KESIMPULAN Dari hasil survei ahli dan dokumen yang telah dikonversi dengan

A. KESIMPULAN Dari hasil survei ahli dan dokumen yang telah dikonversi dengan

bobot masing-masing prinsip telah diperoleh total nilai Indeks Negara Hukum Indonesia 2014 adalah 5,18. Pertanyaannya, bagaimana memahami angka 5,18 ini? Sudah dapatkah langgam negara hukum disematkan kepada Indonesia? Jika sudah ataupun belum, apa yang harus dilakukan ke depan? Beberapa pertanyaan itu patut diajukan dalam membaca dan menarik kesimpulan hasil temuan.

Untuk sampai pada ujung dari pertanyaan tersebut, maka lebih dahulu dipaparkan analisa masing-masing prinsip sebagaimana dalam narasi sebagai berikut:

Pertama , prinsip pemerintahan berdasarkan hukum. Sebagai prinsip paling minimal yang seharusnya dimiliki setiap negara, pemenuhan terhadap prinsip ini masih jauh dari harapan. Kendati terdapat peningkatan, namun perolehan skor dua indikator dalam prinsip ini menunjukkan bahwa pilar-pilar pemerintahan berdasarkan hukum belum terlalu kokoh. Permasalahan utamanya terdapat dari perbuatan pemerintah yang menyimpang dan tidak sesuai dengan

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

hukum yang belum berkurang atau masih sering terjadi sepanjang tahun 2014.

Pada sisi lain, sistem pengawasan yang bersifat internal maupun eksternal juga belum terlalu efektif mencegah sekaligus mengoreksi tindakan/perbuatan pemerintah yang menyimpang. Tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindakan/perbuatan pemerintah yang menyimpang belum sepenuhnya bisa diimbangi oleh lembaga-lembaga pengawas dengan respon yang cepat, adil, dan menimbulkan efek jera. Bahkan terlihat adanya ketidakpatuhan atau pembangkangan hukum (obstruction of justice) terhadap putusan yang dikeluarkan badan peradilan maupun rekomendasi yang dikeluarkan lembaga pengawas eksternal (Komisi Negara Independen).

Pada titik ini, tidak heran jika perilaku korupsi dibarengi dengan nirakuntabilitas yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah provinsi masih mendominasi, yang sebagian di antaranya harus berujung pada vonis pidana. Ironisnya, perilaku itu pun masih menjangkiti parlemen dan peradilan yang semestinya bisa menjadi kekuatan penyeimbang (checks and balances) kekuasaan pemerintah (eksekutif). Ditemukannya sejumlah rekomendasi dan putusan yang tidak dipatuhi atau dijalankan oleh pemerintah, menambah persoalan ketidakpercayaan terhadap keberadaan lembaga- lembaga pengawas.

Kedua , prinsip legalitas formal. Masalah mendasar prinsip legalitas formal adalah bagaimana memastikan setiap warga negara mengetahui dan memahami peraturan yang dibentuk oleh negara. Dengan demikian, bagaimana negara mempublikasikan, memformulasikan dan memastikan peraturan tidak cepat berubah dalam waktu singkat merupakan prasyarat utama. Meski demikian, penelitian ini menemukan, bahwa kendati publikasi dan penyebarluasan peraturan pada tingkat pemerintah pusat sudah baik, namun tidak diikuti oleh pemerintah daerah provinsi. Ketersediaan dan konsistensi publikasi peraturan yang memadai masih menjadi persoalan utama bagi pemerintah daerah provinsi.

Penelitian ini juga menemukan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tidak cukup menyediakan akses yang memadai bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan peraturan. Pada sisi lain, jenis peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah pun

ANALISIS

belum cukup baik dalam merumuskan norma yang hendak diatur. Masih banyak ditemukan peraturan yang tidak jelas, tidak konsisten, dan tidak mudah diterapkan. Ini bisa ditunjukkan dari banyaknya jumlah peraturan yang dibatalkan: 41 % undang-undang dibatalkan oleh MK; dan 14,2% atau 355 dari 2500 Perda dievaluasi oleh Kemendagri karena bertentangan dengan undang-undang.

Selain ketidakjelasan rumusan substansi peraturan, faktor dinamika politik dan sosial masyarakat memengaruhi kestabilan sebuah peraturan. Peraturan yang diharapkan tidak mengalami perubahan -setidaknya dalam waktu 5 (lima) tahun untuk undang- undang dan 3 (tiga) tahun untuk peraturan di bawah undang-undang, nampaknya sangat sulit untuk diterapkan. Misalnya undang-undang tentang kepemiluan, yang kesekian kalinya harus diubah guna menyambut penyelenggaraan pemilu (legislatif dan presiden) tahun 2014. Pada level peraturan pemerintah, terdapat 13 peraturan yang berubah dari 103 peraturan pemerintah yang dibuat sepanjang 2014.

Keterbatasan publikasi, ketidakjelasan rumusan, dan perubahan yang kerap terjadi, tentu menyulitkan warga negara untuk mengetahui dan memahami secara baik peraturan yang dibuat oleh negara.

Ketiga, prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka. Prinsip ini menghendaki agar para hakim senantiasa bebas merdeka atau independen dalam mengadili dan memutus perkara. Selain itu, prinsip ini juga mengukur sejauh mana pengaruh manajemen sumber daya hakim, kebijakan administrasi kelembagaan serta tuntutan publik dan media massa ketika hakim menjalankan tugasnya.

Temuan pada prinsip ini memperlihatkan bahwa sekalipun hakim masih dipercaya dapat menjaga independensinya dalam proses persidangan, namun sulit untuk independensi ketika memutus perkara. Survei ahli menunjukan bahwa lebih banyak yang percaya (69,44 persen) bahwa baru sedikit hakim yang terbebas dari tekanan/pengaruh pihak manapun dalam memutus perkara. Hal ini bisa dipahami jika melihat proses seleksi, mutasi-promosi, maupun pendidikan dan pelatihan hakim yang masih dianggap kurang obyektif dan transparan.

Meskipun dari sisi gaji hakim dianggap sudah cukup memadai, namun belum cukup untuk menjamin independensi hakim. Kurangnya ketersediaan anggaran untuk menunjang kinerja masih menjadi salah satu variabel yang memengaruhi profesionalitas hakim. Selain itu,

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

minimnya perhatian akan jaminan keamanan juga masih dianggap persoalan yang turut mempengaruhi independensi hakim. Padahal jaminan keamanan terhadap hakim sangat diperlukan karena profesi hakim sangat rentan dari ancaman dan tekanan.

Kehadiran KY yang sejatinya dibutuhkan untuk mendukung independensi hakim nampaknya masih dianggap sebagai “musuh”: sebagaimana yang terlihat dari resistensi MA terkait isu seleksi hakim dan menindaklanjuti sejumlah rekomendasi KY tentang pelanggaran etik dan perilaku hakim. Pada sisi lain, pengawasan internal yang dilakukan MA pun masih belum mampu untuk mengoreksi secara terbuka dan efektif kesalahan etik dan perilaku hakim. Independensi yang semestinya bisa meneguhkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim justru kerap kali dijadikan tameng untuk berlindung dari pengawasan dan keharusan bertanggung jawab.

Selain itu, tidak optimalnya manajemen sumber daya hakim dan kebijakan kelembagaan juga menjadi salah satu perhatian yang serius untuk menjaga independensi hakim di masa mendatang.

Keempat , prinsip akses terhadap keadilan. Pada dasarnya prinsip ini menghendaki agar setiap warga negara dapat mengetahui, memahami, dan menggunakan hak-hak dasarnya yang diakui dan dijamin dalam konstitusi negara (UUD 1945) sehingga dapat memperoleh manfaat yang optimal untuk memperbaiki kualitas kehidupannya. Meski demikian, yang dimaksud dengan prinsip akses terhadap keadilan dalam indeks ini hanya dibatasi dalam pengertian formal: akses warga negara dalam memperoleh informasi, proses peradilan yang cepat dan terjangkau, dan ketersediaan bantuan hukum khususnya bagi kelompok rentan.

Penelitian ini menemukan bahwa masih banyak keluhan terhadap informasi yang dibutuhkan oleh publik pada tahap penyidikan dan penuntutan. Dengan kata lain, keterbukaan informasi pada kedua tahap tersebut masih buruk: yang ditandai dengan adanya ketidakjelasan informasi, penundaan yang berlarut-larut, dan sulitnya mendapatkan informasi. Masih tingginya laporan masyarakat tentang institusi kepolisian dan kejaksaan ke Ombudsman dan Komisi Informasi mengkonfirmasi penilaian tersebut.

Berbeda pada dua tahap sebelumnya (penyidikan dan penuntutan), di tahap pengadilan, publik relatif lebih bisa mendapat informasi yang

ANALISIS

dibutuhkan, baik sepanjang proses persidangan hingga mendapatkan putusan. Di luar masalah biaya perkara, proses persidangan yang bisa dipastikan cepat dan lokasi yang dianggap masih bisa terjangkau di semua lingkungan peradilan adalah catatan yang positif bagi prinsip ini.

Sayangnya, bantuan hukum yang disediakan negara bagi masyarakat, khususnya kelompok rentan [difabel, masyarakat adat, perempuan dan anak] belum memadai. Meskipun anggaran bantuan hukum jumlahnya makin meningkat dibanding tahun sebelumnya, namun penyerapannya belum terlalu efektif. Dengan demikian, kaum difabilitas, masyarakat adat, perempuan dan anak masih menjadi warga negara kelas dua di negeri sendiri.

Kendati akses di pengadilan relatif lebih terbuka dan terjangkau bagi publik, namun masih burukya proses di tahap penyidikan dan penuntutan serta minimnya bantuan hukum yang disediakan oleh negara menjadikan akses keadilan ini masih menjadi salah satu isu yang perlu diperhatikan lebih serius oleh para pengambil kebijakan.

Kelima , prinsip hak asasi manusia. Prinsip ini merupakan salah satu prinsip kunci dari negara hukum. Prinsip ini mencoba mengukur sejauh mana komitmen dan tindakan negara dalam melindungi HAM dari aspek ketersediaan instrumen hukum, penegakannya, dan terjaminnya mekanisme pemulihan bagi korban pelanggaran.

Penelitian ini menunjukan bahwa jaminan atas hak hidup belum menjadi prioritas utama di Indonesia: masih banyak ditemukan praktik-praktik penggunaan kekuatan yang berlebihan -terutama yang dilakukan oleh polisi, mekanisme pemulihan terhadap korban yang belum efektif, dan penggunaan pidana mati. Demikian juga dengan jaminan untuk bebas dari penyiksaan. Meskipun dari sisi peraturan dianggap sudah memadai, namun penyiksaan masih menjadi suatu hal yang lazim ditemui di rumah-rumah tahanan (lembaga pemasyarakatan). Pemerintah pun belum melakukan upaya yang memadai untuk mencegah dan memberikan pemulihan bagi korban dan/atau keluarga korban.

Terhadap jaminan atas hak untuk tidak diperbudak, bukan hanya regulasinya yang dianggap kurang, namun praktik perbudakan di sejumlah sektor pekerjaan khususnya bagi anak di bawah umur masih cukup tinggi. Dengan jumlah tujuh ribuan korban perdagangan manusia, tidak heran jika International Organization for Migration (IOM)

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

memberi perhatian yang serius kepada Indonesia terhadap buruknya komitmen negara terhadap hak ini. Selain itu, minimnya jaminan hukum, pencegahan dan pemulihan yang kurang memadai juga terjadi atas atas hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual dan hak untuk tidak dihukum atas tindakan yang bukan kejahatan.

Pelanggaran yang banyak terjadi justru pada hak atas kebebasan untuk berpikir, beragama, dan berkeyakinan. Kendati regulasi hukum sudah menjamin, namun dalam tataran praktik sepanjang tahun 2014, pelanggaran dalam bentuk penyegelan rumah ibadah, diskriminasi atas nama agama, kekerasan terhadap minoritas dan kriminalisasi masih terjadi secara masif. Celakanya, pemerintah cenderung membiarkan dan setengah hati menyelesaikannya.

Secara umum, dalam tataran regulasi, perlindungan HAM di Indonesia relatif sudah baik kecuali soal hak untuk diperbudak dan perlindungan terhadap kewajiban kontraktual dan hak untuk tidak dihukum atas tindakan yang bukan kejahatan. Permasalahan utama masih berada dalam tataran penegakan HAM dan tidak adanya mekanisme perlindungan bagi korban pelanggaran.

Merujuk pada temuan masing-masing prinsip di atas, jika diajukan pertanyaan: sudah bisakah ‘negara hukum’ disematkan kepada Indonesia? Bila negara hukum dipahami dalam artian formal (prinsip pemerintahan berdasarkan hukum dan prinsip legalitas formal), dapat diasumsikan bahwa negara hukum hampir mencukupi -sebagaimana yang terlihat dari nilai rerata dua prinsip tersebut 5,78. Namun bila negara hukum dipahami dalam pengertian yang substantif: tidak ada perilaku yang menyimpang atau menyalahgunakan kekuasaan dan mematuhi hukum untuk melindungi hak-hak warga negara, maka negara hukum dalam pengertian tersebut jelas masih belum tercapai. Angka 5,18 dalam skala 1-10 menunjukkan bahwa negara hukum Indonesia masih tertatih-tatih untuk menjadi negara hukum.

Sebagaimana telah disinggung, secara formal memang ada semangat dan peningkatan dalam menjalankan aturan, fungsi dan kewenangan masing-masing kekuasaan negara dalam kerangka sistem pemisahan kekuasaan dan checks and balances. Ditambah pula peranan dari lembaga-lembaga pengawas internal dan eksternal

ANALISIS

yang secara ekstensif dibentuk di hampir semua provinsi guna menopang kebutuhan akan berjalannya kekuasaan negara/pemerintah sesuai aturan yang berlaku dan menghadirkan kontrol terhadap penyalahgunaan kekuasaan.

Namun demikian, tak dapat dipungkiri pula, pada faktanya berbagai penyimpangan, pelanggaran, dan tindakan menyahgunakan kekuasaan yang tidak sesuai dengan hukum secara kasat mata masih kerap terjadi. Ditangkapnya sejumlah pejabat dan penyelenggara karena perilaku korupsi ternyata tidak membuat penyimpangan tersebut berkurang. Lemahnya akuntabilitas dan komitmen untuk mematuhi peraturan masih banyak terjadi. Sementara rekomendasi yang diberikan badan pengawas serta putusan badan peradilan, juga cenderung diabaikan dan tidak dipatuhi, termasuk yang dilakukan oleh penyelenggara negara.

Parlemen lebih cenderung menunjukkan aksi ‘politis’ dan lebih banyak berkutat dengan persoalan internal kelembagaan. Fungsi legislasi dan pengawasan yang semestinya dilakukan, masih terbaikan dan tidak berjalan optimal. Pada sisi lain, adanya pengawasan dan kenaikan gaji/renumerasi ternyata belum mampu mencegah dan menindak perbuatan para hakim yang tidak sejalan kode etik dan pedoman perilaku. Hal ini ditandai dengan banyaknya penyimpangan berkaitan dengan profesionalisme dan integritas moral hakim yang menjadi tren pada tahun ini. Sementara lembaga pengawas eksternal, kendati laporan/pengaduan masyarakat kian meningkat, namun belum cukup efektif mengontrol perilaku buruk kekuasaan baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

Ironisnya, hak asasi manusia sebagai instrumen mendasar yang mesti digunakan dalam setiap kebijakan dan tindakan negara semakin menurun. Alih-alih membaik, negara yang semestinya bisa memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia tidak banyak melakukan upaya maksimal. Bahkan membiarkan dan berkontribusi terhadap praktik-praktik pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang 2014. Perlindungan terhadap HAM masih diletakan sebagai diskursus, bukan praktik.

Jika demikian, kembali pada pertanyaan awal: sudah bisakah negara hukum disematkan kepada Indonesia? Dari deskripsi di atas, jawabannya tentu saja belum. Lalu apa yang harus dilakukan negara

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

(pemerintah) ke depan? Ke depannya, tindak lanjut dan agenda yang harus dilakukan negara (pemerintah) dalam menerapkan prinsip- prinsip negara hukum adalah:

1. Negara (pemerintah) harus melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan yang telah dibuat dan mematuhi serta menindaklanjuti setiap rekomendasi dan/ atau putusan badan peradilan.

2. Negara (pemerintah) -terutama pemerintah daerah- harus menyediakan akses peraturan yang lebih baik bagi semua warga, publikasi yang lebih merata, dan menjamin stabilitas peraturan.

3. Kekuasaan Kehakiman (Hakim) harus mampu menegakkan independensi dan integritas dirinya yang sejalan dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang diperkuat oleh kebijakan negara serta peran pengawasan eksternal yang lebih efektif.

4. Negara masih perlu memperbaiki kebijakan yang mendukung terpenuhinya akses terhadap keadilan secara jelas dan pasti dalam proses peradilan, termasuk menyediakan bantuan hukum serta anggaran yang lebih memadai bagi kelompok rentan.

5. Negara harus lebih konsisten dan menjamin hak asasi manusia baik pada aspek peningkatan ketersediaan instrumen hukum, penegakan maupun mekanisme pemulihan hak asasi manusia.