ANGKATAN 1945
2.5 ANGKATAN 1945
2.5.1 Sejarah Sastra Indonesia Angkatan 45
Usmar Ismail
Amal Hamzah Rosihan Anwar Bakri Siregar Anas Ma’ruf M.S. Ashar Maria Amin Nursyamsu HB Jassin Abu Hanifah (El Hakim) Kotot Sukardi Idrus
2.5.2 Proses Kelahiran Angkatan 1945
Angkatan 1945 tidak dapat dilepaskan dari lingkungan kelahirannya, yakni masa penduduk Jepang dan masa revolusi Indonesia. Perjuangan bangsa yang mencapai titik puncak pada Proklamasi 17 Agustus 1945 beserta gejolak politik yang mengawali maupun mengikutinya, memberi pengaruh sangat besar pada corak sastra. Generasi yang aktif pada masa revolusi 1945 dipaksa oleh keadaan untuk merumuskan diri dan tampil menjawab tantangan-tantangan zaman yang mereka hadapi. Selain ikut berjuang secara fisik dalam perang kemerdekaan, mereka juga menyibukkan diri untuk merumuskan dan mencari orientasi pada berbagai kemungkinan bangunan kebudayaan bagi Indonesia kedepan.
Latar belakang perubahan politik yang sangat mendadak pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) menjadi awal kelahiran karya sastra Angkatan 45. Kehadiran Angkatan 45 serta karya sastra Angkatan 45 meletakkan pondasi kokoh bagi sastra Indonesia, karena angkatan sebelumnya dinilai tidak memiliki jati diri ke- Indonesiaan. Jika Angkatan Balai Pustaka dinilai tunduk pada “Volkslectuur”, lembaga kesustraan kolonial Belanda, dan Angkatan Pujangga Baru dinilai menghianati identitas bangsa karena terlalu berkiblat ke Barat, maka Angkatan 45 adalah reaksi penolakan terhadap ankatan-angkatan tersebut.
Sebagai salah satu hasil dari pergolakan, karya sastra Angkatan 45 menjadi sebuah karya yang lahir dengan identitas baru yang penuh kontroversia. Kehadirannya sebagai pendobrak nilai-nilai serta aturan-aturan sastra terdahulu membuat karya sastra Angkatan 45 menjadi pusat perhatian para sastrawan. Para sastrawan penggerak karya sastra angkatan 45 adalah mereka yang menaruh perhatian besar pada karya sastra Indonesia. Mereka seolah ingin lepas dari pengaruh asing yang saat itu masih kuat pengaruhnya terhadap karya sastra Indonesia.Nama angkatan 45 sendiri dimunculkan oleh Rosihan Anwar pertama kali pada lembar kebudayaan “Gelanggang”. Sejak itu, penamaan yang dibuat Rosihan
Anwar diakui dan disepakati banyak kalangan sebagai nama angkatan sastra periode-40-an.Angkatan 1945 memperoleh saluran resmi melalui penerbitan majalah kebudayaan Gema Suasana, Januari 1948. Majalah ini diasuh oleh dewan redaksi yang terdiri dari Asrul Sani, Chairil Anwar, Mochtar Apin, Riva’I Apin dan Baharudin. Majalah ini dicetak dan diterbitkan oleh percetakan Belanda Opbouw (Pembangun). Dalam konfrotasi dengan Belanda, mereka kemudian pindah ke “Gelanggang”, sebuah suplemen kebudayaan dari jurnal mingguan, siasat yang muncul pertama kali pada Februari 1948 dengan redaktur Chairil Anwar dan Ida Nasution. Disuplemen inilah mereka kemudian menerbitkan kredo Angkatan 45, yang dikenal luas dengan nama “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Nama “Angkatan 45” baru diberikan pada tahun 1949 oleh Rosihan Anwar, meski tidak disetujui banyak sastrawan. Keberatan itu karena nama itu kurang pantas ditujukan pula kepada para pengarang, yang notabene berbeda dengan para pejuang kemerdekaan (yang diberi predikat sebelumnya sebagai Angkatan 45).
Ada 4 tokoh utama yang sering dianggap sebagai pelopor Angkatan 45: Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus. Chairil seorang individualis dan anarkhis. Asrul aristokrat dan moralis. Idrus penuh dengan sinisme. Rivai lebih dikenal sebagai nihilis. Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan sikap dari beberapa sastrawan Indonesia yang kemudian hari dikenal sebagai Angkatan ’45. Di antara para sastrawan ini yang paling menonjol adalah Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin. Surat ini diterbitkan oleh majalah Siasat pada tanggal 22 Oktober 1950.
Surat Kepercayaan Gelanggang berbunyi sebagai berikut: Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman. Angkatan 45 tidak hanya terdiri dari kaum sastrawan, tetapi juga seniman lain, termasuk para pelukis seperti: S. Sudjojono, Affandi, Henk Ngantung, Mochtar Apin, Baharuddin; juga para musikus seperti: Binsar Sitompul dan Amir Pasaribu.
Karya-karya sastra kala itu masih diterbitkan bersama dengan sketsa para pelukis, partitur musik, esai musik-lukis-drama-tari. Hal ini menunjukkan bahwa para sastrawan memiliki wawasan luas dalam bidang seni dan budaya pada umumnya.
Perkembangan Angkatan 45 Melalui majalah-majalah :
a. Panca Raya (1945—1947)
b. Pembangunan (1946—1947)
c. Pembaharuan (1946—1947)
d. Nusantara (1946—1947)
e. Gema Suasana (1948—1950)
f. Siasat (1947—1959) dgn lampiran kebudayaan: Gelanggang
g. Mimbar Indonesia (1947—1959) dgn lampiran: Zenith
h. Indonesia (1949—1960)
i. Pujangga Baru (diterbitkan lagi 1948; berganti Konfrontasi: 1954) j. Arena (di Yogya, 1946—1948) k. Seniman (di Solo 1947—1948)
2.5.3 Aliran Angkatan ’45.
Ekspresionisme merupakan aliran seni yang berkembang setelah kemerdekaan diproklamasikan. Ekspresionisme yang mendasari Angkatan 45 sebenarnya sudah berkembang lama di Eropa (penghujung abad ke-19) seperti Baudelaire, Rimbaud, Mallarme (Prancis), F.G. Lorca (Spanyol), G. Ungaretti (Italia), T.S Eliot (Inggris), G.Benn (Jerman), dan H. Marsman (Belanda).
Aliran ekspresionisme timbul sebagai reaksi terhadap aliran impresionisme. Dalam sastra Indonesia, Pujangga Baru bersifat impresionistik dan Angkatan 45 Aliran ekspresionisme timbul sebagai reaksi terhadap aliran impresionisme. Dalam sastra Indonesia, Pujangga Baru bersifat impresionistik dan Angkatan 45
Penyair ekspresionis tidak ditentukan oleh alam, justru penyairlah yang menentukan gambaran alam. Kritikus pertama yang dapat memahami sajak-sajak Chairil Anwar ialah HB Jassin. Kritikus ini pulalah yang membela dan menjelaskan karya-karya Chairil yang bersifat ekspresionis itu.
Berbeda dengan Pujangga Baru yang beraliran romantik impresionistik sehingga melahirkan sajak-sajak yang harmonis, Angkatan 45 melahirkan sajak- sajak yang penuh kegelisahan, pemberontakan, agresif dan penuh kejutan. Vitalisme dan individualisme melahirkan sajak-sajak penuh pertentangan semacam itu.
Karya-karya Penting Angkatan 1945 :
1. Deru Campur Debu, Kerikil Tajam (Chairil Anwar)
2. Atheis (Achdiat Kartamihardja)
3. Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis)
4. Keluarga Gerilya (Pramoedya Ananta Toer)
2.5.4 Konsepsi Estetik angkatan 45
Konsepsi estetik Angkatan 45 tergambar dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Dengan “Surat Kepercayaan Gelanggang” inilah para penyair Angkatan 45 mendefenisikan diri dan konsep estetik budayanya. Pendefenisian ini dilakukan sastrawan Angkatan 45 lewat “pemisahan diri” dan kritik keras terhadap generasi sastra sebelumnya, khususnya kritik dan pemisahan diri dengan visi budaya yang ditegakkan Sutan Takdir Alisjahbana. Yang menjadi fokus pemisahan diri disini adalah pada ideologi yang digunakan serta orientasi budaya.
Pemisahan konsep sastra dan visi inilah yang kemudian dijadikan banyak pengamat sastra sebagai ciri utama angkatan 45 dibanding angkatan sebelumnya.
H.B. Jassin dalam banyak tulisannya mengemukakan terhadap pemisahan yang tegas antara konsepsi sastrawan Pujangga Baru dengan konsepsi sastrawan generasi 45. Andaian ini pulalah yang dianut dan dipercayai banyak sastrawan angkatan 45.
Karya sastra Angkatan 45 memiliki kedekatan yang intim dengan realitas politik. Ini sangat berbeda dengan karya sastra Angkatan Pujangga Baru yang cenderung romantik-idealistik. Karena lahir dalam lingkungan yang keras dan memprihatikan karya sastra Angkatan 45 lebih terbuka, pengaruh unsur sastra asing Karya sastra Angkatan 45 memiliki kedekatan yang intim dengan realitas politik. Ini sangat berbeda dengan karya sastra Angkatan Pujangga Baru yang cenderung romantik-idealistik. Karena lahir dalam lingkungan yang keras dan memprihatikan karya sastra Angkatan 45 lebih terbuka, pengaruh unsur sastra asing
Pada periode Angkatan 45 berkembang jenis-jenis sastra puisi, cerita pendek, novel dan drama. Keadaan perang pada saat itu mempengaruhi penciptaan sastra dalam permasalahan dan gayanya. Ada beberapa ciri stuktur estetik Angkatan 45 baik pada karya sastra puisi maupun prosa. Pada karya sastra puisi ciri struktur estetiknya yaitu, pertama, puisinya bebas, tidak terikat pada pembagian bait, jumlah baris dan persajakan. Kedua, gaya alirannya ekspresionisme dan realisme. Ketiga, pilihan kata (diksi) untuk mencerminkan pengalaman batin yang dalam dan untuk intensitas arti. Ketiga, bahasa kiasannya dominan metafora dan simbolik, kata, frasa dan kalimatnya ambigu sehingga multitafsir. Keempat, gaya sajaknya prismatis dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, hubungan baris-baris dan kalimat- kalimat implisit. Kelima, gaya pernyataan pikiranya berkembang yang nantinya menjadi gaya sloganis. Keenam, gaya ironi dan sinisme menonjol.
Pada karya sastra prosa, ciri stuktur estetiknya adalah banyak alur sorot balik, walaupun ada juga alur lurus, digresi dihindari sehingga alurnya padat, pada penokohan analisis fisik tidak dipentingkan, yang ditonjolkan analisis kejiwaan, tetapi tidak dengan analisis langsung melainkan dengan cara dramatik melalui arus kesadaran dan percakapan antar tokoh, banyak menggunakan gaya ironi dan sinisme, gaya realisme dan naturalisme, menggambarkan kehidupan sewajarnya secara mimetik. Inilah ciri struktur estetik dari karya sastra puisi dan prosa Angkatan
45, yang membuat karya sastra Angkatan 45 menjadi karya sastra yang fenomenal dalam sejarah sastra Indonesia.
2.5.5 Ciri – ciri Karya sastra Indonesia Angkatan 1945
o Terbuka. o Pengaruh unsur sastra asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya. o Bercorak isi realis dan naturalis, meninggalkan corak romantic. o Sastrawan periode ini terlihat menonjol individualismenya. o Dinamis dan kritis, berani menabrak pakem sastra yang mapan sebelumnya. o Penghematan kata dalam karya. o Lebih ekspresif dan spontan. o Terlihat sinisme dan sarkasme. o Didominasi puisi, sedangkan bentuk prosa tampak berkurang.
2.5.6 Nama-nama lain untuk angkatan sastra 45
Ø Angkatan Kemerdekaan Ø Angkatan Chairil Anwar Ø Angkatan Perang Ø Angkatan Sesudah Perang Ø Angkatan Sesudah Pujangga Baru Ø Angkatan Pembebasan Ø Generasi Gelanggang
2.5.7 Tokoh – tokoh Sastra Angkatan 45
Para sastrawan yang menjadi motor dan pelopor Angkatan 45 adalah para pencipta karya sastra Angkatan 45 yang begitu fenomenal di dunia sastra. Mereka adalah:
2.5.7.1 Chairil Anwar Chairil Anwar lahir di Medan, 22 Juli 1922. Sekolahnya hanya
sampai MULO (SMP) dan itu pun tidak tamat. Kemudian ia pindah ke Jakarta. Ia merupakan orang yang banyak membaca dan belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat berisi. Chairil Anwar berusaha memperbarui penulisan puisi. Puisi yang diubahnya berbentuk bebas, sehingga disebut puisi bebas. Ia diakui sebagai pelopor Angkatan ‘45 di bidang sebagai alat untuk mencapai isi. Chairil Anwar termasuk penyair yang penuh vitalitas (semangat hidup yang menyala- nyala) dan individualistis (kuat rasa akunya).
Puisi gubahannya berirama keras (bersemangat), tetapi ada juga yang bernafas ketuhanan seperti “Isa” dan “Do’a”. Karya-karya Chairil Anwar antara lain: Ø Deru Campur Debu (kumpulan puisi) Ø Tiga Menguak Takdir (kumpulan puisi karya bersama Rivai Apin dan Asrul Sani) Ø Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus (kumpulan puisi) Ø Pulanglah Dia Si Anak Hilang (terjemahan dari karya Andre Gide) Ø Kena Gempur (terjemahan dari karya Steinbeck)
2.5.7.2 Asrul Sani Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926. Ia seorang
dokter hewan. Pernah memimpin majalah Gema dan harian Suara
Bogor. Tulisannya berpegang pada moral dan keluhuran jiwa. Asrul Sani adalah seorang sarjana kedokteran hewan, yang kemudian menjadi direktur Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), juga pernah duduk sebagai anggota DPRGR/MPRS wakil seniman. Asrul Sani juga dikenal sebagai penulis skenario film hingga sekarang. Karya-karya Asrul Sani antara lain: Ø Sahabat Saya Cordiaz (cerpen) Ø Bola Lampu (cerpen) Ø Anak Laut (sajak) Ø On Test (sajak) Ø Surat dari Ibu (sajak)
2.5.7.3 Sitor Situmorang Lahir di Tapanuli Utara, 21 Oktober 1924. Ia cukup lama
bermukim di Prancis. Sitor juga diakui sebagai kritikus sastra Indonesia. Karya-karya Sitor Situmorang antara lain: Ø Surat Kertas Hijau (1954) Ø Jalan Mutiara (kumpulan drama) Ø Dalam Sajak (1955) Ø Wajah Tak Bernama (1956) Ø Zaman Baru (kumpulan sajak) Ø Pertempuran dan Salju di Paris Ø Peta Pelajaran (1976) Ø Dinding Waktu (1976) Ø Angin Danau (1982) Ø Danau Toba (1982)
2.5.7.4 Idrus Lahir di Padang, 21 September 1921. Idrus dianggap sebagai salah
seorang tokoh pelopor Angkatan ‘45 di bidang prosa, walaupun ia selalu menolak penamaan itu. Karyanya bersifat realis-naturalis (berdasarkan kenyataan dalam alam kehidupan) dengan sindiran tajam.
Karya-karyanya antara lain: Ø Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (novel) Ø A K I (novel) Ø Hikayat Puteri Penelope (novel, terjemahan) Ø Anak Buta (cerpen) Ø Perempuan dan Kebangsaan
Ø Jibaku Aceh (drama) Ø Dokter Bisma (drama) Ø Keluarga Surono ( drama ) Ø Kereta Api Baja (terjemahan dari karya Vsevold Iyanov, sastrawan Rusia)
2.5.7.5 Hamzah Fansuri Dalam karya-karyanya tampak pengaruh dari kakaknya, Amir Hamzah
dan R. Tarogo. Karya-karyanya antara lain: Ø Teropong (cerpen) Ø Bingkai Retak (cerpen) Ø Sine Nomine (cerpen) Ø Buku dan Penulis (kritik) Ø Laut (sajak) Ø Pancaran Hidup (sajak)
2.5.7.6 Rivai Apin Penyair yang seangkatan Chairil Anwar, yang bersama-sama
mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” ialah Asrul Sani dan Rival Apin. Ketiga penyair itu, Chairil-Asrul-Rivai, dianggap sebagai trio pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan ‘45. Ketiga penyair itu menerbitkan kumpulan sajak bersama, Tiga Menguak Takdir. Rivai Apin menulis tidak selancar Asrul Sani. Selain menulis sajak, ia pun menulis cerpen, esai, kritik, skenario film, menerjemahkan, dan lain-lain. Tahun 1954 ia sempat mengejutkan kawan-kawannya, ketika keluar dari redaksi Gelanggang dan beberapa waktu kemudian ia masuk ke lingkungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), serta beberapa waktu sempat memimpin majalah kebudayaan Zaman Baru yang menjadi organ kebudayaan PKI. Setelah terjadi G 30 S/PKI, Rivai termasuk tokoh Lekra yang karya-karyanya dilarang.
2.5.7.7 Achdiat Karta Mihardja Ia menguasai ilmu politik, tasawuf, filsafat, dan kemasyarakatan.
Pernah menjadi staf Kedubes RI di Canberra, Australia. Karya-karyanya antara lain:
Ø Atheis (roman) Ø Bentrokan Dalam Asmara (drama). Ø Polemik Kebudayaan (esai)
Ø Keretakan dan Ketegangan (kumpulan cerpen) Ø Kesan dan Kenangan (kumpulan cerpen)
2.5.7.8 Pramoedya Ananta Toer Lahir di Blora, 2 Februari 1925. Meskipun sudah mulai mengarang
sejak jaman Jepang dan pada awal revolusi telah menerbitkan buku Kranji dan Bekasi Jatuh (1947), namun baru menarik perhatian dunia sastra Indonesia pada tahun 1949, yaitu ketika cerpennya Blora, yang ditulis dalam penjara diumumkan, serta ketika romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka. Karya-karyanya antara lain:
Ø Bukan Pasar Malam (1951) Ø Di Tepi Kali Bekasi (1951) Ø Gadis Pantai Keluarga Gerilja (1951) Ø Mereka yang Dilumpuhkan (1951) Ø Perburuan (1950) Ø Tjerita dari Blora (1963)
2.5.7.9 Mukhtar Lubis Lahir di Padang, 7 Maret 1922. Sejak jaman Jepang ia sudah bekerja
di bidang penerangan. Idenya bersifat kritik-demokrasi-konstruktif (membangun). Di bidang kewartawanan ia pernah mendapat hadiah Ramon Magsay-say dari Filipina. Karyanya banyak menggambarkan perjuangan pada masa revolusi, terutama aksi polisional Belanda.
Karya-karyanya antara lain: Ø Tak Ada Esok (roman) Ø Jalan Tak Ada Ujung (roman jiwa) Ø Tanah Gersang (novel) Ø Si Jamal (cerpen) Ø Perempuan (cerpen) Ø Kisah dari Eropah (terjemahan) Ø Manusia Indonesia Ø Maut dan Cinta (novel) Ø Penyamun Dalam Rimba (novel)
2.5.7.10 Utuy Tatang Sontani Pada saat-saat pertama Jepang menginjakan kaki di bumi Indonesia, 2.5.7.10 Utuy Tatang Sontani Pada saat-saat pertama Jepang menginjakan kaki di bumi Indonesia,
Karya-karyanya antara lain: Ø Suling (1948)
Ø Bunga Rumah Makan (1948) Ø Awal dan Mira (1952) Ø Manusia Iseng Ø Sayang Ada Orang Lain Ø Di Langit Ada Bintang Ø Saat yang Genting Ø Selamat Jalan Anak Kufur
2.5.7.11 Usmar Ismail Selain dikenal sebagai sastrawan, Usmar Ismail juga dikenal
sebagai sutradara film. Tahun 1950 ia mendirikan Perfini. Karyanya bernafas ketuhanan sejalan dengan pendapatnya bahwa seni harus mengabdi kepada kepentingan nusa, bangsa, dan agama.
Karya-karyanya antara lain: Ø Permintaan Terakhir (cerpen) Ø Asokamala Dewi (cerpen) Ø Puntung Berasap (kumpulan puisi) Ø Sedih dan Gembira (kumpulan drama yang terdiri atas: “Citra”, “Api”, dan “Liburan Seniman”) Ø Mutiara dari Nusa Laut (drama) Ø Tempat Yang Kosong Ø Mekar Melati Ø Pesanku (sandiwara radio) Ø Ayahku Pulang (saudara dari cerita Jepang)
2.5.7.12 El Hakim El Hakim merupakan nama samaran dari Dr. Abu Hanifah. Karyanya
bernuansa ketuhanan dan kesusilaan. Di bidang kebudayaan ia berpendapat bahwa Timur yang idealis harus berkombinasi dengan Barat, tanpa menghilangkan ketimurannya.
Karya-karyanya antara lain: Ø Taufan di Atas Asia (kumpulan)
Ø Dokter Rimbu (roman) Ø Kita Berjuang Ø Soal Agama Dalam Negara Modern
2.5.7.13 Maria Amin Hasil karya pengarang wanita ini bercorak simbolik. Karyany-
karyanya antara lain:
Ø Tinjaulah Dunia Sana Ø Penuh Rahasia ( puisi ) Ø Kapal Udara ( puisi )
2.5.7.14 Rosihan Anwar
Rosihan Anwar dikenal juga sebagai jurnalis (wartawan). Banyak tulisannya tentang tanggapan sosial, yaitu mengupas masalah yang timbul dalam kehidupan. Ia pernah memimpin harian Merdeka Asia Raya dan Mingguan Siasat. Karya-karyanya antara lain:
Ø Radio Masyarakat (cerpen) Ø Raja Kecil, Bajak Laut di Selat Malaka (roman) Ø Manusia Baru (sajak) Ø Lukisan (sajak) Ø Seruan Nafas (sajak)
2.5.7.15 Waluyati Dalam Angkatan ‘45 ada seorang penyair wanita bernama Waluyati yang lahir di Sukabumi,
1924. Puisi-puisinya dimuat dalam Pujani (1951), Gema tanah Air (H.B. Jassin, 1975), dan Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (Toeti Heraty, 1979). Karya-karyanya antara lain:
1. Berpisah
2. Siapa?
2.5.8 Karakteristik Karya Angkatan ’45
o Bercorak lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga Baru yang romantik-idealistik. o Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya mewarnai karya sastrawan Angkatan ’45. o Bahasanya lugas, hidup dan berjiwa serta bernilai sastra. o Sastrawannya lebih berjiwa patriotik.
o Bergaya ekspresi dan revolusioner (H.B.Yassin). o Bertujuan universal nasionalis. o Bersifat praktis. o Sikap sastrawannya “tidak berteriak tetapi melaksanakan”. o Revolusioner dalam bentuk dan isi. Membuang tradisi lama dan menciptakan bentuk baru sesuai dengan getaran sukmanya yang merdeka. o Mengutamakan isi dalam pencapaian tujuan yang nyata. Karena itu bahasanya pendek, terpilih, padat berbobot. Dalam proses mencari dan menemukan hakikat hidup. Seni adalah sebagai sarana untuk menopang manusia dan dunia yang sedalam-dalamnya. o Ekspresionis, mengutamakan ekspresi yang jernih. o Individualis, lebih mengutamakan cara-cara pribadi
2.5.9 Fenomena Karya Angkatan ‘45
Dalam menuangkan karyanya, Chairail Anwar menggunakan bahasa Indonesia yang terbebas dari pola bahasa Melayu. Ia menciptakan bahasa yang lebih demokratis. Sebagai contoh, ia tidak lagi menyatakan “beta” seperti dalam puisi salah satu penyair Pujangga Baru, tetapi menyebut dirinya “aku”. Hal ini dapat kita lihat dalam sajak Aku yang benar-benar bercorak baru. Meski puisinya banyak diilhami puisi asing, namun puisi-puisinya memiliki gaya khas yang hanya dimiliki oleh Chairil Anwar.
2.5.10 Beberapa Pendapat Tentang Angkatan ’45
2.5.10.1 Menurut Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, & Teeuw
1) Armijn Pane . Pujangga Baru menentang adanya Angkatan ‘45 dan menganggap bahwa tak ada yang disebut Angkatan ‘45.
2) Sutan Takdir Alisyahbana . Angkatan ‘45 merupakan sambungan dari Pujangga Baru.
3) Teeuw . Memang berbeda Angkatan ‘45 dengan Angkatan Pujangga Baru, tetapi ada garis penghubung, misalnya Armijn Pane dengan Belenggunya. (puncak-puncak kesusastraan Indonesia).
2.5.10.2 Menurut Sitor Situmorang & Pramoedya Ananta Toer
4) Sitor Situmorang. Pujangga Baru masih terikat oleh zamannya, yaitu zaman penjajahan, sedangkan Angkatan ‘45 dalam soal kebudayaan tidak membedakan 4) Sitor Situmorang. Pujangga Baru masih terikat oleh zamannya, yaitu zaman penjajahan, sedangkan Angkatan ‘45 dalam soal kebudayaan tidak membedakan
5) Pramoedya Ananta Toer. Angkatan Pujangga Baru banyak ilmu pengetahuannya tetapi tidak banyak mempunyai penghidupan (pengalaman). Angkatan ‘45 kurang dalam ilmu pengetahuan (karena perang) tetapi sadar akan kehidupan.
2.5.11 Kesimpulan
Karya sastra Angkatan 1945 lahir pada masa peralihan bangsa yaitu dari masa penjajahan Jepang menuju kemerdekaan. Pada Angkatan 1945 karya sastra didominasi oleh puisi, prosa tampak berkurang. Konsepsi estetik Angkatan 1945 tergambar dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”.
Karya Angkatan 1945 memiliki kedekatan yang intim dengan realitas politik. Ini sangat berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru yang cenderung romantik- idealistik. Lahir dalam lingkungan yang sangat keras dan memprihatinkan Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan 1945. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik.
Para penggerak Angkatan 1945 yaitu para sastrawan yang ada pada masa itu seperti Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, Sitor Situmorang, Muhammad Ali, Toto Sudarto Bachtiar. Para sastrawan Angkatan 1945 ini memiliki ciri khas masing- masing.
2.6 ANGKATAN 1950-1960-an
2.6.1 Angkatan 50an
2.6.1.1 Sejarah Lahirnya Periode 50 Slamet Muljono pernah menyebut bahwa sastrawan Angkatan ‘50 hanyalah pelanjut
(successor) saja, dari angkatan sebelumnya (’45). Tinjauan yang mendalam dan menyeluruh membuktikan bahwa masa ini pun memperlihatkan ciri-cirinya, yaitu:
1. Berisi kebebasan sastrawan yang lebih luas di atas kebiasaan (tradisi) yang diletakan pada tahun 1945.
2. Masa ‘50 memberikan pernyataan tentang aspirasi (tujuan yang terakhir dicapai nasional lebih 2. Masa ‘50 memberikan pernyataan tentang aspirasi (tujuan yang terakhir dicapai nasional lebih
3. Pusat kegiatan sastra makin banyak jumlahnya dan makin meluas daerahnya hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya berpusat di Jakarta dan Yogyakarta.
4. Terdapat pengungkapan yang lebih mendalam terhadap kebudayaan daerah dalam menuju perwujudan sastra nasional Indonesia.
5. Penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan asing, tetapi lebih kepada peleburan (kristalisasi) antara ilmu dan pengetahuan asing dengan perasaan dan ukuran nasional.
2.6.1.2 Ciri-ciri Periode 50-an Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jasin. Ciri
angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi oleh cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya. Kemudian angkatan ini dikenal dengan karyanya berupa sastra majalah Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan yang bergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berkonsep sastra realisme sosialis. Timbullah perpecahan antara sastrawan sehingga menyebabkan mandegnya perkembangan sastra, karena masuk ke dalam politik praktis, sampai berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30 S/PKI di Indonesia.
Adapun ciri-ciri dari periode ini antara lain:
1. Umumnya karya sastrawan sekitar tahun 1950-1960-an;
2. Sampai tahun 1950-1955, sastrawan angkatan ‘45 juga masih menerbitkan karyanya;
3. Corak karya cukup beragam, karena pengaruh faktor politik/idiologi partai;
4. Terjadi peristiwa G 30 S/PKI sehingga sastrawan Lekra disingkirkan.
2.6.1.3 Masalah yang Dihadapi Periode 50
1. Angkatan ’50 mengalami kendala dalam menerbitkan karya-karyanya, dikarenakan Balai Pustaka sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini bernaung dibawah P dan K dan pergantian status yang dilakukan hanya dalam waktu yang singkat dan tidak menentu, di tambah penempatan pemimpin yang bukan ahli, sehingga tidak dapat mengelola anggaran yang tersedia yang berakibat macetnya produksi karya.
2. Setelah Balai Pustaka yang mengalami kesulitan penerbitan, penerbit yang lainnya pun mengalami nasib serupa, seperti penerbit seperti Pembangunan dan Tintamas.
3. Oleh sebab itu, karya-karya sastra hanya banyak bermunculan di majalah-majalah seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, dan Pudjangga Baru. Oleh sebab itu pula karya yang banyak ditampilkan terutama sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang 3. Oleh sebab itu, karya-karya sastra hanya banyak bermunculan di majalah-majalah seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, dan Pudjangga Baru. Oleh sebab itu pula karya yang banyak ditampilkan terutama sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang
2.6.1.4 Tokoh-tokohnya
2.6.1.4.1 Ajip Rosidi Lahir di Jatiwangi, Majalengka, 1938. Sejak berumur 13 tahun sudah menulis di majalah-
majalah sekolah, kemudian di majalah orang dewasa. Karya-karyanya antara lain:
1. Cari Mauatan (kumpulan sajak, 1956)
2. Ditengah keluarga (1956)
3. Pertemuan Kembali (1960)
4. Sebuah Rumah Buat Hari Tua
5. Tahun-Tahun Kematian (1955)
6. Ketemu di Jalan$ (kumpulan sajak bersama Sobrone Aidit dan Adnan, 1956)
7. Perjalanan Pengantin (prosa,1958)
8. Pesta (kumpulan sajak, 1956)
2.6.1.4.2 Ali Akbar Navis Lahir di Padang Panjang, 17 November 1924. Sejak tahun 1950 mulai terlibat dalam kegiatan
sastra. Ia keluaran INS Kayu Taman. Karya-karyanya antara lain:
1. Bianglala (kumpulan cerita pendek, 1963)
2. Hujan Panas (kumpulan cerita pendek, 1963)
3. Robohnya Surau Kami (kumpulan cerita pendek, 1950)
4. Kemarau (novel, 1967)
2.6.1.4.3 NH. Dini
1. Dini, nama lengkapnya Nurhayati Suhardini, lahir 29 Pebruari 1936. Setelah menamatkan SMA 1956, lalu masuk kursus stewardess, kemudian bekerja di GIA Jakarta. Karya-karyanya banyak mengisahkan kebiasaan barat yang bertentangan dengan timur. Karya-karyanya antara lain:
2. Dua Dunia (1950)
3. Hati yang Damai (1960)
2.6.1.4.4 Nugroho Notosusanto Lahir di Rembang, 15 Juni 1931. Dia bergerak dalam kemasyarakatan dan pernah
menjadi Tentara Pelajar, lulusan Fakultas sastra UI Jakarta. Karya-karyanya antara lain:
1. Hujan Kepagian (kumpulan cerita pendek, 1958)
2. Rasa Sayange (1961)
3. Tiga Kota (1959)
4. Hujan Tanahku Hijau Bajuku (kumpulan cerita pendek, 1963)
2.6.1.4.5 Ramadhan K.H Lahirkan di Bandung, 16 Maret 1927. Namanya mulai muncul sekitar tahun 1952.
Karyanya berupa sajak, cerita pendek, dan terjemahan-terjemahan karya Lorca, pengarang Spanyol. Karya-karyanya antara lain:
1. Api dan Sirangka
2. Priangan si Jelita (kumpulan sajak, 1958, mendapat hadiah BMKM)
3. Yerna (terjemahan dari Lorca, 1959)
2.6.1.4.6 Sitor Situmorang Lahir di Tapanuli, 21 Oktober 1924. Dia adalah angkatan ‘45, yang tetap produktif menghasikan
karya di tahun 50-an. Karya-karyanya antara lain:
1. Pertempuran dan Salju di Paris (1956, mendapat hadiah dari BMKM)
2. Jalan Mutiara (kumpulan tiga sandiwara, 1954)
3. Surat Kertas Hijau (kumpulan sajak, 1953)
4. Wajah Tak Bernama (kumpulan sajak, 1955)
5. Jaman Baru (kumpulan sajak)
6. Dalam sajak
2.6.1.4.7 Subagio Sastrowardojo Karyanya antara lain:
2.6.1.4.8 Toto Sudarto Bachtiar Lahir di Palimanan, Cirebon, 12 Oktober 1929. Pendidikannya Cultuur-School di
Tasikmalaya tahun 1946, Mulo Bandung 1948, SMA Bandung 1950, dan Fakultas Hukum UI. Karya-karyanya antara lain:
1. Suara (kumpulan sajak, 1950-1955)
2. Elsa (kumpulan sajak, 1958)
2.6.1.4.9 Trisnojuwono Lahir di Yoyakarta, 5 Desember 1929. Dia menamatkan SMA tahun 1947. Sejak 1946 masuk
Tentara Rajyat Mataram, 1947-1948 anggota Corps Mahasiswa di Magelang dan Jombang. Tahun 1950 masuk tantara Siliwangi, Combat Intelligence, Kesatuan Komando, Pasukan Payung AURI sampai dapat Brevet. Karya-karyanya antara lain:
1. Laki-laki dan Mesiu (kumpulan cerita pendek, 1951/1957)
2. Angin Laut (kumpulan cerita pendek, 1958)
3. Di Medan Perang (1962)
4. Pagar Kawat Berduri.
2.6.1.4.10 Muhammad Ali Lahir di Surabaya, 25 April 1927. Pandidikannya HIS dan kursus-kursus bahasa pada masa
Jepang. Dia bekerja di Kotapraja Surabaya, menjadi redaktur Mingguan Pemuda dan Mingguan Pahlawan (1949-1950). Ia mulai bergerak di bidang Sastra tahun 1942. Karya- karyanya antara lain:
1. Siksa dan Bayangan (Balai Buku Surabaya, 1955)
2. Persetujuan dengan Iblis
3. Kubur Tak Bertanda (1955)
4. Hitam Atas Putih (1959)
2.6.1.4.11 Alexander Leo Lahir di Lahat, 1935. Pendidikannya SMA Malang 1945. Kemudian bekerja di Balai Pustaka
bagian redaksi. Karya-karyanya antara lain:
1. Orang-orang yang Kembali (kumpulan cerita pendek, 1956)
2. Mendung (Novel)
2.6.1.4.12 Toha Muchtar Karya-karyanya antara lain: 2.6.1.4.13 Riono Praktikto Lahir di Semarang, 27 Agustus 1932. Pendidikannya SMP 195, kemudian masuk Fakultas
Pengetahuan Tehnik bagian bangunan umum. Karyanya-karyanya antara lain:
1. Api (kumpulan cerita pendek, 1951)
2. Si Rangka (1958)
2.6.1.4.14 Iwan Simatupang Lahir di Sibolga, 18 Januari 1928. Dia merupakan sastrawan modern yang pernah dimiliki
Indonesia. Iwan sangat taat mempraktikan filsafat eksistensialisme dalam karya-karyanya. Ia juga dikenal sebagai penulis puisi, cerpen, esai, dan drama. Iwan adalah sastrawan yang mewakili paradigma postmodernisma dan menganut civil society international. Dalam pandangan Iwan, penyakit kebudayaan seperti etatisme, liberalisme, dan individualisme dapat diselesaikan atau disembuhkan melalui pertolongan orang luar (di antaranya satrawan- penulis) secara proposional, sistematis, dan universal. Esainya banyak menghiasi majalah- majalah kebudayaan seperti Zenith (1951-1954), Kisah (1953-1957), Mimbar Indonesia, Siasat, dan Sastra (1961-1964). Karya-karyanya antara lain:
1. Bulan Bujur Sangkar
2. Taman Drama, kemudian dibukukan menjadi Petang di Taman.
3. RT Nol /RW Nol
4. Lebih Hitam dari Hitam (cerpen, 1959)
5. Ziarah, Kering dan Merahnya Merah (1968).
2.6.1.4.15 Montinggo Busje Karya-karyanya antara lain:
1. Malam Jahanam (drama, mendapat hadiah ke-1 Departemen P &K)
2. Hari Ini Tak Ada Cinta
3. Sejuta Matahari
4. Malam Penganten di Bukit Kera (Novel)
2.6.1.4.16 W.S. Rendra Karya-karyanya antara lain:
2.6.1.4.17 Titie Said Lahir di Bojonegoro, 11 Juni 1935. Ia pernah menjadi redaksi majalah wanita. Karyanya
antara lain Perjuanagan dan Hati Perempuan (kumpulan cerita pendek, 1962) 2.6.1.4.18 Nasjah Jamin
Karya-karyanya antara lain:
1. Sekelumit Nyanyian Sunda (drama, mendapat hadiah ke-3)
2. Hilanglah Si Anak Hilang (novel, 1936)
3. Di Bawah Kaki Pak Dirman (kumpulan cerita pendek, 1967)
2.6.1.4.19 Susy Aminah Aziz Lahir di Jakarta, 24 Oktober 1937. Sejak 1957 menulis sajak dan cerita pendek dalam majalah-
majalah di ibu kota. Ia juga deklamator Tunas Mekar RRI Jakarta. Karya-karyanya antara lain:
1. Seraut Wajahku (kumpulan sajak, 1961)
2. Tetesan Embun (kumpulan sajak, 1961)
3. Mutiaraku Hilang (novel biografi)
2.6.1.4.20 DLL
Bokor Hutasuhut Karyanya seperti Datang Malam (1963)Enday RasyidiKaryanya Surat CintaTitis BasinoKaryanya
antara lain: Dia, Hotel, Surat Keputusan (cerpen, 1963).KirdjomuljoLahir di Yogyakarta, 1930. Sejak tahun 1958 termasuk penyair produktif. Karyanya antara lain Romance Perjalanan (1955). Misbah Jusa Biran Karyanya antara lain Bung Besar (drama, mendapat hadiah ke-2).
2.6.2 Angkatan 60an
2.6.2.1 Angkatan 60-an Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat
menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, antara lain munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan lain-lain pada masa angkatan ini di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya karya sastra pada masa angkatan ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang lalu termasuk juga dalam kelompok ini seperti Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia,
H.B. Jassin. Seorang sastrawan pada angkatan 50-60-an yang mendapat tempat pada angkatan ini adalah
Iwan Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berupa novel, cerpen dan drama kurang mendapat perhatian bahkan sering menimbulkan kesalahpahaman; ia lahir mendahului zamannya.
2.6.2.2 Tokoh-tokohnya
2.6.2.2.1 Abdul Hadi Widji Muthari Abdul Hadi Widji Muthari (lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1946; umur 62 tahun)
adalah salah satu sastrawan Indonesia. Sejak kecil ia telah mencintai puisi. Penulisannya dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar, ditambah dengan dorongan orang tua, kawan dan gurunya. Beberapa karyanya :
1. Meditasi (1976)
2. Laut Belum Pasang (1971)
3. Cermin (1975)
4. Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975)
5. Tergantung Pada Angin (1977)
6. Anak Laut, Anak Angin (1983)
2.6.2.2.2 Sutardji Calzoum Bachri Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu pada tanggal 24 Juni 1941 adalah
pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari
Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Programdi Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia. Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.
O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.
2.6.2.2.3 Sapardi Djoko Damono Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 68 tahun) adalah
seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer. Beberapa karyanya :
1. Dukamu Abadi – (kumpulan puisi)
2. Mata Pisau dan Akuarium – (kumpulan puisi)
3. Perahu Kertas – (kumpulan puisi)
4. Sihir Hujan – (kumpulan puisi)
5. Hujan Bulan Juni – (kumpulan puisi)
6. Arloji – (kumpulan puisi)
7. Ayat-ayat Api – (kumpulan puisi)
2.6.2.2.4 Goenawan Soesatyo Mohammad Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir di Karangasem, Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941; umur
67 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Penyair, esais, wartawan, yang sampai sekarang menjadi pimpinan umum majalah Tempo ini termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan. GM adalah juga penerima Anugerah Seni pemerintah RI, penerima Hadiah A. Teeuw tahun 1992 dan Hadiah Sastra ASEAN tahun 1981.Di samping prestasi-prestasi di atas, GM pernah menjadi wartawan Harian KAMMI, anggota DKJ, pimred Express, pimred majalah Zaman, redaktur Horison, anggota Badan Sensor Film.
Ia menulis kumpulan sanjak Interlude, Parikesit (1971);kumpulan esai Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malinkundang (1972); Catatan Pinggir I (1982), Catatan Pinggir 2 (1989), Catatan Pinggir 3 yang dihimpun dari majalah Tempo. Karyanya yang lain:
Asmaradahana (kumpulan puisi, 1992); Seks, Sastra, Kita (kumpulan esai); Revolusi Belum Selesai” (kumpulan esai); Misalkan Kita di Serayewo (antologi puisi, 1998).
Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai pemain sepak bola, politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman, dan musik. Pandangannya sangat liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional. Beberapa karya Goenawan Mohammad antara lain :
1. Interlude
2. Parikesit
3. Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang – (kumpulan esai)
4. Asmaradana
5. Misalkan Kita di Sarajevo
2.6.2.2.5 Iwan Martua Dongan Simatupang Iwan Martua Dongan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatera Utara tanggal 18 Januari 1928. Ia
belajar di HBS di Medan, lalu melanjtukan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi dan filsafat di Leiden dan Paris. Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952. Karya novel yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970, dan Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977. Iwan Simatupang meninggal di Jakarta 4 Agustus 1970. Beberapa karyanya antara lain :
1. Ziarah
2. Kering
3. Merahnya Merah
4. Koong
5. RT Nol / RW Nol – (drama)
6. Tegak Lurus Dengan Langit
2.6.2.2.6 Taufiq Ismail Taufiq Ismail (lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935; umur 73 tahun) ialah seorang sastrawan
Indonesia. Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan ’66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
Penyair ini terkenal dengan kumpulan sanjak Tirani dan Benteng, tertbit tahun 1966. Sanjak berjudul Seorang Tukang Rambutan dan Istrinya, Karangan Bunga, Sebuah Jaket Berlumur
Darah, Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini, Yang Kami Minta Hanyalah… bisa dijumpai dalam buku-buku tersebut. Kumpulan sanjaknya yang lain, Sajak Ladang Jagung (1973) terbit setelah ia pulang dari Amerika. Dalam buku tersebut, kita bisa membaca Kembalikan Indonesia Padaku, Beri Daku Sumba, Bagaimana Kalau ….. Sejak puluhan tahun yang lalu (1974) Taufiq bekerja sama dengan Bimbo Group dalam penulisan lirik lagu. Kita bisa dengar nikmati lagu dan lirik Aisyah Adinda Kita, Sajadah Panjang, Balada Nabi-nabi, Bermata tapi Tak Melihat, Ibunda Swarga Kita, dan lain-lain dari dirinya. Taufiq Ismail juga menulis Sajak-sajak Si Toni, Balai-balai, Membaca Tanda-tanda, Abad ke-15 Hijriah, Rasa Santun yang Tidur, Puisi-puisi Langit.
Pada awal tahun 1994 diluncurkan buku antologi puisi berjudul Tirani dan Benteng cetak ulang dua kumpulan puisinya yang terkenal itu. Buku tersebut diberi pengantar oleh sang penyair secara cukup panjang dan mendalam. Di antara kata pengantar dan dua kumpulan sanjak tersebut disertakan pula dalam buku ini Sajak-sajak Menjelang Tirani dan Benteng. Pada tahun- tahun seputar Reformasi ditulisnya puisi berjudul Takut 98 dan antologi puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia (MAJOI) terbit tahun 1998. Bersama DS Mulyanto, rekan sastrawan Angkatan ’66, Taufiq Ismail mengeditori buku tebal berjudul Prahara Budaya (antologi esai, 1995), bersama LK Ara dan Hasyim Ks menyusun buku tebal juga berjudul Seulaweh Antologi Sastra Aceh (1995).
2.6.2.2.7 Tokoh lainnya
1. Bur Rasuanto Bur Rasuanto dilahirkan di Palembang, 6 April 1937, adalah pengarang, penyair, wartawan. Ia
menulis kumpulan cerpen Bumi yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1963). Bur Rasuanto juga menulis roman Sang Ayah (1969); Manusia Tanah Air (1969) dan novel Tuyet (1978).
1. Subagio Sastrawardoyo Subagio Sastrawardoyo dilahirkan di Madiun, 1 Febuari 1924, meninggal di Jakarta, 18 Juli
1995. Penyair, pengarang, esais ini, pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, dosen bahasa Indonesia di Adelaide, dosen FS UGM, SESKOAD Bandung, Universitas Flinders, Australia Selatan. I menulis kumpulan sanjak Simphoni (1957); Daerah Perbatasan, Kroncong Motenggo (1975). Kumpulan esainya berjudul Bakat Alam dan Intelektualisme (1972); ManusiaTerasing di Balik Simbolisme Sitor, Sosok Pribadi dalam Sajak (1980); antologi puisi Hari dan Hara; kumcerpen Kejantanan di Sumbing (1965). Cerpennya Kejantanan di Sumbing dan puisinya Dan Kematian Makin Akrab meraih penghargaan majalah Kisah dan Horison.
1. Titie Said Sadikun Titie Said Sadikun dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Pengarang dan wartawati yang
pernah menjadi redaktur majalah Wanita, Hidup, Kartini, Famili ini menulis kumpulan cerpen Perjuangan dan Hati Perempuan (1962), novel Jangan Ambil Nyawaku (1977), Lembah Duka,
Fatimah yang difilmkan menjadi Budak Nafsu, Reinkarnasi, Langit Hitam di Atas Ambarawa.
1. Arifin C. Noer Arifin C. Noer dilahirkan di Cirebon 10 Maret 1941, meninggal di Jakarta 28 Mei 1995. Penyair
yang juga dramawan dan sutradara film ini menulis sanjak Dalam Langgar, Dalam Langgar Purwadinatan, naskah drama Telah Datang Ia, Telah Pergi Ia , Matahari di Sebuah Jalan Kecil , Monolog Prita Istri Kita dan Kasir Kita (1972, Tengul (1973), Kapai-kapai (1970), Mega-mega (1966), Umang-umang (1976), Sumur Tanpa Dasar (1975), Orkes Madun, Aa Ii Uu, Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi, Ozon. Karya-karyanya yang lain: Nurul Aini (1963); Siti Aisah (1964); Puisi-puisi yang Kehilangan Puisi-puisi (1967); Selamat pagi, Jajang (1979); Nyanyian Sepi (1995); drama Lampu Neon (1963); Sepasang Pengantin (1968); Sandek,Pemuda Pekerja (1979)
Selain penyair dan dramawan yang memimpin Teater Kecil, Arifin C. Noer juga penulis skenario dan sutradara film yang andal. Karya skenarionya antara lain: G 30 S/PKI; Serangan Fajar; Taksi; Taksi Juga; Bibir Mer.
Film-film yang disutradarinya: Pemberang (1972); Rio Anakku (1973); Melawan badai (1974); Petualang-petualang (1978); Suci Sang Primadona (1978); Harmonikaku (1979). Pada tahun 1972 Arifin menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI dan pada tahun 1990 menerima Hadiah Sastra ASEAN.
1. Hartoyo Andangjaya Hartoyo Andangjaya dilahirkan di Solo 4 Juli 1930, meninggal di kota ini juga pada 30 Agustus
1990. Penyair yang pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo dan Sumatra Barat ini menulis sanjak-sanjak terkenal berjudul Perempuan-perempuan Perkasa, Rakyat, juga Sebuah Lok Hitam, Buat Saudara Kandung. Sanjak-sanjak tersebut bisa dijumpai dalam bukunya Buku Puisi (1973). Musyawarah Burung (1983) adalah karya terjemahan liris prosaya tokoh sufi Fariduddin Attar. Seratusan puisi karya penyair sufi terbesar sepanjang sejarah, Maulana Jalaluddin Rumi, diambil dari Diwan Syamsi Tabriz, diterjemahkan dan dihimpunnya di bawah judul buku Kasidah Cinta.
Hartoyo juga menulis antologi puisi Simponi Puisi (bersama DS Mulyanto, 1954), Manifestasi (bersama Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail, 1963), kumpulan syair Dari Sunyi ke Bunyi (1991).Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (Tagore, 1976), Kubur Terhormat bagi Pelaut (antologi puisi J. Slauerhoff, 1977), Rahasia hati (novel Natsume Suseki,1978); Puisi Arab Modern (1984).Hartoyo Andangjaya termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan.
1. Slamet Sukirnanto Slamet Sukirnanto dilahirkan di Solo 3 Maret 1941. Penyair ini menulis buku kumpulan puisi
Kidung Putih(1967); Gema Otak Terbanting; Jaket Kuning (1967), Bunga Batu (1979), Catatan
Suasana (1982), Luka Bunga (1991). Bersama A. Hamid Jabbar, Slamet mengeditori buku Parade Puisi Indonesia (1993). Dalam buku itu, termuat sanjak-sanjaknya: Rumah, Rumah Anak- anak Jalanan, Kayuh Tasbihku, Gergaji, Aku Tak Mau; Bersama Sutarji Calzoum Bachri dan Taufiq Ismail, Slamet menjadi editor buku Mimbar Penyair Abad 21.
1. Mohammad Diponegoro Mohammad Diponegoro dilahirkan di Yogya 28 Juni 1928, meninggal di kota yang sama 9 Mei
1982. Pengarang, dramawan, pendiri Teater Muslim, penyiar radio Australia ini menulis cerpen Kisah Seorang Prajurit, roman Siklus, terjemahan puitis juz Amma Pekabaran/Kabar Wigati (1977), kumpulan esai ketika ia menjadi redaktur Suara Muhammadiyah berjudul Yuk, Nulis Cerpen, Yuk (1985). Mohammad Diponegoro juga menulis antologi puisi bersama penyair lain bertajuk Manifestasi (1963), drama Surat pada Gubernur, Iblis (1983), buku esai Percik-percik Pemikiran Iqbal (1984), antologi cerpen Odah dan Cerita Lainnya (1986).
1. Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo dilahirkan di Prambanan, 18 Maret 1930, meninggal di
Jakarta, 9 April 1984, mengarang roman Orang Buangan (1971), dan Perjanjian dengan Maut (1975), kumpulan sanjak Luka Bayang (1964), menerjemahkan epos Mahabharata. Hariyadi juga menulis buku astrologi Teropong Cinta (1984).
1. Satyagraha Hurip Satyagraha Hurip dilahirkan di Lamongan 7 April 1934, meninggal di Jakarta 14 Oktober 1998,
mengarang cerpen Pada Titik Kulminasi, kumcerpen Tentang Delapan Orang, novel Sepasang Suami Istri (1964), Resi Bisma (1960), serta menyunting antologi esai Sejumlah Masalah Sastra (1982). Karya-karyanya yang lain: Burung Api (cerita anak-anak, 1970); Sarinah Kembang Cikembang (kumcerpen, 1993). Satyagraha adalah editor buku Cerita Pendek Indonesia I – IV (1979) dan penulis terjemahan Keperluan Hidup Manusia (novel Leo Tolstoy, 1963).
Cerpen-cerpennya dimuat di Kompas, Republik, Matra, antara lain: Surat Kepada Gubernur, Sang Pengarang. Ia juga menulis kumpulan cerpen Gedono-Gedini (1990) dan Sesudah Bersih Desa (1989).
1. Titis Basino PI Titis Basino PI dilahirkan di Magelang 17 Januari 1939, menulis cerpen Rumah Dara, novel
Pelabuhan Hati (1978); Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983); Bukan Rumahku (1983); Welas Asih Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998), Dari Lembah ke Coolibah (1997); Tersenyum pun Tidak untukku Lagi (1998); Aku Supiyah Istri Hardian (1998); Bila Binatang Buas Pindah Habitat (1999); Mawar Hitam Milik Laras (2000); Hari yang Baik (2000). Pada tahun 1999 Titis menerima Hadiah Sastra Mastera.
1. Bambang Sularto Bambang Sularto dilahirkan di Purworejo 11 September 1934, meninggal di Yogyakarta tahun
1992, terkenal dengan dramanya Domba-domba Revolusi (1962). Juga ditulisnya novel Tanpa Nama (1963); Enam Jam di Yogya,drama tak Terpatahkan (1967); buku Teknik Menulis Lakon (1971)
1. Jamil Suherman Jamil Suherman dilahirkan di Surabaya 24 April 1924, meninggal di Bandung 39 November
1985. mengarang roman Perjalanan ke Akhirat; kumcerpen Ummi Kulsum(1963), kumpulan sanjak Nafiri (1983), novel Pejuang-pejuang Kali Pepe (1984); Sarip Tambak Oso (1985) . Juga menulis drama yang sangat terkenal berjudul Mahkamah di Seberang Maut.
1. Umar Kayam Umar Kayam dilahirkan di Ngawi 30 Maret 1932, Guru Besar UGM sang budayawan dan
pameran Bung Karno yang menulis kumcerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975).
Novelnya yang sangat terkenal berjudul Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (2000). Karyanya yang lain berjudul Ke Solo ke Jati dan Bi Ijah, keduanya berbentuk cerpen, kumcerpen Parta Krama (1997), kumpulan esai Seni, Tradisi, Masyarakat (1981); kumpulan kolom Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Bandha, Madhep Ngalor Madhep Ngidul. Pada tahun 1987 Umar Kayam memperoleh Hadiah Sastra ASEAN
1. Budiman S. Hartoyo Budiman S. Hartoyo dilahirkan di Solo 5 Desember 1938 menulis antologi puisi Lima Belas Puisi
(1972) ; Sebelum Tidur (1977). Banyak menulis puisi-puisi religius, di antaranya puisi tentang pengalaman spiritualnya ketika ia beribadah haji ke Tanah Suci. Dalam bunga rampai Laut Biru Langit Biru susunan Ayip Rosidi bisa dibaca sanjak-sanjak sufistiknya antara lain: Jarak Itu pun Makin Menghampir, Bukalah Pintu Itu, Di depan-Mu Aku Sirna Mendebu.
1. Gerson Poyk Gerson Poyk dilahirkan di Pulau Rote Timor 16 Juni 1931 mengarang novel Sang Guru (1971),
kumcerpen Matias Anankari (1975), novelet Surat Cinta Rajagukguk, Cinta Pertama, Kecil Itu Indah Kecil Itu Cinta. Gerson juga menulis cerpen berjudul Bombai, Puting Beliung, Pak Begowan Filsuf Hati Nurani;.
1. Ramadhan K.H. Ramadhan K.H. dilahirkan di Bandung, 15 Maret 1927, meninggal di Cape Town, Afrika Selatan,
15 Maret 2006, adalah penyair, novelis, penerjemah. Sebentar berkuliah di ITB, pindah ke
Akademi Dinas Luar Negeri, pernah bekerja di Sticusa Amsterdam, pernah menjadi redaktur majalah Kisah, Siasat, Budaya Jaya, anggota DKJ, direktur pelaksana DKJ., mengikuti Festival Penyair Internasional di Amsterdam tahun 1992, mewakili Indonesia dalam Kongres Penyair Sedunia dfi Taipeh tahun 1993, pernah bermukim di Falencia, Spanyol, Paris, Los Angeles, Jenewa, Bonn.
Ramadhan menulis kumpulan sanjak Priangan Si Jelita. Terkenal dengan romannya Royan Revolusi, novelnya Kemelut Hidup mengangkat tema sosial dengan mengetengahkan sebuah figur yang jujur, seperti Si Mamad nya Syuman Jaya. Novelnya yang lain berjudul Keluarga Permana, dari perjalanan cinta Inggit Ganarsih dengan Bung Karno, ditulisnya roman biografi Kuantar Ke Gerbang. Karya-karya Frederico Garsia Lorca, sastrawan Spanyol, diterjemahkan menjadi Romansa Kaum Gitana.
Ramadhan menulis novel yang mengasosiasikan pembaca pada korupsi yang terjadi di Pertamina berjudul Ladang Perminus Bersama G. Dwipayana, Ramadhan menulis otobiografi Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindak Saya.
1. Muhammad Saribi Afn Muhammad Saribi Afn dilahirkan di Klaten 15 Desember 1936, penyair dengan kumpulan
sanjaknya Gema Lembah Cahaya (1963). Karyanya yang lain, sebuah antologi bersama penyair- penyair Islam berjudul Manifestasi. Di Panji Masyarakat, ia menulis puisi panjang Yang Paling Manis ialah Kata. Dari mendengarkan kuliah subuh Buya HAMKA, lahirlah bukunya Hamka Berkisah tentang Nabi dan Rasul.
1. Mansur Samin Mansur Samin dilahirkan di Batangtoru Sumatra Utara 29 April 1930, penyair, pengarang cerita
kanak-kanak, wartawan, guru. Kumpulan sanjaknya Perlawanan (1966) dan Tanah Air (1969) merupakan sanjak-sanjak demonstrasi atau rekaman peristiwa kebangkitan Orde Baru, sebagaimana Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail dan Mereka Telah Bangkit karya Bur Rasuanto. Juga menulis antologi puisi Dendang Kabut Senja (1969), Sajak-sajak Putih (1996), drama Kebinasaan Negeri Senja (1968) Cerkan-cerkannya antara lain: Si Bawang, Telaga di Kaki Bukit, Gadis Sunyi, Empat Saudara, Berlomba dengan Senja.
1. Rahmat Joko Pradopo Rahmat Joko Pradopo dilahirkan di Klaten 3 November 1939, penyair yang juga Guru Besar
dari Fakultas Sastra UGM. Ditulisnya antologi puisi Matahari Pagi di Tanah Air (1967), Hutan Bunga (1990); Jendela Terbuka (1993). Sebagai ahli sastra, Rahmat menulis buku berjudul Pengkajian Puisi (1987); Bahasa Puisi Nyanyi Sunyi dan Deru Campur Debu (1982); Beberapa Teori Sastra, Metode Kreitik dan Penerapannya (1995).
2.7 ANGKATAN 1966 – 1970-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Muchtar Lubis. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbitan Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Montiggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rusanto, Goenawan Mohamad, dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia H.B. Jassin.
Beberapa sastrawan pada angkatan ini antara lain : Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C.Noer, Darmanto Jatman, Arif Budiman, Goenawan Muhamad, Budi Darma, Hamsat Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, DLL.
Penulis Dan Karya Sastra Angkatan 1966
1. Taufik Ismail Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Tirani dan Benteng Buku Tamu Musim Perjuangan
1. Nasjah Djamin Hilanglah Si Anak Hilang (1963)
Gairah Untuk Hidup dan Mati (1968)
1. Putu Wijaya Bila Malam Bertambah Malam (1971)
Telegram (1973) Pabrik Stasiun (1977) Gres dan Bom
2.7.1 Angkatan ‘66
Angkatan ’66 ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan yang sangat beragam dalam aliran sastra, seperti munculnya karya sastra beraliran surealis, arus kesadaran, arketipe, absurd, dan lainnya. Angkatan ini lahir di antara anak-anak muda dalam barisan perjuangan.
Angkatan ini mendobrak kemacetan-kemacetan yang disebabkan oleh pemimpin-pemimpin yang salah urus. Para mahasiswa mengadakan demonstrasi besar-besaran menuntut ditegakkannya keadilan dan kebenaran. Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan ’66 adalah: bercorak perjuangan antitirani, protes politik, anti kezaliman dan kebatilan, bercorak membela keadilan, mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan, berontak terhadap ketidakadilan, pembelaan terhadap Pancasila, berisi protes sosial dan politik. Hal tersebut diungkapkan dalam karya sastra pada masa Angkatan ’66 antara lain: Pabrik (Putu Wijaya), Ziarah (Iwan Simatupang), serta Tirani dan Benteng (Taufik Ismail). Berikut ini disajikan puisi Taufik Ismail, yang mencerminkan keprihatinannya terhadap situasi negara di masa itu.
Depan Sekretaris Negara Setelah korban diusung Tergesa-gesa Keluar jalanan Kami semua menyanyi “ Gugur Bunga” Perlahan-lahan Prajurit ini Membuka baretnya Air mata tak tertahan Di puncak gayatri Menundukkan bendera Di belakangnya segumpal awan (Antologi Tirani)
2.7.2 Angkatan 70an
Tahun 1960-an adalah tahun-tahun subur bagi kehidupan dunia perpuisian Indonesia. Tahun 1963 sampai 1965 yang berjaya adalah para penyair anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Karya Sastra sekitar tahun 1966 lazim disebut angkatan ‘66. H.B. Jassin menyebut bahwa pelopor angkatan ‘66 ini adalah penyair-penyair demonstran, seperti Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, dan sebagainya. Tahun 1976 muncul puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang menjadi cakrawala baru dalam dunia perpuisian Indonesia. Berikut ini disajikan beberapa penyair dan karyanya.
2.7.2.1 Tokoh-tokohnya
2.7.2.1.1 Goenawan Mohamad Lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 juli 1941. Ia adalah tokoh pejuang angkatan ‘66 dalam 2.7.2.1.1 Goenawan Mohamad Lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 juli 1941. Ia adalah tokoh pejuang angkatan ‘66 dalam
2.7.2.1.2 Taufiq Ismail Lahir di Bukit Tinggi, 25 Juni 1937. Dibesarkan di Pekalongan, putra seorang wartawan
berdarah Minang. Ia merupakan dokter hewan lulusan IPB. Ia juga dikenal sebagai dramawan terkenal di Bogor pada era 1960-an. Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair puisi-puisi demonstrasi. Ia sendiri aktif dalam demonstrasi. Kumpulan puisinya dibukukan dalam Tirani (1966) dan Benteng (1966). Pernah mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1971), International Writing Programm di Universitas Lowa (1973-1972), dan Kongres Penyair Dunia di Taipei (1973). Ia pernah menerima Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 1970. Kumpulan puisinya yang lain adalah Puisi-Puisi Sepi (1971), Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), dan Sajak-sajak Ladang Jagung (1975).
2.7.2.1.3 Sapardi Djoko Darmono Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai puisi “sangat sopan”, “sangat
gramatikal”, dan “sangat lembut”. Semula sang penyair tidak pernah dikaitkan dengan puisi-puisi protes atau kritik sosial, namun kesan itu hilang setelah ia menulis Ayat-ayat Api (2000). Meskipun ada kesan bahwa puisi-puisi Sapardi adalah puisi-puisi kamar yang harus dibaca dalam keadaan sunyi, namun banyak juga puisi-puisinya yang sangat populer dan dideklamasikan dalam lomba-lomba deklamasi serta dapat dikategorikan sebagai puisi auditorium (cocok untuk dibaca di pentas). Kepenyairan Sapardi membentang sejak tahun 1960-an hingga saat ini. Kumpulan puisinya terakhir berjudul Ayat-ayat Api. Kepenyairannya tidak mengganggu penjelajahannya dalam dunia ilmu sastra, sampai beliau menjadi pakar sastra, Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan terakhir sebagai anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. Kumpulan-kumpulan puisinya adalah Dukamu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1984), Sihir Hujan (1989), Hujan Bulan Juni (1994) dan Ayat-ayat Api (2000).
2.7.2.1.4 Hartoyo Andang Jaya Lahir di Solo, 1930, dan meninggal dunia di kota itu pula pada tahun 1990. Pernah
menjadi guru SLTP, SMU, dan STM. Ia pernah menjadi direktur majalah kanak-kanak Si Kuncung (1962-1964). Panggilan kepenyairanya sangat kental, sehingga ia tidak mau bekerja di luar bidangnya itu. Ia meninggal dalam keadaan sakit-sakitan. Setahun kemudian, hari kematiannya diperingati di Taman Budaya Surakarta (Solo) dan Taman Ismail Marzuki (Jakarta). Karyanya antara lain Simfoni Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1945) dan Buku
Puisi (1973). 2.7.2.1.5 Sutardji Calzoum Bachri Calzoum Bachri pernah menyatakan diri sebagai “Presiden Penyair Indonesia”. Pelopor
penulisan puisi konkret dan mantra ini akhir-akhir ini banyak terlibat dalam pembacaan puisi di sekolah dalam rangka pembinaan apresiasi puisi. Ia merintis bentuk baru dalam perpuisian Indonesia, uaitu puisi konkret dan mantra, puisi itu dikembalikan pada kodratnya yang paling awal yaitu sebagai kekuatan bunyi yang tidak “dijajah” oleh makna atau pengertian. Sutardji lahir di Rengat, Riau, 24 juni 1941. Ia pernah mendapat Hadiah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1993) dan dari Dewan Kesenian Jakarta (1976- 1977) juga dari South East Asia Write Award (Bangkok, 1981). Kumpulan puisinya berjudul O, Amuk Kapak (1981). Selain itu, kritik sastranya dilontarkan dalam masalah penulisan terkenal dengan nama kredo puisi.
2.7.2.1.6 Abdul Hadi W.M. Abdul Hadi Wiji Muntari lahir di sumenep pada tanggal 24 juni tahun 1944, ia pernah kuliah di
Fakultas Sastra UGM hingga Sarjana Muda (1967), Fakultas Filsafat UGM (1968-1971) dan Universitas Padjajaran (1971-1973), dia pernah tinggal di pulau penang. Selain itu, dia bekerja sambil belajar di Universitas Sains Malaysia sejak tahun 1991. Kumpulan puisinya Riwayat (1967), Laut Belum Pasang (1972), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976), Tergantung pada Angin (1977) dan Anak Laut Anak Angin (1984).
2.7.2.1.7 Yudhistira Adhi Nugraha Massardi Lahir di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Novelnya yang terkenal yaitu Arjuna Mencari
Cinta (1977) dan Dingdong (1978). Sementara itu kumpulan puisinya dibukukan dalam Omong Kosong (1978), Sajak Sikat Gigi (1978), Rudi Jalak Gugat (1982). Puisi-puisinya mirip dengan puisi mbling, yaitu puisi yang keluar dari pakem penulisan puisi yang harus memperhatikan rima, bunyi, verifikasi, dan tipografi, tapi bukan berarti bahwa puisinya dibuat dengan main-main atau tanpa kesungguhan.
2.7.2.1.8 Apip Mustopa Lahir di Garut, 23 April 1938. Terakhir bekerja sebagai pengasuh ruang sastra budaya RRI
Manokwari (1969-1970). Karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Puisi- puisinya juga dimuat dalam antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru Langit Biru.
2.7.2.1.9 D. Zawami Imron Lahir di Sumenep, Madura dan memperoleh pendidikan di lingkungan pesantren. Ia
pernah mendapat Hadiah Penulisan Puisi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985). Buku kumpulan puisinya adalah Semerbak Mayang (1977), Bulan Tertusuk Larang (1980), Nenek Moyangku Air Mata (1985), Cerulit Emas (1986), Bantalku Ombak, Selimutku Angin (1996), Semerbak Mayang (1997), dan Madura Aku Darah-Mu (1999).
2.8 ANGKATAN 1980 – 1990-an
Karya sastra Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada angkatan ini tersebar luas di berbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an antara lain adalah : Rami Sylado,Yudistria Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Aji Darma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Efendi Tarsyad, Noor Aini Cahaya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Huriko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, dimana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya tokoh utama pada novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-kaya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih dan berat.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Wanita yang dikomandoi Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardanhi, Diah Hadaning, Yvonne De Fretes, dan Oka Rusmini.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980 – 1990-an
1. Ahmadun Yosi Herfanda
1. Afrizal Malna Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
Yang Berdiam Dalam Mikrofon (1990) Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991) Dinamika Budaya dan Politik (1991) Arsitektur Hujan (1995)
Pistol Perdamaian (1996) Kalung Dari Teman(1998)