Tinjauan Tentang Politik

A. Tinjauan Tentang Politik

1. Definisi Politik Definisi politik sebagaimana diungkapkan oleh Miriam Budiardjo yakni,

“usaha menggapai kehidupan yang baik.” 55 Artinya, politik bertujuan menyangkut kepentingan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun

pada kenyataannya beragam cara penerapan politik tesebut dilakukan oleh kebanyakan pemegang kekuasaan politik hanya untuk mewujudkan kepentingan politik diluar dari kepentingan masyarakat. Usaha untuk menggapai kehidupan yang baik pun menjadi suatu kegiatan usaha yang tidak bermoral, seperti halnya dirumuskan secara tegas oleh Peter Merkl bahwa, “politik dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri ( politics at its worst is

a selfish grab for power, glory and riches 56 ). ”

Terbukti bahwa perumusan tersebut sangat sering terjadi pada atmosfir perpolitikan di Indonesia, perkembangan politik di tanah air hingga sampai saat ini pun masih belum dikatakan dewasa, seperti halnya dalam menghadapi

55 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, Cet. 4, PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta, 2010, hal. 13.

permasalahan yang acap kali selalu berakhir dengan terlihatnya penegakan hukum yang tidak tegas melainkan karena di intervensi oleh kepentingan politik.

Singkatnya, paradigma berpolitik di Indonesia masih banyak di salah tafsirkan, dengan melihat keadaan yang terjadi kebanyakan pemegang kekuasaan politik hanya mencerminkan kegaduhan publik belaka, seperti dalam hal perebutan kekuasaan politik dan/atau kedudukan politik yang tampak terlihat bukan untuk kepentingan masyarakat tetapi untuk kepentingan diri sendiri, dengan contoh kasus pada tahun 2015 silam yaitu perebutan kekuasaan internal partai politik pada tubuh partai Golkar dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Hal tersebut disebabkan karena dalam politik mengenal istilah, “ winner takes all yakni, setiap pemenang dalam memperebutkan kekuasaan, maka dia sebagai pemenang akan memiliki semua yang ada, sementara yang

kalah harus tunduk dan patuh. 57 ” Maka tidak dapat dipungkiri, ruang lingkup politik selalu terlibat dengan

kekuasaan politik dan/atau kedudukan politik, kegiatan politik, serta keputusan politik dalam suatu negara. Sebagaimana kesimpulan Miriam Budiardjo yang menyatakan secara tegas , “bahwa politik dalam suatu negara ( state ) berkaitan dengan masalah kekuasaan ( power ) pengambilan keputusan ( decision making ),

57 A. Zarkasih, Pengantar Ilmu Politik, Fakultas Hukum Universitas Jambi, Jambi, 2012, 57 A. Zarkasih, Pengantar Ilmu Politik, Fakultas Hukum Universitas Jambi, Jambi, 2012,

2. Hubungan Politik Dan Hukum Kata lain dari kata hubungan disini adalah dapat diinterpretasikan dengan istilah intervensi. Karena Mahfud MD memiliki asumsi bahwa hubungan antara politik dan hukum yakni; hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakkan sebagai independent

variable 59 (variabel berpengaruh). Dengan begitu penulis berpendapat munculnya penafsiran bersifat sesat

pikir ( fallacy ), yang berarti bahwa hukum terpengaruh oleh keberadaan politik dan sebaliknya keberadaan politik berpengaruh dari bentuk kekuatan hukum, maka hukum akan terbentuk dari proses politik dan proses politik harus berlandaskan oleh hukum.

Namun pada kenyataannya, istilah tersebut hanya menjadi istilah belaka. Sebagaimana Mahfud MD menyatakan bahwa hukum merupakan produk politik, hal itu disebabkan karena:

“Pada kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak- kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat Undang-Undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan kontestasi agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi Undang-Undang. Undang-Undang yang lahir dari kontestasi tersebut dengan mudah dipandang sebagai produk dari

58 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 14.

adegan kontestasi politik itu. Inilah maksud pernyataan bahwa hukum merupakan produk politik. 60 ”

Sri Soemantri Martosoewignjo pernah juga mengonstatasi hubungan antara hukum dan politik di Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya. Jika hukum diibaratkan rel dan politik diibaratkan lokomotif,

maka sering terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya dilalui. 61 Maka tidak heran, jika produk hukum sering terlihat memiliki kelemahan-

kelemahan yang begitu signifikan dan menghasilkan ambiguitas istilah, bersifat multitafsir sehingga dapat diinterpretasikan oleh pelbagai pihak, hal tersebut disebabkan karena hukum terpengaruh oleh kepentingan politik. Bukan hanya dalam proses pembentukannya, tetapi juga dalam implementasi dari penegakan hukum tersebut.

Semestinya, politik tidak dapat terpisahkan oleh kedaulatan hukum ( nomocratie ) sebagai aturan hukum yang bertujuan menjadi pedoman dan/atau tolak ukur dari keluarnya keputusan maupun kebijakan pemegang kekuasaan politik. Karena “semakin kental muatan hukum dengan masalah hubungan kekuasaan, semakin kuat pula pengaruh konfigurasi politik terhadap hukum

tersebut. 62 ”

60 Ibid . 61 Ibid ., hal. 20. 62 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia Edisi Revisi, Cet. 4, PT RajaGrafindo

Berkenaan dengan itu, “sistem hukum adalah dasar legal dari negara, seluruh struktur dan fungsi negara ditetapkan oleh hukum. 63 ” Hal tersebut

dipertegas oleh gagasan Sirajuddin, yang menyatakan bahwa: “Konsep Indonesia sebagai negara hukum mengandung arti bahwa dalam

hubungan antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan tunduk pada hukum sebagai kunci kestabilan politik dalam masyarakat. Dalam negara hukum, hukum merupakan pilar utama dalam menggerakkan sendi-sendi kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 64 ”

Kemudian, menurut R. Supomo sebagaimana dikutip oleh Sirajuddin, negara hukum adalah:

“Negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara. Negara hukum juga akan menjamin tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberikan perlindungan hukum, antara hukum dan kekuasaan ada

hubungan timbal balik. 65 ”

Seorang pakar ilmu politik pun Miriam Budiardjo menyatakan bahwa “cabang- cabang ilmu hukum khususnya meneropong negara ialah hukum tata negara ( Staatsrecht, public law ) dan ilmu negara ( Staatslehre, general theory of the

state ). 66 ” Sehubungan dari uraian di atas, akademisi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jambi, Iswandi menarik kesimpulan secara tegas, bahwa: “Konsepsi negara hukum merupakan gagasan yang muncul untuk menentang konsep absolutisme yang telah melahirkan negara kekuasaan. Pada pokoknya

63 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 36. 64 Iswandi, “Fungsi Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”,

Tesis Magister Hukum Pascasarjana Universitas Jambi, Jambi, 2010, hal. 16. 65 Ibid .

kekuasaan penguasa harus dibatasi agar jangan memperlakukan rakyat dengan sewenang-wenang. 67 ” Dari sudut pandang demikian, penulis berpendapat sudah

seharusnya politik harus berlandaskan oleh hukum sebagai konsekuensi dari negara hukum.

3. Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum Berdasarkan hasil penelitian dari Mahfud MD yang dikutip oleh Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari yakni; “Berkesimpulan bahwa, suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu

akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkannya. Dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter responsif atau populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, produk

hukumnya berkarakter ortodoks atau konservatif atau elitis. 68 ”

Dari pemahaman di atas, Mahfud MD meletekkan politik sebagai variabel

bebas dan hukum sebagai variabel terpengaruh. 69

Sehingga penulis dapat mengartikan bahwa begitu besar pengaruh negara terhadap konfigurasi politik yang menghasilkan karakter suatu produk hukum tertentu. Seperti contoh sejak berdirinya Indonesia secara de fakto dan

de jure , terlihat adanya perubahan konfigurasi politik yang mendasar yakni dari demokratis ke otoriter kemudian kembali lagi ke demokratis, maka dengan perubahan tersebut berimplikasi juga pada perubahan karakter produk hukumnya, terbukti dengan perwujudan adanya penjaminan hak asasi manusia

67 Iswandi, Loc. Cit. 68 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Cet. 7, PT.

Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 5.

pada batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amandemen.

Maka secara spesifik, Mahfud MD berpandangan bahwa “konfigurasi politik diartikan sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu

konfigurasi politik 70 demokrati s dan konfigurasi politik otoriter. ” Dalam hal meletakkan konfigurasi politik sebagai variabel bebas, Mahfud

MD menjelaskan bahwa konfigurasi politik demokratis adalah: “Susunan sistem politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi

partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakasanaan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik. Di negara yang menganut sistem demokrasi atau konfigurasinya demokratis terdapat pluralitas organisasi di mana organisasi-organisasi penting relatif otonom. Dilihat dari hubungan pemerintah dan wakil rakyat, di dalam konfigurasi politik demokratis ini terdapat kebebasan bagi rakyat

melalui wakil-wakilnya untuk melancarkan kritik terhadap pemerintah. 71 ”

Kemudian di jelaskan pula konfigurasi politik otoriter, yakni: “Susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat

aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elite politik yang kekal, serta di balik

semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan. 72 ”

70 Ibid ., hal. 30. 71 Ibid .

Dari pemaparan penelitian Mahfud MD di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa konfigurasi politik demokratis pada pokoknya tidak ada pembatasan kepada masyarakat untuk lebih mengawasi jalannya roda pemerintahan, dengan lebih menekankan prinsip check and balance .

Sehingga dengan berlakunya konfigurasi politik demokratis maka dapat menciptakan pula karakter produk hukum responsif/populastik. Lebih lanjutnya Mahfud MD menjelaskan dalam penelitiannya yang dimaksud dengan produk hukum responsif/populastik, yaitu:

“Produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan

kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. 73 ”

Kemudian sebaliknya, jika konfigurasi politik otoriter maka akan tercipta karakter produk hukum konservatif/ortodoks/elitis yang di artikan oleh Mahfud MD, yakni:

“Produk hukum yang isinya lebih mencerminkan isi sosial elite politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis- instrumentalis , yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu di dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi

masyarakat relatif kecil. 74 ”

Dalam hal ini secara spesifik, yang menentukan konfigurasi politik demokratis atau otoriter tersebut, salah satu indikator terpenting yakni peran partai politik

73 Ibid .

sebagai pilar demokrasi negara. Karena dalam istilah yang diutarakan oleh Mahfud MD dengan berpandangan dari sisi das sein , pembentukan peraturan perundang-undangan berupa produk politik, yang sebagian besar dilakukan oleh perwakilan dari partai politik yang memiliki kewenangan di badan legislatif.