Tinjauan Tentang Mahkamah Partai
C. Tinjauan Tentang Mahkamah Partai
1. Mahkamah Partai Kehadiran Mahkamah Partai di Indonesia merupakan gagasan pemrakarsa dari DPR atas kesepakatan bersama pemerintah, terwujud dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Sebagaimana tujuan dari Undang-Undang Partai Politik ini ialah, untuk mewujudkan penataan dan penyempurnaan partai politik, yang pada prinsipnya membangun sikap partai yang terpola dan sistematik. Sehingga, partai dapat mengoptimalkan fungsinya kedalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hasil dari perubahan Undang-Undang Partai Politik ini, ialah mengenai persoalan yang mendasar terhadap kemandiran partai politik di Indonesia. Hal itu juga disebutkan tempo lalu yang dimuat dalam salah satu media massa, sehingga dapat dirangkum oleh penulis, yakni tentang penjelasan Wakil Ketua Komisi II DPR RI periode 2009-2014 Ganjar Pranowo, mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, tertulis sebagai berikut:
Konflik internal partai politik diselesaikan di internal partai, dan menimbulkan istilah baru, yakni Mahkamah Partai. Sehingga perselisihan internal partai politik, tidak harus diselesaikan di pengadilan. Karena saat itu Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Partai Politik, memiliki pemikiran adanya rasa ketidakpercayaan menyelesaikan perselisihan internal partai di pengadilan, karena bisa berpihak atau di intervensi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Namun demikian, ada permasalahan lanjutan atas Mahkamah Partai ini, yang mau tidak mau mesti dimasukkan ke dalam AD dan ART partai, jadi sudah tentu setiap partai politik memiliki Mahkamah Partai. Kemudian, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Partai Politik akhirnya menyepakati penyelesaian masalah internal partai politik diselesaikan dalam dua tingkat, yaitu tingkat pertama memberikan penyelesaian di internal partai bersama Mahkamah Partai, dan tingkat kedua jika tidak dapat diselesaikan secara internal, baru dipersilahkan ke pengadilan. 121
Maka dengan hadirnya istilah Mahkamah Partai, adalah salah satu pembuktian dari terobosan kinerja fungsi partai politik pada paham negara berkembang tatanan demokratis seperti Indonesia yang patut diberi apresiasi, karena bisa menciptakan suatu karakter norma baru yang kelak menjadi norma
121 www.tribunnews.com, Mahkamah Partai Jadi Hakim Parpol, 13 Desember 2010, 121 www.tribunnews.com, Mahkamah Partai Jadi Hakim Parpol, 13 Desember 2010,
2. Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Dengan merujuk dari risalah rapat panitia kerja (panja) pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, yang menyatakan untuk hadirnya istilah Mahkamah Partai dalam tubuh partai adalah buah pemikiran dari pemerintah yang diwakilkan oleh Dirjen Administrasi Hukum, kemudian dibahas melalui panitia kerja dengan butir-butir yang dapat dirangkum oleh penulis, yakni sebagai berikut;
a. Mahkamah Partai adalah bentuk penyelesaian sengketa internal partai di luar pengadilan;
b. Setiap partai memiliki Mahkamah Partai yang telah diatur dalam AD dan ART masing-masing partai;
c. Mekanisme penunjukan anggota Mahkamah Partai sekurang-kurangnya berjumlah lima, tujuh hingga sembilan, dan dilaporkan ke Kementerian Hukum dan Ham oleh Ketua DPT, Ketua Umum, dan Sekjen partai;
d. Mekanisme beracara Mahkamah Partai diatur dalam AD dan ART masing- masing partai;
e. Dalam penyelesaian sengketa internal partai oleh Mahkamah Partai diberikan estimasi waktu selama enam puluh (60) hari;
f. Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara internal; f. Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara internal;
Maka dengan kesimpulan dari perumusan tersebut, panitia kerja menginginkan harapan yang lebih terhadap partai, untuk dapat menyelesaikan perselisihan sengketa internal partainya melalui kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Partai, sehingga dapat mewujudkan penataan dan penyempurnaan partai dengan asas demokratis dan kemandirian partai secara akuntabel.
Di bagian terdahulu sudah disinggung bahwa, untuk merumuskan norma hukum yang konkret dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus berlandaskan dari norma hukum yang baik dan disertai juga asas hukum yang baik. Seperti yang telah tertera di atas, singkatnya Mahkamah Partai merupakan bentuk perwujudan dari salah satu karakter norma hukum tersebut. Pengertian dari norma itu sendiri ialah, kaidah, patokan atau ukuran sebagai pedoman dalam berperilaku atau bertindak dalam kehidupan. Maka secara abstrak norma itu adalah cikal bakal untuk menjadi suatu peraturan perundang- undangan.
Sebagaimana Hans Kelsen berpendapat bahwa: “Norma merupakan makna
dari suatu tindakan yang memerintahkan, mengizinkan atau menguasakan perilaku tertentu. 122 ” Maka norma disini dapat ditafsirkan sebagai suatu
keabsahan yang kelak menjadi norma hukum (dalam bahasa jermannya rechts
122 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Cet. 2, 122 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Cet. 2,
Sedangkan aturan hukum ( rechts satz ) telah dijelaskan oleh Hans Kelsen secara tegas yaitu konsekuensi atau sanksi tertentu dari norma hukum yang ditetapkan menjadi tatanan hukum itu mesti dilaksanakan. 123 Dengan begitu lahirnya aturan hukum berbentuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, yang semestinya menjadi pedoman partai-partai politik di Indonesia untuk dapat menjalankan kewenangannya dengan baik.
Lebih lanjut, Hans Kelsen menjelaskan korelasi norma hukum dengan norma dasar, jika dalam hal menciptakan norma hukum haruslah berlandaskan pula dari norma dasar, sebagaimana tertulis sebagai berikut:
“Tindak penciptaan norma-norma hukum di anggap sebagai obyek pengetahuan hukum bila norma-norma itu ditetapkan oleh norma hukum; sedangkan norma dasar ( grundnorm ), yang merupakan alasan utama bagi keabsahan norma-norma ini, tidak diciptakan oleh kehendak yang sama
sekali riil, tetapi diandaikan dalam pemikiran hukum. 124 ”
Artinya, jika menciptakan suatu norma hukum, harus dilandasi dari norma yang berada di atasnya, dan norma di atas harus dilandasi dari norma di atas nya pula, hingga sampai ke norma yang tertinggi yaitu norma dasar ( grundnorm ) sebagai dasar dari segala dasar sumber pemikiran hukum.
Dengan demikian, yang menjadi norma dasar ( grundnorm ) di Indonesia adalah Pancasila sebagai ideologi negara. Maka semakin jelas istilah terhadap
123 Ibid ., hal. 82.
Mahkamah Partai yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, hal itu disebabkan karena Undang-Undang ini dibentuk dari tatanan norma yang telah dijelaskan oleh Hans Kelsen, atau di Indonesia dapat disebut sebagai hirearki peraturan perundang-undangan. Sebagaimana Undang-Undang Partai Politik ini dibentuk berdasarkan dari norma di atasnya yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian, tentunya dasar pemikiran Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai sumber hukum, berlandaskan dari norma dasar ( grundnorm ) sebagai dasar dari segala dasar sumber pemikiran hukum, yakni berasal dari semangat Pancasila.
Jadi, pada hakikatnya keabsahan dalam terbentuknya aturan hukum berupa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, adalah bersifat mutlak. Khususnya dalam menghadirkan Mahkamah Partai atas dasar dari pemikiran norma hukum untuk menyelesaiakan sengketa internal partai adalah bentuk implikasi dari fungsi partai, agar dapat terjalankan dengan baik, dan partai- partai politik di Indonesia dapat mandiri tanpa ada intervensi dari pihak manapun.
3. Pendapat Para Ahli Dalam metode penelitian hukum normatif, untuk membangun konsep dan teori sudah tentu lebih komprehensif (menyeluruh) jika ditinjau dari pendapat para ahli pula, karena turut menjadi sumber pemikiran guna menelaah 3. Pendapat Para Ahli Dalam metode penelitian hukum normatif, untuk membangun konsep dan teori sudah tentu lebih komprehensif (menyeluruh) jika ditinjau dari pendapat para ahli pula, karena turut menjadi sumber pemikiran guna menelaah
produk perundang-undangan, putusan hakim atau doktrin. 125 ” Dalam hal ini, penulis akan merangkum pendapat para ahli untuk menarik penalaran hukum
atas istilah Mahkamah Partai yang hanya hadir di bumi Indonesia. Sebagaimana Bahder Johan Nasution menegaskan bahwa: “Dalam ciri khas penalaran hukum itu secara implisit terkandung analogi, yakni membanding-bandingkan hal atau kejadian untuk menemukan kesamaan dan perbedaan, untuk kemudian berdasarkan temuan itu menarik kesimpulan. 126 ”
Maka, untuk dapat menarik kesimpulan penulis akan memaparkan pemahaman beragam pendapat para ahli, yang memiliki kesamaan pendapat terhadap penulis maupun pendapat berbeda ( dissenting opinion ) dari penulis. Pada bagian terdahulu telah disinggung juga pendapat dari Saldi Isra seorang pakar Hukum Tata Negara mengenai permasalahan mendasar yang terjadi pada Mahkamah Partai. Kemudian penulis akan turut memaparkan pendapat yang dikemukakan oleh pendapat ahli Hukum Tata Negara lainnya, yaitu Refly Harun yang mengutamakan pengertian dasar dari Mahkamah Partai itu sendiri, dengan merujuk contoh kasus dari PPP (Partai Persatuan dan Pembangunan) dan Partai Golkar, yang memuat tulisannya sebagai berikut:
125 Bahder Johan Nasution, Op. Cit., hal. 109.
“Jalan mahkamah berbeda dengan jalan rekonsiliasi, mediasi, dan arbitrase yang lebih mengandalkan kesepakatan pihak-pihak bertikai. Jalan mahkamah adalah jalan pemaksaan. Suka atau tidak, pihak yang berselisih harus melalui jalan mahkamah. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta atas Konflik Golkar, yang menitahkan jalan mahkamah terlebih dulu dalam penyelesaian sengketa internal sudah sangat benar. Mahkamah Partai politik dibayangkan sebagai jalan akhir sehingga putusannya dikatakan final dan mengikat. Nyatanya, saat dua konflik terjadi, dalam internal PPP dan Golkar, Mahkamah Partai Politik tak mampu menyelesaikan misi sucinya. Sebagian karena campur tangan kekuasaan, yang menyebabkan misi sucinya. Sebagian karena campur tangan kekuasaan, yang menyebabkan konflik harus menempuh jalan panjang berliku untuk sampai pada penyelesaian akhir. Sebagian lagi karena problem Mahkamah Partai itu sendiri. 127 ”
Artinya, hadirnya istilah Mahkamah Partai yang dijelaskan secara singkat oleh Refly Harun adalah bentuk perubahan yang nyata dari Undang-Undang Partai Politik sebelum di revisi, karena Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, menjelaskan permasalahan internal partai hanya diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, bahwa: Pasal 32 (1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan dengan cara musyawarah untuk
mufakat. (2) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan Partai Politik ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan.
(3) Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan di maksud ayat (2) dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART.
127 www.setneg.go.id, Sengkarut Konflik Parpol, 24 Maret 2015, Diakses tanggal 26
Kemudian setelah di revisi, partai politik memiliki kewenangan dalam hal penyelesaian sengketa internal partai melalui Mahkamah Partai yang bersifat final dan mengikat, hal ini didasarkan dari Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, sebagai berikut: Pasal 32 (1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik
sebagaimana diatur di dalam AD dan ART. (2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.
(3) Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh pimpinan Partai Politik kepada Kementrian. (4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari.
(5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.
Dengan demikian, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pada Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dapat terlihat secara jelas norma hukum yang di dalamnya terkandung makna konsep negara hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Irfan Fachruddin dengan mengutip pendapat dari Azhary, menjelaskan empat unsur utama negara hukum paham rechtsstaat dan masing- masing unsur utama mempunyai unsur turunan, yakni tertulis sebagai berikut:
a. Adanya kepastian hukum;
1) Asas legalitas;
2) Undang-Undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, hingga warga dapat mengetahui apa yang dapat diharapkan;
3) Undang-undang tidak boleh berlaku surut;
4) Hak asasi dijamin oleh Undang-Undang;
5) Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain.
b. Asas persamaan;
1) Tindakan yang berwenang diatur dalam Undang-Undang dalam arti materiil;
2) Adanya pemisahan kekuasaan.
c. Asas demokrasi;
1) Hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara;
2) Peraturan untuk badan yang berwenang ditetapkan oleh parlemen;
3) Parlemen mengawasi tindakan pemerintah.
d. Asas pemerintah untuk rakyat;
1) Hak asasi dijamin dengan Undang-Undang Dasar;
2) 128 Pemerintahan secara efektif dan efesien.
Artinya, posisi Mahkamah Partai semestinya sangat kuat di negara hukum, karena lahir dan/atau disandingkan dari konsep negara hukum paham rechtsstaat . Demikian pula bila disandingkan dengan paham negara hukum konsep the rule of law yang lebih mementingkan tiga unsur berupa; (a) Supremacy of law (supremasi hukum); (b) Equality before the law (persamaan dihadapan hukum); (c) Constitution based on individual right (konstitusi yang
didasarkan kepada hak-hak perorangan). 129 Lebih lanjut, merujuk doktrin sarjana lainnya, yakni Yanda Zaihifni Ishak
berpendapat bahwa: “Mahkamah Partai di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
diposisikan sebagai lembaga profesional yang terdiri dari ahli-ahli atau orang-orang yang mengetahui persis kondisi partai politik tersebut. Keberadaan kewenangan sengketa kepengurusan diberikan kepada Mahkamah Partai bisa dimaklumi dan dilatarbelakangi hal-hal sebagai berikut; (a) Pengadilan sebisa mungkin menghindari perkara-perkara yang menyangkut politik supaya pengadilan tidak terbawa arus politik; (b)
128 Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Cet. 1, P. T. Alumni, Bandung, 2004, hal. 113.
Kasus-kasus di pengadilan sudah menumpuk dan jangan sampai pengadilan menjadi keranjang sampah kasus-kasus politik; (c) Pengadilan menghindarkan diri dari kerugian menangani sengketa politik seperti perusakan sarana dan prasarana. 130 ”
Dari pemaparan Zaihifni dapat disimpulkan yakni, mengutamakan prinsip kedaulatan hukum ( nomocratie ) dalam paham negara hukum rechtsstat bahwa, pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain. Karena, pengadilan disini lebih mengutamakan untuk pertikaian atau permasalahan yang diakibatkan dari penerapan hukum publik, yang mana sangat berbeda dengan permasalahan pada sengketa internal partai dengan perkara-perkara yang menyangkut kepentingan politik tentunya. Sehingga, pengadilan dapat bersih menegakkan hukum tanpa harus di intervensi oleh pihak yang punya kepentingan politik.
Kemudian meninjau pendapat berbeda ( dissenting opinion ) dari para ahli, salah satunya yang dikemukakan oleh Muhammad Ilham Hermawan seorang akademisi dari Universitas Indonesia, yang menjelaskan posisi Mahkamah Partai bukanlah bentuk dari badan peradilan seperti yang tercantum dalam konstitusi, sebagaimana tertulis sebagai berikut:
“Tuntutan untuk mengakui bahwa Mahkamah Partai merupakan badan peradilan, hendaknya perlu memperhatikan kembali substansi Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya yakni lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, telah secara limitatif membatasi ruang lingkup badan peradilan. Ketentuan konstitusional tersebut telah memberikan batasan secara limitatif terhadap ruang lingkup badan peradilan.
130 www.aktual.com, Pendapat Hukum Dualisme Partai Politik, 25 April 2015, Diakses
Pencantuman nama badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung menyebabkan tidak membenarkan keberadaan peradilan lain selain empat
lingkup tersebut. 131 ”
Dalam pendapat Ilham ini terkandung makna bahwa, ketidakpercayaan atas eksistensi Mahkamah Partai di Indonesia, karena posisi Mahkamah Partai diluar dari badan peradilan yang dikehendaki oleh konstitusi. Tentunya, Ilham tidak mempercayakan keputusan Mahkamah Partai untuk menyelesaikan sengketa internal partai. Kajian ini semakin menarik apabila melihat para ahli yang tumpang tindih dalam memberikan pendapatnya, semestinya doktrin para ahli dapat memberikan kesegaran pemahaman untuk masyarakat, agar tidak ada salah penafsiran norma, yang dapat membuat situasi semakin tidak kondusif. Namun hal ini merupakan proses kedewasaan dalam berdemokrasi, dengan mengeluarkan ide dan pendapat atau pandangan upaya mewujudkan aspirasi masing-masing, yang turut dilindungi oleh konstitusi. Akan tetapi perlu diingatkan, dalam aspirasi tersebut diutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Sebaliknya, jika Ilham tidak menginginkan keberadaan Mahkamah Partai, namun Yusril Ihza Mahendra seorang ahli Hukum Tata Negara menginginkan Mahkamah Partai dalam mekanisme acara yang jelas dan konkrit. Dengan merujuk contoh kasus pada Mahkamah Partai Golkar, secara tegas Yusril
131 www.mahkamahkonstitusi.go.id, Ahli: Mahkamah Parpol Bukan Badan Peradilan, 18 131 www.mahkamahkonstitusi.go.id, Ahli: Mahkamah Parpol Bukan Badan Peradilan, 18
Mahkamah Partai tidak satu suara dalam memutuskan konflik internal Golkar. Dua memutuskan Munas Ancol sah, dua tidak berpendapat abstain. Jadi hasilnya dua kosong. Ini bukan dewan keamanan PBB, kalau dewan keamanan PBB, itu voting ada pro, ada abstain. Di pengadilan itu tidak ada istilah abstain bagi hakim. Semua hakim harus berpendapat, sebab seharusnya jumlah hakim di pengadilan manapun berjumlah ganjil. Sementara Mahkamah Partai Golkar hanya beranggotakan empat, bagaimana bersidang kalau empat hakim, kalau nanti dua-duanya deadlock . Akhirnya Mahkamah Partai tidak dapat mengambil keputusan apa-apa, karena ada dua pendapat berbeda. Putusan bisa diambil kalau tiga-satu (3- 1), bukan dua-dua (2-2). Itu mengada-ada, itu tafsiran politik, bukan
hukum. 132
Dari pendapat Yusril di atas, terlihat berbeda penafsiran dengan pendapat Ilham yang menyatakan bahwa Mahkamah Partai bukanlah badan peradilan, sedangkan Yusril dapat dilihat meletakkan posisi Mahkamah Partai sejajar dan sama dengan badan peradilan. Dengan begitu penafsiran terhadap Mahkamah Partai semakin tidak jelas dan membingungkan. Namun pada hakikatnya, dari berbagai pendapat para ahli, penulis akan dapat menarik penalaran hukum, untuk menjawab eksistensi Mahkamah Partai dalam penyelesaian sengketa internal partai politik di Indonesia, guna mengurangi berlarut-larutnya penyelesaian konflik kepengurusan partai yang berdampak pula pada proses penyelenggaraan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.