SEJARAH SASTRA INDONESIA DAN PERIODISASI

1. SEJARAH SASTRA INDONESIA

1.1 Pengertian Sejarah

Menurut Kuntowijoyo (dalam Yudiono, 2010:21), mengatakan bahwa sejarah masih merupakan barang mewah yang sedikit peminatnya. Sedangkan moedjanto mengatakan bahwa di dunia ini masih ada ilmuwan social dan humaniora, bahkan ilmuwan eksakta, yang mempunyai keyakinan bahwa dunia tidak hanya memerlukan insinyur, 8industriawan dan banker. Mereka berkeyakinan bahwa tertib dunia masa sekarang dan masa depan manusia memerlukan berbagai disiplin ilmu, termasuk sejarah. Disiplin sejarah, bersama dengan berbagai disiplin humaniora yang lain, serta disiplin-disiplin social, diperlukan demi pemanusiaan (hominisasi) dan pembudayaan (humanisasi) umat manusia. Dalam Mengerti Sejarah (Gottschalk, 1975) dijelaskan secara panjang lebar pengertian sejarah (history) yang berasal dari kata benda Yunani istoria yang berarti ‘ilmu’. Oleh filsuf Aristoteles, kata tersebut diartikan sebagai suatu pertelaan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, entah susunan kronologi merupakan faktor atau tidak di dalam pertelaan. Pengetahuan itu masih tetap hidup dalam bahasa inggris dengan sebutan natural history. Namun, dalam perkembangan kemudian, kata latin scientia lebih sering dipergunakan untuk menyebut pertelaan sistematik nonkronologis mengenai gejala alam, sedangkan istoria biasanya dipergunakan untuk pertelaan mengenai gejala-gejala (terutama hal-ihwal manusioa) dalam urutan kronologis.Kini history berarti masa lampau umat manusia. Dalam bahasa jerman terdapat geschichte, dari kat geschehen (=terjadi) yang seloanjutnya sering dipakai untuk pengertian pelajaran sejarah. Dalam pengertian itu, tergambar ketidakmungkinan masa lampau 7umat manusia untuk direkonstruksi. Sebab, pengalaman manusia di masa lampau sangat banyak untuk diingat kembali, direkam, dicatat, apalagi direkonstruksi. Dengan kata lain, masa lampau manusia untuk sebagian besar tidak dapat ditampilkan kembali. Dalam kehidupan semua orang, pastilah ada peristiwa, orang, kata- kata, pikiran-pikiran, tempat-tempat, dan bayangan-bayangan yang ketika terjadi sama sekali tidak menimbulkan kesan atau yang kini telah dilupakan.

1.2 Sejarah Sastra

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya, sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar itu, tampak

bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di depan bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran, kritik, dan lain- lain.Dalam Pengantar Ilmu Sastara (Luxemburg, 1982: 200-212) dijelaskan bahwa dalam sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dapat dihubungkan dengan perkembangan di luar bidang sastra seperti, sosial dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam arussejarah dan di dalam konteksnya. Perhatian para ahli sastra di Eropa terhadap sejarah sastra muncul pada abad ke-19, berawal dari perhatian ilmuwan pada zaman Romantuik yang menghubungkan segala sesuatu dengan masa lampau suatu bangsa. Adapun dasarnya adalah filsafat positivisme yang bertolak pada prinsip kausalitas, yaitu segala sesuatu dapat diterangkan bila sebabnya dapat dilacak kembali. Dalam hal sastra, sebuah karya sastra dapat diterangkan atau ditelaah secara tuntas apabila diketahui asal-usulnya yang bersumber pada riwayat hidup pengarang dan zaman yang melingkunginya.Tokoh yang berpengaruh besar terhadap pandangan tersebut adalah Hypolite Taine (1828-181893). Pandangannya menegaskan bahwa seorang pengarang dipengaruhi oleh ras, lingkungan, dan momen atau saat. Ras ialah apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya, lingkungan meliputi keadaan alam dan sosial, sedangkan momen ialah situasi sosio-pulitik pada zaman tertentu. Apabila ketiga fakta itu diketahui dengan baik maka dimungkinkan simpulan mengenai iklim suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya.Ahli sejarah sastra Jerman, Wilhelm Scherer (1841-1886) mempergunakan tiga faktor penentu, yaitu das Ererbte (warisan), das Erlebte (pengalaman), dan das Erlernte (hasil proses belajar). Penerapannya menuntut kerja sama yang erat antara ahli fisiologi, psikologi, linguistic, dan sejarah kebudayaan. Dia menegaskan bahwa seorang penulis sejarah sastra harus mampu menyelami seluruh kehidupan manusia, baik jasmani maupun rohani, dalam kebertautan yang kausal.

1.3 Sejarah Sastra Indonesia

Perhatian masyarakat sastra Indonesia terhadap masalah sejarah kebudayaan, termasuk sastra, telah tampak sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1930-an sebagaimana terbaca dalam Polemik Kebuadayaan suntingan Achdiat K.Mihardja (1977). Polemic yang berkembang antara tokoh-tokoh S.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, M.Amir, Ki Hadjar Dewantara, Adinegoro dan lain-lain memang tidak secara khusus memperdebatkan konsep kesusastraan Indonesia, tetapi telah memperlihatkan kesadaran mereka terhadap sejarah kebudayaan Indonesia.

Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa sebutan Indonesia telah dipergunakan secara luas dan kabur sehingga tidak secara tegas menunjuka pada semangat keindonesiaan yang baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Menurut Takdir, semangat keindonesiaan yang baru seharusnya berkiblat ke Barat dengan menyerap semangat atau jiwa intelektulnya Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa sebutan Indonesia telah dipergunakan secara luas dan kabur sehingga tidak secara tegas menunjuka pada semangat keindonesiaan yang baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Menurut Takdir, semangat keindonesiaan yang baru seharusnya berkiblat ke Barat dengan menyerap semangat atau jiwa intelektulnya

Menurut Sanusi Pane, kebudayaan Barat yang mengutamakan intelektualitas untuk kehidupan jasmani tidak dengan sendirinya istimewa karena terbentuk oleh tantangan alam yang keras sehingga orang harus berpikir dan bekerja keras. Sementara itu, kebudayaan Timur pun memiliki keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan rohani, karena kehidupan jasmani telah dimanjakan oleh alam yang serba memberikan kemudahan. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia baru dapat dibentuk dengan mempertemukan semangat intelektualitas Barat dengan semangat Kerohanian Timur.

Poerbatjaraka berpendapat bahwa sambungan kesejarahan itu sudah ada dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan penyelidikan tentang jalannya sejarah sehingga orang dapat menengok ke belakang sebagai landasan melihat keadaan zaman yang bersangkutan dan selanjutnya mengatur hari-hari yang akan datang.

Hingga sekarang sejarah sastara Indonesia telah berlangsung relative panjagn dengan perkembangan yang terbilang pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara panjang lebar. Hal itu dapat dipandang sebagai tantangan besar ahli sastra Indonesia.akan tetapi, pada kenyataannya buku-buku sejarah sastra Indonesia masihrelatif sangat sedikit dibandingkan dengan buku-buku kritik, esai, dan apresiasi sastra. Sejumlah buku sejarah sastra Indonesia tercata secara kronologis sebagai berikut:

1. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru oleh A.Teeuw (1952),

2. Sejarah sastra Indonesia oleh Bakri Siregar (1964),

3. Kesusastraan Baru Indoneisa oleh Zuber Usman (1964),

4. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1969),

5. Modern Indonesia Literature I-II oleh A.Teeuw (1979),

6. Sastra Baru Indonesia oleh A.Teeuw (1980),

7. Sari Kesusastaraan Indonesia oleh J.S. Badudu (1981),

8. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern oleh Pamusuk Eneste (1988),

9. Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 oleh Jakob Sumardjo (1992), dan

10. Sejarah Sastar Indonesia Modern oleh Sarwadi (2004). Di balik semua itu, barangkali sudah ditulis telaah sejarah sastra Indonesia dalam skripsi, tesis

dan disertasi. Akan tetapi, datanya masih sulit diandalkan sebagai rujukan untuk kepentingan pelajaran ini apabila belum terbit sebagai buku umum. Yang jelas, berbagai hasil penelitian itu merupakan bahan yang penting untuk penyusunan sejarah sastra Indonesia secara menyeluruh. Adapun sejumlah buku yang telah memperlihatkan persoalan-persoalan tertentu dalam sejarah sastra Indonesia antara lain sebagai berikut:

1. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia oleh Boen S.Oemarjati (1971),

2. Cerita Pendek Indonesia Mutakhir Sebuah Pembicaraan oleh Korrie Layun Rampan (1973),

3. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Oleh Ajip Rosidi (1985),

4. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1973),

5. Pengadilan Puisi oleh Pamusik Eneste (1986),

6. Perkembangan Novel-Novel Indonesia oleh Umar junus (1974),

7. Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern oleh Umar Junus (1984),

8. Perkembangan Teater Modern dan Sastara Drama Indonesia oleh Jakob Sumardjo (1997),

9. Prahara Budaya oleh D.S.Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995),

10. Puisi Indonesia Kini Sebuah Perkenalan oleh Korrie layun Rampan (1980),

11. Sejarah Pertumbuhan Sastra Indonesia di Jawa Baratm oleh Diana N.Muis,dkk. (200),

12. Sejarah dan Perkembangan Sastra Indonesia di Maluku oleh T.Tomasoa dkk. (2000),

13. Sejarah Pertumbuhan Sastra Indonesia di Sumatra Utara oleh Aiyub dkk. (2000), dan

14. Wajah Sastra Indonesia di Surabaya 1856-1994 oleh Suripan Sadi Hutomo (1995).

15. Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia Masalah periodisasi sejarah sastra Indonesia secara eksplisit telah diperlihatkan oleh Ajip Rosidi

dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), Jakob Sumardjo dalam Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992), dan Rahmat Joko Pradopo dalam Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan penerapannya (1995).

Secara garis besar Ajib Rosidi (1969: 13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:

1. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa period, yaitu

2. Period awal hingga 1933

3. Period 1933-1942

4. Period 1942-1945

5. Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa period, yaitu

6. Period 1945-1953

7. Period 1953-1961

8. Period 1061-1968 Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat yang

sedang menghadapai akulturasi sehingga menimbulkan berbagai problem bagi kelangsungan eksistensi masing-masing, sedangkan periode 1933-1942 diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantic-idealis.

Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, kegelisahan, dan peralihan, sedangkan warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Pada periode 1961-1968 tampak menonjol warna perlawanan dan Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, kegelisahan, dan peralihan, sedangkan warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Pada periode 1961-1968 tampak menonjol warna perlawanan dan

Pada kenyataanya telah tercatat lima angkatan yang muncul dengan rentang waktu 10 – 15 tahun sehingga dapat disusun perodisasi sejarah sastra Indonesia modern sebagai berikut:

1. Sastra Awal (1900 – an ),

2. Sastra Balai Pustaka (1920 – 1942)

3. Sastra Pujangga Baru (1930 – 1942)

4. Sastra Angkatan 45 (1942 – 1955)

5. Sastra Generasi Kisah (1955 – 1965)

6. Sastra Generasi Horison (1966) Dikatakan oleh Jakob bahwa penamaan itu didasarkan pada nama badan penerbitan yang

menyiarkan karya para sastrawan, seperti Penerbit Balai Pustaka, majalah Pujangga Baru, majalah Kisah, dan majalah Horison, kecuali angkatan 45 yang menggunakan tahun revolusi Indonesia. Ada juga penamaan angkatan 66 yang dicetuskan H.B.Jassin dengan merujuk gerakan politik yang penting di Indonesia pada sekitar tahun 1966.

Penulisan sejarah sastra Indonesia dapat dilakukan dengan dua cara atau metode, yaitu (1) menerapkan teori estetika resepsi atau estetika tanggapan, dan (2) menerapkan teori penyusunan rangkaian perkembangan sastra dari periode atau angkatan ke angkatan. Di samping itu, sejarah sastra Indonesia dapat juga dilakukan secara sinkronis dan diakronis. Yang sinkronis berarti penulisan sejarah sastra dalam salah satu tingkat perkembangan atau periodenya, sedangkan yang diakronis berarti penulisan sejarah dalam berbagai tingkat perkembangan, dari kelahiran hingga perkembangannya yang terakhir. Kemungkinan lain adalah penulisan sejarah sastra dari sudut perkembangan jenis-jenis sastra, baik prosa maupun puisi.

Setelah meninjau periodisasi sejarah sastra Indonesia dari H.B.Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, dan Ajip Rosidi, maka tawaran Rachmat Djoko Pradopo mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Periode Balai Pustaka : 1920-1940

2. Periode Pujangga Baru : 1930-1945

3. Periode Angkatan 45 : 1940-1955

4. Periode Angkatan 50 : 1950-1970

5. Periode Angkatan 70 : 1965-1984 Dari pendapat para pakar di atas, maka dapat disimpulkan periodisasi sastra sebagai berikut:

1. Angkatan balai pustaka,

2. Angkatan pujangga baru,

3. Angkatan ’45,

4. Angkatan 50-an.

5. Angkatan 60-an,

6. Angkatan kontemporer (70-an–sekarang).

2. PERIODISASI SASTRA INDONESIA

2.1 PUJANGGA LAMA

Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasikan karya sastra Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20, pada masa ini karya sastra didominasi oleh syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Di Nusantara budaya melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatra dan semenanjung malaya. Di Sumatra bagian utara muncul karya- kaya penting berbahasa melayu terutama karya-karya keagamaan.

Hamzah Pansuri adalah yang pertama diantara penulis angkatan pujangga lama dari istana kesultanan Aceh pada abad ke-17 muncul karya klasik selanjutnya yang paling terkenal adalah karya Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf Singkir serta Nuruddin Arraniri.

Karya sastra pujangga lama

1. Hikayat Hikayat Abdullah Hikayat Kalia dan Damina Hikayat Aceh Hikayat masyidullah Hikayat Amir Hamzah Hikayat Pandawa jaya Hikayat Andaken Panurat Hikayat Panda Tonderan Hikayat Bayan Budiman Hikayat Putri Djohar Munikam Hikayat Hang Tuah Hikayat Sri Rama Hikayat Iskandar Zulkarnaen Hikayat Jendera Hasan Hikayat Kadirun Tasibul Hikayat

1. Syair Syair Bidasari Syair Ken Tambuhan Syair Raja Mambang Jauhari

Syair Raja Siam

1. Kitab Agama Syarab Al Asyidiqin (minuman para pecinta) oleh Hamzah Panzuri Asrar Al-arifin (rahasia-rahasia gnostik) oleh Hamzah Panzuri Nur ad-duqa’iq (cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsudin Pasai. Bustan as-salatin (taman raja-raja) oleh Nuruddin Ar-Raniri.

2.2 SASTRA MELAYU LAMA

Karya satra yang dihasilkan antara tahun 1870-1942 yang berkembang dilingkungan masyarakat sumatra seperti “Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan Sumatra lainnya”, orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat, dan terjemahan novel barat.

Karya Sastra Melayu Lama Robinson Crousoe (terjemahan) Lawan-lawan Merah Grauf de Monte Cristo (terjemahan) Rocambole (terjemahan) Nyui Dasima oleh G. Prancis (indo) Bung Rampai oleh A.F. Bewali Kisah Perjanan Nahkoda Bontekoe kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R. Komer (indo) Cerita Nyonya Kong Hong Nio Nona Leonie Warna Sari Melayu oleh Kat. S.J Cerita Si Conat oleh F.D.J

2.3 ANGKATAN BALAI PUSTAKA

2.3.1 Angkatan Balai Pustaka

Angkatan Balai Pustaka lazim juga disebut Angkatan 20–an atau Angkatan Siti Nurbaya. Angkatan ini merupakan titik tolak kesustraan Indonesia. Adapun ciri- ciri Angkatan Balai Pustaka adalah: menggunakan bahasa Indonesia yang masih terpengaruh oleh bahasa Melayu, persoalan yang diangkat persoalan adat kedaerahan dan kawin paksa, dipengaruhi kehidupan tradisi sastra

daerah/lokal, dan cerita yang diangkat seputar romantisme. Angkatan Balai Pustaka disebut juga Angkatan Siti Nurbaya, karena salah satu roman yang sangat terkenal pada angkatan ini adalah Roman Siti Nurbaya. Berikut ini dapat kita pelajari bersama sinopsis Roman Siti Nurbaya. Siti Nurbaya adalah roman yang ditulis oleh Marah Rusli. Roman ini menceritakan tentang pemuda yang bernama Samsul Bahri, dengan kekasihnya Siti Nurbaya, dan Datuk Maringgih. Datuk Maringgih dengan keserakahannya menginginkan Siti Nurbaya untuk menjadi istrinya yang kesekian. Dengan licik ia beserta kaki tangannya berhasil menghancurkan perniagaan Baginda Sulaiman, ayah Siti Nurbaya. Karena terlibat utang yang tak akan terbayar oleh Baginda Sulaiman, akhirnya Datuk Maringgih berhasil menikahI Siti Nurbaya. Ia dengan terpaksa mengikuti keinginan Datuk Maringgi karena tidak rela ayahnya dipenjara. Samsul Bahri sangat mencintai Siti Nurbaya, berusaha untuk bunuh diri, tetapi gagal. Kemudian, ia menyamar menjadi Letnan Mas setelah bergabung dengan Kompeni Belanda. Ketika terjadi perang antara Belanda dengan masyarakat Sumatera Barat, Letnan Mas bertempur dengan Datuk Maringgih. Akhir cerita, semua tokoh penting dalam cerita ini meninggal dunia. Mereka dimakamkan di Gunung Padang. Melalui cerita ini, dapat kita ketahui bahwa kaum perempuan di masa itu, masih terpinggirkan atau belum mendapatkan kesetaraan. Walaupun Siti Nurbaya berasal dari keluarga kaya, ia tidak boleh meneruskan pendidikannya setamat dari sekolah rakyat. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan perempuan tidak perlu bersekolah tinggi. Perempuan cukup mengabdi kepada suami atau mengurusi rumah tangga. Selain itu, pengaruh tradisi dan adat masih sangat kuat, sehingga siapa pun yang melanggarnya akan dijadikan bahan pembicaraan di masyarakat. Berikut ini contoh lain karya sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka, yaitu berupa roman dan kumpulan puisi. Karya berupa roman antara lain Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Muda Teruna (Adi Negoro) , Salah Pilih (Nur St. Iskandar) dan Dua Sejoli (M. Kasim dkk.). Karya berupa kumpulan puisi antara lain Percikan Permenungan (Rustam Effendi) dan Puspa Mega (Sanusi Pane).

2.3.2 Pembentukan Balai Pustaka

Segolongan kecil masyarakat Hindia Belanda telah membaca karya sastra yang berbentuk novel dalam bahasa Melayu beberapa puluh tahun sebelum Sitti Nurbaya karya Marah Rusli diterbitkan Balai Pustaka pada 1922. Oleh beberapa kritikus, novel tersebut dianggap novel penting pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern[19]

, tetapi hal itu tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada novel yang pantas dibicarakan. Dua tahun sebelumnya penerbit yang sama mengeluarkan Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, dan pengarang yang sama telah menerbitkan sebuah novel saduran, Si Jamin dan si Johan, pada 1919. Sejak 1920-an Balai Pustaka sebagai penerbit resmi pemerintah kolonial memegang tugas penting dalam penerbitan buku-buku berbahasa Melayu; banyak di antara buku terbitannya itu kemudian dianggap penting dalam perkembangan sastra Indonesia modern. Namun, sebelum dan semasa Balai Pustaka ada beberapa penerbit swasta yang berani menerbitkan novel baik berdasarkan pertimbangan komersial maupun ideal. Dari segi perkembangan kesusastraan kita, Balai Pustaka tampak sebagai pencetus atau pendorong utama kesusastraan Indonesia modern; ditinjau dari segi sosial politik, badan itu sesungguhnya merupakan akibat dari suatu pergeseran sikap pemerintah kolonial pada waktu itu terhadap perkembangan pendidikan dan hasil-hasilnya. Pergeseran sikap itu merupakan akibat pula dari perubahan sosial yang ada, terutama sekali yang menyangkut golongan pribumi. Dalam sebuah brosur[20]kita dapat membaca pandangan pemerintah kolonial sendiri tentang perubahan sosial tersebut. Mula-mula kebanyakan pribumi yang mempunyai keinginan belajar sudah merasa puas apabila mereka sudah bisa membaca dan menulis huruf Arab. Biasanya mereka itu tidak mempunyai keinginan untuk melanjutkan pelajaran sesuai dengan sistem pendidikan modern yang ada pada waktu itu. Pemerintah kolonial menyesuaikan sekolah-sekolah yang didirikannya dengan keinginan yang tidak muluk-muluk itu. Maksud pendirian sekolah semacam itu adalah untuk melatih calon pegawai rendah yang diharapkan dapat melaksanakan pekerjaan administrasi sederhana. Di samping sekolah semacam itu ada juga sekolah yang disediakan khusus untuk keluarga bangsawan rendah; sekolah itu diharapkan dapat menghasilkan pegawai menengah yang cakap melakukan kerja administrasi yang lebih rumit. Kalangan orang pribumi yang bersekolah pada waktu itu praktis tidak usah merisaukan hari depannya; pekerjaan sudah tersedia baginya. Karena tidak ada keharusan “berjuang” untuk mendapatkan pekerjaan, hampir semua merasa puas dengan yang diterima di sekolah saja. Sedikit sekali usaha untuk mendapatkan pengetahuan lebih lanjut di luar sekolah. Namun, kebangkitan bangsa-bangsa Asia ternyata ada juga pengaruhnya terhadap sikap serupa itu. Di kalangan kaum pribumi

mulai tumbuh keyakinan dan harga diri yang lebih bulat, dan sebagai akibatnya terasa kebutuhan akan pendidikan lebih lanjut, yang tidak lain merupakan pendidikan Eropa. Bahkan di kalangan masyarakat yang paling rendah pun terasa adanya kebutuhan akan pendidikan dasar. Pemerintah Belanda tidak bisa berbuat lain kecuali memenuhi tuntutan itu: bermacam-rnacam sekolah didirikan di pelbagai kota; yang tertinggi adalah Sekolah Kedokteran, Sekolah Teknik, dan Sekolah Hukum. Penyediaan pendidikan untuk massa selalu mengandung konsekuensi sosial politik; hal ini dipahami benar oleh pemerintah. Pemerintah mengharapkan dua hal penting: pertama, dengan fasilitas yang ada pengetahuan yang didapat di sekolah-sekolah itu bisa dimanfaatkan secara “wajar”; kedua, pendidikan bukan merupakan keuntungan kelompok kecil masyarakat saja, tetapi bisa membagikan manfaat merata bagi seluruh penduduk—baik dari segi moral maupun kultural. Pemerintah kolonial juga menyadari bahwa tidak banyak gunanya mendidik orang apabila di luar sekolah tidak tersedia sarana yang bisa mengembangkan kepandaian. Dalam hal ini sarana yang penting berupa buku bacaan. Sangat berbahaya apabila pendidikan dilaksanakan tanpa penyediaan santapan rohani yang sehat. Apabila bacaan yang baik tidak tersedia di masyarakat, dikhawatirkan para pemuda yang sudah mampu membaca dan menulis itu akan terjerumus membaca “bacaan liar” yang diterbitkan oleh penerbit- penerbit “tak bertanggung jawab dan para agitator.” Pandangan serupa itu timbul sebelum Balai Pustaka didirikan, sekitar tahun-tahun pertama abad ke-20. Ketakutan pemerintah kolonial terhadap penerbit “tak bertanggung jawab” dan para “agitator” itu menunjukkan bahwa sebelum Balai Pustaka sudah ada beberapa penerbit swasta yang mengusahakan bacaan. Penerbit- penerbit swasta ini biasanya dipimpin oleh keturunan Tionghoa atau Belanda, dan mendasarkan kegiatan mereka pada keuntungan materi semata-mata. Tentu saja penerbit semacam itu tidak peduli benar apakah terbitannya merupakan santapan rohani yang sehat atau bukan—menurut ukuran pemerintah kolonial. Akhirnya pemerintah memutuskan untuk mendirikan badan penerbit yang bertugas menyediakan bacaan bagi pemuda-pemuda yang sudah mendapat pendidikan membaca dan menulis. Buku-buku itu diharapkan dapat memenuhi selera dan minat baca mereka, di samping untuk menjaga agar mereka tidak kehilangan keterampilan membaca dan menulis. Juga diharapkan agar buku-buku itu dapat menambah pengetahuan pembaca. Tugas badan penerbit serupa itu

memang berat: menyediakan bahan bacaan yang bidangnya lebih luas dari jangkauan sekolah-sekolah pada umumnya, memerangi keterbelakangan di segala segi kehidupan, dan membebaskan masyarakat dari takhayul dan tradisi kolot. Ditekankan pula bahwa usaha menyediakan bahan bacaan itu haruslah dapat menjauhkan rakyat dari hal-hal yang bisa merusakkan kekuasaan pemerintah danketenteraman negeri. Hampir tanpa kecuali novel-novel 1920-an yang biasa dibicarakan dalam kesusastraan Indonesia adalah terbitan Balai Pustaka, meskipun di luar itu juga ada juga cerita rekaan yang diterbitkan oleh “penerbit liar”. Penerbit semacam itu sudah ada sejak akhir abad ke-19, yang diterbitkannya adalah cerata-cerita dalam bahasa “Melayu Rendah”.[21 ] Pengarang-pengarangnya adalah golongan keturunan Tionghoa yang kebanyakan menulis untuk golongannya sendiri. Mula-mula yang ditulis adalah saduran berbagai cerita Tionghoa klasik, dan hanya pada perkembangan selanjutnya juga diciptakan novel-novel asli yang kebanyakan bermain di dalam masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda, dengan tokoh-tokoh utama keturunan Tionghoa pula. Tujuannya semata-mata mencari keuntungan materi. Penerbit-penerbit itu ditakuti pemerintah sebab tidak begitu memperhatikan segi moral dan pendidikan dalam buku- buku terbitannya.

19 H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I (Jakarta: Gunung Agung, 1953); A.H. Johns, “The Novel as a Guide to Indonesian Social History”, BKI: 1959; Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binacipta, 1976); C.W. Watson. “The Sociology of the Indonesian Novel 1920-1955, Tesis Ph.D. (Kingston upon Hull: University of Hull, 1972).

20 B. Th. Brondgeest dan G.W.J. Drewes, Bureau voor de Volkslectuur/The Bureau of Popular Literature of Netherlands India. What It is and What It Does (Weltevreden: Bureau voor de Volkslectuur, 1929).

21 Nio Joe Lan, Sastra Indonesia-Tionghoa (Jakarta: Gunung Agung, 1962).

2.3.3 Peran Balai Pustaka

Dalam perkembangan selanjutnya, Balai Pustaka dianggap memegang peranan penting dalam penerbitan novel di Indo nesia, tidak hanya yang ditulis dalam bahasa Melayu tetapi juga yang ditulis dalam bahasa daerah seperti Jawa dan Sunda. Jaringan perpustakaan rakyat, perpustakaan sekolah, dan toko buku yang diatur sangat rapi oleh penerbit pemerintah itu banyak membantu penyebaran buku-buku

terbitannya. Meningkatnya minat baca menyebabkan Balai Pustaka harus secara aktif mencari naskah agar judul-judul buku yang diterbitkannya semakin banyak. Dan atas dasar itulah rupanya sejak awal perkembangannya, kesusastraan Indonesia sudah mengenal sayembara mengarang. Dalam hal ini ternyata Balai Pustaka adalah juga salah satu pelopornya. Salah satu sayembara mengarang diselenggarakan penerbit itu pada 1937. “Perlumbaan Mengarang” tersebut antara lain diumumkan dalam Pedoman Pembaca 1937. Pengumuman tersebut ternyata bisa menjadi bahan yang sangat penting untuk mengetahui apa sebenarnya pandangan penerbit pemerintah itu terhadap kesusastraan. Dari pengumuman tentang syarat-syarat sayembara mengarang itu dapat ditarik kesimpulan antara lain sebagai berikut. Pertama, anggapan Balai Pustaka bahwa novel adalah tiruan kejadian-kejadian penting dalam kehidupan manusia, yang dapat mengajar pembaca dengan cara yang menarik hati; “. . . makin banyak kejadian yang penting-penting itu, makin banyak seseorang mengalami dalam kehidupannya, makin banyak soal yang sulit-sulit harus diselesaikannya, maka lukisan sekaliannya itu dalam sebuah buku akan makin lebih menarik hati kita pula.” Kedua, Balai Pustaka berpendapat bahwa dalam novel unsur- unsur formalnya harus memiliki hubungan yang erat. Penokohan harus erat hubungannya dengan alur agar karang an tidak sekadar merupakan verslag belaka. Yang penting bukan sekadar keganjilan pengalaman yang diungkapkan tetapi “sikap dan akhlaknyalah (si tokoh) yang terutama harus jadi dasar dan pokok penyelesaian soal- soal itu.” Ketiga, Balai Pustaka beranggapan bahwa novel ditulis secara realistis, “Segala yang diceritakan itu hendaklah berjalan seperti yang sebenarnya mungkin terjadi.” Hanya dengan cara itulah semangat dan akhlak tokoh dapat kita pahami sebaik-baiknya. Keempat, penokohan yang ternyata dianggap lazim oleh penerbit itu adalah cara hitam-putih.Melayu dan daerah. Pengumuman sayembara itu juga memberikan beberapa keterangan penting mengenai posisi sastra Melayu pada waktu itu. Sayembara itu terbuka bagi siapa saja dan karangan boleh ditulis dalam bahasa Melayu, Jawa, atau Sunda. Seorang pengarang hanya boleh memasukkan sebuah karang an. Dalam Pedoman Pembaca tahun berikutnya (1938:19) diberitahukan bahwa jumlah karangan yang diterima redaksi Balai Pustaka sebanyak 433 naskah terbagi dalam 232 ber bahasa Jawa, 147 berbahasa Melayu, dan 54 naskah dalam

bahasa Sunda. Sayembara yang meliputi penulisan karangan ilmu pengetahuan populer dan sastra itu menghasilkan naskah populer berbahasa Melayu sebanyak 26, berbahasa Jawa 25, dan berbahasa Sunda 6. Jadi naskah novel yang masuk adalah 207 dalam bahasa Jawa, 121 dalam bahasa Melayu, dan 38 dalam bahasa Sunda. Angka- angka itu dengan jelas membuktikan bahwa setidaknya sampai pada akhir 1930-an, pengarang ber bahasa Jawa masih jauh lebih banyak daripada yang ber bahasa Melayu. Namun perhatian Balai Pustaka ternyata lebih banyak ditujukan kepada penerbitan yang berbahasa Melayu, yang untuk konsumsi kaum yang lebih maju, meski pun tidak sedikit judul buku yang dicetak dalam tiga bahasa sekaligus. Sayembara yang diadakan Balai Pustaka itu menunjukkan bahwa novel dibutuhkan. Ternyata kebutuhan akan novel itu dipenuhi juga oleh beberapa penerbit swasta yang sama sekali menggantungkan hidup mereka dari penjualan buku ter bitan mereka. Oleh sebab itu wajar apabila penerbit swasta itu memiliki kriteria sendiri dalam penerbitannya. Kalau Balai Pustaka beranggapan bahwa novel harus memberikan pe ngajaran kepada pembaca, maka penerbit swasta berpendapat bahwa novel harus dapat memberikan keuntungan bagi penerbit. Dengan demikian orientasinya bukanlah pada kebijakan pendidikan pemerintah kolonial, melainkan pada pasar. Yang diterbitkan adalah yang menurut perkiraan menjadi kesukaan pembaca.

2.3.4 Sikap Balai Pustaka

Dalam bukunya tentang Sastra Indonesia-Tionghoa, Nio Joe Lan menjelaskan bahwa sejak 1925 para pengarang dalam Melayu- Tionghoa mendapat kesempatan agak besar untuk menerbitkan karyanya. Pada tahun itu terbit Penghidupan dan Cerita Roman di Surabaya, dua penerbitan yang masing-masing setiap bulannya mengeluar kan sebuah novel. Keberhasilan kedua penerbit itu disusul oleh beberapa penerbitan lain di pelbagai kota di Jawa, dan kegiatan penerbitan semacam itu mencapai puncaknya pada 1930-an dan berakhir pada masa pendudukan Jepang. Di samping berbagai penerbit novel Melayu-Tionghoa itu, di beberapa kota ada beberapa penerbit yang mencari untung dengan menerbitkan novel murahan, yang kemudian lebih dikenal sebagai “roman picisan”. Kota yang terkenal sebagai pusat penerbitan semacam itu adalah Medan. Suatu hal yang menarik tentang para pengarang novel-novel itu adalah bahwa beberapa di antara mereka ternyata juga menulis untuk Balai Pustaka. Bahkan ada beberapa Dalam bukunya tentang Sastra Indonesia-Tionghoa, Nio Joe Lan menjelaskan bahwa sejak 1925 para pengarang dalam Melayu- Tionghoa mendapat kesempatan agak besar untuk menerbitkan karyanya. Pada tahun itu terbit Penghidupan dan Cerita Roman di Surabaya, dua penerbitan yang masing-masing setiap bulannya mengeluar kan sebuah novel. Keberhasilan kedua penerbit itu disusul oleh beberapa penerbitan lain di pelbagai kota di Jawa, dan kegiatan penerbitan semacam itu mencapai puncaknya pada 1930-an dan berakhir pada masa pendudukan Jepang. Di samping berbagai penerbit novel Melayu-Tionghoa itu, di beberapa kota ada beberapa penerbit yang mencari untung dengan menerbitkan novel murahan, yang kemudian lebih dikenal sebagai “roman picisan”. Kota yang terkenal sebagai pusat penerbitan semacam itu adalah Medan. Suatu hal yang menarik tentang para pengarang novel-novel itu adalah bahwa beberapa di antara mereka ternyata juga menulis untuk Balai Pustaka. Bahkan ada beberapa

Perkembangan penerbitan buku itu rupanya membuat Balai Pustaka agak khawatir. Dekade 1930-an memang merupakan dekade pertama dalam sejarah sastra Indonesia yang menyaksikan ledakan penerbitan novel. Dalam sebuah artikel “Tanggung Jawab Penerbit” yang dimuat dalam Pedoman Pembaca (1938) majalah terbitan Balai Pustaka, redaksi menulis antara lain:

Selama golongan kritisi itu belum lahir, maka kewajiban memberi kritik itu jatuh pada kaum penerbit. Dalam Pedoman Pembaca No.

10 sudah kami terangkan perkara kewajiban penerbit, mesti selalu awas-awas, jangan diterima nya sembarang karangan. Penerbit itu mesti pandai dalam bermacam-macam perkara. Karena golongan kritisi itu belum lahir, kewajiban memberi kritik itu mesti jatuh pada nya, maka pertanggungannya memang sangat berat, lebih daripada di negeri lain-lain. Moga-moga penerbit partikulir lambat laun lebih berani menambah syarat-syaratnya untuk menerima karangan. Kalau ada terbit karangan yang bukan- bukan, salah terbesar bukan tanggungan pengarang, melain kan tanggungan penerbit. Kalau penerbit suka menambah syarat-syaratnya, maka dengan sendirinya pengarang akan berhati-hati.

“Yang bukan-bukan” bagi Balai Pustaka berarti yang tidak sesuai dengan garis kebijaksanaan pemerintah dalam soal penerbitan buku bacaan. Karangan yang buruk bisa dengan leluasa beredar di masyarakat karena belum ada kritikus yang baik. Jabatan kritikus itu biasanya dirangkap oleh wartawan yang biasanya melakukan ulasan dengan serampangan. Artikel dalam Pedoman Pembaca itu adalah tanggapan terhadap sebuah artikel yang dimuat dalam harian Pewarta Deli, Medan, 16 Nopember 1938, tentang tanggung jawab pengarang. Artikel yang sebagian dikutip oleh Pedoman Pembaca itu antara lain menyebutkan bahwa “zaman sekarang pasar buku kebanjiran kitab-kitab yang berbahasa Melayu.” Selanjutnya dikatakan,

Keadaan itu adalah tanda bahwa publik sudah tahu menghargakan pembacaan dan mau mengurbankan uangnya untuk membeli kitab- Keadaan itu adalah tanda bahwa publik sudah tahu menghargakan pembacaan dan mau mengurbankan uangnya untuk membeli kitab-

Meskipun secara keseluruhan bersikap positif, penulis artikel tersebut sempat menyayangkan bahwa mutu buku-buku bacaan yang diterbitkan pada waktu itu semakin lama semakin menurun. Semakin banyak pengarang dan buku ternyata tidak menyebabkan peningkatan mutu buku-buku tersebut. Sangat sulit mencari buku bagus waktu itu. Rupanya kebanyakan pengarang menulis secara seram pangan saja. Keadaan yang sedemikian itulah yang memberi kan tugas kepada wartawan untuk bertindak sebagai “kritikus”, untuk memberi tahu pembaca mana karangan yang baik dan yang mana yang buruk. Tentang tugas tambahan bagi wartawan itu ternyata Balai Pustaka berpendirian lain. Wartawan tidak bisa dibebani tugas sebagai penyeleksi karya sastra. Dan selama belum ada kritikus yang benar-benar mantap, tugas para penerbitlah untuk bertindak sebagai kritikus. Penerbit harus ketat men yensor buku-buku yang akan diterbitkannya. Jadi sebenarnya penerbitlah yang mendidik pembaca. Dan Balai Pustaka rupanya berusaha keras untuk mempertahankan pendirian semacam itu, pendirian yang bisa saja “memaksa” pengarang untuk memperhatikan kehendak penerbit dan bukan kehen dak publik atau kehendaknya sendiri. Hasil sikap semacam itu muncul dalam berbagai bentuk. Ada novel yang ditolak Balai Pustaka karena dari segi pendidikan dan sikap hidup tidak memenuhi kriterianya. Ada beberapa novel yang ditulis berdasarkan kerja sama antara pengarang dan redaktur. Dan praktis semua novel keluaran Balai Pustaka harus tunduk pada penggunaan bahasa Melayu gaya Balai Pustaka—yang kemudian dianggap sebagai semacam ragam bahasa sastra sebelum perang. Dan sikap yang bisa disebut “kaku” dari segi stilistika dan tematik itu menyebabkan beberapa pihak kemudian mengembangkan sikap tersendiri dalam memberikan “pengajaran” kepada pembacanya.

2.3.5 Detail dan Ciri

Angkatan Balai Pustaka Nama penerbit balai pustaka sudah tidak asing lagi bagi masyarakat terpelajar Indonesia karena Angkatan Balai Pustaka Nama penerbit balai pustaka sudah tidak asing lagi bagi masyarakat terpelajar Indonesia karena

Secara teoretis dapat dikatakan banyak masalah yang dapa diungkapkan ari balai pustaka selama ini, antara lain visi dan misi, status, program kerja, para tokoh, kebijakan redaksi,

pengarang, distribusi, dan produksi. Telaah semacam itu dapat dijadikan pengkajian sejarah mikro yang pasti relevan dengan sejarah makro sastra Indonesia. Ditambah dengan pengkajian berbagai gejala yang berkembang di sekitarnya pastilah memperluas wawasan pengetahuan masyarakat. Mungkin saja kemudian berkembang pendapat bahwa balai pustaka ternyata bukan satu-satunya penerbit pada tahun 1920-an membuka tradisi sastra modern, atau justru dilupakan saja karena berjejak colonial.

Ciri-ciri umum roman angkatan balai pustaka:

1. Bersifat kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan yang hanya berlaku di daerah tertentu, khususnya Sumatra barat.

2. Bersufat romantic-sentimental, karena ternyata banyak roman yang mematikan tokoh- tokohnya atau mengalami penderitaan yang luar biasa.

3. Bergata bahasa seragam, karena dikemas oleh redaksi balai pustaka, sehingga gaya bahsanya tidak berkembang.

4. Bertema sosial, karena belum terbuka kesempatan mempersoalkan masalah polotik, watak, agama, dan lain-lain.

2.3.6 Tokoh-Tokoh

2.3.6.1 Abdul Muis Abdul muis (lahir di solok, Sumatra barat, tahun 1886, meninggal di bandung 17 juli 1959),

Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad yang didirikan pada tahun 1916 oleh pemerintah penjajahan Belanda. Ia dimakamkan di TMP Cikutra – Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959).

Karir yang pernah dia jalani :Dia pernah bekerja sebagai klerk di Departemen Buderwijs en

Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung pada surat kabar Belanda, Preanger Bode, harian Kaum Muda dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim. Selain itu ia juga pernah aktif dalam Syarikat Islam dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan.

Riwayat Perjuangan melawan penjajah antara lain :

1. Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express

2. Pada tahun 1913, menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis melalui Komite Bumiputera bersama dengan Ki Hadjar Dewantara

3. Pada tahun 1922, memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat

4. Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School – Institute Teknologi Bandung (ITB)

Karya-karyanya yang terkenal :

1. Salah Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972)

2. Pertemuan Jodoh (novel, 1933)

3. Surapati (novel, 1950)

4. Robert Anak Surapati(novel, 1953) Novel asing yang pernah diterjemahkan oleh Abdul Muis antara lain :

1. Don Kisot (karya Cerpantes, 1923)

2. Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)

3. Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932)

4. Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950)

2.3.6.2 Marah Rusli Marah Rusli, sang sastrawan itu, bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di

Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang. Marah Rusli mengawini gadis Sunda kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis Sunda bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi Marah Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.

Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni profesinya Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni profesinya

Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya. Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada pembacanya. Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini. Setelah lebih delapan puluh tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan dibicarakan.

Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan tetapi, Siti Nurbaya itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.Karya-karyanya yang terkenal antara lain :

1. a)Siti Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka. 1920 mendapat hadiah dari Pemerintah RI tahun 1969.

2. b)La Hami. Jakarta : Balai Pustaka. 1924.

3. c)Anak dan Kemenakan. Jakarta : Balai Pustaka. 1956.

4. d)Memang Jodoh (naskah roman dan otobiografis)

5. e)Tesna Zahera (naskah Roman)

2.3.6.3 Merari Siregar Merari Siregar (lahir di Sipirok, Sumatera Utara pada 13 Juli 1896 dan wafat di Kalianget,

Madura, Jawa Timur pada 23 April 1941) adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. Setelah lulus sekolah Merari Siregar bekerja sebagai guru bantu di Medan. Kemudian dia pindah

ke Jakarta dan bekerja di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Terakhir pengarang ini pindah ke Kalianget, Madura, tempat ia bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir hayatnya.

Karya-karyanya yang terkenal adalah

1. a)Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun 1920,Cet.4 1965.

2. b)Binasa Karena Gadis Priangan. Jakarta: Balai Pustaka 1931.

3. c)Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta: Balai Pustaka 1924.

4. d)Cinta dan Hawa Nafsu. Jakarta: t.th.

5. e)Si Jamin dan si Johan. Jakarta: Balai Pustaka 1918.

2.3.6.4 Nur Sutan Iskandar Nur Sutan Iskandar (Sungai Batang, Sumatera Barat, 3 November 1893 – Jakarta, 28 November

1975) adalah sastrawan Angkatan Balai Pustaka. Nur Sutan Iskandar memiliki nama asli Muhammad Nur. Seperti umumnya lelaki Minangkabau

lainnya Muhammad Nur mendapat gelar ketika menikah. Gelar Sutan Iskandar yang diperolehnya kemudian dipadukan dengan nama aslinya dan Muhammad Nur pun lebih dikenal sebagai Nur Sutan Iskandar sampai sekarang.

Setelah menamatkan sekolah rakyat pada tahun 1909 Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai guru bantu. Pada tahun 1919 ia hijrah ke Jakarta. Di sana ia bekerja di Balai Pustaka, pertama kali sebagai korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka (1925-1942). Kemudian ia diangkat menjadi Kepala Pengarang Balai Pustaka, yang dijabatnya 1942-1945.

Nur Sutan Iskandar tercatat sebagai sastrawan terproduktif di angkatannya. Selain mengarang karya asli ia juga menyadur dan menerjemahkan buku-buku karya pengarang asing seperti Alexandre Dumas, H. Rider Haggard dan Arthur Conan Doyle. Karya-karyanya yang terkenal antara lain :

1. a) Apa Dayaku karena Aku Perempuan (Jakarta: Balai Pustaka, 1923)

2. b)Cinta yang Membawa Maut (Jakarta: Balai Pustaka, 1926)

3. c)Salah Pilih (Jakarta: Balai Pustaka, 1928)

4. d)Abu Nawas (Jakarta: Balai Pustaka, 1929)

5. e)Karena Mentua (Jakarta: Balai Pustaka, 1932)

6. f)Tuba Dibalas dengan Susu (Jakarta: Balai Pustaka, 1933)

7. g)Dewi Rimba (Jakarta: Balai Pustaka, 1935)

8. h)Hulubalang Raja (Jakarta: Balai Pustaka, 1934)

9. i)Katak Hendak Jadi Lembu (Jakarta: Balai Pustaka, 1935)

10. j)Neraka Dunia (Jakarta: Balai Pustaka, 1937)

11. k)Cinta dan Kewajiban (Jakarta: Balai Pustaka, 1941)

12. l)Jangir Bali (Jakarta: Balai Pustaka, 1942)

13. m)Cinta Tanah Air (Jakarta: Balai Pustaka, 1944)

14. n)Cobaan (Turun ke Desa) (Jakarta: Balai Pustaka, 1946)

15. o)Mutiara (Jakarta: Balai Pustaka, 1946)

16. p)Pengalaman Masa Kecil (Jakarta: Balai Pustaka, 1949)

17. q)Ujian Masa (Jakarta: JB Wolters, 1952, cetakan ulang)

18. r)Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas II (Jakarta: JB Wolters, 1952)

19. s)Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas III (Jakarta: JB Wolters, 1952)

20. t)Peribahasa (Karya bersama dengan K. Sutan Pamuncak dan Aman Datuk Majoindo. Jakarta: JB Wolters, 1946)

21. u)Sesalam Kawin (t.t.)

2.3.6.5 Tulis Sutan Sati Tulis Sutan Sati (Bukittinggi, Sumatra Barat, 1898 – 1942) adalah penyair dan sastrawan

Indonesia Angkatan Balai Pustaka. Karya-karyanya yang terkenal antara lain :

1. Tak Disangka (1923)

2. Sengsara Membawa Nikmat (1928)

3. Syair Rosina (1933)

4. Tjerita Si Umbut Muda (1935)

5. Tidak Membalas Guna

6. Memutuskan Pertalian (1978)

7. Sabai nan Aluih: cerita Minangkabau lama (1954)

2.3.6.6 Muhammad Yamin Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia

menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Di zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.

Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) ‘Sekolah Menengah Umum’ di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) ‘Sekolah Menengah Umum’ di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak

Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun 1932.

Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926–1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo (1932–1938).

Pada tahun 1938—1942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai anggota Volksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’. Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).