Indeks Negara Hukum Indonesia 2014
Peneliti:
Andri Gunawan Erwin Natosmal Oemar Firmansyah Arifin Refki Saputra Rikardo Simarmata Yasmin Purba
Desain Sampul
Satudaun Graphic Tata Letak
Dwi Pengkik Cetakan Pertama, Agustus 2015
xvi + 126 hlm.: 15 x 23 cm Diterbitkan oleh:
Indonesia Legal Roundtable
Jl. Perdatam VI No. 6, Pancoran, Jakarta Selatan Telp. 021-7995069, Faks. 021-7995069 Email:[email protected]
Kata Pengantar
Tahir Foundation
H dapat berhukum dengan baik. Demikian juga dengan Indonesia,
ukum adalah salah satu pilar paling penting dalam suatu peradaban. Sebuah negara dianggap beradab jika masyarakatnya
hukum harus diletakan sebagai ukuran dalam berbangsa dan bernegara. Meletakan hukum sebagai ukuran itulah yang saya pahami dengan negara hukum.
Sebagaimana yang saya sampaikan pada tahun sebelumnya, kami mendukung insiatif Indonesian Legal Roundtable untuk membuat indeks negara hukum ini. Karena dari situlah kita dapat memahami sejauh mana perjalanan bangsa Indonesia dalam berhukum dan bernegara.
Saya sangat berharap indeks ini dapat berdampak bagi masyarakat dan bangsa. Jika hukum di Indonesia baik, maka akan menghasilkan trickel down effect yang luar biasa. Kegiatan ekonomi berjalan dengan baik dan kesejahteraan masyarakat pun akan meningkat. Jika masyarakat sejahtera, maka negara pun akan kuat. Apabila negara kuat maka akan dipandang lebih disegani dalam pergaulan internasional. Saya sangat berharap kita dapat bersama-sama menuju ke arah sana.
Akhir kata, saya mengucapkan selamat atas peluncuran indeks negara hukum ini. Semoga indeks ini dapat berkontribusi bagi masyarakat untuk perbaikan hukum Indonesia di masa mendatang.
Dato’ Sri Prof. Dr Tahir MBA
Ketua Yayasan Tahir Foundation
Kata Pengantar
Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable
I ndeks tahun 2014 ini adalah indeks yang ketiga kalinya disusun oleh
ILR. Dari perjalanan indeks ini selama tiga tahun terakhir, seharusnya kita mendapat gambaran yang utuh agenda apa saja yang dapat dilakukan oleh pemerintah baru sekarang dalam memenuhi prinsip- prinsip negara hukum. Meski indeks ini tidak dapat menangkap sejauh mana kontribusi pemerintahan baru Jokowi-Kalla terhadap penguatan negara hukum di ujung tahun 2014, namun temuan tahun 2014 tetap saja penting untuk dijadikan pertimbangan.
Ada beberapa hal yang menarik dapat dilihat dari temuan indeks 2014 ini. Salah satunya naiknya nilai indeks negara hukum 2014 dari tahun sebelumnya meski tidak signifikan -saya tidak tahu apakah sudah tepat menggunakan kata “naik” untuk angka 0,06 poin. Terlepas dari hasil tersebut, ada agenda besar yang berhasil kita lewati secara bersama sebagai bangsa meskipun agak sedikit gaduh: pemilu. Pemilu 2014 lalu mungkin pemilu paling demokratis dan paling partisipatif sejak Orde Baru dan mungkin pula yang paling terpolarisasi dan transaksional. Barangkali, keberhasilan melewati momen transisi kepemimpinan itulah yang membuat indeks tahun 2014 ini sedikit merangkak naik.
Meski demikian, saya agak kaget juga melihat prinsip HAM terjun dari tahun lalu. Ada penurunan yang tajam: dari angka 5,40 ke 4,15. Padahal HAM adalah elemen substantif dari negara hukum. Sulit kita berharap terciptanya sebuah negara hukum dengan mengabaikan HAM warga negaranya. Pertanyaanya: apakah penurunan itu adalah sinyal kita akan jatuh ke rezim despotik seperti Orde Baru lagi? Negara hukum hanya dipahami dalam artian ada undang-undang, penyelengara negara, dan seperangkat prosedural birokratis lainnya? Jika dilihat dari kaca mata kekinian (tahun 2015), nampaknya gelagat arus balik cara pandang negara hukum formal itu akan menguat. Terkait hal tersebut, saya lebih memilih menyimpan analisis itu untuk tahun mendatang.
Satu hal lain yang menarik dari indeks tahun 2014 ini adalah di- masukannya jaminan hak atas untuk tidak dipenjara sebagai kewajiban kontraktual sebagai salah satu indikator yang diukur dalam prinsip HAM. Sayangnya, soal kepastian hukum, kebebasan berkontrak, penghormatan terhadap kesucian kontrak (sanctuary of contract), hak milik intektual dan arbitrase belum dimasukan sebagai ukuran dalam indeks ini. Padahal fenomena semacam itu banyak terjadi di sekitar kita namun selama ini tidak terpotret secara utuh. Menurut saya, jaminan terhadap beberapa hal itu sangat penting dalam pembangunan hukum di Indonesia. Sering sekali kita mendengar permasalahan-per- masalahan bisnis atau perdata yang diproses secara pidana.
Kasus Yuni Rahayu, seorang calon TKI di Semarang, yang dipenjara karena tidak mengikuti secara selesai proses pelatihan PJTKI karena ayahnya meninggal dunia adalah salah satu contoh kecil potret pene- gakan hukum kita yang dipraktekan secara serampangan. Jika memakai data Kompolnas tahun 2014, Yuni bukanlah korban satu-satunya. Ada 944 kasus yang penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh reserse Polri -dari 1036 laporan yang masuk ke Kompolnas, yang menurut Sekretaris Kompolnas Syafrudin Cut Ali, diduga adalah kasus yang harusnya perdata jadi pidana, atau sebaliknya.
Praktek-praktek semacam itu tentu saja akan merubuhkan fondasi negara hukum kita, dan menimbulkan ekses-ekses lainnya, termasuk soal tidak ada jaminan kepastian hukum bagi pengusaha. Tidak akan ada lagi pengusaha yang mau berbisnis di negeri ini karena mudah sekali ditersangkakan atau dikriminalisasi karena kasus-kasus bisnis atau perdata. Implikasinya lebih jauh, ekonomi tidak berjalan dengan baik dan tingkat kesejahteraan masyarakat akan menurun.Celakanya, cara pandang yang salah itu dibungkus dalam istilah “penegakan hukum”.
Sebenarnya banyak sekali temuan dalam indeks ini yang dapat dijadikan catatan oleh pemerintah baru sekarang dalam menata negara hukum sebagaimana yang dimaksud konstitusi. Akhir kata, saya harap menguatnya cara pandangan negara hukum formal itu hanya sinyal pada tahun 2014 saja, meskipun kita tidak dapat menutup mata dengan realitas kekinian di mana praktik kriminalisisasi oleh penegak hukum makin menggurita.
Prof. Dr. Todung Mulya Lubis SH LLM
Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable
Daftar Diagram, Tabel dan Grafik
Diagram
Diagram 2.1 Demografi Profesi Ahli .......................................
14 Diagram 2.2 Demografi Tingkat Pendidikan Ahli ..................
15 Diagram 3.1 Faktor-faktor yang Paling Membuat Tindakan/
Perbuatan Pejabat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun 2014 Telah Sesuai dengan Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan .........................................
20 Diagram 3.2 Efektifitas Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR sebagai Sarana Mengawasi Kinerja Pemerintah Pusat Tahun 2014 ............................
23 Diagram 3.3 Efektifitas Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Konstitusionalitas Undang-Undang sebagai Kontrol Terhadap Hasil Tindakan/Perbuatan Pemerintah Bersama DPR Tahun 2014 ..............
25 Diagram 3.4 Efektifitas Pengawasan Pemerintah Provinsi Terhadap Pejabat/Aparatur di Lingkungan Daerah Provinsi Sepanjang Tahun 2014 ............
27 Diagram 3.5 Efektifitas Pengawasan Ombudsman Terhadap Pelayanan Publik oleh Lembaga Negara dan Instansi Pemerintah Tahun 2014 .......................
28 Diagram 3.6 Efektifitas Pengawasan Komisi Informasi dalam Mengawasi Keterbukaan Informasi Publik dan Menyelesaikan Permohonan Sengketa Informasi Tahun 2014 .........................
29 Diagram 3.7
Akses Masyarakat Perkotaan dalam Mendapatkan Perda Provinsi dari Sumber-sumber Resmi yang disediakan Pemda Provinsi ........................
Diagram 3.8 Akses Masyarakat Pedesaan Mendapatkan Perda Provinsi dari Sumber-Sumber Resmi yang Disediakan Pemerintah Provinsi ........................
35 Diagram 3.9 Akses Kelompok Difabel Mendapatkan Peraturan Perundang-undangan oleh Pemerintah Pusat ...
37 Diagram 3.10 Masalah Kejelasan Rumusan dalam Undang-Undang dan Perda ................................
38 Diagram 3.11 Faktor-faktor Utama yang Menyebabkan Peraturan Perundang-undangan Bertentangan dengan Peraturan yang Lebih Tinggi ..................
42 Diagram 3.12 Faktor-faktor yang Mendominasi Perubahan Peraturan Perundang-Undangan Tahun 2014 ......
44 Diagram 3.13 Ketua Pengadilan atau Hakim Sudah Mendistribusikan Perkara Kepada Majelis Hakim Secara Adil dan Merata Sepanjang Tahun 2014 .....
48 Diagram 3.14 Hakim Terbebas dari Pengaruh, Tekanan dan/atau
Intervensi dari Pihak Manapun dalam Memutus Perkara Sepanjang Tahun 2014 ..........
49 Diagram 3.15 Objektifitas dan Transparansi Pelaksanaan
Promosi dan Mutasi Hakim Sepanjang Tahun 2014 (dalam persen) ...............................
54 Diagram 3.16 Efektifitas Pengawasan MA terhadap Dugaan
Pelanggaran Etika dan Perilaku Hakim Sepanjang Tahun 2014 (dalam persen) .............
56 Diagram 3.17 Kapasitas dan Integritas Pegawai Pengadilan (Kepaniteraan) Dalam Mendukung Independesi Hakim Sepanjang 2014 .................
59 Diagram 3.18 Jaminan Keamanan Bagi Hakim di Provinsi Sepanjang Tahun 2014 .........................
60 Diagram 3.19 Kelayakan Hak Keuangan Hakim .......................
61 Diagram 3.20 Hakim dalam Mengadili dan Memutus Perkara Tidak Terpengaruh Pemaksaan dari Kelompok Masyarakat yang Berkepentingan .......................
62 Diagram 3.21 Hakim dalam Mengadili dan Memutus PerkaraTelah Independen dari Pemberitaan Media Massa ........................................................
Diagram 3.22 Dalam Tahap Penyidikan Masyarakat Mudah Mendapatkan Informasi yang Dibutuhkan Sepanjang Tahun 2014 ........................................
65 Diagram 3.23 Masyarakat Mengalami Masalah Dalam Tahap Penyidikan Sepanjang 2014, dan Melakukan Keberatan Direspon dengan Baik .......................
66 Diagram 3.24 Masyarakat Mudah Mendapatkan Informasi Pada Tahap Penuntutan Sepanjang Tahun 2014 ....
67 Diagram 3.25 Survei Ahli Terkait Respon Penuntut Apabila Publik Mengalami Masalah Akses Informasi ....
67 Diagram 3.26 Persepsi Ahli Terkait Respon Pengadilan Jika Publik Mengalami Masalah Informasi ...............
69 Diagram 3.27 Ketersedian Bantuan Hukum oleh Negara Bagi Warga yang Berhak ..............................................
74 Diagram 3.28 Efektifitas Bantuan Hukum yang Disediakan oleh Negara .........................................................
76 Diagram 3.29 Peraturan Perundang-Undangan Tahun 2014 yang Menjamin Hak atas Hidup ........................
78 Diagram 3.30 Polisi Sebagai Pelaku yang Seringkali
Menggunakan Kekuatan Berlebihan yang Mengakibatkan Kematian ...................................
78 Diagram 3.31 Ketersediaan Instrumen Hukum Nasional
yang Menjamin Hak Untuk Bebas dari Perlakuan dan Hukuman yang Merendahkan dan Tidak Manusiawi ..........................................
80 Diagram 3.32 Upaya Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan
atau Hukuman yang Merendahkan dan Tidak Manusiawi .................................................
81 Diagram 3.33 Tingkat Praktik Perbudakan di Sektor Prostitusi ....
82 Diagram 3.34 Tingkat Praktik Perbudakan di Sektor Pekerjaan Jalanan ................................................
83 Diagram 3.35 Instrumen Hukum yang Menjamin Hak Untuk
Tidak Dipenjara Berdasarkan Kewajiban Kontraktual ..........................................................
84 Diagram 3.36 Mekanisme Pemulihan Bagi Korban Pemenjaraan Berdasarkan Kewajiban Kontraktual ..................
84 Diagram 3.37 Praktik Penghukuman Berdasarkan Tindakan yang Bukan Merupakan Kejahatan ....................
Diagram 3.38 Mekanisme Pemulihan Bagi Korban Penghukuman Berdasarkan Tindakan yang Bukan Merupakan Kejahatan .............................
86 Diagram 3.39 Ketersediaan Instrumen Hukum yang Menjamin Hak atas Kebebasan Untuk Berkeyakinan .........
87 Diagram 3.40 Praktik Pelanggaran Terhadap Hak atas Kebebasan Untuk Beragama ...............................
88 Diagram 3.41 Praktik Pelanggaran Terhadap Hak atas Kebebasan Untuk Berkeyakinan .........................
88 Diagram 3.42 Kelompok Masyarakat Tertentu sebagai Pelaku
Utama Pelanggaran Terhadap Hak atas Kebebasan Untuk Beragama ...............................
89 Diagram 3.43 Mekanisme Pemulihan Bagi Korban Pelanggaran Terhadap Hak atas Kebebasan dan Beragama ...
Tabel
Tabel 2.1 Panduan Kualifikasi Ahli ..........................................
11 Tabel 2.2 Bobot Kelima Prinsip Negara Hukum .....................
11 Tabel 2.3 Profil Responden .......................................................
14 Tabel 3.1 Klasifikasi Sektor/Bidang Undang-Undang yang Bertentangan dengan Konstitusi Berdasarkan Putusan MK Tahun 2014 .....................
39 Tabel 3.2 Skor Survei Subindikator Independensi Hakim dalam Proses Persidangan ........................................
49 Tabel 3.3 Pihak yang Paling Sering Mempengaruhi Independensi Pengadilan .........................................
50 Tabel 3.4 Subindikator Independensi Hakim dalam Memutus Perkara .......................................................
51 Tabel 3.5 Rekapitulasi Seleksi Hakim Agung ...........................
52 Tabel 3.6 Skor Survei Ahli Subindikator Manajemen SDM Hakim ...............................................................
54 Tabel 3.7 Hasil Verifikasi Pengaduan yang Diterima Komisi Yudisial ..........................................................
55 Tabel 3.8 Skor Survei Subindikator Manajemen Pengawasan Hakim ...................................................
57 Tabel 3.9 Perbandingan Peningkatan Sarana dan Prasarana di Pengadilan yang di Bawah MA .............................
Tabel 3.10 Skor Survei Subindikator Sarana-Prasarana dan Anggaran Pengadilan ................................................
59 Tabel 3.11 Persentase Pendapat Ahli Terkait Proses Peradilan yang Cepat ................................................
70 Tabel 3.12 Rasio Penyelesaian Kasus di Pengadilan Negeri Pada Tahun 2014 .......................................................
71 Tabel 3.13 Rasio Penyelesaian Kasus di Pengadilan Tinggi .......
71 Tabel 3.14 Persentase Pandangan Ahli Terkait Keterjangkauan Biaya Pengadilan .......................................................
72 Tabel 3.15 Persentase Pandangan Ahli Terkait Keterjangkauan Lokasi Pengadilan .....................................................
73 Tabel 3.16 Ketersedian Bantuan Hukum Bagi Kelompok Rentan ........................................................
76 Tabel 3.17 Indeks Negara Hukum Indonesia 2014 Berdasarkan Nilai Indikator ......................................
91 Tabel 3.18 Nilai Indeks Negara Hukum Indonesia 2014 ..........
92
Grafik
Grafik 2.1 Tahapan Penyusunan Indeks Negara Hukum 2014 ....
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
S ulit dibantah bahwa negara hukum (rule of law/rechtstaat)
merupakan salah satu isu utama dalam perbincangan global saat ini –sebagaimana yang terlihat dalam pertemuan sejumlah pemimpin dan kepala negara yang berkomitmen mempromosikan negara hukum dalam Declaration of High-Level Meeting of The General Assembly On The Rule of Law at The National and International Level pada 24 September 2012 di New York. Pasca berakhirnya Perang Dingin, dukungan dan komitmen terhadap negara hukum disampaikan oleh berbagai pemimpin negara dari sistem politik yang berbeda -termasuk negara- negara yang dulunya dikenal menolak ide demokrasi dan hak asasi.
Seperti yang berlangsung pada tingkat global, secara normatif Indonesia juga memiliki komitmen yang kuat pada ide negara hukum. Istilah negara hukum telah dicantolkan dalam konstitusi Indonesia: sebagaimana yang terlihat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Setelah hampir tidak dipraktekan selama tiga puluh dua tahun di masa pemerintahan otoriter Orde Baru, konsep atau ide negara hukum kembali didengungkan pada masa Reformasi. Dimulai sejak pemerintahan singkat B.J. Habibie, berbagai legislasi nasional yang menjamin kebebasan berpendapat dan berorganisasi, diundangkan. Bersamaan dengan itu, lembaga-lembaga yang berkarakter opresif dibubarkan yang diikuti dengan pembentukan lembaga-lembaga negara penunjang yang sebagian berfungsi sebagai pengawas (watch dog) jalannya pemerintahan.
Namun, pemberlakuan legislasi dan pembentukan lembaga- lembaga negara penunjang tidak menunjukan bahwa ide negara hukum sedang dijalankan di Indonesia. Dengan kata lain, sistem hukum tidak
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014
berfungsi dengan baik. Lembaga-lembaga negara penunjang yang dibentuk saling tumpang tindih dan bahkan berkonflik satu sama lain. Koordinasi antarlembaga tersebut lemah sehingga menyebabkan implementasi hukum menjadi tidak efektif. Akibatnya, iregularitas
berlangsung dengan frekuensi yang terbilang sering. 1 Kondisi tersebut mendatangkan ketidakpastian bagi pencari keadilan dan pelaku ekonomi. Pada saat yang sama, sebagian masyarakat menjadi korban tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara baik karena menyuarakan pendapat atau mempertahankan harta benda (property).
Masih terus berlangsungnya keluhan dan protes oleh masyarakat sipil dan pelaku ekonomi akibat tidak berfungsinya sistem hukum secara baik, mendorong sejumlah kalangan, termasuk para kandidat dalam pemilihan umum legislatif dan presiden pada tahun 2014, menyerukan perlunya kembali menyematkan identitas sebagai negara hukum pada Indonesia. Usulan penyematan kembali identitas negara hukum menandakan bahwa amanat konstitusi agar kehidupan bernegara diselenggarakan berdasarkan ide negara hukum, belum sepenuhnya dijalankan.
Keperluan mewujudkan amanat konstitusional tersebut sesegera mungkin tidak lepas dari absennya upaya tersebut selama pemerintahan Orde Baru. Kebutuhan untuk itu semakin besar setelah era reformasi berjalan hampir dua dekade. Jadi sebagai negara yang pernah mempraktekan kekuasaan absolut selama lebih dari tiga dekade dan hampir dua dekade terakhir membangun sistem dengan pengawasan yang kuat terhadap penyelenggaraan kekuasaan, ide negara hukum sangat penting. Bukan hanya soal bagaimana mewujudkannya, namun ide negara hukum juga menyangkut berkembangnya pemahaman yang baik mengenai ide tersebut.
Distribusi kewenangan dari pemerintah pusat ke unit pemerintahan yang lebih rendah dan bahkan kepada komunitas-komunitas otohton, dalam bentuk desentralisasi, lebih memungkinkan bagi perwujudan ide negara hukum. Kekuasaan yang tersebar mencegah terjadinya absolutisme di satu sisi dan memungkinkan rakyat untuk mengontrol penggunaan kekuasaan (power exercise) di sisi yang lain. Namun, penyelenggaraan
1 Todung Mulya Lubis (2014), ’Recrowning Negara Hukum: A New Challange, A New Era.’ Policy paper, Center for Indonesian Law, Islam and Society, Melbourne Law School, University of Melbourne.
P E N DA H U LUA N
desentralisasi dalam sistem sosial yang masih ditopang oleh jaringan patronase, bisa mengancam keberlangsungan negara hukum. 2 Kekuasaan bisa jadi tidak lagi absolut namun praktek penyalahgunaan kekuasaan oleh kekuasaan-kekuasaan yang sudah terdistribusi, masih bisa berlangsung terus. Setiap ancaman pada negara hukum dalam penyelenggaraan negara merupakan alasan untuk memikirkan ide ini karena menyangkut amanat konstitusi dan harkat dan martabat (dignity) semua orang yang tinggal di Indonesia.
B. LANDASAN KONSEPTUAL Meskipun negara hukum adalah tujuan universal, namun seperti
yang dikatakan Andrei Marmor, secara konseptual gagasan “negara hukum” sangat rumit dan membingungkan. 3 Sampai saat ini para sarjana (academic scholars) belum
menemukan kata sepakat terkait prinsip-prinsip umum yang terkandung di dalamnya –karena berbicara tentang negara hukum mempunyai korelasi yang erat dengan karakteristik setiap negara.
Walaupun terdapat tantangan dalam merumuskan prinsip-prinsip yang relevan untuk mengukur ketaatan suatu negara dalam mengimple- mentasikan ide negara hukum di suatu negara –dalam hal ini termasuk Indonesia, namun tidak menutup kemungkinan terdapat sebuah jalan untuk merumuskannya. Berangkat dari hal tersebut, ILR menawarkan sebuah tawaran alat analisis –dalam hal ini prinsip-prinsip negara hukum- yang relevan untuk dipertimbangkan sebagai acuan.
Menurut ILR, dalam perbincangan tentang negara hukum, hampir dipastikan terdapat lima prinsip utama, yaitu: pemerintahan berdasarkan hukum; legalitas formal; kekuasaan kehakiman yang merdeka; akses terhadap keadilan; dan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Kelima prinsip itu didapatkan dengam menarik benang merah dari perdebatan konseptual beberapa sarjana hukum terkemuka yang mengemukakan pandangannya tentang negara hukum. 4
2 Gary Goodpaster (1999), ‘The Rule of Law, Economic Development and Indonesia’, dalam Timothy Lindsey, Indonesia: Law and Society. Sidney: The Federation Press. 3 Andrei Marmor, The Ideal of The Rule of Law, USC Legal Studies Research Paper Series, 2008. 4 Lihat Indeks Persepsi Negara Hukum 2012, Indonesian Legal Roundtable, Jakarta, 2013. Beberapa sarjana dan lembaga terkemuka yang diambil sebagai perbandingan adalah M Scheltema, Joseph Raz, Rachel Kleinfeld Belton, Brian Z Tamanaha, Jimly Asshidiqqie, dan The International Commission of Jurist (ICJ).
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014
Ikhtiar dalam menyusun indeks negara hukum ini adalah upaya yang ketiga kalinya yang dilakukan oleh ILR, setelah yang pertama pada tahun 2012 dan kedua tahun 2013. Dibandingkan dengan indeks tahun 2013, dalam indeks tahun 2014 ini, terdapat perubahan pada aspek substansi dan metodologi. Perubahan pada aspek substansi meliputi perubahan redak sional pada nama prinsip dan pengorganisasian indikator prinsip. Adapun perubahan pada aspek metodologi berupa pengurangan jumlah lokasi penyelenggaraan survei dari 33 menjadi
18 provinsi. Selain itu, survei hanya ditujukan untuk memeriksa pemenuhan kelima prinsip negara hukum pada tingkat provinsi. Tidak berbeda dengan indeks tahun lalu, indeks 2014 ini menggunakan survei ahli (expert survei) dan pengumpulan dokumen sebagai metode pengumpulan data.
C. TUJUAN ILR mengharapkan bahwa laporan indeks ini dapat menyajikan
gambaran dan analisis yang bermutu terkait pemenuhan prinsip- prinsip negara hukum di Indonesia. Meski demikian, secara praktis, indeks negara hukum ini bertujuan untuk:
1. Mengukur sejauh mana ketaatan negara Indonesia dalam menerapkan prinsip-prinsip negara hukum.
2. Mengamati perkembangan secara gradual pemenuhan prinsip-prinsip negara hukum.
3. Menjadi salah satu dokumen yang relevan untuk dijadikan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam menerapkan dan mengadvokasi prinsip-prinsip negara hukum.
D. STRUKTUR LAPORAN Agar lebih memudahkan pembaca dalam memahami, laporan ini
diorganisasikan dalam empat bab, yaitu: Bab 1, Pengantar. Bab ini mendeskripsikan latar belakang dan signi fikansi negara hukum di Indonesia serta tujuan dan struktur penyajian laporan.
Bab 2, Metodologi. Bab ini mendeskripsikan tahapan penyusunan indeks. Bab ini juga memaparkan kualifikasi ahli (expert), sebaran
P E N DA H U LUA N
ahli berdasarkan geografis, metode pembobotan, dan keterbatasan penelitian.
Bab 3, Penilaian Lima Prinsip Negara Hukum. Bab ini mendeskripsikan hasil temuan survei ahli dan pengumpulan dokumen yang
digambarkan dalam bentuk narasi dan angka. Dalam bab ini, juga dapat ditemukan hasil akhir keseluruhan nilai indikator dan prinsip negara hukum yang dikonversi dengan nilai bobot dalam bentuk tabel.
Bab 4, Analisis. Bab ini mendeskripsikan dua hal: Kesimpulan dan Epilog. Kesimpulan berisi analisa temuan tiap-tiap prinsip negara
hukum sebagaimana yang dinarasikan dalam Bab 3, analisa semua prinsip secara keseluruhan, dan rekomendasi. Sedangkan Epilog berisi uraian mengenai perjalanan negara hukum Indonesia dalam
3 tahun belakangan dengan mendasarkan pada hasil indeks 2012, 2013 dan 2014.
BAB II METODOLOGI
B profil responden, dan keterbatasan penelitian.
ab ini mendeskripsikan tahap-tahap penyusunan indeks, metode penentuan ahli, metode pembobotan prinsip negara hukum,
A. TAHAPAN PENYUSUNAN INDEKS Tahapan penyusunan indeks 2014 meliputi: (1) pendalaman
relevansi prinsip- prinsip negara hukum; (2) pengorganisasian ulang indikator prinsip; (3) penyesuaian metodologi dengan ketersediaan sumber daya; (4) penyusunan daftar dokumen; (5) menurunkan indikator ke dalam pertanyaan-pertanyaan; (6) melakukan survei ahli dan mengumpulkan dokumen; (7) pengkuantifikasian dan penilaian kuesioner dan dokumen; (8) penggabungan hasil temuan kuesioner dengan dokumen; (9) menjumlahkan nilai semua prinsip dan mengonversikannya dengan proporsi bobot setiap prinsip; dan (10) menjumlahkan nilai setiap prinsip.
Grafik 2.1 Tahapan Penyusunan Indeks Negara Hukum 2014
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014
Tahap pertama, pendalaman relevansi prinsip-prinsip negara hukum, dilakukan dengan mendiskusikan perkembangan discourse menge nai negara hukum. Diskusi tersebut diperlukan untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip negara hukum yang digunakan dalam indeks ini masih merupakan prinsip yang diakui secara universal. Hasil diskusi menghasilkan kesepakatan bahwa kelima prinsip yang dipakai sejak indeks 2012 masih relevan, dan karena itu dipertahankan. Kelima prinsip tersebut adalah:
• PemerintahanBerdasarkanHukum(Prinsip1) • LegalitasFormal(Prinsip2) • KekuasaanKehakimanyangMerdeka(Prinsip3) • AksesterhadapKeadilan(Prinsip4),dan • Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi
Manusia (Prinsip 5) Keputusan mempertahankan kelima prinsip tersebut disertai
dengan perubahan redaksional pada judul prinsip. Judul prinsip
2, dari semula yang dinamai dengan peraturan yang jelas, pasti dan partisipatif berganti menjadi legalitas formal. Prinsip 2 memang lebih dikenal sebagai prinsip legalitas formal.
Tahap kedua, dilakukan dengan mengorganisir ulang indikator kelima prinsip. Karena sifatnya hanya mengorganisir ulang, maka tidak mendatangkan perubahan pada substansi. Penjelasan mengenai hasil pengorganisasian indikator untuk setiap prinsip dapat dibaca pada uraian mengenai temuan survei dan dokumen dalam Bab 3 laporan ini.
Tahap ketiga, berupa diskusi penyesuaian metodologi dengan ketersediaan sumber daya. Karena alasan keterbatasan sumber daya, lokasi penelitian dilakukan di 18 provinsi. Penelitian dengan metode survei dan pengumpulan dokumen dilakukan di 18 provinsi. Selain pengumpulan di daerah (18 provinsi), pengumpulan dokumen juga dilakukan dengan pengumpulan dokumen di tingkat nasional berupa dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh lembaga negara dan pemerintah yang berkedudukan di ibu kota. Sebagai perbandingan, penelitian indeks 2012 dan 2013 dilakukan di 33 provinsi. Dengan menggunakan alasan yang sama, penelitian 2014 hanya memfokuskan pada tingkat provinsi tidak mencakup pemerintah kabupaten/kota seperti penelitian dua tahun sebelumnya.
M E TO D O LO G I
18 provinsi dipilih berdasarkan tiga kriteria, yaitu: pertama, keterwakilan regional; kedua, performa enumerator berdasarkan penelitian tahun 2013; dan ketiga, ketersediaan ahli (expert) dan dokumen. Performa enumerator dikaitkan dengan tingkat kemungkinan dalam mendapatkan dokumen yang diperlukan. Dengan menggunakan tiga kriteria tersebut maka 18 provinsi terpilih adalah: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Bali, NTT, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Maluku dan Papua.
Tahapan keempat, yaitu penyusunan daftar dokumen dilalui dengan menyesuaikan daftar dokumen dengan indikator yang sudah diorganisir ulang. Penentuan dokumen apa yang diperlukan didasarkan pada indikator atau subindikator, bukan pada pertanyaan. Misalnya untuk prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, terdapat indikator independensi. Dengan demikian, dokumen yang diperlukan adalah dokumen yang menyediakan informasi terkait independensi hakim. Dokumen tersebut seperti laporan tahunan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum, agama dan tata usaha negara. Dokumen lainnya adalah laporan pemantauan kinerja hakim oleh masyarakat sipil.
Tahapan kelima, adalah menurunkan indikator ke dalam pertanyaan-pertanyaan. Jumlah pertanyaan untuk masing-masing indikator bervariasi. Sekedar menyebut contoh, pertanyaan untuk indikator perlindungan hak atas hidup pada prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM berjumlah 15 pertanyaan. Sementara pertanyaan untuk indikator jaminan perlindungan atas hak untuk tidak dihukum atas tindakan bukan kejahatan hanya 3 pertanyaan. Sebagian besar pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang dapat diindekskan, sebagian kecil tidak dapat.
Tahap keenam, melakukan survei ahli dan mengumpulkan dokumen. Satu provinsi memiliki satu orang enumerator. Sebelumnya, enumerator di 18 provinsi tersebut telah dibekali pengetahuan mengenai teknik survei dan pengumpulan dokumen dalam pertemuan yang berlangsung selama dua hari. Enumerator melakukan survei dengan mengadakan wawancara tatap muka dengan para ahli terpilih. Adapun pengumpulan dokumen dilakukan dengan cara mendapatkan
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014
dokumen-dokumen yang terdapat dalam daftar yang sudah disediakan oleh ILR. Dokumen didapatkan dari internet, kantor LSM dan kantor pemerintah.
Tahap ketujuh, adalah pengkuantifikasian dan penilaian kuesioner dan dokumen. Penilaian terhadap kuesioner didasarkan pada derajat jawaban masing-masing ahli terhadap pertanyaan yang diajukan. Semua pertanyaan menggunakan derajat jawaban berdasarkan koefisien 2 (dengan ukuran 0-10), dengan 5 tingkatan. Sedangkan penilaian terhadap dokumen berdasarkan pada penilaian (judgment) peneliti terhadap kualitas dokumen. Interval koefisien penilaian setiap dokumen adalah 2,5. Artinya, setiap dokumen dinilai dengan kualitas: 0-2,5=tidak memadai; 2,6-5=kurang memadai; 5,1-7,5= cukup memadai; 7,6-10=memadai.
Tahap kedelapan adalah penggabungan hasil temuan kuesioner dengan dokumen. Setelah peneliti menguantifisir nilai kuisioner, semua nilai yang telah dihasilkan di setiap pertanyaan dijumlahkan pada tingkat indikator. Demikian juga dengan penilaian terhadap dokumen: setelah dinilai, hasilnya kemudian dijumlahkan pada tingkat indikator. Nilai keseluruhan kuesioner dan dokumen setiap indikator digabung. Hasil dari pengabungan itulah yang kemudian disebut dengan nilai indikator.
Tahap kesembilan adalah menjumlahkan nilai semua prinsip dan mengonversinya dengan proporsi bobot setiap prinsip. Nilai setiap prinsip diperoleh dari gabungan nilai indikator (setiap prinsip) dibagi dengan jumlah indikator yang digabung. Nilai setiap prinsip kemudian dikonversi berdasarkan jumlah bobot yang sudah ditentukan.
Tahapan kesepuluh sebagai tahapan penutup diisi dengan kegiatan menjumlahkan nilai semua prinsip yang dikonversi berdasarkan nilai bobot. Jumlah nilai semua prinsip inilah yang disebut sebagai nilai indeks negara hukum.
B. PENENTUAN AHLI Kredibilitas ahli (expert) yang menjadi responden merupakan
salah satu indikator utama dari kehandalan indeks ini. Oleh karena itu, penentuan ahli didasarkan pada kualifikasi tertentu. Selain itu, dari segi proses, penentuan ahli dilakukan dengan berkonsultasi dengan para enumerator yang dianggap memiliki pengetahuan yang baik
M E TO D O LO G I
terkait nama-nama yang layak direkomendasikan dan dipilih menjadi ahli. Para ahli berlatar belakang akademisi, praktisi hukum atau aktivis kemasyarakatan. Tabel berikut berisi kualifikasi untuk memilih ahli yang dibedakan menurut latar belakang.
Tabel 2.1. Panduan Kualifikasi Ahli (Expert)
No Ahli Kualifikasi
1 Akademisi · Pendidikan formal adalah sarjana hukum atau sarjana sosial/ politik, diutamakan yang sudah memiliki gelar strata dua. · Mengampu mata kuliah yang sesuai dengan salah satu prinsip negara hukum dengan pengalaman minimal 10 tahun. · Tidak sedang menjabat sebagai tenaga ahli di pemerintahan. · Tidak sedang menjalankan program pemerintah terkait
dengan salah satu prinsip negara hukum. 2 Praktisi Hukum · Berpengalaman menjalankan profesinya minimal 10 tahun.
· Tidak sedang menjabat sebagai tenaga ahli di pemerintahan. · Tidak sedang menjalankan program pemerintah terkait
dengan prinsip negara hukum yang ditanyakan. · Tidak sedang menangai kasus yang terkait dengan prinsip
negara hukum yang ditanyakan.
3 Aktivis · Berpengalaman sebagai aktivis kemasyarakatan minimal kemasyarakatan
7 tahun yang relevan dengan prinsip negara hukum yang ditanyakan. · Tidak sedang menjabat sebagai tenaga ahli di pemerintahan. · Tidak sedang menjalankan program pemerintah yang terkait
dengan prinsip negara hukum yang ditanyakan.
C. METODE PEMBOBOTAN Bagian ini memaparkan bobot yang diberikan pada masing-masing
prinsip negara hukum disertai penjelasan logis dibalik pemberian bobot tersebut. Bobot masing-masing kelima prinsip tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2.2 Bobot Kelima Prinsip Negara Hukum
Prinsip
Bobot
Pemerintahan Berdasarkan Hukum 25 Peraturan yang Jelas, Pasti, dan Partisipatif
10 Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
25 Akses terhadap Keadilan
15 Pengakuan, Perlindungan dan Pemenuhan HAM
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014
Prinsip pemerintahan berdasarkan hukum, prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM berkedudukan sentral bagi tiga elemen negara hukum. Prinsip pemerintahan berdasarkan hukum sangat sentral bagi elemen prosedural. Prinsip yang dikenal juga dengan nama legalitas ini merupakan prinsip yang paling awal dalam perbincangan konsep negara hukum. Prinsip tersebut mengawali kontrol terhadap kekuasaan dengan mensyaratkan bahwa kekuasaan harus dijalankan berdasarkan hukum; bukan berdasarkan perintah atau perkataan penguasa. Sedemikian pentingnya prinsip pemerintahan berdasarkan hukum, sehingga ia ditempatkan sebagai prinsip minimal negara hukum. Dengan kata lain, sebuah negara dapat dikategorikan atau mengklaim dirinya sebagai negara hukum, apabila negara tersebut hanya memenuhi prinsip tersebut.
Sementara itu prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sentral bagi elemen mekanisme kontrol. Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan prinsip yang memungkinkan mekanisme check and balance bisa berjalan. Prinsip tersebut akan mengontrol sekaligus memastikan sejauh mana kekuasaan legislatif dan eksekutif sudah mematuhi prinsip-prinsip negara hukum. Dengan kata lain, prinsip kekuasaan kehakiman yang mrdeka hadir untuk memastikan dipenuhinya indikator-indikator lain dari negara hukum.
Adapun prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM sentral bagi elemen substantif. Prinsip ini merupakan satu- satunya representasi dari elemen substantif negara hukum. Prinsip tersebut memberi sentuhan kualitas pada negara hukum karena berkaitan dengan dampak yang dirasakan oleh warga negara selaku objek sekaligus penerima manfaat dari penyelenggaraan kekuasaan. Dikatakan menyangkut substansi, karena prinsip tersebut berkedudukan sebagai ukuran sekaligus tujuan negara hukum. Sebagai ukuran dan tujuan, prinsip tersebut berperan menjaga negara hukum tidak jatuh ke dalam otoritarianisme dengan penyalahgunaan kewenangan sebagai aksentuasinya. Atas dasar penjelasan-penjelasan di atas prinsip pemerintahan berdasarkan hukum, kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, maka ketiganya masing-masing mendapat bobot berjumlah 25.
Dari segi waktu, prinsip akses terhadap keadilan berkembang lebih belakangan dari prinsip legalitas formal. Sekalipun demikian, laporan
M E TO D O LO G I
ini memberikan bobot yang lebih tinggi pada prinsip akses terhadap keadilan, yaitu 15. Argumen pokoknya adalah karena prinsip tersebut mengandung orientasi mengontrol penyelenggaraan kekuasaan yang relatif lebih tinggi. Sama dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, prinsip akses terhadap keadilan memungkinkan koreksi dan kontrol terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Alasan lainnya adalah prinsip akses terhadap keadilan juga mengandung elemen substantif karena bertujuan memungkinan para pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan lewat forum-forum penyelesaian sengketa yang dapat mereka akses dan jangkau.
Prinsip legalitas formal mendapatkan skor paling kecil dari kelima prinsip negara hukum, yaitu 10. Sebagai salah satu prinsip negara hukum, prinsip tersebut juga berujung pada kontrol atas penyelenggaraan kekuasaan. Namun, kontrol atas penyelenggaraan kekuasaan dicapai tidak dengan cara langsung. Sasaran pertama prinsip ini adalah kepastian dan kejelasan yang dihasilkan dari peraturan perundangan yang bercorak jelas, diketahui oleh publik dan tidak berlaku surut. Peraturan perundangan yang bercorak demikian diharapkan dapat mencegah diskresi oleh pemegang kekuasaan.
D. PROFIL RESPONDEN Enumerator setiap provisi harus mensurvei ahli sebanyak enam
(6) orang. Keenam ahli tersebut terdiri dari: • Dua orang ahli untuk prinsip pemerintahan berdasarkan hukum dan prinsip legalitas formal; • Dua orang ahli untuk prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan prinsip akses terhadap keadilan ; dan • Dua orang ahli untuk prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM
Dengan demikian, total jumlah ahli untuk 18 provinsi adalah 108. Dalam pelaksanaanya, ke-108 ahli atau responden tersebut berhasil ditemui dan diwawancarai. Karena kuesioner yang disebar untuk setiap provinsi berjumlah 10 dan semua ahli berhasil diwawancarai maka jumlah kuesioner yang akhirnya disebar, dijawab atau kembali adalah 108 buah. Profil ke-105 orang ahli yang berkedudukan sebagai responden tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014
Tabel 2.3. Profil Responden
LATAR Prinsip 1 & 2 Prinsip 3 & 4 Prinsip 5 PENDIDIKAN
Jumlah BELAKANG
S1 S2 S3
S1 S2 S3 S1 S2 S3
HUKUM 1 2 2 13 12 2 8 1 41 PRAKTISI
SOSPOL LAINNYA HUKUM
2 9 14 3 5 1 34 AKADEMISI SOSPOL
SOSPOL LAINNYA
Responden dengan latar belakang praktisi dan akademisi berjumlah paling banyak: masing-masing 41 dan 40 orang. Sedangkan dengan latar belakang aktivis berjumlah 24 orang. Responden dengan gelar strata satu berjumlah paling banyak, yaitu 46 orang. Disusul dengan responden dengar gelar strata dua sebanyak 38 orang dan dengan strata tiga sebanyak 21 orang. Dalam prakteknya, karena kesulitan mencari ahli dengan kualifikasi yang berkaitan dengan gelar, ada satu responden yang bergelar diploma dan dua responden lulusan sekolah lanjutan menengah atas (SLTA).
Profil responden berdasarkan latar belakang (profesi) dan pendidikan dapat dilihat pada dua diagram berikut ini:
Diagram 2.1. Demografi Profesi Ahli
M E TO D O LO G I
Diagram 2.2. Demografi Tingkat Pendidikan Ahli
E. KETERBATASAN PENELITIAN Proses survei dan pengumpulan dokumen tidak sepenuhnya
berjalan sesuai rancangan. Dalam prakteknya terjadi pergantian dan pergeseran. Pergantian dilakukan terhadap ahli yang tidak bisa diwawancarai atau ditemui karena alasan kesibukan. Ada provinsi yang pergantian ahli dilakukan hanya untuk prinsip 1 dan 2 namun ada juga untuk prinsip 1 sampai dengan 4. Jawa Tengah, Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara adalah provinsi yang mengganti ahli untuk prinsip 1 sampai dengan 4. Adapun pergeseran dilakukan dengan cara memindahkan dari yang sebelumnya menjadi responden untuk prinsip 1 dan 2 menjadi ahli untuk prinsip 3 dan 4; dan sebaliknya.
Situasinya lebih sulit ditemui oleh sejumlah enumerator dalam mengumpulkan dokumen. Dalam prakteknya tidak semua institusi di daerah yang diminta oleh enumerator bersedia memberikan atau menyediakan data yang diminta. Ada beberapa alasan yang disampaikan oleh institusi tersebut: (1) tidak ada data sama sekali; (2) datanya ada namun sedang proses penyusunan; dan (3) kantor sedang direnovasi.
Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Gubernur adalah dokumen yang paling sulit didapatkan oleh mayoritas enumerator. Alasan umum yang dikemukakan adalah karena LPJ belum dibacakan dan dilaporkan dalam sidang pleno DPRD yang biasanya dilakukan pada bulan April. Saat diminta, LPJ sendiri dalam keadaan sudah dicetak.
Kurangnya beberapa dokumen untuk beberapa prinsip pada sejumlah provinsi diatasi dengan cara mendapatkan dokumen yang dikeluarkan oleh lembaga negara atau pemerintah di tingkat
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014
pusat. Karena merupakan dokumen nasional, maka informasi dan data provinsi yang sulit didapatkan dapat ditemui dalam dokumen tersebut. Pada prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka misalnya, data diperoleh dari dokumen di tingkat pusat seperti Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2014; Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi Tahun 2014; dan Laporan Tahunan Komisi Yudisial Tahun 2014.
BAB III PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014
B ab ini memaparkan dua hal: deskripsi hasil survei dan dokumen
serta nilai keseluruhan hasil indeks. Untuk hal pertama, deskripsi hasil survei dan dokumen, memaparkan semua temuan yang relevan di masing-masing indikator dari prinsip negara hukum yang diteliti. Sedangkan nilai keseluruhan hasil indeks adalah seluruh nilai yang dihasilkan masing-masing prinsip yang telah dikuantifisir dan dikonversi berdasarkan bobot masing-masing prinsip.
A. DESKRIPSI HASIL SURVEI DAN DOKUMEN
1. Pemerintahan Berdasarkan Hukum
Secara esensial prinsip pemerintahan berdasarkan hukum berarti semua tindakan pemerintahan harus didasarkan pada aturan hukum (legalitas). Prinsip ini merupakan prinsip yang paling umum yang dimiliki oleh setiap negara. Oleh karena itu, prinsip pemerintahan berdasarkan hukum disebut sebagai syarat minimal suatu negara disebut negara hukum. Dengan kata lain, negara yang hanya menjalankan prinsip ini disebut memiliki rule of law versi yang paling tipis (thin).
Hukum menjadi satu-satunya instrumen bagi suatu pemerintahan untuk menjalankan kegiatannya. Cara paling mudah untuk memahami esensi prinsip pemerintahan berdasarkan hukum adalah dengan membuat pernyataan pendukung: aturan hukum tidak didasarkan pada keputusan atau perkataan seseorang. Dengan mensyaratkan semua tindakan pemerintah berdasarkan aturan hukum, prinsip ini hendak mencegah pemerintah bertindak atas dasar kekuasaan atau melakukan tindakan yang sewenang-wenang.
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014
Pemerintahan berdasarkan hukum memerlukan sistem pengawasan yang efektif untuk menjaga konsistensi tindakan/perbuatan pemerintah agar senantiasa sesuai dengan hukum sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan [preventif] maupun penindakan [korektif atau represif] jika terjadi suatu penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan pemerintah. Dengan kata lain, adanya pengawasan yang efektif akan membuat tindakan/perbuatan pemerintah semakin sesuai dengan hukum.
Atas dasar itu, prinsip pemerintahan berdasarkan hukum dalam Indeks Negara Hukum Indonesia 2014 ini terdiri dari 2 (dua) indikator: tindakan/perbuatan pemerintah sesuai dengan hukum dan pengawasan yang efektif. Sebagai catatan, indikator dalam prinsip pemerintahan berdasarkan hukum indeks 2014 berbeda dengan indikator indeks tahun 2012-2013 yang terdiri dari 3 indikator: tindakan/perbuatan pemerintah sesuai dengan hukum; pengawasan yang efektif; dan keseimbangan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Penyederhanaan indikator tersebut didapat setelah melakukan evaluasi (lihat tahap penyusunan Bab II). Indikator keseimbangan kekuasaan legislatif dan eksekutif disimpulkan sudah termasuk atau menjadi bagian dari indikator tindakan/perbuatan pemerintah berdasarkan hukum.
Indikator tindakan/perbuatan pemerintah berdasarkan hukum hendak mengukur apakah perbuatan/tindakan pemerintah (pusat dan daerah provinsi) dalam bidang-bidang yang telah ditentukan sudah berkesesuaian dengan hukum. Demikian halnya ketika dalam menjalankan fungsi legislasi dan budgeting bersama parlemen. Sedangkan indikator pengawasan yang efektif hendak mengukur pelaksanaan mekanisme pengawasan yang dilakukan secara internal dan eksternal oleh kelembagaan negara/pemerintah. Pengawasan internal memfokuskan pada tindakan yang dilakukan pemerintah terhadap aparat di bawahnya. Pengawasan eksternal yang dilakukan lembaga lain di luar pemerintah terfokus pada pelaksanaan fungsi dan kewenangan serta respon terhadap rekomendasi dan/atau putusan yang dibuatnya.
1.1. Tindakan/Perbuatan Pemerintah Sesuai dengan Hukum
Dalam menilai indikator pemerintah berdasarkan hukum didasarkan atas pertanyaan: apakah tindakan/perbuatan pemerintah (pusat dan daerah provinsi) telah sesuai dengan hukum pada tahun
PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014
2014? Yang dimaksud dengan tindakan atau perbuatan pemerintah tersebut merujuk pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang membagi urusan pemerintahan: urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
Urusan pemerintahan yang absolut terdiri dari politik luar negeri, pertahanan, keamanan, penegakan hukum, moneter dan fiskal serta agama yang menjadi urusan pemerintah pusat. Sedangkan urusan pemerintahan konkuren terdiri dari urusan pemerintah wajib dan urusan pemerintah pilihan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan bukan pelayanan dasar yang menjadi urusan pemerintah daerah (provinsi).
Di samping itu, penilaian indikator ini juga didasarkan pada pertanyaan apakah dalam menjalankan fungsi legislasi dan budgeting bersama DPR, pemerintah (pusat dan daerah provinsi) telah sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi legislasi dan budgeting ini merupakan kekuasaan yang diberikan konstitusi (UUD 1945), yang memerlukan keseimbangan dan kesesuaian dengan peraturan di dalam pelaksanaanya.
Dari 2 (dua) pertanyaan inti di atas, hasil skor untuk indikator tindakan atau perbuatan pemerintah sesuai dengan hukum yang diperoleh dari survei ahli dan dokumen adalah 5,17. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (4,83), terdapat peningkatan sebesar 0,34 poin. Adapun penjelasannya sebagai berikut.
Dari hasil survei ahli, sebagian besar ahli menilai bahwa tindakan pemerintah dalam urusan keamanan dan penegakan hukum belum sesuai dengan hukum [rata-rata di atas 52 persen]. Sedangkan untuk pemerintah daerah provinsi, dalam urusan kesehatan, perumahan, pertanahan, pekerjaan umum, keamanan dan ketertiban masyarakat, perikanan dan kelautan, sosial, tenaga kerja, pangan serta energi sumber daya mineral, menurut ahli, baru sebagian kecil saja tindakan pemerintah yang sesuai dengan hukum [rata-rata di atas 50-60 persen].
Meski demikian, dalam pelaksanaan fungsi legislasi dan budgeting, menurut ahli, hanya sebagian kecil saja [rata-rata di atas 60 persen] tindakan pemerintah pusat dan daerah yang sesuai dengan hukum. Sebaliknya, ahli juga beranggapan ada tindakan atau perbuatan dari pemerintah yang sebagian besar telah sesuai dengan hukum, terutama
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014
dari sisi akuntabilitas pemerintah daerah provinsi. Sekalipun baru sebatas tindakan formal, adanya UU Pemda 2014 telah mendorong gubernur untuk menyampaikan Laporan Kinerja Pertanggung Jawaban [LKPJ] lebih terukur dalam pencapaian target dan penyerapan anggaran serta lebih tepat waktu: 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Pemda.
Merujuk penilaian Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi [KemPAN-RB], terdapat peningkatan dalam hal akuntabilitas kinerja terutama pada sembilan kementerian lembaga [tidak termasuk kementerian dalam urusan pemerintah absolut] dan pemerintah provinsi yang mendapat predikat A. Nilai akuntabilitas kementerian dan lembaga tersebut pada tahun 2014 ini adalah 63,18, meningkat 1,04 dibanding tahun sebelumnya (62,14). Sedangkan akuntabilitas kinerja pemerintah provinsi mencapai 59,04, yang pada tahun lalu mempunyai nilai 56,92.