Akses terhadap Keadilan

4. Akses terhadap Keadilan

Akses terhadap keadilan adalah salah satu indikator di dalam konsep negara hukum yang menarik. Disebut menarik karena secara konseptual akses terhadap keadilan awalnya hadir sebagai kritik terhadap negara hukum itu sendiri: yang lebih condong menekankan pentingnya akan sebuah aturan dalam menghindari kesewenang-wenangan otoritas tertentu. Meski demikian, dalam kaca mata pemerhati negara hukum kontemporer, akses terhadap keadilan lazim dimasukan ke dalam salah satu prinsip negara hukum. Selain itu, secara teoritik akses terhadap keadilan tidak hanya melihat negara hukum secara formal (adanya aturan perundang-undangan saja) an sich, namun juga menyasar elemen substantif dari negara hukum (apakah aturan yang ada melindungi hak asasi manusia sebagai subjek yang diatur?).

Oleh karena itu, dalam kerangka indeks negara hukum Indonesia, pemahaman terhadap prinsip akses terhadap keadilan hanya dibatasi dalam artian formal. Pembatasan tersebut dilakukan agar secara konseptual prinsip akses terhadap keadilan tidak berbenturan dengan prinsip-prinsip negara hukum lainnya: seperti kekuasaan kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Sebagaimana dipahami oleh banyak sarjana, akses terhadap keadilan dalam artian substantif memiliki dimensi yang luas. Sehingga apabila bertumpu kepada pandangan substantif tersebut maka prinsip akses terhadap keadilan akan beririsan dengan prinsip-prinsip negara hukum lainnya -sebagaimana yang disebut di

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

atas. Dengan demikian, untuk tujuan praktis, maka pemahaman terkait akses terhadap keadilan dibatasi dalam artian formal.

Akses terhadap keadilan dalam artian formal tersebut mencakup: apakah sistem peradilan bisa diakses oleh publik?; apakah sistem peradilan yang ada sudah mencerminkan proses yang cepat dan terjangkau?; dan apabila warga negara terutama warga negara yang rentan seperti anak, perempuan, dan masyarakat menghadapi masalah hukum dalam sistem hukum yang formal, apakah negara menyediakan bantuan hukum? Dengan demikian, dalam prinsip akses terhadap keadilan, ada tiga indikator yang akan diukur: (1) keterbukaan informasi; (2) peradilan yang cepat dan terjangkau; serta (3) ketersediaan bantuan hukum.

Yang diukur oleh indikator pertama, keterbukaan informasi, adalah kemudahan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam tahapan sistem peradilan: tahap penyidikan; tahap penuntutan; dan tahap beracara di pengadilan. Selain mengukur kemudahan masyarakat untuk informasi di setiap tahapan, indikator ini juga akan melihat sejauh mana respon dari setiap institusi yang berwenang jika ada keluhan yang disampaikan oleh publik dalam setiap tahapan.

Indikator kedua, peradilan yang cepat dan terjangkau, mengukur sejauh mana peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer sudah cepat dalam melayani para pencari keadilan. Selain mengukur sejauh mana proses peradilan yang cepat, indikator ini juga ingin melihat sejauh mana biaya berproses di pengadilan terjangkau oleh masyarakat dan keterjangkauan geografis infrastruktur pengadilan bagi para pencari keadilan.

Sedangkan indikator ketiga, ketersediaan bantuan hukum, ingin melihat sejauh mana ketersedian bantuan hukum yang diberikan oleh negara terhadap masyarakat yang rentan. Yang dimaksud dengan masyarakat yang rentan di sini adalah perempuan, anak, dan masyarakat adat.

Hasil evaluasi ahli dan dokumen sepanjang tahun 2014 menunjukan bahwa nilai untuk prinsip akses terhadap keadilan adalah 5,61. Nilai tersebut merupakan nilai rata-rata dari indikator: (1) keterbukaan informasi dengan nilai 5,33; (2) peradilan yang cepat dan

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

terjangkau dengan nilai 6,41; dan (3) ketersediaan bantuan hukum dengan nilai 5,09.

Apabila nilai prinsip akses terhadap keadilan dikalikan dengan nilai bobotnya sebesar 15 persen, maka nilai prinsip akses terhadap keadilan adalah 0,84. Dibandingkan tahun sebelumnya yang bernilai 0,71, tahun ini prinsip akses terhadap keadilan mengalami peningkatan sebesar 0,13 poin.

4.1. Keterbukaan Informasi

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa nilai rata-rata keterbukaan informasi dalam sistem peradilan adalah 5,33. Nilai itu merupakan akumulasi dari nilai keterbukaan informasi dan respon institusi terhadap keluhan masyarakat terhadap informasi yang dibutuhkan pada tahap penyidikan, tahap penuntutan dan tahap proses beracara di pengadilan.

Dalam tahap penyidikan, hasil survei ahli menunjukan bahwa akses publik terhadap informasi di tahap penyidikan masih buruk (75 persen). Bahkan apabila publik mendapatkan masalah informasi dan mengajukan keberatan, Kepolisian sebagai institusi yang punya otoritas di tahap penyidikan dinilai tidak responsif (80 persen).

Diagram 3.22: Dalam Tahap Penyidikan Masyarakat Mudah Mendapatkan Informasi yang Dibutuhkan Sepanjang Tahun 2014

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

Diagram 3.23: Masyarakat Mengalami Masalah dalam Tahap Penyidikan Sepanjang 2014, dan Melakukan Keberatan Direspon dengan Baik

Berdasarkan penelusuran dokumen yang dilakukan, tidak maksimalnya kinerja Kepolisian di tahap penyidikan tecermin dari Laporan Akhir Tahun Ombudsman Tahun 2014 yang meletakan Kepolisian berada pada peringkat kedua institusi publik yang paling banyak dilaporkan oleh publik dengan jumlah 12,6 persen atau 779 laporan dari 6.180 laporan yang diterima sepanjang tahun 2014. Dari 779 laporan publik tersebut, 40,5 persennya berkenaan dengan penundaan berlarut. Meskipun laporan tersebut tidak secara ekplisit menunjukan penundaan yang berlarut berkorelasi dengan sulitnya publik dalam mengakses informasi di tahap penyidikan, namun dapat disimpulkan bahwa penundaan berlarut terkait erat dengan kewenangan Kepolisian di tahap penyidikan.

Pada sisi lain, hasil pemeringkatan lembaga publik yang dilakukan oleh Komisi Informasi Pusat (KIP) pada bulan September-November 2014 menunjukan hal yang sebaliknya: Kepolisian lolos dalam 13 lembaga publik yang masuk pada tahap visitasi. Dalam tahap akhir, Kepolisian mendapatkan nilai 70, terendah kedua setelah DPR. Meskipun Kepolisian berada pada peringkat terendah kedua dalam tahap visitasi , namun jika dilihat secara keseluruhan (dari 135 lembaga publik yang dinilai), Kepolisian relatif baik dibanding lembaga publik lainnya dalam hal keterbukaan informasi.

Pada tahap penuntutan, survei ahli menunjukan bahwa publik masih sulit untuk mendapatkan informasi (78 persen). Bahkan jika ada komplain publik terhadap informasi yang dibutuhkan pada tahap

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

ini, respon dari Kejaksaan selaku institusi yang punya otoritas di tahap ini makin buruk (83 persen), sebagaimana yang terlihat dalam diagram di bawah ini.

Diagram 3.24: Masyarakat Mudah Mendapatkan Informasi pada Tahap Penuntutan Sepanjang Tahun 2014

Diagram 3.25: Survei Ahli Terkait Respon Penuntut Apabila Publik Mengalami Masalah Akses Informasi

Hasil evaluasi dokumen pun menunjukan hal yang sama. Misalnya, Hasil Evaluasi Kinerja Lembaga Publik yang dilakukan oleh Komisi Informasi Publik. Kejaksaan mendapatkan angka 40,6 (dari rentang 0-100), sehingga Kejaksaan tidak masuk ke tahap visitasi (tahap akhir untuk dievaluasi) yang mensyaratkan suatu lembaga publik minimal mendapatkan angka 70.

Hasil evaluasi terhadap kinerja Kejaksaan selama ataupun sebelum persidangan terkait perkara-perkara umum dan pidana khusus di 13 Pengadilan Negeri di 6 provinsi yang dilakukan oleh

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

Koalisi Pemantauan Jaksa yang terdiri dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH-J), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak kekerasan (KontraS), Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB, Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (Piar) NTT serta Anti Corruption Committe (ACC) Makassar pun menunjukan hal yang tidak jauh berbeda. Dari 392 kasus yang dipantau oleh Koalisi, ditemukan 199 persidangan yang terdapat pelanggaran (50,8 persen). Dari 199 persidangan yang terdapat pelanggaran tersebut, ditemukan 239 pelanggaran. Bentuk pelanggaran tertinggi yang ditemukan berupa tidak menawarkan bantuan hukum kepada terdakwa sebanyak 60 pelanggaran dan 44 pelanggaran terkait akses dokumen perkara. Kedua pelanggaran tersebut tentu saja merupakan bagian dari akses informasi terhadap publik dalam tahap penuntutan.

Buruknya kinerja Kejaksaan dalam memberikan akses informasi terhadap publik sulit dilepaskan dari buruknya kinerja Komisi Kejaksaan. Komisi Kejaksaan yang dibentuk untuk mengawasi kinerja Kejaksaaan sepanjang 2014 tidak bekerja dengan optimal. Bahkan, sejak 2012, Komisi Kejaksaan tidak pernah mempublikasikan laporan kinerjanya. Padahal, Komisi Kejaksaan adalah ruang yang dibentuk oleh negara untuk memastikan Kejaksaan bekerja dengan optimal.

Buramnya kinerja Komisi Kejaksaan pada tahun 2014 tecermin dari friksi di internal Komisi Kejaksaan. Dua komisioner Komisi Kejaksaan, Halius Hosen dan Kamilov Sagala, saling bersitegang dan melaporkan yang berakhir dengan pemecatan Komisioner Sagala yang diduga melakukan pelanggaran etik karena dianggap mengritik Kejaksaan dengan kasar. Padahal, Ketua Komisi Kejaksaan yang dilaporkan oleh Kamilov, Halius Hosen, yang terbukti kuat ikut dalam kontestasi Pemilu 2014 selaku calon dari PDIP, sampai akhir tahun 2014 tidak diproses dan dikenai sanksi etik apa pun.

Pada tahap beracara di persidangan, hasil evaluasi yang dilakukan oleh ahli menunjukan bahwa akses informasi publik pada tahap persidangan cenderung negatif. Hanya 36 persen ahli yang berpendapat bahwa akses publik terhadap informasi sudah bekerja dengan optimal. Bahkan jika dihubungkan dengan respon pengadilan terhadap laporan

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

publik yang mengalami masalah informasi, hanya 30,55 persen ahli yang berpandangan positif.

Diagram 3.26: Persepsi Ahli Terkait Respon Pengadilan jika Publik Mengalami Masalah Informasi

Walaupun hasil survei ahli menunjukan hasil yang negatif, penelusuran dokumen yang dilakukan menunjukan hal sebaliknya: hasil evaluasi kinerja lembaga publik yang dilakukan Komisi Informasi Publik menunjukan bahwa Mahkamah Agung berada pada peringkat ke 8. Hasil tersebut linier dengan tingkat publikasi putusan pengadilan yang meningkat 54 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Demikian juga terhadap jalannya persidangan di daerah, publik dapat juga dengan mudah mendapatkan informasi sesuai dengan yang dibutuhkan di masing-masing situs pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.

Sedangkan terkait dengan kinerja Mahkamah Konstitusi, hasil evaluasi kinerja lembaga publik yang dilakukan Komisi Informasi Publik menempatkan Mahkamah Konstitusi pada peringkat ke 4 dari 135 lembaga publik yang disurvei. Hasil tersebut tidak mengejutkan, karena secara kasat mata publik dapat dengan mudah mendapatkan informasi mengenai jalannya persidangan, jadwal, dan putusan di lembaga peradilan konstitusi tersebut. Meski demikian, catatan akses informasi publik terhadap Mahkamah Konstitusi terkait dengan respon MK terhadap informasi yang dibutuhkan publik terkait laporan etik yang disampaikan. Belum ada data yang dapat diperoleh oleh publik terkait sejauh mana respon dari Mahkamah Konstitusi terutama Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terhadap laporan publik yang disampaikan,

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

4.2. Peradilan Yang Cepat dan Terjangkau

Indikator peradilan yang cepat dan terjangkau adalah indikator yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan indikator lainnya dengan nilai 6,41. Ada tiga subindikator yang diukur oleh indikator ini: (1) apakah proses beracara di pengadilan sudah cepat? (2) apakah proses beracara di pengadilan biayanya sudah terjangkau? (3) apakah proses beracara di pengadilan secara geografis dapat terjangkau? Pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara dan pengadilan militer.

Terhadap subindikator pertama: proses beracara di pengadilan sudah cepat, sebagian besar ahli berpendapat bahwa proses peradilan telah cepat dengan jumlah 47,22 persen (sangat setuju dan setuju). Sedangkan yang berpandangan sebaliknya sebesar 41,68 persen (kurang setuju dan tidak setuju). Dari empat pengadilan yang dimintakan pendapat, hanya pengadilan umum yang dipandang masih berjalan dengan lambat (lebih dari 50 persen ahli berpendapat negatif).

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2013), terdapat perubahan yang signifikan terhadap pendapat ahli. Pada tahun sebelumnya, 81 persen ahli berpendapat bahwa proses beracara di pengadilan masih lambat. Artinya, terdapat peningkatan persepsi ahli sebesar 40 persen.

Tabel 3.11: Persentase Pendapat Ahli Terkait Proses Peradilan yang Cepat No

Pengadilan Persentase Pendapat Sangat Setuju Kurang Tidak

Tidak

Setuju

Setuju Setuju Jawab

1 Pengadilan Umum

58,33 22,22 2,78 2 Pengadilan Agama

13,89 8,33 8,33 3 Pengadilan Tata Usaha

27,78 13,89 2,78 Negara 4 Pengadilan Militer

Sumber: Hasil survei ahli Indeks Negara Hukum Indonesia 2014

Meskipun demikian, dari penelusuran dokumen yang dilakukan, tingkat perkara yang diputus dari tahun sebelumnya (2013) tidak berubah secara signifikan. Jumlah perkara yang diputus oleh seluruh

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

pengadilan di Indonesia sepanjang tahun 2014 hanya naik 0,89 persen. Padahal jumlah perkara yang ditangani oleh pengadilan sepanjang tahun 2014 turun 1,25 persen: pada tahun 2013 terdapat 4.058.837 perkara sedangkan pada tahun 2014 terdapat 4.034.112 perkara.

Bahkan jika melihat dari sudut kuantitas jumlah perkara yang diputus, terdapat tren penurunan. Pada tahun 2014, jumlah perkara yang diputus berjumlah 3.853.008 perkara; sedangkan tahun 2013, jumlah perkara yang diputus berjumlah 3.893.004 perkara. Artinya, terdapat penurunan penyelesaian perkara yang diputus sebesar 39.996 perkara.

Tabel 3.12: Rasio Penyelesaian Kasus di Pengadilan Negeri Pada Tahun 2014

No Peradilan

Jumlah Perkara

Jumlah Rasio

yang Diterima

Perkara yang Penyelesaian Diselesaikan

Kasus

1 Peradilan Pidana

Umum perkara Perdata

68.158 perkara 43.689 perkara 91,92% (49.197 perkara

jika ditambah perkara yang dicabut)

2 Peradilan Agama 536.652 perkara. 457.780 perkara 80,01% 3 Peradilan Tata

1.791 perkara 76,51% Usaha Negara

2.341 perkara

4 Peradilan Militer

3.150 perkara

2.846 perkara 89,71%

Sumber: diolah dari Laporan Akhir Tahun MA 2014

Tabel 3.13: Rasio Penyelesaian Kasus di Pengadilan Tinggi

No Peradilan

Jumlah

Jumlah Rasio

Perkara yang

Perkara yang Penyelesaian

Diterima

Diselesaikan Kasus

1 Pengadilan Pidana

5.029 perkara 89,73%. Umum

4.568 (4.587 75,80% perkara jika ditambah yang dicabut)

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

2 Peradilan Agama

2.491 perkara

2.337 perkara 93,30%

3 Peradilan Tata Usaha

1.090 perkara 88,12% Negara

1.237 perkara

4 Peradilan Militer

585 perkara

518 perkara 88,55%

Sumber: diolah dari Laporan Akhir Tahun MA 2014

Terkait dengan biaya di pengadilan, para ahli berpandangan bahwa biaya berproses di pengadilan masih tidak terjangkau (baik di pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara dan pengadilan militer) sebagaimana tecermin dari 47,22 persen jawaban (tidak setuju dan kurang setuju). Hanya 35,41 persen ahli yang berpandangan (sangat setuju dan setuju) bahwa biaya beracara di pengadilan sudah terjangkau, meskipun terdapat 17,36 persen ahli tidak menjawab pertanyaan.

Pengadilan yang biayanya dianggap tidak terjangkau oleh publik adalah pengadilan militer. Berturut-turut sesudahnya: pengadilan umum, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan agama. Artinya, pengadilan agama dianggap sebagai pengadilan yang jika publik beracara biayanya relatif terjangkau. Lebih lanjut dapat dilihat di dalam tabel di bawah ini:

Tabel 3.14: Persentase Pandangan Ahli Terkait Keterjangkauan Biaya Pengadilan

No Pengadilan Persentase Pendapat

Sangat

Setuju Kurang Tidak Tidak

Setuju

Setuju Setuju Jawab

1 Pengadilan Umum

33,33 38,89 2,78 2 Pengadilan Agama

25 22,22 2,78 3 Pengadilan Tata Usaha

4 Pengadilan Militer

Sumber: Diolah dari Survei Ahli Indeks Negara Hukum Indonesia 2014

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Apabila pendapat ahli tahun ini dihubungkan dengan tahun sebelumnya (2013), terdapat tren yang positif. Pada tahun sebelumnya, 84,33 persen ahli berpendapat bahwa biaya di pengadilan masih mahal (tidak terjangkau). Artinya, terdapat peningkatan persepsi ahli yang cukup signifikan sebesar 37,11 persen.

Pada sisi lain, terkait dengan keterjangkauan geografis dalam artian lokasi pengadilan dapat dijangkau dengan mudah oleh publik, menurut ahli hampir semua lokasi pengadilan dapat dijangkau oleh publik. Lokasi yang paling mudah dijangkau oleh publik secara berturut-turut: pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara dan pengadilan militer.

Tabel 3.15: Persentase Pandangan Ahli Terkait Keterjangkauan Lokasi Pengadilan

No Pengadilan Persentase Pendapat

Sangat

Setuju Kurang Tidak Tidak

Setuju

Setuju Setuju Jawab

1 Pengadilan Umum

13,89 5,56 3 2 Pengadilan Agama

19,44 5,56 2,78 3 Pengadilan Tata Usaha

4 Pengadilan Militer

Sumber: Diolah dari Survei Ahli Indeks Negara Hukum Indonesia 2014

4.3. Ketersediaan Bantuan Hukum

Indikator ke tiga dari prinsip akses terhadap keadilan adalah ketersediaan bantuan hukum. Subindikator ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran sejauh mana ketersedian bantuan hukum yang disediakan oleh negara dan efektifitasnya bagi publik yang mendapatkannya. Lebih spesifik, subindikator ini juga melihat sejauh mana ketersedian bantuan hukum bagi masyarakat rentan: anak, perempuan dan masyarakat adat.

Hasil evaluasi yang dilakukan ahli menunjukan bahwa bantuan hukum yang diberikan negara masih sepanjang tahun 2014 belum cukup

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

memadai: 56 persen ahli menjawab tidak setuju dan kurang setuju. Sebaliknya, yang mengatakan bantuan hukum negara sudah memadai hanya 42 persen. Sisanya, 3 persen ahli tidak menjawab pertanyaan.

Diagram 3.27: Ketersedian Bantuan Hukum oleh Negara Bagi Warga yang Berhak

Apabila dihubungkan dengan temuan tahun sebelumnya (2013), hasil evaluasi ahli pada tahun 2014 sebenarnya menunjukan tren positif. Pada tahun sebelumnya, 62,5 persen ahli menjawab negatif (tidak setuju dan kurang setuju). Artinya, terdapat kenaikan sebesar 6,5 persen. Apabila dihubungkan dengan evaluasi dokumen, bisa jadi kenaikan persepsi ahli berhubungan dengan bantuan hukum yang diberikan oleh pengadilan.

Pada awal tahun 2014, tepatnya pada tanggal 7 Januari 2014, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum Bagi Masyarakat yang Tidak Mampu. Perma tersebut menyebutkan bahwa pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di pengadilan meliputi: 1) Layanan Pembebasan Biaya Perkara, 2) Sidang di Luar Gedung Pengadilan, dan 3) Posbakum Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam praktiknya, bantuan hukum yang diberikan oleh pengadilan melalui Posbakum yang dilaksanakan di 56 pengadilan negeri dengan anggaran sebesar Rp 3.188.191.000,00 (tiga milyar seratus delapan puluh delapan juta seratus sembilan puluh satu ribu rupiah) dengan realisasi sebesar Rp 460.056.370,00 (empat ratus enam puluh juta lima puluh enam ribu tiga ratus tujuh puluh rupiah). Adapun jumlah perkara/ layanan yang berhasil diselesaikan adalah sebanyak 788 perkara.

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Sementara itu, pengadilan agama/mahkamah syar’iyah berhasil memberikan layanan kepada 82.145 orang dengan anggaran yang diberikan sebesar Rp 4.315.200.000,00 (empat milyar tiga ratus lima belas juta dua ratus ribu rupiah) yang berhasil diserap atau digunakan seluruhnya. Jumlah Pos Bantuan Hukum tersebut tersebar di 74 pengadilan agama/mahkamah syar’iyah.

Pada tahun 2014 ini, jumlah pencari keadilan yang dilayani pada Posbakum pengadilan agama/mahkamah syar’iyah meningkat sangat signifikan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sidang di luar gedung pengadilan di lingkungan peradilan umum pada tahun 2014 dilaksanakan di 39 lokasi dengan anggaran sebesar Rp 3.960.264.000,00 (tiga milyar sembilan ratus enam puluh juta dua ratus enam puluh empat ribu rupiah) dengan total 408 orang yang berhasil dilayani.

Di lingkungan peradilan agama, sidang di luar gedung pengadilan dilaksanakan di 523 lokasi dengan total penyelesaian 30.857 perkara. Anggaran yang diberikan adalah sebesar Rp 6.193.121.000,00 (enam milyar seratus sembilan puluh tiga juta seratus dua puluh satu ribu rupiah) dan yang berhasil digunakan adalah sebesar Rp 5.822.704.585,00 (lima milyar delapan ratus dua puluh dua juta tujuh ratus empat ribu lima ratus delapan puluh lima rupiah).

Sedangkan, bantuan hukum negara yang terfokus melalui BPHN, pada tahun 2014 hanya naik sebesar 4 milyar (44 milyar). Pada tahun sebelumnya, anggaran bantuan hukum hanya 40,8 milyar selama setahun untuk seluruh Indonesia. Artinya, tidak tertutup kemungkinan bahwa perubahan persepsi ahli tersebut dikarenakan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tersebut.

Apabila ketersedian bantuan hukum yang diberikan oleh negara tersebut dihubungkan dengan kelompok rentan: kaum difabel, perempuan, anak dan masyarakat adat, maka ketersedian bantuan hukum yang diberikan oleh negara tersebut semakin menyusut. Terlihat rata-rata hanya 18,75 persen ahli yang menyatakan bantuan hukum terhadap kelompok rentan tersebut sudah memadai. Artinya, terdapat penyusutan sebesar 23,25 persen jika dilihat dari ketersedian bantuan hukum secara umum. Dari empat kelompok rentan tersebut, kelompok difable merupakan kelompok yang paling tidak dijamah bantuan

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

hukum oleh negara. Secara berturut-turut kemudian: masyarakat adat, perempuan dan anak.

Tabel 3.16: Ketersedian Bantuan Hukum Bagi Kelompok Rentan

No Pengadilan Persentase Pendapat Sangat

Kurang Tidak Tidak Setuju

Setuju

Setuju Setuju Jawab

Sumber: diolah dari Hasil Survei Ahli Indeks Negara Hukum 2014

Pada sisi lain, jika dilihat dari efektifitasnya, bantuan hukum yang diberikan oleh negara dirasa belum signifikan. Sebagaimana yang terlihat dari 81 persen ahli yang menyatakan negatif (tidak setuju dan kurang setuju). Hanya 17 persen ahli yang menyatakan bahwa bantuan hukum yang diberikan oleh negara telah memadai. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terdapat tren yang positif. Pada tahun sebelumnya (2013), 92,19 persen ahli berpendapat bahwa bantuan hukum belum efektif. Artinya, dalam setahun, terdapat kenaikan sebesar 11,19 persen terkait efektifitas bantuan hukum yang diberikan oleh negara.

Diagram 3.28: Efektifitas Bantuan Hukum yang Disediakan oleh Negara

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014