Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka

3. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka

Maurice Adams, guru besar democratic governance dan rule of law Universitas Tilburg, bersama koleganya Benoît Allemeersch, profesor hukum acara Eropa dan Belgia Universitas Leuven, merumuskan taksonomi independensi peradilan dalam empat jenis: Pertama, individual or core independence, bahwa seorang hakim harus dapat mengambil setiap putusan pengadilan yang ia yakini menjadi benar dan tanpa tekanan dari luar; Kedua, internal independence, di mana sumber faktual pengaruh dan kontrol ada di antara para hakim sendiri; Ketiga, extra-institutional independence, dengan alat uji melalui pertanyaan: apakah hakim dipengaruhi oleh sumber faktual lain selain rekan dan kekuasaan negara lainnya, seperti media? Misalnya, dalam kasus pidana, suatu media mungkin memengaruhi praduga tak bersalah. Hakim yang memutuskan tidak lagi independen karena kesimpulan mereka sangat ditentukan oleh pihak eksternal. Keempat, institutional independence, yaitu independensi kekuasaan kehakiman dari sudut pandang kelembagaan. Pengadilan sebagai sebuah institusi menjadi tidak benar-benar independen karena kontrol eksternal yang dilakukan di atasnya dengan (atau melalui) Mahkamah Agung, atau oleh cabang-cabang pemerintahan yang lain.

Taksonomi independensi peradilan di atas dapat dikontekstualkan sebagai indikator prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka di Indonesia. Dengan meminjam kaca mata taksonomi independensi peradilan Maurice Adams dan Benoît Allemeersch di atas, dalam indeks negara hukum tahun ini, prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka berkembang menjadi empat indikator dibanding tahun sebelumnya

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

(2013) -dua indikator. Meskipun tidak serta-merta dijadikan indikator, namun elemen dari jenis independensi peradilan Maurice Adams dan Benoît Allemeersch diformulasi ulang menjadi empat indikator.

Indikator pertama, independensi hakim dalam mengadili dan memutus perkara, yang terbagi menjadi dua subindikator: independensi hakim dalam proses persidangan dan independensi hakim dalam memutus perkara. Subindikator pertama, independensi hakim dalam proses persidangan, akan menilai: distribusi perkara oleh ketua pengadilan; pemberian kesempatan yang sama kepada para pihak yang berperkara dalam menggunakan haknya oleh hakim; proses persidangan yang tidak berbelit-belit; dan upaya hakim dalam menghindari konflik kepentingan pada perkara yang ditanganinya. Subindikator kedua, independensi hakim dalam memutus perkara, ditujukan pada hakim dalam menggunakan pertimbangan dalam putusannya; rasa keadilan masyarakat terhadap putusan hakim; dan kebebasan hakim dari pengaruh apa pun dalam menjatuhkan putusan.

Indikator kedua adalah independensi hakim dalam kaitannya dengan manajemen sumber daya hakim. Indikator ini pun terdiri dari dua subindikator: manajemen SDM hakim dan manajemen pengawasan hakim. Subindikator pertama mencermati mekanisme seleksi, rekrutmen, mutasi-promosi, dan kesempatan hakim dalam peningkatan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan. Sedangkan subindikator kedua, akan menilai efektifitas pengawasan internal dan eksternal (khususnya Komisi Yudisial) serta sinergitas kedua pengawasan tersebut.

Indikator ketiga, independensi hakim dalam kaitannya dengan kebijakan kelembagaan. Indikator ini terbagi menjadi dua subindikator: sarana-prasarana dan anggaran pengadilan (termasuk dukungan kepaniteraan); dan fasilitas pengamanan dan hak keuangan hakim.

Indikator keempat adalah independensi hakim terhadap pengaruh dari publik dan media massa. Aspek yang akan dinilai oleh indikator ini adalah sejauh mana hakim dalam mengadili dan memutus perkara terbebas dari pemaksaan kelompok masyarakat yang berkepentingan dan pemberitaan oleh media massa.

3.1. Independensi Hakim dalam Mengadili dan Memutus Perkara

Skor indikator pertama ini adalah 6,13: sebagai rerata skor dari subindikator independensi peradilan dalam proses persidangan

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

dengan nilai 6,72 dan subindikator independensi hakim dalam memutus perkara dengan nilai 5.53.

a. Independensi Hakim dalam Proses Persidangan Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2014 menyebut

bahwa jumlah perkara PK yang diputus dalam jangka waktu 1-6 bulan sebanyak 2.248 perkara atau 71,08 persen. Sedangkan sisa perkara tahun 2014 sebanyak 4.425 perkara. Rasio sisa perkara dibandingkan dengan beban perkara tahun 2014 sebanyak 18.926 perkara (23,38%).

Jumlah sisa perkara tahun 2014 berkurang 31,02 persen dibandingkan tahun 2013 yang berjumlah 6.415 perkara. Nilai rasio sisa perkara tersebut berkurang 5,20 persen dari tahun sebelumnya (28,58 persen). Dengan demikian, jumlah sisa perkara maupun persentase sisa perkara mengalami penurunan yang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya, bahkan dalam sepanjang sejarah Mahkamah Agung RI.

Mahkamah Agung menyadari bahwa meskipun masing- masing pengadilan (baik tingkat pertama maupun tingkat banding) telah melaksanakan sistem manajemen perkara berbasis elektronik, namun pada kenyataannya penyelesaian perkara masih diselesaikan dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, Ketua MA menerbitkan Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 2014, yang meminta agar pengadilan tingkat pertama dapat menyelesaikan perkara paling lambat 5 bulan dan untuk pengadilan tingkat banding paling lambat 3 bulan, termasuk penyelesaian minutasi.

Kebijakan ini dapat dimaknai setidaknya pada dua hal: pertama, ternyata ketersediaan teknologi di pengadilan belum dimanfaatkan secara optimal apabila dihubungkan dengan masih cukup banyak perkara yang tidak terselesaian dengan waktu yang relatif cepat (di bawah 6 bulan). Kedua, kebijakan ini akan mendorong hakim untuk tidak berbelit-belit dan sesuai dengan jadwal persidangan yang ditentukan dalam menyelesaikan perkara.

Sistem manajemen perkara berbasis elektronik juga sebaiknya dimanfaatkan sebagai media informasi bagi publik, khususnya mengenai komposisi keanggotaan majelis hakim dan perkara yang ditanganinya. Keberadaan informasi tersebut akan meminimalisir

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

ketimpangan distribusi perkara dan mencegah terjadinya benturan kepentingan apabila salah satu pihak berperkara memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan salah satu anggota majelis hakim.

Sementara itu, Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi juga mencatat bahwa persentase jumlah perkara Pengujian Undang- Undang (PUU) dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diputus, 62,26 persen (103.77 persen dari target yang ditetapkan). Sedangkan persentase jumlah perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Pemilukada) yang diputus, 100 persen (100 persen dari target yang ditetapkan).

Diagram 3.13: Ketua Pengadilan atau Hakim Sudah Mendistribusikan Perkara Kepada Majelis Hakim Secara Adil dan Merata Sepanjang

Tahun 2014

Sedangkan hasil survei ahli menunjukan bahwa cukup banyak Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk telah mendistribusikan perkara kepada Majelis Hakim secara adil dan merata. Secara persentase, ahli yang menilai demikian sebesar 33 persen untuk sebagian besar hakim, dan 11 persen untuk seluruh hakim. Meski demikian skor survei terhadap distribusi perkara secara adil dan merata adalah yang paling kecil dibanding pertanyaan-pertanyaan lainnya, sebagaimana yang terlihat dari tabel 3.2.

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Tabel 3.2: Skor Survei Subindikator Independensi Hakim dalam Proses Persidangan

No.

Pertanyaan

Skor Survei

1. Apakah Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk 5.35 telah mendistribusikan perkara kepada Majelis Hakim secara adil dan merata sepanjang tahun 2014?

2. Apakah hakim telah memberikan kesempatan yang 6.74 sama kepada para pihak untuk menggunakan haknya dalam proses persidangan di sepanjang tahun 2014?

3. Apakah hakim dalam memeriksa perkara tidak 5.90 berbelit-belit dan sesuai dengan jadwal waktu persidangan yang telah ditentukan?

4. Apakah hakim telah menghindari konflik kepen- 5.76 tingan terhadap perkara dalam memeriksa dan mengadili perkara yang ditanganinya di sepanjang tahun 2014?

b. Independensi Hakim dalam Memutus Perkara Tidak ada dokumen yang memadai sebagai dasar penilaian

independensi hakim dalam memutus perkara. Bertumpu pada tiga kuesioner yang dapat dinilai, skor survei terkecil terdapat pada pertanyaan: “Apakah hakim telah terbebas dari pengaruh, tekanan, dan/atau intervensi dari pihak manapun dalam memutus perkaradi sepanjang tahun 2014?” Skor yang diperoleh dari pertanyaan ini adalah 5,07, dengan persentase terbesar pada sebagian kecil hakim telah terbebas dari pengaruh, tekanan, dan/atau intervensi dari pihak mana pun dalam memutus perkara (69 persen).

Diagram 3.14: Hakim Terbebas dari Pengaruh, Tekanan dan/atau Intervensi dari Pihak Manapun dalam Memutus Perkara Sepanjang Tahun 2014

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

Sebagaimana diagram di atas, tergambar bahwa hanya

14 persen ahli yang meyakini bahwa sebagian besar hakim telah terbebas dari pengaruh, tekanan, dan/atau intervensi dari pihak mana pun. Artinya, hakim (masih) sangat rentan untuk dipengaruhi. Temuan tersebut seperti mengafirmasi teori Adams dan Allemeersch, bahwa pengadilan sebagai sebuah institusi menjadi tidak benar-benar independen karena kontrol eksternal yang dilakukan di atasnya.

Selain pertanyaan yang dapat diberikan skor, ahli juga diberikan beberapa pertanyaan untuk mengetahui pihak yang paling sering memengaruhi, menekan, dan/atau mengintervensi hakim dalam memutus perkara sepanjang tahun 2014.

Tabel 3. 3: Pihak yang Paling Sering Mempengaruhi Independensi

Sering Sangat sering

1. Pengusaha 50.00% 22.22% 2. Pihak Berperkara/Advokat

50.00% 19.44% 3. Pejabat pengadilan yang lebih tinggi

38.89% 5.56% 4. Anggota Dewan

38.89% 5.56% 5. Partai Politik

33.33% 5.56% 6. Pemerintah Pusat/Daerah

27.78% 11.11% 7. Organisasi Kemasyarakatan

27.78% 2.78% 8. Tokoh Masyarakat

Pengusaha dan advokat/pihak yang berperkara merupakan pihak-pihak yang secara tradisional paling sering memengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan. Selain itu, diurutan ke tiga ialah pejabat pengadilan yang lebih tinggi -bersamaan dengan anggota dewan. Hasil ini mengindikasikan bahwa hakim belum sepenuhnya lepas dari budaya senioritas. Keberlanjutan karir, penempatan tugas, dan kesempatan untuk mengikuti diklat seorang hakim relatif bergantung pada kebijakan yang diambil oleh pejabat pengadilan yang lebih senior, sehingga peluang untuk menyalahgunakan kewenangan yang dilakukan oleh senior atau atasan untuk mempengaruhi independensi hakim cukup terbuka.

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Tabel 3. 4: Subindikator Independensi Hakim dalam Memutus Perkara

No.

Pertanyaan

Skor Survei

1. Apakah hakim telah mempertimbangkan keterangan 6.25 para pihak dan fakta persidangan dalam memutus perkara di sepanjang tahun 2014?

2. Apakah hakim telah memberikan kesempatan yang 5.28 sama kepada para pihak untuk menggunakan haknya dalam proses persidangan di sepanjang tahun 2014?

3. Apakah hakim telah terbebas dari pengaruh, tekan-

5.07 an, dan/atau intervensi dari pihak manapun dalam memutus perkaradi sepanjang tahun 2014?

3.2. Independensi Hakim Terkait dengan Manajemen Sumber Daya Hakim

Skor yang diperoleh indikator independensi hakim terkait dengan manajemen sumber daya hakim sedikit lebih rendah dari indikator sebelumnya (independensi hakim dalam mengadili dan memutus perkara, yakni 5,77. Hasil ini diperoleh dari rerata skor subindikator manajemen sumber daya manusia hakim sebesar 5,33 dan subindikator manajemen pengawasan hakim sebesar 6,21.

a. Manajemen Sumber Daya Manusia Hakim Subindikator ini sangat erat kaitannya dengan proses seleksi,

rekrutmen, promosi-mutasi, dan pengembangan kapasitas hakim melalui proses pendidikan dan pelatihan.

Sepanjang tahun 2014, tidak terdapat rekrutmen calon hakim yang dilakukan. Sedangkan seleksi hakim ad-hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk tahun 2014 dilaksanakan pada tingkat pertama dan banding. Hingga Desember 2014, Mahkamah Agung telah menyatakan 51 peserta seleksi calon hakim ad hoc Tipikor tahap VI Tahun 2014 lolos seleksi tertulis, terdiri 38 calon untuk tingkat pertama dan 13 calon untuk tingkat banding. Tahapan seleksi calon hakim ad-hoc Tipikor terdiri dari seleksi administrasi, seleksi tertulis, profile assessment dan wawancara.

Sedangkan sepanjang 2014, Komisi Yudisial telah melaksanakan 1 (satu) kali seleksi calon hakim agung. KY menerima

72 pendaftar calon hakim agung, dan berhasil mengusulkan 5

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

(lima) orang calon hakim agung ke DPR. Rekapitulasi seleksi hakim agung dapat terlihat pada tabel berikut.

Tabel 3.5: Rekapitulasi Seleksi Hakim Agung Tahapan Seleksi

Lulus Tahap I

Lulus Tahap II

Lulus Tahap III

Lulus Tahap IV

Lulus Tahap V

5 (wawancara)

Karir

Non-karir Jumlah

Belum sinergisnya MA dan KY sepanjang tahun 2014 makin memperpanjang sejarah berlikunya hubungan kedua lembaga ini. Jika pada fase awal berdirinya KY permasalahan yang muncul terkait dengan pengawasan hakim (sisi hilir), maka di tahun 2014 (dan berlanjut hingga 2015) persoalannya terletak pada pengadaan hakim baru (sisi hulu).

Pada tahun 2014, Mahkamah Agung telah menyediakan anggaran untuk merekrut 350 calon hakim dari 5.263 hakim yang dibutuhkan. Namun upaya untuk memenuhi kebutuhan hakim ini mengalami kendala yang cukup mendasar: belum disepakatinya Peraturan Bersama (Perba) antara MA dan KY terkait rekrutmen calon hakim (cakim) sebagai payung hukum.

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Terkatung-katungnya pembahasan Perba Rekrutmen Cakim disebab kan belum disepakatinya nomenklatur dan status calon hakim dalam sistem kepegawaian yang berlaku.

Belakangan persoalan rekrutmen calon hakim semakin memanas, ketika sejumlah hakim agung yang tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus peran KY dalam seleksi hakim. Jika ini dibiarkan berlarut, maka akan menimbulkan efek domino yang mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Dengan tidak adanya rekrutmen hakim baru, maka proses promosi dan mutasi akan terhambat. Regenerasi pimpinan pengadilan akan berjalan sangat lamban. Sistem manajemen SDM hakim akan macet dan menimbulkan ketidakpastian dalam peningkatan karir hakim, yang pada ujungnya akan memengaruhi kinerja hakim dalam mengadili dan memutus perkara.

Kekhawatiran adanya pengaruh pejabat senior pengadilan terhadap independensi hakim semakin terkonfirmasi dalam hasil survei terhadap objektifitas dan transparansi pada pelaksanaan promosi dan mutasi hakim adalah yang dinilai paling rendah. Pembenahan pengelolaan SDM hakim yang selama ini telah diupayakan oleh MA, ke depannya masih harus terus ditingkatkan. Jika sistem manajemen SDM sudah tersedia, maka konsistensi pejabat pengelola SDM hakim (yang juga dijabat oleh hakim) harus diawasi pula.

Terkait dengan pengembangan kapasitas hakim, Laporan Tahunan MA Tahun 2014 mencatat bahwa jumlah peserta pelatihan dan pendidikan yang diperuntukkan bagi hakim adalah 2.478 atau 12,89 persen dari jumlah keseluruhan hakim (19.226 orang). Angka tersebut mencerminkan kesempatan hakim untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan masih sangat terbatas.

Hasil survei ahli menunjukan bahwa penentuan peserta diklat bagi hakim belum sepenuhnya transparan dan akuntabel. Sebagaimana yang tercermin dari 38,89 persen ahli yang menjawab kurang setuju dan 25 persen ahli yang menyatakan tidak setuju. Skor untuk pertanyaan ini pun cukup rendah, yakni 4,58. Skor tersebut hanya sedikit lebih baik apabila dibandingkan dengan proses promosi dan mutasi hakim yang oleh sebagian besar ahli dinilai masih jauh dari obyektif dan transparan. Hanya 8,33 persen

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

ahli yang setuju dengan pernyataan bahwa pelaksanaan promosi dan mutasi hakim telah obyektif dan transparan.

Diagram 3.15: Objektifitas dan Transparansi Pelaksanaan Promosi dan Mutasi Hakim Sepanjang Tahun 2014 (dalam %)

Hasil skor survei untuk subindikator manajemen SDM hakim secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel `berikut.

Tabel 3.6: Skor Survei Ahli Subindikator Manajemen SDM Hakim

No.

Pertanyaan

Skor Survei

1. Apakah Anda setuju bahwa seleksi hakim agung 4.38 sepanjang tahun 2014 sudah bebas dari KKN?

2. Apakah Anda setuju bahwa seleksi hakim ad hoc 4.79 (hakim yang bukan dari karier dan ditunjuk untuk menangani kasus tertentu dalam waktu tertentu karena keahliannya) sudah bebas dari KKN?

3. Apakah Anda setuju bahwa seleksi hakim ad hoc 5.42 sepanjang tahun 2014 telah menggunakan kriteria yang terukur?

4. Apakah Anda setuju bahwa mekanisme rekrutmen 5.00 calon Hakim Konstitusi oleh DPR, Presiden, dan MA untuk tahun 2014, telah dilakukan secara transparan, partisipatif dan obyektif?

5. Apakah Anda setuju bahwa pelaksanaan promosi 3.82 dan mutasi hakim sepanjang tahun 2014 telah obyektif dan transparan?

6. Apakah Anda setuju bahwa penentuan peserta 4.58 pendidikan dan pelatihan bagi hakim oleh pejabat pengadilan sepanjang tahun 2014 telah dilakukan secara obyektif dan transparan?

Skor Rata-rata Survei

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

b. Manajemen Pengawasan Hakim Sepanjang tahun 2014, Badan Pengawasan Mahkamah

Agung me ne rima 1.824 surat pengaduan. Jumlah pengaduan yang ditindaklanjuti sejumlah 1.621 surat atau 88,87 persen dari pengaduan yang diterima, yang terdiri dari:

1. 1.140 surat ditangani langsung oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung;

2. 116 surat diperiksa Tim Bawas;

3. 1.005 surat dijawab dengan surat; dan

4. 19 surat masih dalam proses penyelesaian. Adapun hukuman disiplin yang dijatuhkan sepanjang tahun

2014 sejumlah 209 orang. Terdapat kenaikan sebesar 21 persen dari hukuman disiplin yang dijatuhkan pada tahun 2013 (173 orang). Meskipun demikian, jumlah tersebut masih lebih rendah

7 persen dibanding hukuman disiplin tahun 2010 (223 orang). Sedangkan sepanjang tahun 2014, Komisi Yudisial menerima 1.781 laporan, turun 18,79 persen dari tahun sebelumnya. Berikut rekapitulasi hasil verifikasi pengaduan yang diterima Komisi Yudisial.

Tabel 3.7: Hasil Verifikasi Pengaduan yang Diterima Komisi

Yudisial

No Hasil Verifikasi Jumlah %

1. Laporan terkait dugaan pelanggaran KEPPH 1.028 57.72 2. Laporan bukan kewenangan Komisi Yudisial dan

295 16.56 diteruskan ke instansi lain

3. Laporan permohonan pemantauan 372 20.89 4. Laporan tidak dapat diterima, karena putusan yang

29 1.63 dilaporkan sebelum berdirinya KY

5. Laporan di arsip karena alamat pelapor tidak jelas 49 2.75 6. Laporan dicabut oleh pelapor

6 0.35 Jumlah

1.781 100.00 Dari 1.028 laporan terkait dugaan pelanggaran KEPPH, KY

menangani 672 laporan atau 65,37 persen dari total laporan. Dari 672 laporan yang ditangani oleh KY, 294 di antaranya (28,6 persen) dapat ditindaklanjuti. Jumlah hakim dan pelapor/saksi yang dipanggil untuk dilakukan pemeriksaan oleh Komisi Yudisial pada periode Januari sampai dengan 31 Desember 2014 sebanyak 674 orang, di mana 143 di antaranya adalah hakim.

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

Dari 143 hakim yang dilakukan pemeriksaan, 131 hakim diusulkan penjatuhan sanksi ke Mahkamah Agung, dengan rincian: 96 orang direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi ringan;

22 orang direkomendasikan dijatuhi sanksi sedang; dan 13 orang direkomendasikan dijatuhi sanksi berat. Sepanjang 2014, sebanyak 13 hakim telah diproses dalam sidang Majelis Kehormatan Hakim: 6 orang diajukan atas usul KY, 6 orang atas usul MA, dan 1 orang diajukan bersama antara KY dan MA.

Pada sisi lain, jumlah permohonan pemantauan persidangan yang diterima KY sepanjang 2014 adalah 379 permohonan. Dari jumlah permohonan tersebut, KY hanya dapat melakukan 72 pemantauan (19 persen). 272 permohonan yang tidak dapat ditindaklanjuti dengan pemantauan, disebabkan oleh: tidak adanya dugaan pelanggaran kode etik hakim dalam perkara; bukan wewenang Komisi Yudisial; perkara telah diputus; atau ditindaklanjuti dengan pendalaman lainnya di Komisi Yudisial. Sedangkan kegiatan investigasi terhadap hakim oleh KY telah menghasilkan 166 laporan, di mana 112 laporan merupakan hasil investigasi hakim di pengadilan tingkat pertama.

Meskipun penelusuran dokumen terhadap pengawasan hakim oleh MA secara kuantitas relatif cukup baik, namun hasil survei ahli justru menunjukkan hasil sebaliknya: 52,78 persen ahli menilai pengawasan hakim oleh MA kurang efektif dan 36.11 persen lainnya menilai tidak efektif.

Diagram 3.16: Efektifitas Pengawasan MA terhadap Dugaan Pelanggaran Etika dan Perilaku Hakim Sepanjang Tahun 2014

(dalam %)

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Secara keseluruhan, sepanjang 2014 terdapat peningkatan yang cukup signifikan dalam upaya pengawasan yang dilakukan oleh internal MA. Namun fungsi pengawasan yang dimiliki oleh MA harus dipastikan dilakukan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).

Berikut adalah skor survei untuk subindikator manajemen pengawasan hakim.

Tabel 3.8: Skor Survei Subindikator Manajemen Pengawasan Hakim No.

Pertanyaan

Skor Survei

1. Apakah pengawasan oleh MA terhadap dugaan 4.38 pelanggaran etika dan perilaku hakim sepanjang tahun 2014, sudah berjalan efektif?

2. Apakah pengawasan oleh Pengadilan Tinggi (di ling- 4.86 kungan peradilan umum, agama, dan Tata Usaha Negara) terhadap dugaan pelanggaran etika dan perilaku hakim sepanjang tahun 2014 sudah berjalan efektif?

3. Apakah pengawasan oleh KY terhadap dugaan 5.28 pelanggaran etika dan perilaku hakim sepanjang tahun 2014 sudah berjalan efektif?

4. Apakah Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial 5.14 sepanjang tahun 2014 telah bersinergi dalam menangani pengaduan masyarakat?

5. Apakah pengawasan terhadap Hakim Konstitusi oleh 4.93 Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sepanjang tahun 2014 telah berjalan efektif?

Skor Rata-rata Survei

3.3. Independensi Hakim dalam Kaitannya dengan Kebijakan Kelembagaan

Skor untuk indikator ini adalah 5,91: yang merupakan nilai rata- rata subindikator sarana-prasarana dan anggaran pengadilan sebesar 5,61 dan subindikator fasilitas pengamanan dan gaji hakim sebesar 6,22.

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

a. Sarana-Prasarana dan Anggaran Pengadilan Komponen yang dipotret pada subindikator ini meliputi sarana

fisik gedung pengadilan, perangkat teknologi informasi, kendaraan operasional, rumah dinas, pegawai kepaniteraan dan ketersediaan anggaran yang mendukung kinerja hakim. Berdasarkan Laporan Tahunan MA, sepanjang tahun 2014, MA telah melakukan peningkatan sejumlah sarana dan prasarana yang menunjang kinerja hakim. Namun secara umum jumlahnya masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (lihat tabel 3.9).

Tabel 3.9: Perbandingan Peningkatan Sarana dan Prasarana di Pengadilan yang di Bawah MA

No Peningkatan Sarana Prasarana 2013 2014

1. Pembangunan gedung baru 108 4 2. Pembangunan lanjutan

53 106 3. Perluasan gedung kantor

31 2 4. Rehab gedung kantor

55 26 5. Pembangunan rumah jabatan

9 0 6. Rehab rumah jabatan

46 3 7. Pengadaan kendaraan dinas dan kendaraan

25 76 operasional roda 4

8. Pengadaan kendaraan dinas dan kendaraan 0 8 operasional roda 2

Terkait dengan standarisasi gedung pengadilan sampai dengan 2014, 530 gedung pengadilan (62,22 persen dari seluruh gedung pengadilan yang berjumlah 852) sudah sesuai dengan prototipe yang ditetapkan oleh MA.

Selain sarana dan prasarana, pegawai kepaniteraan di pengadilan memiliki peran yang signifikan untuk menjaga independensi hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Meski demikian, sepanjang 2014, persentase peserta diklat nonteknis dibanding dengan jumlah pegawai nonteknis hanya sebesar 6,25 persen. Temuan ini sejalan dengan hasil survei, di mana 50 persen ahli kurang setuju bahwa kapasitas dan integritas pegawai pengadilan (kepaniteraan) telah mendukung independensi hakim. Bahkan 28 persen lainnya menyatakan ketidaksetujuannya.

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Diagram 3.17: Kapasitas dan Integritas Pegawai Pengadilan (Kepaniteraan) dalam Mendukung Independesi Hakim Sepanjang 2014

Agar dapat mendukung kinerja hakim dalam menyelesaikan perkara, MA telah mengembangkan sistem manajemen perkara berbasis elektronik, di antaranya Case Tracking System (CTS). Sistem ini membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten dan berintegritas, dalam hal ini ialah pegawai kepaniteraan. Dari sisi peningkatan kompetensi, jumlah pendidikan dan pelatihan bagi tenaga nonteknis serta kuota pesertanya masih jauh dari cukup. Dari sisi integritas, bukan tidak mungkin pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku oleh hakim dilakukan dengan bantuan dari pegawai kepaniteraan.

Berdasarkan Laporan Tahunan MA, penyerapan anggaran

Mahkamah Agung RI pada tahun 2014 mencapai 97,65 persen, di atas rata-rata penyerapan kementerian/lembaga secara nasional (88,52 persen). Masih merujuk pada Laporan Tahunan MA, juga diketahui bahwa MA mendapatkan pencapaian keluaran mencapai 99,35 persen dengan memperhatikan ketercapaian target dari program-program secara efektif dan efisien.

Tabel 3.10: Skor Survei Subindikator Sarana-Prasarana dan Anggaran Pengadilan

No.

Pertanyaan

Skor Survei

1. Apakah Anda setuju bahwa gedung pengadilan di 5.97 Provinsi Anda sudah memadai?

2. Apakah Anda setuju bahwa ruang hakim di pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

No.

Pertanyaan

Skor Survei

3. Apakah Anda setuju bahwa ruang tunggu para pihak 4.72 di pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?

4. Apakah Anda setuju bahwa ruang sidang di pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?

5.63 5. Apakah Anda setuju bahwa perangkat Teknologi

Informasi di pengadilan di Provinsi Anda sudah 4.86 memadai?

6. Apakah Anda setuju bahwa kendaraan operasional di pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?

5.14 7. Apakah Anda setuju bahwa rumah dinas di

5.00 pengadilan di Provinsi Anda sudah memadai?

8. Apakah Anda setuju bahwa kapasitas dan integritas pegawai pengadilan (kepaniteraan) telah mendu-

4.65 kung independensi hakim dalam memeriksa, meng-

adili, dan memutus perkara di sepanjang tahun 2014? 9. Apakah Anda setuju bahwa ketersediaan anggaran

di pengadilan di Provinsi Anda sudah mendukung 5.00 kinerja hakim?

Skor Rata-rata Survei

b. Fasilitas Pengamanan dan Gaji Hakim Tidak ada data atau dokumen yang dikeluarkan sepanjang

2014 menyangkut fasilitas pengamanan dan hak keuangan hakim, sehingga penilaian terhadap subindikator ini hanya bergantung pada hasil survei ahli. Berdasarkan hasil survei, skor terhadap jaminan keamanan bagi hakim adalah 5.56. Skor ini diperoleh dari penilaian ahli sebagaimana terlihat pada diagram di bawah ini.

Diagram 3.18: Jaminan Keamanan Bagi Hakim di Provinsi Sepanjang Tahun 2014

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Sebenarnya masih banyak persoalan yang harus dijawab bersama oleh MA dan KY. Salah satunya terkait dengan jaminan keamanan bagi hakim. Jaminan ini khususnya diberikan kepada hakim yang menangani perkara yang berpotensi mengancam keselamatan hakim dan keluarganya, dan ketika berada di luar gedung pengadilan. Undang-undang sudah mengatur hal tersebut, namun belum ada langkah konkrit untuk memastikan hakim memiliki jaminan keamanan. Kebutuhan ini tecermin dari hasil survei di mana lebih dari separuh ahli cenderung tidak setuju bahwa jaminan keamanan bagi hakim sudah memadai.

Sedangkan untuk kelayakan hak keuangan hakim, skor survei yang diperoleh adalah sebesar 6,88. Sebanyak 47 persen ahli menyatakan bahwa hak keuangan hakim sudah layak, ditambah dengan 19 persen lainnya yang menyatakan sangat layak. Pada sisi lain, terdapat 25 persen ahli yang memilih jawaban kurang setuju atas pernyataan tersebut, ditambah 6 persen lainnya yang menyatakan tidak setuju.

Diagram 3.19: Kelayakan Hak Keuangan Hakim

3.4. Independensi Hakim Terhadap Pengaruh dari Publik dan Media Massa

Indikator ini hanya menggunakan hasil survei sebagai alat ukur penilaian. Terdapat dua pertanyaan yang diajukan kepada ahli: terkait independensi hakim dari pemaksaan dari kelompok masyarakat yang berkepentingan dan pengaruh pemberitaan media massa. Skor indikator ini adalah 4.65.

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

Untuk pertanyaan pertama, independensi hakim dari pemaksaan dari kelompok masyarakat yang berkepentingan, 50 persen ahli kurang setuju bahwa hakim dalam mengadili dan memutus perkara sepanjang 2014 tidak terpengaruh oleh pemaksaan dari kelompok masyarakat yang berkepentingan. Sedangkan 33 persen ahli lainnya tidak setuju. Pada sisi lain, hanya 14 persen ahli yang setuju dengan pernyataan tersebut. Skor untuk pertanyaan ini adalah 4.38.

Diagram 3.20: Hakim dalam Mengadili dan Memutus Perkara Tidak Terpengaruh Pemaksaan dari Kelompok Masyarakat yang Berkepentingan

Pertanyaan kedua, pengaruh pemberitaan media massa. 36 persen ahli kurang setuju bahwa hakim telah independen dari pemberitaan media massa, dan sebanyak 31 persen ahli lainnya tidak setuju. Jumlah tersebut lebih banyak dari ahli yang menyatakan sebaliknya: 31 persen (termasuk 3 persen di antaranya sangat setuju). Skor untuk pertanyaan terakhir ini adalah 4,93.

Diagram 3.21: Hakim dalam Mengadili dan Memutus Perkara Telah Independen dari Pemberitaan Media Massa

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Membandingkan taksonomi independensi peradilan yang dirumuskan Adams dan Allemeersch (yang diambil sebagai pondasi dasar prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka) dengan realitas kekinian praktik kekuasaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, menegaskan kembali bahwa pekerjaan reformasi peradilan masih separuh jalan. Upaya perbaikan yang dilakukan MA sebenarnya telah menghasilkan cukup banyak keluaran. Namun keadilan sebagai dampak (out come), belum sepenuhnya dirasakan para pencari keadilan.

Meskipun secara normatif enam fungsi yang dimiliki oleh MA (peradilan; pengawasan; mengatur; nasehat; administratif; dan fungsi lain-lain) tidak mengurangi kebebasan hakim dalam mengadili dan memutuskan perkara, namun dalam praktiknya peluang tersebut sangat mungkin terjadi.