4.3. Pembahasan
Berdasarkan dari hasil penelitian, diketahui bahwa tingkat dukungan sosial pada kedua subjek penelitian pada pre-test termasuk dalam kategori yang sama
yaitu rendah sekali. Dimana skor dukungan sosial pada subjek 1 adalah 47
sedangkan subjek 2 adalah 49. Rendahnya dukungan sosial yang dinilai oleh kedua subjek karena keluarga mereka masih kurang peduli pada kesibukan
mereka dalam mengasuh anak down syndrome. Seperti pada subjek 1 baik suami maupun anak pertamanya hanya terbatas pada mengawasi anak down
syndromenya RD, namun untuk bantuan lain yang dibutuhkan ibu masih kurang seperti membantu ibu mengerjakan tugas rumah tangga maupun menyiapkan
bantu diri RD. Begitu juga dengan subjek 2 dia menilai dukungan sosial yang diterima rendah karena kesibukan sebagai single parents yang harus mencari
nafkah, ia juga harus menyiapkan seluruh kebutuhan bantu diri AI namun kedua anaknya yang lain tidak mau membantu dalam hal melatih perilaku baru ke AI.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Freeman dalam Gousmett, 2006 bahwa jika sebuah keluarga memiliki dukungan sosial yang rendah akan memiliki sedikit
orang yang mau memberikan perawatan sehingga akan membuat ibu sebagai pengasuh sedikit istirahat dan mendapatkan tekanan secara terus menerus dalam
merawat anak down syndrome mereka. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan pesimisme dan resiko kelelahan Gousmett, 2006, seperti pada subjek 1 yang
mengatakan kalau dia merasa lelah dan bosan dengan rutinitas harian yang dijalani sedangkan subjek 2 menjadi pesimisme dia menganggap bahwa hal yang
Universitas Sumatera Utara
dapat ia lakukan saat ini ialah hanya berserah diri kepada Tuhan, karena Tuhan pasti akan menunjukkan jalan jika benar-benar dirinya dalam kesulitan.
Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa untuk mengatasi perasaan lelah, stress, bosan dan rasa pesimis yang dialami ibu sebagai ibu yang memiliki anak
down syndrome dapat diatasi dengan meningkatkan dukungan sosial terhadap ibu. Sumber dukungan sosial yang paling dibutuhkan ibu adalah dari anggota keluarga
yaitu sumber dukungan informal. Hal ini karena anggota keluarga, sebagai sumber dukungan informal diyakini lebih efektif dalam mengurangi stress daripada
sumber dukungan formal Boyd, 2002 dalam Gousmett, 2006. Seperti yang diungkapkan oleh kedua subjek pada saat wawancara bahwa mereka berharap
untuk mendapatkan bantuan atau dukungan yang diperoleh dari anggota keluarga mereka terlebih dahulu dari pada dari orang lain dan masyarakat, karea jika
anggota keluarga mau membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menggantikan ibu memenuhi kebutuhan anak down syndrome terutama bantu diri
maka ibu merasa berkurang beban tanggungjawab yang ia miliki. Selain mengurangi tingkat stress, lelah, bosan, dan rasa pesimis yang
dimiliki Ibu RH dan Ibu UH meningkatnya dukungan sosial juga memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan hubungan yang lebih positif dengan anak
down syndrome mereka. Pada awalnya mereka terlalu melindungi menjadi lebih melatih bantu diri dan mengajarkan kemandirian. Seperti yang dikemukakan oleh
Dunst dalam Goussmett, 2006. Dukungan sosial dapat membuat ibu lebih menyediakan kesempatan pada anak untuk bereksperimen dengan keterampilan
mereka dan menyediakan anak untuk lebih mandiri, hal ini menjelaskan mengapa
Universitas Sumatera Utara
terjadi perkembangan pada anak. Pada awal penelitian pretest baik RD maupun AI sebagai anak down syndrome mereka memiliki kemampuan adaptif yang masih
sangat kurang deficit, karena ibu dalam mengasuh cenderung untuk melayani dan membantu untuk kegiatan bantu diri mereka. Hal ini karena baik ibu UH
maupun ibu RH terlalu sibuk dengan aktivitas mereka dan dari anggota keluarga lain juga tidak ada yang membantu sehingga membuat mereka merasa lebih cepat
jika langsung menyiapkan setiap kebutuhan anak down syndrome mereka daripada mereka mengajarkan mandiri atau melatih sebuah keterampilan. Namun setelah
diberikan terapi Solution Focused Family Therapy SFFT dan terjadi peningkatan dukungan sosial dari keluarga, terlihat ada perubahan pola pengasuhan yang
diterapkan keluarga dan pada akhirnya ada peningkatan kemampuan adaptif. Seperti pada RD yang pada awalnya tidak mampu mandi sendiri namun
dikarenakan adanya bantuan dari KA kemudian RD menjadi terlatih untuk mandi sendiri. Begitu juga dengan AI yang pada awalnya tidak mampu memakai baju
sendiri walau masih lambat namun AI sudah mampu untuk memakai baju sendiri karena RA yang pada awalnya selalu memakaikan baju AI merubah pola
pengasuhan menjadi melatih AI. Meningkatnya dukungan sosial yang diberikan anggota keluarga setelah
dilakukan terapi SFFT Solution Focused Family Therapy karena terapi ini mengajak partisipan subjek untuk menyadari bahwa potensi solusi mungkin
sudah ada di genggaman mereka. Dengan mengetahui potensi yang ia miliki membuat subjek memiliki pandangan yang positif terhadap dirinya yang dapat
berpengaruh terhadap kemampuan mengatasi masalah Carr, 2006. Seperti pada
Universitas Sumatera Utara
subjek 1 terjadinya perubahan perilaku dari anggota keluarga dan dirinya membuat ia percaya bahwa masalah yang ia rasakan saat ini akan teratasi.
Perubahan perilaku bukan merupakan perilaku baru yang harus mereka pelajari namun perilaku-perilaku yang sudah mereka kuasai sehingga mereka tidak
kesulitan untuk melakukannya. Begitu juga dengan subjek 2, kedua anaknya juga melakukan perubahan perilaku seperti apa yang diharapkannya dan merupakan
kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai ibu sebagai kriteria bahwa keluarga telah memberikan dukungan sosial. Hal ini karena teknik
dari terapi ini menuntun klien dalam menciptakan tujuan yang terdefinisi dengan baik dan dirangkai dalam istilah yang positif, konkrit dan behavioral dan cukup
sederhana untuk dapat diraih Walter dan Peller dalam Nichols, 2010. Sehingga sangat wajar jika terjadi peningkatan dukungan sosial keluarga dengan
menggunakan terapi SFFT Solution Focused Family Therapy. Peningkatan dukungan sosial secara keseluruhan terlihat meningkat baik
pada subjek 1 maupun subjek 2, dimana sebelum pelaksanaan terapi berada pada
kategori rendah sekali namun setelah pelaksanaan terapi meningkat menjadi kategori Tinggi. Hanya saja jika ditinjau dari dimensi dukungan sosial terlihat ada
perbedaan peningkatan pada tiap-tiap dimensi. Dimana dimensi tangible support dan appraisal support terjadi peningkatan yang sangat signifikan dibandingkan
dengan dimensi self esteem support dan belonging support. Hal ini karena banyak factor yang mempengaruhi seseorang akan mendapat dukungan sosial, seperti
pada subjek 1 dan subjek 2 sebagai orang yang akan menerima dukungan pada awalnya mereka tidak mengatakan secara terbuka tentang apa yang mereka
Universitas Sumatera Utara
butuhkan sehingga membuat anggota keluarga sebagai pemberi dukungan tidak mengetahui apa-apa yang harus mereka lakukan untuk memberikan dukungan
kepada ibu Sarafino , 2002. Ini terbukti ketika subjek 1 dan subjek 2 terbuka kepada anggota keluarga tentang apa yang mereka inginkan dan butuhkan dari
anggota keluarga maka terjadi perubahan perilaku anggota keluarga dengan demikian terjadi peningkatan dukungan appraisal support dan tangible support.
Hal ini karena kedua dukungan tersebut lebih kepada bantuan secara fisik yang langsung dapat dilihat dan dirasakan oleh kedua subjek. Sedangkan untuk
dukungan self esteem support dan belonging support, walaupun terjadi peningkatan namun tidak terlalu signifikan. Hal ini karena pola komunikasi
keluarga yang tidak terbiasa untuk memberikan pujian atau ucapan-ucapan yang dapat dijadikan motivasi atau pemberi semangat masih kurang diterapkan dalam
keluarga Greenberg, 2002. Padahal kedua dukungan yaitu self esteem dan belonging support adalah dukungan berupa pemberian pujian, pengakuan,
penghargaan, perhatian, ucapan penyemangat yang langsung berkaitan dengan afeksi, kepercayaan dan mendengarkan serta didengarkan Friedman,1998.
Secara keseluruhan kedua subjek penelitian mengalami peningkatan dukungan sosial dari keluarga, namun pada subjek 1 47 menjadi 92 meningkat 45
poin peningkatan dukungan lebih tinggi dibandingkan dengan subjek 2 49 menjadi 86 meningkat 37 poin. Hal ini dapat disebabkan pada subjek 1 memiliki
anggota keluarga lengkap yaitu suami dan anak sedangkan subjek 2 merupakan single parent dengan mengandalkan dua orang anak sehingga ia merasa tingkat
kepuasan akan dukungan masih kurang. Seperti yang diungkapkan oleh subjek 2
Universitas Sumatera Utara
bahwa dia merasa akan menjadi lebih optimal dalam mengembangkan kemampuan anak down syndrome jika ia memiliki suami dan ia merasa bahwa
teman-temannya sesama ibu down syndrome akan lebih berhasil mengasuh anak down syndrome mereka karena mendapatkan dukungan dari suami. Hal ini sesuai
dengan teori Serason dalam Kuncoro, 2002 bahwa dukungan sosial dipengaruhi oleh jumlah sumber dukungan yang tersedia dan tingkat kepuasan akan dukungan
yang diterima. Perbedaan peningkatan dukungan kedua subjek juga lebih disebabkan karena perbedaan usia dari masing-masing anggota keluarga pada
subjek 1 dan subjek 2. Dimana subjek 1 terdiri dari suami yang berusia ± 45 tahun dan anak ± 16 tahun sedangkan subjek 2 terdiri dari anak 1 yang berusia ± 14
tahun dan anak ke 2 ± 10 tahun. Faktor usia ini mempengaruhi karena orang yang berusia lebih muda cenderung untuk tidak bisa merasakan atau mengenali
kebutuhan orang lain dan juga lebih egosentris dibandingkan dengan orang yang berusia lebih tua. Selain itu seorang anak dapat menerima saudara down syndrome
dipengaruhi oleh usia anak tersebut Joosa, 2006. Seperti pada anak subjek 1 yang telah berusia ± 16 tahun tentu berbeda dalam menerima memiliki down
syndrome dibandingkan dengan anak subjek 2 yang masih berusia ± 14 tahun sehingga hal ini mempengaruhi perilaku mereka dalam memberikan dukungan
terutama berkaitan dengan membantu anak down syndrome berlatih keterampilan bantu diri.
Adapun yang menjadi kelebihan dari penelitian ini adalah selain tercapainya tujuan penelitian yaitu meningkatkan dukungan sosial dari anggota
keluarga, namun juga merubah pola pengasuhan yang diterapkan anggota
Universitas Sumatera Utara
keluarga dalam mengasuh dan membesarkan anak down syndrome dimana pada awalnya pola pengasuhan cenderung mengabaikan atau bahkan terlalu
overprotecting menjadi lebih kepada pengasuhan yang lebih mandiri dan melatih sehingga anak tersebut menjadi berkembang dan lebih adaptif untuk keterampilan
dan kegiatan bantu diri. Selain itu terjadi perubahan dalam pola komunikasi keluarga dimana pada awalnya setiap anggota keluarga tidak terbuka dalam
menyampaikan tentang apa yang diinginkan dan dibutuhkan namun saat ini menjadi lebih terbuka dan berupaya untuk lebih sensitif dengan kebutuhan
anggota keluarga yang lain. Hal lain adanya kecenderungan perubahan untuk bertahan lebih lama karena perubahan yang dilakukan adalah perilaku-perilaku
yang pernah dilakukan bukan merupakan perilaku baru sehingga tidak mengalami kesulitan untuk melakukannya selain itu perubahan perilaku merupakan
kesepakatan bersama sehingga tidak adanya pemaksaan untuk berubah. Sedangkan yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini adalah penggunaan
subjek penelitian yang terbatas pada dua keluarga sehingga tidak dapat dilakukan pengujian secara statistik untuk melakukan generalisasi. Terbatasnya jumlah
subjek penelitian dikarenakan kesulitan peneliti untuk menemukan keluarga yang bersedia untuk mengikuti penelitian. Hal ini terjadi karena pada umumnya
keluarga yang memiliki anak down syndrome cenderung merasa bahwa yang memiliki masalah adalah anak down syndrome mereka bukan keluarga mereka,
sehingga mereka merasa yang perlu diubah dan diterapi adalah anak down syndrome bukan anggota keluarga. Selain itu perbedaan waktu dan tempat
pelaksanaan terapi antara subjek 1 dan subjek 2 sehingga memungkinkan adanya
Universitas Sumatera Utara
perbedaan perlakuan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Hal ini disebabkan karena perbedaan waktu yang dapat disediakan oleh keluarga
berkaitan dengan perbedaan aktivitas keluarga. Hal lain yang menjadi keterbatasan penelitian adalah pengontrolan subjek penelitian yang hanya dibatasi
dengan subjek yang memiliki skor rendah pada skala ISEL menyebabkan adanya faktor-faktor lain seperti usia dan jumlah sumber dukungan menjadi
mempengaruhi perbedaan hasil pada subjek 1 dan subjek 2.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan program intervensi Solution Focused Family Therapy efektif dalam meningkatkan dukungan social
pada ibu dalam pengasuhan anak down syndrome. Hal tersebut dapat dilihat melalui criteria keberhasilan program intervensi yaitu:
1. Terjadinya peningkatan nilai skor ISEL adaptation sebelum intervensi dan
sesudah intervensi pada kedua subjek penelitian. Pada subjek 1 menunjukkan peningkatan dukungan social keluarga dari kategori Rendah menjadi kategori
Sangat Tinggi setelah mendapat intervensi Solution Focused Family Therapy. Sedangkan Subjek 2 menunjukkan peningkatan dukungan social keluarga dari
kategori Rendah menjadi Tinggi setelah mendapat intervensi Solution Focused Family Therapy.
2. Adanya perubahan perilaku dari anggota keluarga dalam membantu ibu
mengasuh anak down syndrome baik pada dukungan appraisal support, tangible support. self esteem support dan belonging support pada saat pretest
dan posttest.
Universitas Sumatera Utara