4.2.2. Hasil Analisis Data Subjek 2 4.2.2.1 Data diri subjek 2
Data Subjek Anak II
Anak III Anak IV Anak I
Nama Inisial UH IH
AI RA
PU Jenis Kelamin PR
LK PR
PR LK
Usia Kronologis
40 Th 14 Th
11 Th 10 Th
20 Th Suku
Aceh Padang
Padang Padang
Padang Pendidikan
S1 SMP
SLB SD
Kuliah Pekerjaan
PNS Pelajar
Pelajar Pelajar
Pelajar Status
Janda AK
AK AK
AK Alamat
Jl Paindoan - Rantauprapat Langsa
Aceh
4.2.2.2 Deskripsi subjek 2
Ibu UH mengatakan sebagai ibu yang memiliki anak down syndrome, adalah ibu yang harus bangga karena dipercaya oleh yang maha kuasa karena
dititipi anugerah dan memiliki kesempatan untuk memiliki banyak amal kebajikan dan itu selalu ditekankan pada anak perempuannya RA agar RA bersedia untuk
menjaga dan merawat AI. Walaupun AI adalah kakak RA namun AI membutuhkan bantuan pada setiap pemenuhan kebutuhannya. Ketika ditanya
tentang perasaannya, ia mengatakan kalau sebenarnya dia sudah menerima kondisi AI karena dia sudah menyadari bahwa AI adalah anak yang berbeda dari
anak lainnya sejak ada di kandungan. Sebagai seorang tenaga medis yang berhubungan dengan anak dan kandungan, ia sudah mulai menyadari bahwa
anaknya AI sejak di dalam kandungan sudah memiliki masalah karena jarang bergerak dan denyut jantungnya juga bermasalah. Begitu AI lahir dan dirinya
melihat kondisi secara fisik AI, ibu UH pun semakin yakin kalau anaknya memiliki kelainan, namun ia tidak berani memeriksakan ke tenaga ahli atau
Universitas Sumatera Utara
menceritakan keraguan dirinya pada suaminya. Hal ini dilakukannya karena semenjak kehamilan AI, suaminya tidak menginginkan kalau dirinya hamil, ibu
UH sering mendapat pukulan hingga terkadang terjatuh. Ia sering mengalami abuse baik secara fisik maupun emosi dari suaminya. Hingga saat ini ia meyakini
penyebab ia memiliki anak down syndrome adalah karena kondisi psikologis dirinya ketika mengandung, hal ini diperkuat ketika ia mengandung anaknya RA
dan suaminya tetap memperlakukan dirinya seperti ketika kehamilain AI namun karena ia sudah mampu menguasai psikologis dan tidak lagi perduli dengan
suaminya dan ia lebih banyak mendekatkan diri ke yang maha kuasa hingga ia melahirkan anak perempuan yang normal. Ia sangat bersyukur karena anak
keempatnya perempuan sehingga ia memiliki harapan bahwa akan ada yang membantu dirinya untuk menjaga AI sebagai anak down syndrome yang memiliki
keterbatasan-keterbatasan. Sebenarnya menurut ibu UH ia cukup percaya diri dengan kondisi dirinya
sebagai ibu yang memiliki anak down syndrome, namun dahulu ketika AI masih kecil dan dia masih belum berpisah dari suaminya, perlakuan suami nya yang
melarang dirinya untuk keluar dari pintu rumah jika harus membawa AI serta yang membuat dirinya menjadi jarang keluar dan bertemu dengan orang lain dan
ia menjadi malu untuk memperlihatkan anaknya. Ketika dia sudah berpisah dari suaminya, ia tidak pernah lagi malu untuk membawa AI serta ke luar rumah,
hanya saja karena factor kesibukan dirinya sebagai single parent, membuat dirinya lebih sering meninggalkan AI sendiri di rumah, sedangkan anak nya IH
dan RA hanya bisa membantu dirinya ketika sudah kembali dari sekolah. Hal
Universitas Sumatera Utara
yang membuat ibu UH sedih karena anaknya IH masih malu memiliki saudara yang down syndrome, selain itu karena ayah dari anak-anaknya juga tidak peduli
dengan kondisi mereka terutama anaknya AI. Ia mengakui dalam hal merawat dan melatih keterampilan atau
kemampuan AI masih sangat kurang. Hal ini dikarenakan kesibukannya dan pengetahuannya yang minim tentang cara yang benar dalam melatih keterampilan
baru pada AI. Ia menyadari bahwa AI sangat membutuhkan pelatihan agar bisa mandiri dan tanggungjawabnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan AI dapat
berkurang, hanya saja keterbatasan waktu dan ketidakpedulian anaknya IH membuat ia hanya pasrah dan selalu mengatakan pada dirinya “semua pasti
berlalu” atau “pasti nanti ada jalannya di tunjukkan oleh Tuhan”. Menurutnya RA cukup dapat diandalkan untuk menjaga dan memperhatikan kebutuhan AI
sehingga ia tetap yakin ketika ia harus pergi meninggalkan AI dibawah pengasuhan RA, namun untuk melatih keterampilan baru RA belum pernah
melakukannya. Selain itu jika ia harus pergi ke laur daerah dan meninggalkan anak-anaknya ia hanya tinggal mencari orang upahan yang dapat dipercaya
menjaga anaknya, karena menurut ibu UH jika kita memiliki uang maka akan ada orang yang mau membantu.
Dalam usaha berobat, ibu UH mengatakan ketika AI masih kecil ia cukup banyak menghabiskan dana untuk biaya berobat karena AI memiliki kelainan
dalam saluran kemih, namun saat ini AI sudah jarang sakit dan sudah lama tidak berobat. Sedangkan untuk kebutuhan terapi ibu UH pernah mengeluarkan dana
karena ada seseorang yang menawarkan jasa terapi namun dirinya dan beberapa
Universitas Sumatera Utara
temannya tertipu, uang yang sudah mereka kumpulkan dibawa kabur. Untuk saat ini sepengetahuan dirinya tidak ada tempat atau lembaga di daerah nya yang
menyediakan jasa terapis bagi anak berkebutuhan terutama down syndrome, yang ada hanya terapis bagi anak tuna rungu. Usaha ibu UH dalam meningkatkan
kemampuan atau keterampilan anaknya AI hanya dengan mengantarkan ke sekolah SLB dan menjemputnya. Walaupun dirinya seorang single parent tetapi
untuk keuangan dia masih memiliki kemampuan untuk memberi upahan untuk seseorang yang mau menjadi terapis anaknya, hanya saja ia kesulitan untuk
mendapatkan orang di daerahnya yang bisa jadi terapis dan ia tidak mengalami kesulitan keuangan dalam pemenuhan kebutuhan AI.
Sebagai ibu, ibu UH sangat berharap AI menjadi lebih mandiri, karena ia memiliki contoh salah satu temannya yang memiliki anak down syndrome yang
mandiri. Ini yang membuat ia tetap optimis kalau AI bisa dilatih mandiri dan memiliki kemampuan yang dibanggakan. Hanya saja ia kembali mengeluhkan
dirinya yang terlalu sibuk mencari nafkah dan keterbatasan fasilitas di daerahnya. Ketika ditanya mengapa tidak memberdayakan anak-anaknya, ibu UH
mengatakan hal itu tidak mungkin karena anaknya IH sampai saat ini sangat jarang mau berbicara atau bermain dengan AI, apalagi untuk berharap IH mau
mengasuh dan melatih AI keterampilan baru. Sedangkan RA, anak perempuannya memang mau mengajak AI bermain bersama, mengenalkan pada teman-teman
sekolah RA, sering membantu AI memenuhi kebutuhan-kebutuhan AI misalkan membantu AI mandi, makan dll. Menurut ibu UH mungkin RA sendiri tidak
mengetahui apa yang harus dilakukan untuk melatih AI, dan dirinya sendiri juga
Universitas Sumatera Utara
tidak mengetahui bagaimana caranya agar RA mampu dan terlatih mengajari AI keterampilan, saat ini RA hanya sebatas mengajari AI menulis huruf dan angka.
Harapan ibu UH pada anak-anaknya adalah, anak laki-lakinya IH lebih perhatian dan menerima AI sebagai adiknya, selain itu IH sebagai anak laki-laki menjadi
lebih mau menjaga dan melindungi AI. Sedangkan untuk RA, ibu UH berharap bisa menggantikan dirinya melatih dan mengajarkan keterampilan baru pada AI.
Biasanya ibu UH mendapatkan informasi mengenai anak down syndrome dari teman-temannya sesama tenaga medis, selain itu dari teman-temannya sesama ibu
yang memiliki anak down syndrome. Menurut ibu UH informasi, saran atau nasihat yang selama ini ia peroleh masih sangat kurang karena informasi yang ia
peroleh terbatas pada pemeliharaan kesehatan AI sedangkan untuk melatih AI agar lebih mandiri masih sangat kurang. Harapannya ia bisa mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah tempat AI belajar atau dari orang yang peduli dengan anak berkebutuhan khusus sehingga diadakan pertemuan seperti seminar
tentang anak down syndrome. Berdasar pada hasil tersebut maka dilakukan intervensi pada seluruh
anggota keluarga agar dapat diatasi perasaan subjek yang menjadi putus asa dan hanya pasrah untuk menjalani kehidupannya, walaupun sebenarnya subjek 2
berharap agar anaknya AI sebagai anak down syndrome lebih meningkat keterampilan adaptifnya agar ketika ia sudah tidak mampu lagi menjaga dan
mengasuh AI maka AI sudah mampu melakukan sendiri seluruh kegiatan bantu dirinya. Namun hal tersebut menjadi sulit dengan kondisi dimana anaknya IH dan
RA kurang dalam memberikan dukungan padanya, dan juga kondisi dirinya
Universitas Sumatera Utara
menjadi single parent yang tidak memiliki waktu yang banyak untuk melatih dan merawat AI. Dari hasil pelaksanaan intervensi diperoleh bahwa umumnya lebih
dikarenakan keterbatasan pengetahuan dari anak-anak subjek 2 dalam hal-hal apa yang dapat mereka lakukan untuk membantu subjek 2 mengasuh dan merawat AI
sebagai anak down syndrome. Selain itu hubungan subjek 2 dengan anaknya IH yang kurang baik sehingga sering menyebabkan IH menjadi kurang peduli dengan
kondisi keluarga. Kondisi psikologis subjek 2 sebagai single parent juga mempengaruhi dirinya dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Ia cenderung
menjadi lebih sering mengabaikan dan hanya memenuhi kebutuhan AI karena keterbatasan waktu dengan kesibukannya mencari nafkah.
Kondisi atau saat-saat dimana subjek 2 merasa bahwa masalah yang ia rasakan sepertinya sudah selesai adalah saat dimana ketika anak-anaknya masih
kecil dimana IH tidak malu bermain dengan AI, mereka sering bermain bersama dan tertawa bersama, tidak seperti saat ini dimana IH sering menjaga jarak dengan
AI dan terkesan tidak peduli. Selain itu kondisi dimana subjek 2 memiliki seseorang sebagai tempat dirinya berbagi keluh kesah dan memberikan saran atau
nasehat padanya. Ada juga saat dimana subjek 2 memiliki seseorang yang menjaga AI dan mengurus segala kebutuhan AI. Dari pertanyaan miracle
question diperoleh bahwa subjek 2 memiliki pandangan bahwa masalah yang ia rasakan saat ini teratasi jika anak-anaknya IH dan RA terlihat peduli dengan
adiknya AI, tanpa perlu diminta mereka sudah tahu apa yang akan mereka lakukan pada AI. Sedankan dari scalling question, subjek 2 memberikan nilai 3 untuk
kondisi dukungan yang ia terima dari keluarga saat ini dan berharap akan
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan nilai skala 7. Untuk itu yang menjadi tujuan dari intervensi adalah adanya perubahan perilaku anggota keluarga dimana IH dan RA lebih peduli
dalam membantu dirinya melatih keterampilan AI. Untuk mencapai hal tersebut maka setiap anggota keluarga berjanji untuk melakukan perubahan perilaku yang
menjadi homework mereka yaitu mencari informasi mengenai cara-cara untuk melatih keterampilan pada anak down syndrome, kemudian bersama ibu
berdiskusi dan selanjutnya melatih RA agar bisa menerapkan pada AI. menegur AI setiap pulang dari sekolah, dan mengajak AI jalan-jalan pagi pada tiap hari
minggu bersama ibu dan adiknya RA. Untuk homework RA adalah melatih AI memakai baju berdasarkan dari cara-cara yang dicontohkan peneliti. melakukan
bermain sambil belajar yaitu mengajari AI menulis garis lurus. mau belajar pada kakak dan ibunya mengenai cara-cara melatih keterampilan pada AI. Ibu UH
tugasnya adalah menghindari berkata kasar dan kuat pada IH dan RA, lebih mengajak berdiskusi. mengajak anak-anaknya untuk berjalan-jalan pagi pada hari
minggu. melatih RA teknik mengajarkan AI keteramilan berdasarkan informasi dari internet dan dibantu peneliti. Dari hasil feedback diperoleh bahwa saat ini
subjek 2 merasa bahwa ia menjadi lebih optimis dan bahagia karena terlihat ada perubahan perilaku dari anak-anaknya dimana RA sering melatih AI keterampilan
dan IH mencari informasi jika mereka mendapat kendala. Bahkan IH terkadang membantu mengeprintkan gambar-gambar dari internet untuk belajar mewarnai,
dan mereka melakukan bersama-sama. Selain itu juga sudah terlihat ada perubahan sikap AI, saat ini sering terlihat ceria dan suka mengajak IH bersama
untuk belajar mewarnai. Hal yang paling ia sukai adalah sekarang anak-anaknya
Universitas Sumatera Utara
seperti dulu ketika mereka masih kecil-kecil sering bermain bersama dan tertawa bersama. Dan hal itu adalah dukungan yang terbesar bagi ibu karena dirinya saat
ini sebagai single parent memiliki kesibukan untuk mencari nafkah dan membutuhkan bantuan-bantuan anaknya dalam pengasuhan.
Menurut subjek 2, bahwa masalah yang ia keluhkan benar-benar sudah dapat diatasi terlihat dari nilai skala dukungan sosial yang pada awalnya sebelum
intervensi adalah 49 yang termasuk pada kategori Rendah dan setelah
pelaksanaan intervensi ada perubahan nilai skala menjadi 86 yang termasuk pada
kategori Tinggi. Terutama pada dukungan appraisal support dimana sebelum
pelaksanaan intervensi IH cenderung tidak peduli dengan perkembangan AI namun setelah pelaksanaan intervensi mau membantu ibu untuk mencarikan
informasi-informasi yang berkaitan dengan anak down syndrome demi untuk mengembangkan keterampilan baru AI. Namun terjadi penurunan jumlah
dukungan belonging support hal ini karena menurut IH karena sudah ada pembagian tugas dengan RA, ia bertugas untuk mencari informasi dan berbagi
ilmu dengan ibu serta mengajari RA untuk menerapkannya pada AI, sedangkan RA yang bertugas untuk melatih AI. Sedangkan pada RA terjadi peningkatan
jumlah dukungan yang diberikan RA pada ibu dalam pengasuhan AI pada setiap jenis dukungan. Hal ini karena RA yang memang langsung diarahkan untuk
melatih perkembangan RD baik dalam hal bantu diri maupun akademik. Dari penjabaran diatas maka dapat dibuat kesimpulan gambaran dinamika dukungan
keluarga pada subjek 2 dalam mengasuh dan merawat anak down syndrome adalah:
Universitas Sumatera Utara
an
anyaa
AI sebagai anak down syndrome memiliki
keterbatasan dalam melakukan keterampilan
adaptifnya sehingga memerlukan bantuan dalam
setiap kegiatan bantu dirinya seperti, makan, mandi,
memakai pakaian, sepatu, berbicara, tidak mengenal
bahaya, sering mendapatkan ganggan, belum mampu
mengontrol perilaku dan masih sering acting out,
sehingga masih membutuhkan bantuan dan
pengawasan dari caregiver 1.
Subjek 2 merasa tidak memiliki waktu yang cukup dalam melatih keterampilan AI,
selain itu tidak memiliki kemampuan dalam melatih sehingga cenderung untuk
memenuhi atau melayani kebutuhan AI.
2. Menyebabkan hubungan yang tidak baik
dengan suami bercerai dengan suami, mengalami abuse dari suami, hubungan
yang buruk dengan kedua anak laki- lakinya. Anak laki-lakinya IH tidak peduli
dengan AI
3. Hanya tinggal bersama ketiga anaknya,
namun IH dan RA kurang dalam memberikan dukunganbantuan untuk
sekedar menjaga atau melatih keterampilan baru sehingga tanggungjawabnya
berkurang.
4. Kesulitan menemukan orang atau lembaga
yang dapat menggantikan dirinya untuk melatih AI sebuah keterampilan agar lebih
adaptif. 5.
Seringnya masyarakat memandang aneh pada AI sehingga anak-anaknya sering
menjadi malu untuk berjalan atau melakukan kegiatan bersama.
Subjek 2 sering merasa sedih dan putus asa namun terkadang pasrah walaupun tetap khawatir dengan
masa depan AI. Selain itu sering bertengkar dengan IH, sering mengabaikan AI bermain
sendiri karena keterbatasan waktu Dari jawaban subjek pada pertanyaan miracle
question, diperoleh bahwa subjek menganggap masalah yang ia alami selesai jika anak-
anaknya IH dan RA terlihat peduli dengan adiknya AI, tanpa perlu diminta mereka sudah
tahu apa yang akan mereka lakukan pada AI. Dan dari teknik scalling question diperoleh
bahwa subjek menginginkan dirinya mencapai nilai skala 3 menjadi 7 dengan melakukan apa
yang menjadi homework mereka yaitu IH mencari informasi mengenai cara-cara untuk
melatih keterampilan pada anak down syndrome, kemudian bersama ibu berdiskusi
dan selanjutnya melatih RA agar bisa menerapkan pada AI. menegur AI setiap
pulang dari sekolah, dan mengajak AI jalan- jalan pagi pada tiap hari minggu bersama ibu
dan adiknya RA. Untuk homework RA adalah melatih AI, mau belajar pada kakak dan ibunya
mengenai cara-cara melatih keterampilan pada AI. Ibu UH tugasnya adalah menghindari
berkata kasar dan kuat pada IH dan RA, lebih mengajak berdiskusi. mengajak anak-anaknya
untuk berjalan-jalan pagi pada hari minggu. melatih RA teknik mengajarkan AI
keteramilan.
Subjek 2 merasa lebih bahagia karena setiap anggota keluarga sekarang saling berusaha untuk saling
membantu dan melakukan kegiatan bersama, IH terlihat lebih peduli dengan keluarga. Hubungan
subjek dengan IH yang mulai membaik. Nilai skala dukungan meningkat dari kategori rendah 49
menjadi kategori tinggi 87. Subjek 2 memiliki
anak down syndrome berinisial AI
Universitas Sumatera Utara
4.3. Pembahasan