Pemerintahan Berdasarkan Hukum
1.2. Pengawasan yang Efektif
Pengawasan yang efektif merupakan faktor penting yang dibutuhkan untuk mewujudkan pemerintahan berdasarkan hukum. Meskipun bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi tindakan/ perbuatan pemerintah telah sesuai dengan hukum [diagram 1], beragamnya mekanisme pengawasan kelembagaan negara/pemerintah yang dibentuk menunjukkan adanya kebutuhan terhadap hal tersebut.
Sejauh mana efektifitas dari pengawasan itu dapat terlihat, indikator ini hendak mengukur/menilainya dari rekomendasi atau keputusan serta respon berupa kepatuhan atau adanya tindak lanjut terhadap rekomendasi/keputusan yang dikeluarkan masing-masing kelembagaan negara/pemerintah. Dari hasil survei dan dokumen, skor total yang diperoleh untuk indikator pengawasan yang efektif ini adalah 4,10. Skor ini turun 0,23 poin dibandingkan tahun sebelumnya (4,33). Adapun penjelasannya sebagai berikut.
a. Pengawasan oleh Parlemen Pengawasan oleh parlemen (DPR/DPRD)
terhadap pemerintah menurut undang-undang dilakukan melalui hak
PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Survei ahli untuk hak interpelasi dan hak angket menunjukan bahwa sebagian besar menjawab jarang [di atas 50 persen] dilakukan oleh DPR, dan tidak pernah dilakukan [di atas 60 persen] oleh DPRD pada tahun 2014. Sedangkan untuk hak menyatakan pendapat -baik DPR maupun DPRD, sebagian besar ahli menilai kurang efektif [di atas 40 persen] untuk mengawasi pemerintah.
Diagram 3.2: Efektifitas Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR sebagai Sarana Mengawasi Kinerja Pemerintah Pusat Tahun 2014
Fungsi pengawasan parlemen itu sepertinya memang jarang atau tidak pernah dilakukan pada tahun 2014. Berlangsungnya Pemilihan Umum Legislatif (DPR/DPRD/DPD) dan Presiden- Wakil Presiden 2014 memengaruhi intensitas pengawasan yang harus dilakukan oleh parlemen. Sehingga turut memengaruhi hasil dan dampak yang diharapkan dari pengawasan. Ketiadaan laporan kinerja DPR/DPRD yang komprehensif juga menjadi faktor yang memengaruhi penilaian efektifitas pengawasan oleh parlemen.
Seperti dalam laporan kinerja DPR pada Sidang Paripurna DPR Agustus 2014, hanya disampaikan bahwa fungsi pengawasan dijalankan melalui Tim Pengawas Kasus Dana Talangan Century, Tim Pemantau Pelaksanaan UU Pemerintahan Aceh dan Otonomi Khusus Papua, Tim Pengawas Perlindungan TKI dan Tim Pengawas Sengketa Pertanahan dan Konflik Agaria. Demikian halnya dengan parlemen daerah, seperti di DPRD Provinsi Jawa Timur, meski
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014
diakui ada peningkatan kegiatan dari tahun sebelumnya, namun tidak diketahui apa hasilnya.
b. Pengawasan oleh Pengadilan Meskipun tidak melakukan pengawasan secara langsung,
lembaga peradilan berperan dalam mengawasi (kontrol) pemerintah jika dilihat dari fungsi, tugas dan wewenang masing- masing institusi peradilan. Peranan itu dilakukan secara pasif dengan menerima dan mengadili perkara. Misalnya, melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), pengujian peraturan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung, dan pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi.
Untuk PTUN, para ahli masih merasakan kurang efektif [58.33%] peran pengadilan untuk mengawasi tindakan/perbuatan pemerintah. Jika dilihat dari jumlah perkara TUN 2014 di MA, hanya
56 perkara yang dikabulkan dari 549 perkara. Selebihnya ditolak (427 perkara) dan tidak dapat diterima (46 perkara). Meskipun sudah ada putusan inkracht, namun belum tentu bisa dieksekusi dengan alasan telah terjadi situasi hukum yang sudah berubah dan tidak dapat memberikan alasan bahwa putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang disebutkan oleh laporan PTUN Samarinda. Contoh lainnya, putusan Mahkamah Agung No.83 K/TUN/2014 yang memenangkan gugatan petani Buol atas pendaftaran hak alas tanah yang tidak dipenuhi dan diabaikan oleh BPN Sulawesi Tengah.
Fenomena ketidakpatuhan pemerintah dalam menjalankan putusan pengadilan itu tidak jauh berbeda dengan putusan MA dalam pengujian peraturan di bawah undang-undang. Tahun 2014 MA telah memutus 74 perkara dari 83 perkara yang diterima untuk menguji berbagai peraturan di bawah undang-undang, namun sebagian besar ahli masih menilainya kurang efektif [47,22 persen]. Dari 74 perkara yang diputus oleh MA: 4 perkara dikabulkan, 44 ditolak, 33 perkara tidak diterima (NO), dan 1 perkara dicabut.
Meski demikian, ahli melihatnya berbeda terhadap MK. Menurut sebagian besar ahli, proses pengujian undang-undang di MK efektif [69,44 persen] sebagai kontrol terhadap pemerintah.
PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014
Namun “kepercayaan” yang tinggi dari sejumlah ahli itu bertolak belakang jika dilihat dari data penanganan perkara. Dari 211 perkara yang diterima MK sepanjang 2014, masih terdapat 80 perkara yang belum diputus. Bahkan juga ditemukan sejumlah yang pihak tidak mematuhi putusan yang telah dibuat MK, seperti:
a. Putusan MK perihal UU Ketenagakerjaan yang menyatakan sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terkait perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka pengusaha berkewajiban untuk tetap melaksanakan hak-hak pekerja. Putusan tersebut tidak dipatuhi oleh MA dalam putusannya Nomor 102 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tanggal 16 Juli 2014;
b. Putusan PT Medan dalam perkara tindak pindana pemilu yang masih menggunakan rujukan Pasal 244 KUHAP yang telah dibatalkan MK, yang membolehkan putusan bebas dapat diajukan kasasi ke MA;
c. SEMA No. 7 Tahun 2014 tentang PK hanya satu bisa diajukan satu kali. Sebaliknya putusan MK sudah membatalkan ketentuan yang melarang PK diajukan hanya satu kali.
d. Revisi UU No 17/2014 tentang MD3 tidak melibatkan DPD. Padahal MK dalam putusannya Nomor 92/PUU-X/2012 memerintahkan supaya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sepanjang yang berkaitan dengan kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 harus mengikutsertakan DPD.
Diagram 3.3: Efektifitas Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Konstitusionaltas Undang-Undang sebagai Kontrol Terhadap Hasil Tindakan/Perbuatan Pemerintah Bersama DPR Tahun 2014
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014
Tidak dipatuhinya putusan MK oleh sejumlah lembaga negara dalam berbagai bentuk, menunjukkan bahwa putusan MK belum sepenuhnya implementatif. Dengan kata lain, peran MK sebagai kontrol/pengawas melalui pijakan konstitusi ternyata belum terlalu efektif. Hal ini tentu saja bisa menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) terhadap MK, dan ketidakpastian hukum yang mereduksi prinsip-prinsip negara hukum.
c. Pengawasan Internal oleh Pemerintah Pengawasan internal pemerintah ini merupakan pengawasan
terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi agar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Dalam hal ini yang hendak dilihat adalah pengawasan terhadap aparat/pegawai pemerintah, termasuk aparat penegak hukum serta pengawasan akuntabilitas pemerintah yang dilakukan oleh BPKP.
Penilaian pengawasan internal pemerintah didasarkan atas adanya reward untuk pegawai yang berprestasi dan punishment terhadap pegawai yang melakukan pelangaran disiplin/hukum. Seperti yang dilakukan Pemerintah Provinsi NTT pada tahun 2014, selain memberikan reward (satya lencana) kepada 720 PNS, juga memberikan sanksi disipilin terhadap 169 PNS bermasalah. Demikian pula yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, yang memberikan penghargaan kepada PNS berprestasi sebanyak 30 orang dan 37 PNS diberikan sanksi disiplin karena melakukan pelanggaran.
Pada sisi lain, dari hasil evaluasi BPKP di sejumlah daerah provinsi, kendati terdapat peningkatan target kinerja yang berakibat penilaian opini positif instansi pemerintah Daerah Provinsi [LKPD], namun tidak sedikit pula ditemukan kerugian uang negara, yang terjadi karena: 1) pelaksanaan pengadaan barang dan jasa belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2) penyajian laporan keuangan yang belum sesuai dengan standar akuntansi; dan 3) belum sepenuhnya menerapkan Sistem Pengawasan Internal Pemerintah (SPIP) sesuai dengan PP 60/2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014
Diagram 3.4: Efektifitas Pengawasan Pemerintah Provinsi Terhadap Pejabat/Aparatur di Lingkungan Daerah Provinsi Sepanjang Tahun 2014
Para ahli pun masih menilai bahwa pengawasan internal pemerintah pusat maupun daerah provinsi masih kurang efektif [rata-rata di atas 60 persen]. Hal ini diakui pula oleh KemenPan, bahwa kurang maksimalnya pengawasan intern pemerintah itu dikarenakan tidak independen dan transparan, lemahnya komitmen dan profesionalitas petugas, serta tumpang tindihnya pengawasan intern karena kurang jelasnya pengaturan. Sehingga untuk memperbaiki itu, pemerintah sudah mempersiapkan RUU Sistem Pengawasan Internal Pemerintah.
d. Pengawasan oleh Komisi Negara Independen Di samping internal pemerintah, mekanisme pengawasan
dilakukan secara eksternal oleh komisi negara independen yang secara khusus mengawasi pelaksanaan fungsi/kewenangan tertentu dari pemerintah, terutama dalam hal pelayanan publik, keterbukaan informasi dan etika dari aparat penegak hukum (polisi/jaksa).
Secara umum penilaian ahli terhadap pengawasan yang dilakukan oleh komisi negara independen pada tahun 2014 masih dianggap kurang/tidak efektif. Sekalipun ada peningkatan dibanding tahun sebelumnya [62 persen], sebagian besar ahli masih berpandangan bahwa pengawasan pelayanan publik yang dilakukan oleh Ombudsman dan kantor perwakilannya di daerah
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014
kurang efektif [36,11 persen]. Hanya 30,56 persen yang menilai efektif, dan selebihnya 27,78 persen menilai tidak efektif.
Diagram 3.5: Efektifitas Pengawasan Ombudsman Terhadap Pelayanan Publik oleh Lembaga Negara dan Instansi Pemerintah Tahun 2014
Terhadap Komisi Informasi, 52,78 persen ahli menilai kinerjanya masih kurang efektif dalam mengawasi keterbukaan informasi yang dilakukan pemerintah maupun daerah provinsi. Hanya 13,89 persen yang menilai efektif, dan 22,22 persen tidak efektif. Sedangkan pengawasan terhadap penyimpangan etika profesionalisme polisi oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), 44,44 persen ahli menilai tidak efektif dan 50 persen ahli menilai pengawasan jaksa oleh Komisi Kejaksaan juga tidak efektif.
Penilaian kurang efektif atau tidak efektif itu terkonfirmasi dari penyelesaian penanganan laporan masyarakat. Laporan Ombudsman Republik Indonesia mencatat lima besar instansi/ lembaga yang paling sering dilaporkan masyarakat pada tahun 2014 masih seperti tahun sebelumnya (2013): pemerintah daerah, kepolisian, kementerian, instansi terkait pertanahan, dan lembaga peradilan. Jumlahnya mencapai 6180 laporan masyarakat, namun baru 50,8 persen laporan yang selesai ditindaklanjuti. Sedangkan sisanya masih dalam proses.
PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014
Diagram 3.6: Efektifitas Pengawasan Komisi Informasi dalam Mengawasi Keterbukaan Informasi Publik dan Menyelesaikan
Permohonan Sengketa Informasi Tahun 2014
Diakui oleh Ombudsman dan perwakilannya di daerah, terdapat peningkatan jumlah laporan masyarakat yang diterima oleh Ombudsman sepanjang tahun 2014. Namun, respon berupa tingkat kepatuhan terhadap rekomendasi yang disampaikan Ombudsman masih rendah. Sebagaimana yang diakui oleh Perwakilan Ombudsman Jawa Timur, hanya 40 persen rekomendasi Ombudsman yang dipatuhi dan selebihnya diabaikan oleh pemerintah.
Contoh ketidakpatuhan itu dapat dilihat dari rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia Nomor: 0010/REK/0017.2013/ AMB/VIII/2014 tanggal 13 Agustus 2014 tentang pembatalan pengangkatan dan pelantikan Raja Negeri Rumahtiga, Kecamatan Teluk Ambon, Ny. Novita Sylvana Wattimena. Hingga Maret 2015, Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy belum melaksanakan rekomendasi tersebut tanpa diketahui alasannya.
Dari laporan Komisi Informasi tergambar pula bahwa terdapat 1354 permohonan penyelesaian sengketa tahun 2014 (1209 di antaranya adalah permohonan yang diajukan oleh pemohon yang sama). Kasus-kasus tersebut merupakan 10 kasus yang diregister tahun 2012, 74 kasus register tahun 2013, dan baru 39 kasus tahun 2014 yang dapat dapat diselesaikan. Meskipun demikian, Komisi Informasi berhasil menyelesaikan 123 kasus sengketa yang meliputi 83 Putusan Ajudikasi, 17 Sepakat Mediasi, 12 Penetapan/ Pencabutan, dan 11 Pembatalan Registrasi.
INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014
Satu hal yang membuat putusan ajudikasi Komisi Informasi tidak bisa serta merta diimplementasikan atau ditindaklanjuti disebabkan undang-undang memberikan kesempatan mengajukan keberatan ke PN/PTUN dan kasasi ke MA atas putusan Komisi Informasi. Permohonan keberatan tersebut membuka peluang untuk membatalkan putusan Komisi Informasi -kendati putusan pengadilan juga bisa menguatkan. Misalnya, ada lima perkara/ putusan Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat yang diajukan keberatan ke PTUN dan kasasi ke MA oleh Pemerintah Kota Bogor dan pemohon sengketa informasi. Satu di antara lima perkara itu dikabulkan oleh pengadilan.
Hal yang sama juga terjadi di PTUN Palembang. PTUN Palembang membatalkan putusan Komisi Informasi Provinsi (KIP) Sumsel Nomor 155/II/KI-SS/PS-M-A/2014 tanggal 3 Februari 2014. Dalam putusannya, KIP Sumsel memerintahkan kepada Sekda OKU Timur untuk memberikan data mengenai penggunaan dan realisasi APBD OKU Timur dari tahun 2009 hingga 2012 kepada LSM GAKOSS (Gerakan Anti Korupsi Sumatera Selatan). Sekda OKU Timur mengajukan keberatan, dan PTUN Palembang mengabulkan permohonan keberatan sekaligus membatalkan putusan KIP Sumatera Selatan tersebut pada 30 April 2014 [perkara Nomor 11/G/2014].
Sedangkan sepanjang tahun 2014, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menerima laporan berupa saran dan keluhan masyarakat sebanyak 1036 laporan: 785 (75 persen) pengaduan pelayanan buruk, 221 (21 persen) pengaduan penyalahgunaan wewenang, 27 (2,8 persen) mengadukan tindakan diskriminasi dan 1,2 persen mengadukan kasus korupsi. Dari laporan tersebut terdapat rekomendasi penanganan kasus/perkara yang belum ditindaklanjuti: seperti 100 perkara di Polda Metro Jaya, 16 kasus tanah di Polda Jambi, dan 54 kasus di Polda Sumatera Utara.