundary character, in the case of activities which cause or are likely to cause transboundary impact”

Ditegaskan bahwa untuk memastikan perairan yang terletak di perbatasan negara-negara digunakan secara adil dan sepatutnya, maka perlu dipertimbangkan karakter dari lintas batas itu sendiri, dalam kasus ini ialah aktivitas-aktivitas yang menyebabkan atau cenderung menyebabkan dampaka lintas batas. Dapat disimpulkan bahwa konvensi ini menghendaki kepastian keadilan dan kepatutan penggunaan perairan terkait dengan cara misalnya penelitian terhadap aktivitas- aktivitas yang riskan terhadap perairan tersebut sehingga menimbulkan dampak lintas batas.

Berdasarkan konteks penelitian ini keadilan dan kepatutan yang dimaksud adalah di mana setiap pihak atau negara-negara yang diliputi transboundary water resources tersebut memiliki hak untuk mendapatkan akses serta bagian yang sama atas penggunaan dan manfaat dari sumber daya air tersebut; namun tidak berarti bahwa sumber air itu sendiri harus dibagi menjadi pembagian kuantitas

atau jumlah yang sama. 194 Kebutuhan manusia dan kebiasaan manusia terhadap penggunaan sumber

air bersama dikendalikan oleh standar kewajaran dalam pemanfaatan air

Alistair Rieu-Clarke, et al, UN Watercourses Convention User’s Guide, (2012), IHP- HELP Centre for Water Law, Policy and Science (under the auspices of UNESCO), hal. 106

air dari sumber yang sama. 196 Semua penggunaa air yang berbagi sumber daya yang sama memiliki ukuran yang sepatutnya dalam memanfaatkan air. 197 Batasan

kepatutan dalam penggunaan air tergantung pada keadaan suatu negara atau mungkin perjanjian para pihak yang mengatur tentang batasan pemanfaatan transboundary water resources terkait secara adil dan sepatutnya. Namun, penentuan kepatutan ataupun kewajaran penggunaan air bergantung pada pertimbangan kepentingan negara terkait yang memanfaatkan ataupun masyarakat secara keseluruhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan tersebut inter

alia: 198

a. tujuan penggunaannya;

b. kesesuaian penggunaannya terhadap sungai atau danau;

c. nilai ekonomis penggunannya;

d. nilai sosial penggunaannya;

e. tingkat dan jumlah kerugian yang ditimbulkannya;

f. kegunaan untukmenghindari bahaya dengan menyesuaikan penggunaan atau metode penggunaan;

g. kegunaan untuk menyesuaikan jumlah air yang digunakan oleh masing- masing negara;

195 Margaret J. Vick, The Law of International Waters: Reasonable Utilization, (2014), Kent Collage of Law, Illinois Institue of Technology, Vol. XII, hal. 144 196 Ibid. 197 Margaret J. Vick, op. cit., hal 148 198 Margaret J. Vick, op. cit., hal 176 195 Margaret J. Vick, The Law of International Waters: Reasonable Utilization, (2014), Kent Collage of Law, Illinois Institue of Technology, Vol. XII, hal. 144 196 Ibid. 197 Margaret J. Vick, op. cit., hal 148 198 Margaret J. Vick, op. cit., hal 176

i. Keadilan mewajibkan pengguna yang menyebabkan kerugian untuk menanggung kerugian.