Tinjauan Tentang Partai Politik

B. Tinjauan Tentang Partai Politik

1. Perkembangan Partai Politik Miriam Budiarjo menjelaskan bahwa pada awal perkembangannya, akhir dekade 18-an partai politik ini mulai lahir di negara-negara Eropa Barat seperti Inggris dan Prancis, dengan gagasan bahwa rakyat merupakan faktor terpenting

dalam kegiatan penyelenggaraan negara melalui proses politik. 75 Kegiatan ini bermula guna mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja, kemudian berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para

pendukungnya menjelang masa pemilihan umum ( 76 caucus party ). “Maka pada akhir abad ke-19 lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya

berkembang menjadi penghubung ( link ) antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. 77 ”

Kemudian sejak saat itu partai politik pun semakin berkembang, yakni dengan adanya sebuah istilah pembagian tipe partai politik seperti patronage party , partai massa, partai kader, partai ideologi, atau partai asas ( Sosialisme,

75 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal 398. 76 Ibid .

Fasisme, Komunisme, Sosial Demokrat 78 ). Miriam Budiardjo menjelaskan patronage party ialah: Partai yang dalam praktiknya hanya mengutamakan kemenangan dalam

pemilihan umum, sedangkan pada masa antara dua pemilihan umum biasanya kurang aktif. Lagi pula partai ini sering tidak memiliki disiplin partai yang ketat, dan pemungutan iuran tidak terlalu dipentingkan. Partai seperti ini dikatakan sebagai partai lindungan yang dapat dilihat dalam rangka patron-client relationship , yang juga bertindak sebagai semacam

broker. 79

Miriam Budiardjo menjelaskan juga bahwa partai massa adalah: Partai yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah

anggota. Oleh karena itu ia biasanya terdiri atas pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat, yang sepakat untuk bernaung di bawahnya untuk memperjuangkan suatu program tertentu. Program ini biasanya luas dan agak kabur karena harus memperjuangkan terlalu banyak kepentingan yang berbeda-beda, dengan contoh Partai Republik dan Partai Demokrat di

Amerika Serikat. 80

Lebih lanjut Miriam Budiardjo mendeskripsikan dalam penelitiannya bahwa pengertian dari Partai Kader, Partai Ideologi, atau Partai Asas ( Sosialisme, Fasisme, Komunisme, Sosial Demokrat ) memiliki kesamaan meskipun berbeda istilah, yakni dengan dijelaskannya bahwa:

Dalam pandangan ini partai-partai kebanyakan bersandar pada asas atau ideologi atau Weltanschauung tertentu seperti Sosialisme , Fasisme , Komunisme , Kristen Demokrat , dan sebagainya. Pimpinan partai yang biasanya sangat sentralitas menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyimpang dari garis partai yang telah ditetapkan. Karena ia mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijakan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang ketat dan mengikat. Pendidikan kader sangat diutamakan dalam partai jenis ini, dan untuk

78 Ibid ., hal. 399. 79 Ibid ., hal. 398.

memperkuat ikatan bathin dan kemurnian ideologi, maka dipungut iuran secara teratur dan disebarkan organ-organ partai yang memuat ajaran-

ajaran serta keputusan-keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan. 81

Kemudian perkembangan partai politik ( progress ) itu semakin signifikan dan terpola, terlihatnya perspektif dari Otto Kricheimer yang dikutip oleh Miriam Budiardjo tentang partai politik yang telah berkembang pada era modern saat ini dengan disebut catch-all party , yaitu:

Partai yang ingin menghimpun semaksimal mungkin dukungan dari bermacam-macam kelompok masyarakat dan dengan sendirinya menjadi lebih inklusif. Timbulnya partai catch-all mencerminkan perubahan dalam keadaan politik dan sosial, terutama dengan kemajuan teknologi dan dampak dari media. Ciri khas dari partai semacam ini ialah terorganisasi secara profesional dengan staf yang bekerja penuh waktu, dan memperjuangkan kepentingan umum dari pada kepentingan suatu kelompok saja. 82

Dalam hal pandangan ini Miriam Budiardjo memberikan contoh dari jenis partai tersebut yakni “ New Labour Party di Inggris dan Partai Republik serta Partai Demokrat di Amerika. Begitu pula Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Indonesia dapat disebut dengan catch-all-

party. 83 ” Dengan beragam macam bentuk istilah pembagian tipe partai politik yang

dikemukakan oleh Miriam Budiardjo di atas, dalam perkembangan partai politik ini ada pula pandangan Richard S. Katz yang dikutip oleh A. Zarkasih mengenai klasifikasi partai politik dengan membagi tipe partai politik menjadi

81 Ibid ., hal. 399. 82 Ibid ., hal. 402.

lima tipe, yakni; Partai Elit, Partai Massa, Partai Catch-All , Partai Kartel dan Partai 84 Integratif .

Sebagaimana telah diintegrasikan dalam urutan naskah yang pertama ialah partai elit, Katz menjelaskan yakni: “Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis

kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada hubungan client (anak buah) dari elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepimpinan partai memiliki status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada pemimpin-pemimpin fraksi dan

elit politik, yang biasanya terbentuk di dalam parlemen. 85 ”

Kedua ialah partai massa, yang di jelaskan oleh Katz disini lebih memandang dari segi hubungan sosialnya, berbeda dengan pandangan Miriam Budiardjo yang meninjau dari segi sejarahnya, yakni sebagai berikut:

“Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi kerap tersingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya untuk kepentingan partai. Biasanya, partai massa

berbasiskan kelas sosial tertentu, seperti “orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas

sosial partai ketimbang ideologi atau kebijakan. 86 ”

Ketiga adalah partai catch-all , disini Katz lebih menegaskan pengertiannya dalam bentuk tujuan ideologinya secara konkrit, berbeda dengan catch-all party penyebutan istilah dari Otto Kricheimer yang dikutip oleh Miriam Budiardjo, adalah dalam bentuk wujud sosiologis dari penyebab lahirnya istilah partai tersebut. Katz menguraikannya sebagai berikut:

84 A. Zarkasih, Op. Cit., hal. 18. 85 Ibid .

“Partai jenis ini di permukaan hampir serupa dengan partai massa. Namun, berbeda dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, partai catch-all mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini berorientasi pada pemenangan pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti isu di setiap kampanye. Partai catch-all juga sering disebut sebagai Partai Electoral- Professiona

Partai Rational-Efficient l atau 87 . ”

Kemudian keempat, Katz menjelaskan adanya istilah partai kartel, yakni: “Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya jumlah pemilih atau anggota

partai. Kekurangan ini berakibat pada suara mereka di tingkat parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut, pimpinan-pimpinan partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup untuk bertahan. Dari sisi partai kartel, ideologi, janji pemilu, basis pemilih hampir sudah tidak memiliki

arti lagi. 88 ”

Lanjut kelima sebagai teori terakhirnya, Katz memiliki pandangan adanya istilah partai integratif , yakni:

“Partai jenis ini berasal dari kelompok sosial tertentu yang mencoba untuk melakukan mobilisasi politik dan kegiatan partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok. Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih, dan membuat mereka menjadi anggota partai. Sumber utama keuangan mereka adalah dari iuran anggota dan dukungan simpatisannya. Mereka melakukan propaganda yang dilakukan anggota

secara sukarela, berpartisipasi. 89 ”

Dengan sekilas perkembangan partai politik yang dipaparkan di atas, penulis menunjukan bahwa pada umumnya perkembangan partai politik itu ditentukan oleh pergantian masa dan pertukaran waktu, artinya semakin berkembang masa dengan era modern seperti saat ini, maka pola pikir ( mindset ) masyarakat dalam suatu negara, khususnya terhadap proses penyelenggaraan

87 Ibid . 88 Ibid ., hal. 19.

negara, sudah sewajarnya memiliki paradigma wawasan kebangsaan, yang kerap bersifat kritis demi mewujudkan keadilan rakyat ( democratie ), agar tidak terjadi suatu tindakan pemerintah yang sewenang-wenang. Sehingga dalam proses pertukaran waktu, maka partai politik akan selalu membenahi dirinya, guna mendapatkan dukungan dari rakyatnya, hal tersebut memang tampak terlihat karena partai politik selalu identik dengan pemerintahan, dan/atau kekuasaan yang membutuhkan suara rakyat untuk menjadi kekuatannya.

Namun ironisnya karena sikap partai politik seperti itu, seorang pakar ilmu politik sendiri seperti Miriam Budiardjo menyatakan bahwa, penelitian terhadap partai politik masih jauh dari sempurna, bahkan bisa dikatakan tertinggal, bila

dibandingkan dengan penelitian-penelitian bidang lain di dalam ilmu politik. 90 Penulis pun berpendapat, jika faktor sikap partai politik itu masih bergantung

dari suatu rezim tertentu, maka sangat sulit partai politik dapat berkembang mandiri. Dan sudah tentu, korelasinya terhadap penelitian partai politik yang dipelopori oleh kebanyakan pakar-pakar ilmu politik, masih sangat minim di dunia pustaka.

Hal ini pula yang menjadikan dasar penulis, untuk mengkaji tinjauan tentang partai politik dari perspektif negara hukum, khususnya Hukum Tata Negara yang memiliki tanggung jawab disiplin ilmu dalam proses penyelenggaraan negara. Kemudian, dengan menjelaskan secara ringkas perkembangan partai politik tersebut, dan sebelum melakukan pembahasan Hal ini pula yang menjadikan dasar penulis, untuk mengkaji tinjauan tentang partai politik dari perspektif negara hukum, khususnya Hukum Tata Negara yang memiliki tanggung jawab disiplin ilmu dalam proses penyelenggaraan negara. Kemudian, dengan menjelaskan secara ringkas perkembangan partai politik tersebut, dan sebelum melakukan pembahasan

2. Definisi Partai Politik Banyak sekali sejumlah pandangan para ahli terhadap definisi mengenai partai politik, seperti salah satunya adalah Miriam Budiardjo, yang berjasa memelopori disiplin ilmu mengenai pemahaman terhadap partai politik, dari perspektif ilmu politik. Miriam Budiardjo secara umum menjelaskan, bahwa

partai politik adalah “suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini

ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. 91 ”

Kemudian, Miriam Budiardjo mencoba menjelaskan definisi partai politik lebih komprehensif, dengan mengutip pendapat para ahli dari ilmu klasik, dan kontemporer. Seperti yang dikemukakan oleh Carl J. Friedrich, sebagai berikut:

“Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil (

A political, party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of the party,

through such control ideal and material benefits and advantages 92 ). ”

91 Ibid ., hal. 403.

Lebih lanjut, Sigmund Neumann dalam buku karyanya, Modern Political Parties , mengemukakan definisi sebagai berikut:

“Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda (

A political party is the articulate organization of society’s active political agents; those who are concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding divergent

views 93 ). ”

Miriam Budiardjo juga mengutip pendapat dari Giovanni Sartori, yang juga turut merintis studi tentang kepartaian, dan karyanya juga menjadi klasik serta acuan penting, yakni menuliskannya sebagai berikut:

“Partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan, melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon- calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik ( A party is any political group that present at elections, and is capable of placing through elections

candidates for public office ). 94 ”

Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh Miriam Budiardjo di atas, serta dengan meninjau beberapa pendapat para ahli dari ilmu klasik dan kontemporer, penulis juga akan mencantumkan pendapat A. Zarkasih yang menyimpulkan definisi partai politik secara sederhana dari perspektif Hukum Tata Negara, yakni dengan lebih memperhatikan proses hukum dari tujuan partai politik tersebut, sebagaimana dijelaskannya bahwa : “Partai politik adalah organisasi politik yang bersifat resmi, yang bertujuan memenuhi kepentingan

93 Ibid .

para pemilihnya dengan cara menguasai pemerintahan dan menempatkan anggota-anggota mereka melalui mekanisme pemilihan umum. 95 ”

Maka, jika ditinjau dari pendapat A. Zarkasih yang mendefinisikan partai politik dari perspektif Hukum Tata Negara, penulis menarik kesimpulan bahwa, artinya partai politik adalah salah satu sumber terpenting dari proses peyelenggaraan negara, berbentuk organisasi resmi yang anggotanya memiliki wawasan kebangsaan, bertujuan untuk turut andil dalam menjalankan roda pemerintahan, dengan menggunakan kekuatan dari rakyat guna menegakan kedaulatan rakyat ( democratie ), yang tentunya berdasarkan kedaulatan hukum ( nomocratie ) dan/atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

3. Fungsi Partai Politik Dalam pembahasan ini, penulis akan lebih meninjau pengertian fungsi partai politik dari pendapat para ahli yang telah dipelopori Miriam Budiardjo, bahwa fungsi partai politik dapat dilihat dari negara demokratis, otoriter dan negara-negara berkembang yang berada dalam transisi kearah demokrasi. 96

Sebagaimana pandangan Miriam Budiardjo mengenai fungsi partai politik yang berimplikasi pada pelaksanaan tugas atau fungsi partai di masing-masing negara, sebagai berikut:

“Di negara demokrasi partai relatif dapat menjalankan fungsinya sesuai harkatnya pada saat kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi warga

95 A. Zarkasih, Op. Cit., hal. 13.

negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya di hadapan penguasa. Sebaliknya di negara otoriter, partai tidak dapat menunjukan harkatnya, tetapi lebih

banyak menjalankan kehendak penguasa. 97 ”

Lebih lanjut, di negara demokrasi terlihat dengan adanya fungsi partai politik sebagai sarana komunikasi politik, yang lebih mengutamakan pendapat dan aspirasi masyarakat yang berbeda-beda, proses ini dinamakan penggabungan interest aggregation kepentingan ( 98 ). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur, proses ini dinamakan

perumusan kepentingan ( interest articulation 99 ). Hal demikian terlihat, bahwa partai politik merumuskannya dalam bentuk usul kebijakan, yang dimasukkan ke dalam program atau platform partai ( goal for mulation ), melalui parlemen

kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum ( 100 public policy ). Disini partai politik memainkan peran penting sebagai penghubung antara

rakyat, dan pemerintah. Peran penting yang dimaksud oleh Miriam Budiardjo disini adalah peran partai yang diumpamakan sebagai jembatan, “karena di satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat. 101 ”

97 Ibid . 98 Ibid . 99 Ibid .

100 Ibid . hal. 406.

Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik terlihat disebut sebagai perantara ( 102 broker ) dalam suatu bursa ide-ide ( clearing house of ideas ). Yang

dijelaskan oleh Miriam Budiardjo secara sederhana bahwa partai politik bagi pemerintah alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai pengeras suara. 103 Akan tetapi pada peristiwa konkrit yang terjadi ( das sein ) di negara berkembang seperti Indonesia, sarana komunikasi politik ini hanya terlihat saat pesta demokrasi digelar, contohnya pada saat pilpres, pileg dan pemilukada saja. Dengan begitu, sudah tentu masyarakat menjadi sulit untuk dapat menyalurkan aspirasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, fungsi partai politik sebagai sarana komunikasi pun hanya menjadi utopia belaka.

Selanjutnya, fungsi partai politik di negara demokrasi yakni sebagai sarana sosialisasi politik. Sebagaimana Miriam Budiardjo mengutip pendapat seorang ahli sosiologi politik M. Rush:

“Sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali sistem politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan presepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik ( Political socialization may be defined is the process by wich individuals in

a given society become acquainted with the political system and wich to a certain degree determines their perceptions and their perceptions and their reactions to political phenomena 104 ). ”

Dalam hal ini, Miriam Budiardjo menyatakan pendapatnya bahwa, sosialisasi politik ini adalah salah satu faktor terpenting untuk dapat terbentuknya budaya

102 Ibid . 103 Ibid .

politik ( political culture ), yaitu bagian dari proses yang menentukan norma- norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. 105

Maka penulis menarik kesimpulan, fungsi terhadap sarana sosialisasi politik ini adalah, suatu proses dan/atau sikap partai politik dengan menitikberatkan orientasi kepada masyarakat, khususnya untuk mengenali dan menentukan hak serta kewajiban masyarakat, dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, jika fungsi ini tidak dapat terlaksana dengan baik, sarana sosialisasi politik ini akan berujung terhadap kebohongan publik, sehingga mengakibatkan kesengsaraan pula untuk masyarakat. Salah satu contoh yang kerap terjadi yaitu, partai politik hanya menciptakan pencitraan saja, seperti memberikan harapan berupa janji-janji yang nanti belum tentu terlaksana, dilakukan hanya sebatas untuk memperoleh kepercayaan dari rakyatnya. Partai politik pun seakan menghalalkan tindakan tersebut, dan lebih ekstrimnya lagi adalah, dalam ilmu politik tindakan tersebut termasuk dalam strategi politik, yang sama sekali sangat jauh dan bertentangan dari konsep kedaulatan rakyat ( democratie ) dan kedaulatan hukum ( nomocratie ).

Di dalam negara demokrasi, partai politik juga berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik. Jika meninjau perspektif dari Miriam Budiardjo, fungsi sarana rekrutmen politik, ialah:

“Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepimpinan, baik kepimpinan internal partai maupun kepimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit untuk menentukan pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk masuk ke bursa kepimpinan nasional. 106

Miriam Budiardjo juga mengemukakan pendapatnya tentang tujuan dari fungsi partai politik sebagai sarana rekrutmen politik, yakni: rekrutmen partai politik untuk menjamian kontinuitas dan kelestaraian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin, dengan

melalui kontak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain. 107 Dari pemaparan Miriam Budiardjo mengenai fungsi partai politik sebagai

sarana rekrutmen politik, yakni dapat diartikan juga, partai politik sudah tentu akan disiplin terhadap seleksi calon pemimpin internalnya maupun pemimpin nasional. Karena mau bagaimanapun juga, apabila telah menjadi pimpinan internal partai politik, maka akan berpengaruh kepada nasib suatu partai politik itu kedepan, dan menjadi pemimpin nasional yang berasal dari partai politik, berdampak juga terhadap kehidupan masyarakat suatu negara.

Jadi, seharusnya dalam mengimplementasi fungsi partai politik sebagai sarana rekrutmen politik, partai politik harus lebih cermat dalam menentukan kader-kadernya, bukan melihat dari suatu unsur kepentingan politik saja, melainkan efesiensi serta kelayakan anggota partai politik menjadi dasar utama

106 Ibid ., hal. 408.

bagi partai politik untuk memberikan kewenangan yang nantinya berpengaruh besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan cara memperlihatkan mekanisme rekrutmen ini secara publik, dalam artian turut andilnya masyarakat seperti, akademisi, lsm, maupun media sebagai masukan dan penentu sarana rekrutmen politik tersebut.

Kemudian, dalam paham negara demokrasi, partai politik turut berfungsi sebagai sarana pengatur konflik ( conflict management ). Yang menjadi dasar pemikiran Miriam Budiardjo terhadap fungsi ini, ialah dengan dikutipnya pendapat ahli, Arend Lijphart . Menurut Lijphart: “Perbedaan-perbedaan atau perpecahan di tingkat massa bawah dapat diatasi oleh kerja sama di antara elite- elite politik. ( Segmented or subcultural cleavages at the mass level could be overcome by elite cooperation 108 ). ”

Dalam konteks ini, Miriam Budiardjo menjelaskan para pemimpin partai adalah elite politik. Maka elite partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya. 109 Sehingga secara ringkas Miriam Budiardjo menarik kesimpulan, bahwa: Partai politik dapat menjadi penghubung psikologis dan organisasional antara warga negara dengan pemerintahnya, dengan cara melakukan konsolidasi dan artikulasi

berbagai tuntutan yang berkembang di kelompok masyarakat. 110

108 Ibid ., hal. 409. 109 Ibid .

Artinya, partai politik dalam fungsi sarana pengatur konflik ( conflict management ) turut memiliki tanggung jawab terhadap penyelesaian suatu masalah ( problem solving ) yang dihadapi oleh negara. Memberikan teladan yang baik, dengan memperlihatkan strategi yang lebih mengutamakan jalan keluar dari suatu masalah, bukan menambah beban bagi negara. Seperti saat ini, hal tersebut terlihat partai politik hanya sibuk dengan ideologinya masing- masing, lebih mengutamakan kepentingan partai politiknya, sehingga dapat mengakibatkan pertentangan pendapat antar sesama, yang malah menimbulkan efek dari suatu konflik baru. Yang lebih ironisnya, beberapa partai politik kerap menghadapi konflik internalnya sendiri. Bagaimana bisa jika partai politik mampu menyelesaikan permasalahan besar suatu negara, jika partai politik tersebut tidak mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri.

Dimensi lain dari fungsi partai politik selanjutnya, yakni pemahaman dari fungsi partai politik di negara otoriter. Berbeda dengan fungsi partai politik yang berkembang pada paham negara demokrasi. Perbedaan tersebut terlihat dari bagian terdahulu yang telah dipaparkan oleh penulis, bahwa khusus pada paham negara otoriter, fungsi partai politik lebih cendrung di intervensi oleh pemerintahan.

Hal demikian tampak terlihat jelas dari perspektif Miriam Budiardjo, yang memberikan salah satu contoh, bahwa pemahaman partai politik di negara otoriter, dapat ditinjau dari paham komunisme di Uni Soviet masa lampau Hal demikian tampak terlihat jelas dari perspektif Miriam Budiardjo, yang memberikan salah satu contoh, bahwa pemahaman partai politik di negara otoriter, dapat ditinjau dari paham komunisme di Uni Soviet masa lampau

dengan partai komunis, akan selalu mencari berbagai macam cara untuk memiliki kekuasaan penuh di pemerintahan, khususnya dalam badan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Dalam situasi seperti itu, salah satu cara yang dilakukan oleh partai komunis adalah dengan mencari dukungan seluas-luasnya, misalnya dengan

jalan memupuk rasa tidak puas di kalarangan rakyat. 112 Akhirnya, sejak 1917 sampai 1991 kekuasaan penuh di Uni Soviet diduduki partai komunis, bertujuan

dengan membawa masyarakat ke arah tercapainya masyarakat yang modern dengan ideologi komunis, dan partai berfungsi sebagai pelopor revolusioner. 113

Selanjutnya Miriam Budiardjo menjelaskan beberapa fungsi partai komunis di negara otoriter, yang pelaksanaannya sangat jauh berbeda dengan di negara-

negara demokrasi, yakni: “Misalnya dalam rangka berfungsi sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan informasi untuk mengindoktrinasikan

masyarakat dengan informasi yang menunjang usaha pimpinan partai. Arus informasi lebih bersifat dari atas ke bawah, dari pada arus dua arah. 114 ” Artinya,

sudah tentu jelas, dalam fungsi ini partai memiliki strategi komunikasi kepada pendukungnya, yang bertujuan untuk menutupi kepentingan terselubung antara

111 Ibid ., hal. 410. 112 Ibid . 113 Ibid ., hal. 411.

partai bersama pemerintah dengan berbagai dalih pemahaman ke masyarakat atau doktrin, bahwa partai komunis lah yang paling benar ideologinya. Sehingga, apapun kebijakan pemerintah yang berasal dari partai komunis tidak dapat ditentang, dan pendapat serta kritik masyarakat yang memiliki wawasan kebangsaan, tidak akan berguna dalam proses penyelenggaraan negara.

Kemudian, fungsi partai komunis sebagai sosialisasi politik, lebih menekankan pada aspek pembinaan warga negara kearah kehidupan dan cara berpikir sesuai dengan pola yang ditentukan oleh partai. Proses sosialisasi

dilakukan secara ketat dari dominasi partai di segala sektor kehidupan rakyat. 115 Dengan pemahaman ini, maka tujuan sosialisasi politik yang menumbuhkan

budaya politik ( political culture ) masyarakat terhadap suatu bangsa, akan menimbulkan paradigma bahwa dalam menjalankan proses penyelenggaraan negara, hanya bisa hidup dan tumbuh dari partai komunis saja. Tentunya kedepan, partai selain dari partai komunis, tidak akan dapat diterima dan diakui oleh masyarakat pendukungnya. Sehingga, dominan mayoritas suara rakyat akan lebih menguatkan kekuasaan partai komunis di pemerintahan.

Ada juga fungsi partai komunis di negara otoriter, sebagai sarana rekrutmen politik. Namun dalam hal ini, tidak semua masyarakat dapat masuk menjadi anggotanya, melainkan hanya yang mempunyai kemampuan tertentu, dengan standar-standar ketat yang telah ditetapkan oleh partai komunis. 116

115 Ibid .

Maka, terlihat nyata ketidakadilan terhadap masyarakat untuk turut ikut dalam bagian dari proses penyelenggaraan negara.

Dengan demikian, Miriam Budiardjo telah memaparkan perbedaan yang mendasar dari fungsi partai politik di negara demokrasi dan di negara otoriter. Miriam Budiardjo menyimpulkan perbedaan tersebut dengan turut mengutip pendapat Sigmund Neumann, yakni sebagai berikut:

“Jika di negara demokrasi partai mengatur keinginan dan aspirasi golongan-golongan dalam masyarakat, maka partai komunis berfungsi untuk mengendalikan semua aspek kehidupan secara monolitik. Jika dalam masyarakat demokratis partai berusaha menyelenggarakan integrasi warga negara ke dalam masyarakat umum, peran partai komunis ialah untuk memaksa individu agar menyesuaikan diri dengan suatu cara hidup yang sejalan dengan kepentingan partai ( enforcement of conformity ). Kedua

fungsi ini diselenggarakan melalui propaganda dari atas ke bawah. 117 ”

Dalam hal ini, pandangan Neumann yang dikutip oleh Miriam Budiardjo, intinya merujuk pada perbedaan dalam persamaan, artinya fungsi partai politik pada paham negara demokratis maupun di negara otoriter, meskipun memiliki perbedaan ideologi, namun tetap sama dengan segi tujuan dibentuknya sebuah partai, yakni memiliki tujuan utama untuk dapat menduduki kekuasaan di internal partai dan maupun kekuasaan di pemerintahan, hanya saja cara atau prosesnya yang berbeda. Akan tetapi, perlu diingat bahwa implementasi dari fungsi partai politik ini, memiliki dampak yang besar tentunya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Lebih lanjut, adalah pemahaman fungsi partai politik di negara-negara berkembang. Disini, Miriam Budiardjo menjelaskan pandangannya berdasarkan dari sosiologi kehidupan masyarakat, yakni dengan melihat adanya kesenjangan sosial yang timpang dalam hidup bermasyarakat, khususnya di negara yang masih berkembang. Sebagaimana Miriam Budiardjo menyatakan pendapatnya, bahwa:

Di negara-negara berkembang, partai politik berhadapan dengan berbagai masalah seperti kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, pembagian pendapatan yang tidak merata, hingga tingkat buta huruf yang tinggi. Terlihat dengan beban yang diberikan kepada partai terlalu berat, dan harapan yang ditujukan kepada partai politik terlampau tinggi. 118

Dengan begitu, partai politik akan menghadapi hambatan-hambatan untuk menjalankan fungsi seperti pada umumnya pemahaman fungsi partai politik di negara demokrasi dan negara otoriter.

Khusus pada paham negara berkembang, fungsi partai politik sangat sulit untuk menjalankan fungsi sarana pengatur konflik ( conflict management ), bahkan di beberapa negara berkembang yang memiliki paham komunisme,

seperti Korea Utara, kebanyakan tidak memiliki dukungan dari rakyatnya. 119 Hal demikian diungkapkan oleh Miriam Budiardjo, karena:

Fungsi yang sukar untuk dilaksanakan ialah sebagai jembatan antara yang memerintah dan yang diperintah. Golongan yang memerintah mencakup orang yang kaya, sedangkan golongan yang diperintah mencakup orang miskin. Selain itu, partai politik tidak mampu menengahi pertikaian dalam masyarakat, maupun persaingan antar partai yang dapat memperuncing situasi konflik, dan malahan menimbulkan pertikaian baru. Keadaan

118 Ibid ., hal. 413.

semacam ini dapat mengalihkan perhatian, jauh dari usaha mengatasi masalah kemiskinan dan masalah-masalah pembangunan lainnya yang

menjadi sasaran utama dalam negara berkembang. 120

Artinya pada sisi ini, fungsi partai politik memiliki kinerja yang semestinya lebih ekstra dominan dari partai-partai yang berada di negara maju atau yang sudah mapan kehidupan politiknya. Tetapi pada kenyataannya, sikap partai- partai di negara berkembang masih bersifat pasang surut untuk menjalankan fungsi dan tugasnya, contohnya seperti dilema dalam mendahulukan kepentingan nasional atau kepentingan partai, hal inilah yang mengakibatkan partai di negara berkembang sukar untuk mendapatkan kepercayaan rakyatnya, dan itu dikarenakan faktor dari kategori kehidupan masyarakatnya juga yang masih berkembang.

Namun pada hakikatnya, fungsi partai politik yang berada di posisi negara berkembang, negara demokrasi, maupun di negara otoriter, sudah tentu banyak memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, akan tetapi pada umumnya, partai politik masih tetap dianggap penting dalam proses penyelenggaraan negara. Karena, partai berguna sebagai proses atau sarana untuk memperoleh kekuasaan dan kedudukan politik, seperti kendaraan yang dikemudikan oleh masyarakat suatu negara, dengan bertujuan untuk mendapatkan akses penuh di internal partai serta untuk mendapatkan kekuasaan pula di pemerintahan.

Setelah memaparkan perkembangan partai politik secara singkat, definisi, dan fungsinya, tentu telah dapat ditarik kesimpulan bahwa partai politik ialah Setelah memaparkan perkembangan partai politik secara singkat, definisi, dan fungsinya, tentu telah dapat ditarik kesimpulan bahwa partai politik ialah

Di Indonesia, fungsi partai politiknya termasuk dalam golongan paham negara berkembang. Kelemahan pada partai yang berada dalam paham negara berkembang tatanan demokratis seperti Indonesia, dapat terlihat dengan ditemukannya partai-partai politik yang malah menciptakan permasalahan krusial, seperti hal dalam perbedaan pendapat dan berujung kepada konflik internal. Yang lebih ekstrimnya, pemerintahan turut pula mengambil peran dengan cara mengintervensi, padahal di dalam paham negara berkembang pemerintahan tentunya memiliki kewajiban untuk menghadapi masalah- masalah pokok yang menjadi sasaran negara berkembang, khususnya seperti permasalahan kesenjangan sosial masyarakat yang begitu dominan setiap tahunnya.

Karena itu, telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, yang mana tujuan dari Undang-Undang tersebut ialah untuk mewujudkan penataan dan penyempurnaan partai politik di Indonesia, sehingga partai politik dapat mandiri dari intervensi pihak manapun dan pemerintah pun tidak perlu begitu berlebihan berada dalam bayangan kepentingan suatu partai.

Dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, di dalam Undang-Undang ini memberikan kewenangan kepada partai politik untuk menyelesaikan Dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, di dalam Undang-Undang ini memberikan kewenangan kepada partai politik untuk menyelesaikan

Dengan begitu, fungsi partai politik di Indonesia yang masih dikategorikan dalam golongan paham negara berkembang, tentu akan dapat menjawab beban negara sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Dan dapat membawa perkembangan budaya politik ( political culture ) bangsa yang mengharuskan untuk tunduk terhadap kedaulatan hukum ( nomocratie ).