Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia

5. Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah elemen yang substansial di dalam pembangunan negara hukum, di mana pemerintah sebagai penyelenggara negara menjalankan kewajiban-kewajibannya terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Hal ini juga sejalan dengan berbagai pemikiran terkait dengan konsep negara hukum, salah satunya yang dikemukakan Tom Bingham, mantan ketua Mahkamah Agung Inggris dan juga dikenal sebagai salah satu hakim paling berpengaruh di dunia. Menurut Bingham, perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah salah satu dari delapan (8) ramuan negara hukum.

Oleh karena itu, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dijadikan salah satu prinsip yang mengindikasikan sejauh mana penegakkan negara hukum dijalankan di Indonesia. Di dalam prinsip ini, ada beberapa indikator yang dijadikan tolok ukur penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia yaitu: 1) jaminan hak atas hidup; 2) jaminan atas hak untuk bebas dari penyiksaan; 3) jaminan atas hak untuk tidak diperbudak; 4) jaminan atas hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual;

5) jaminan atas hak untuk tidak dihukum atas suatu perbuatan yang bukan tindak pidana; dan 6) jaminan kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.

Keenam indikator tersebut dipilih karena merupakan bagian dari komponen hak-hak asasi manusia yang diakui, baik di dalam instrumen hukum internasional maupun hukum nasional, sebagai hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun juga (non- derogable rights), atau yang juga dikenal dengan jus cogens -seperangkat norma yang utama di dalam hukum internasional, yang tidak dapat ditentang atau pun dikurangi kapan pun dan oleh siapa pun.

Enam indikator yang digunakan diuraikan lebih rinci lagi ke dalam beberapa tolok ukur. Misalnya, indikator jaminan hak atas hidup, menggunakan tolok ukur aspek ketersediaan instrumen hukum yang memadai, penegakkannya, dan mekanisme pemulihan yang tersedia ketika terjadi pelanggaran terhadap jaminan hak atas hidup. Contoh lainnya, performa negara di dalam menjamin hak untuk tidak diperbudak, juga diukur dengan menggunakan tiga tolak ukur: ketersediaan instrumen hukum yang memadai dalam menjamin hak

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

untuk tidak diperbudak, penegakkan jaminan atas hak untuk tidak diperbudak serta tindakan negara terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi atas hak untuk tidak diperbudak.

5.1. Jaminan hak atas hidup.

Dari hasil survei ahli ditemukan bahwa 61 persen ahli menganggap perlindungan hukum terhadap jaminan hak atas hidup di Indonesia dalam instrumen hukum masih belum memadai.

Diagram 3.29: Peraturan Perundang-Undangan Tahun 2014 yang Menjamin Hak Atas Hidup

Dari sudut penegakkannya, para ahli melihat masih adanya praktik- praktik penggunaan kekuatan secara berlebihan yang mengakibatkan kematian. Bahkan 22,22 persen ahli melihat bahwa praktek semacam itu masih sangat sering terjadi di wilayah mereka. Sebanyak 63.89 persen ahli juga berpendapat bahwa pelaku utama penggunaan kekuatan secara berlebihan yang mengakibatkan kematian ini berasal dari pihak Kepolisian.

Diagram 3.30: Polisi Sebagai Pelaku yang Seringkali Menggunakan Kekuatan Berlebihan yang Mengakibatkan Kematian

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Sementara itu, dari segi pemulihan bagi keluarga korban pelanggaran terhadap jaminan hak atas hidup, mayoritas ahli menganggap bahwa mekanisme pemulihan bagi korban pelanggaran tersebut masih tidak efektif (58,33 persen).

Dari hasil penelusuran dokumen, kondisi jaminan terhadap hak atas hidup di Indonesia sepanjang 2014 memang cukup buram. Amnesty International mencatat, setidaknya ada dua narapidana yang dieksekusi mati dan 140 orang terpidana mati yang menunggu eksekusi, di mana sebagian besar di antaranya narapidana kasus narkoba. Selain itu, Amnesty juga mencatat, setidak-tidaknya 5 orang tewas akibat penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan dan militer di tahun 2014.

Catatan Akhir Tahun LBH Medan tahun 2014 juga mencatat satu kasus penggunaan kekuatan berlebihan yang mengakibatkan kematian terhadap seorang warga Medan Johor yang bernama Riduan Sitepu. Riduan ditembak mati oleh aparat Kepolisian ketika sedang membeli air mineral di sebuah warung bersama adiknya. Alasan resmi yang diberikan oleh Kapolresta Medan, karena Riduan sedang melakukan transaksi narkoba. Namun berdasarkan keterangan saksi-saksi yang ada di sekitar wilayah kejadian, Riduan saat itu hanya membeli air mineral di warung ketika empat orang polisi tiba-tiba mengejar dan menembaknya hingga tewas.

Sementara itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang tahun 2014, terjadi 19 korban tewas akibat penggunaan kekuatan yang berlebihan. Laporan KPA itu juga menunjukkan bahwa mayoritas pelaku kekerasan tersebut adalah polisi.

Berdasarkan hasil survei ahli dan penelusuran dokumen yang dilakukan, skor indikator jaminan hak atas hidup masyarakat Indonesia di tahun 2014 adalah 3,8. Terjun bebas jika dibandingkan dengan skor indikator hak atas hidup di dalam hasil survei tahun sebelumnya: 6,8.

5.2. Jaminan atas Hak untuk Bebas dari Penyiksaan.

Indikator jaminan atas hak untuk bebas dari penyiksaan memiliki beberapa tolok ukur utama: jaminan perlindungan hukum, penegakkan atas jaminan tersebut, serta tindakan negara atas pelanggaran atas hak untuk bebas dari penyiksaan, termasuk pemulihan bagi korban pelanggarannya.

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

Ketika ditanya apakah peraturan perundang-undangan dan kebijakan di tingkat nasional yang menjamin hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang merendahkan dan tidak manusiawi sudah memadai? Terlihat jarak yang tipis antara jumlah ahli yang berpendapat instrumen hukum nasional sudah atau cukup memadai dalam menjamin hak tersebut dengan jumlah yang menganggap instrumen nasional belum atau tidak memadai seperti yang terlihat dalam diagram di bawah ini.

Diagram 3.31: Ketersediaan Instrumen Hukum Nasional yang Menjamin Hak Untuk Bebas dari Perlakuan dan Hukuman yang Merendahkandan Tidak Manusiawi

Pada sisi lain, terkait dengan penegakkan jaminan atas hak untuk bebas dari penyiksaan, rata-rata ahli menganggap bahwa praktik-praktik penyiksaan masih banyak terjadi, khususnya di rumah-rumah tahanan kepolisian, rumah tahanan militer dan lembaga pemasyarakatan. Ketika ditanyakan apakah praktik penyiksaan masih terjadi di tahanan kepolisian, 36,11 persen ahli menjawab setuju dan 38,88 persen sangat setuju.

Apabila ditanyakan tentang hal yang sama (praktik penyiksaan) di tempat penahanan militer, 19,44 persen ahli sangat setuju dan 27,77 persen ahli setuju bahwa praktik penyiksaan masih terjadi di tempat penahanan militer. Sementara itu, 11,11 persen ahli sangat setuju dan 38,88 persen sangat setuju bahwa praktik-praktik penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang merendahkan dan tidak manusiawi masih terjadi di lembaga-lembaga pemasyarakatan.

Sebagian besar ahli juga menganggap pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, belum melakukan upaya yang memadai untuk mencegah terjadinya penyiksaan. Seperti yang terlihat di dalam diagram berikut ini.

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Diagram 3.32: Upaya Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Merendahkan dan Tidak Manusiawi

Selain itu, dalam kaitannya dengan proses hukum atas para pelaku pelanggaran atas hak untuk bebas dari penyiksaan di sepanjang tahun 2014, hanya 2,78 persen ahli yang sangat setuju dan 16,67 persen yang setuju bahwa pemerintah telah cukup efektif dalam melakukan proses hukum terhadap para pelaku. Sisanya, 80,56 persen ahli menyatakan tidak setuju dan kurang setuju bahwa proses hukum terhadap para pelaku telah dilakukan secara efektif.

Sentimen yang sama juga diberikan oleh sebagian besar ahli terhadap kondisi pemulihan bagi para korban dan/atau keluarga korban penyiksaan: di mana hanya 5,56 persen ahli yang berpendapat bahwa pemulihan tersebut telah dilakukan secara efektif; sedangkan sisanya 94,44 persen ahli berpendapat bahwa pemulihan bagi para korban dan/atau keluarga korban penyiksaan masih kurang ataupun tidak efektif sepanjang tahun 2014.

Beberapa organisasi lokal melaporkan adanya penurunan jumlah praktik penyiksaan. Misalnya, LBH Padang, yang melaporkan bahwa di tahun 2014 mereka hanya menerima 3 laporan kasus penyiksaan. Jika dibandingkan dengan jumlah di tahun-tahun sebelumnya yang mencapai angka belasan, terdapat penurunan.. Di antara laporan- laporan organisasi hak asasi manusia lokal lainnya, laporan kasus penyiksaan tertinggi disampaikan oleh LBH Surabaya, sebanyak 5 kasus.

Berdasarkan hasil survei di 18 propinsi di Indonesia, skor indikator jaminan atas hak untuk bebas dari penyiksaan adalah 4,76. Sementara dari hasil penelusuran dokumen tim peneliti, jaminan hak ini masih belum terpenuhi, karena masih saja terdapat praktik-praktik penyiksaan di berbagai wilayah Indonesia meskipun secara kuantitas sudah mulai menurun. Berdasarkan hal tersebut, tim peneliti memberikan skor

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

2,68 bagi indikator ini. Dengan demikian, total jumlah skor indikator jaminan atas hak untuk bebas dari penyiksaan di tahun 2014 adalah 3,72. Terdapat penurunan jika dibandingkan dengan skor indikator yang sama pada tahun sebelumnya (5,82).

5.3. Jaminan atas Hak untuk tidak Diperbudak.

Jaminan atas hak untuk tidak diperbudak di dalam indikator ketiga ini meliputi jaminan bagi setiap orang untuk tidak dipekerjakan di luar kemauannya sendiri, jaminan untuk tidak dieksploitasi di dalam pekerjaan -khususnya terhadap anak di bawah umur, serta jaminan untuk bebas dari perdagangan manusia.

Berdasarkan survei yang dilakukan, 47,22 persen ahli menganggap bahwa sepanjang tahun 2014, ketersediaan instrumen hukum yang menjamin hak untuk tidak diperbudak kurang memadai, dan 13,89 persen ahli berpendapat bahwa ketersediaan instrumen tersebut sangat tidak memadai.

Sementara itu, terkait dengan praktik-praktik perbudakan, 6 persen ahli menggangap bahwa praktik-praktik perbudakan masih terjadi di wilayah propinsi mereka dalam bentuk pemaksaan kerja bagi seseorang di luar kehendaknya. Ketika ditanya sektor pekerjaan yang rentan terhadap praktik-praktik perbudakan, ahli menjawab bahwa prostitusi dan pekerjaan jalanan (mengamen, mengemis dan mengasong) merupakan sektor-sektor di mana praktik-praktik perbudakan masih banyak terjadi, khususnya bagi anak di bawah umur, seperti yang ditunjukkan oleh diagram di bawah ini.

Diagram 3.33: Tingkat Praktik Perbudakan di Sektor Prostitusi

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Diagram 3.34: Tingkat Praktik Perbudakan di Sektor Pekerjaan Jalanan

International Organisation for Migration (IOM) mencatat bahwa sepanjang tahun 2014 terdapat sekitar 7193 korban perdagangan manusia terjadi di Indonesia, dan jumlah kasus perdagangan manusia yang tertinggi ada di NTT. Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia juga menyoroti persoalan perdagangan manusia di Indonesia yang dianggap sebagai salah satu sumber terbesar perdagangan manusia, dan sebagian besar korbannya menjadi pekerja migran yang dipekerjakan secara paksa dan terikat hutang di negara-negara seperti Saudi Arabia, Taiwan, Malaysia, dan lain-lain.

Dari hasil survei ahli dan penelusuran dokumen-dokumen yang terkait, maka skor indikator jaminan atas hak untuk tidak diperbudak di tahun 2014 ini adalah 4,16.

5.4. Jaminan atas Hak untuk tidak Dipenjara berdasarkan Kewajiban Kontraktual.

Tolak ukur yang digunakan untuk menilai kinerja pemerintah Indonesia di dalam menghormati, melindungi dan memenuhi kewajibanya atas hak setiap orang untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual meliputi aspek perlindungan hukum terhadap hak tersebut, penilaian atas praktik-praktik pemenjaraan terhadap seseorang atas ketidakmampuannya di dalam memenuhi kewajiban kontraktual, upaya pencegahan atas praktik-praktik pemenjaraan seseorang berdasarkan kewajiban kontraktual serta pemulihan hak bagi para korban pemenjaraan berdasarkan kewajiban kontraktual.

Terkait dengan ketersediaan instrumen hukum yang menjamin hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual, sebagian besar ahli berpendapat bahwa jaminan hukum tersebut masih belum

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

memadai di sepanjang tahun 2014, seperti yang digambarkan dalam diagram berikut ini.

Diagram 3.35: Instrumen Hukum yang Menjamin Hak Untuk Tidak Dipenjara Berdasarkan Kewajiban Kontraktual

Di dalam aspek penegakkannya, 55,56 persen ahli setuju dan 5,56 persen sangat setuju bahwa di sepanjang tahun 2014 masih banyak terjadi praktik-praktik pemenjaraan atas diri seseorang akibat ketidakmampuannya di dalam memenuhi kewajiban yang bersifat kontraktual. Sebagian besar ahli, yaitu sekitar 55,56 persen tidak setuju dan 8,33 persen kurang setuju atas pernyataan bahwa pemerintah telah melakukan upaya-upaya pencegahan yang maksimal atas praktik pemenjaraan seseorang berdasarkan kewajiban kontraktual.

Hal yang sama juga terlihat di dalam aspek pemulihan bagi korban pemenjaraan berdasarkan kewajiban kontraktual, di mana sebagian besar ahli memandang mekanisme pemulihan bagi para korban tersebut tidak efektif, seperti yang ditunjukkan di dalam diagram berikut ini.

Diagram 3.36: Mekanisme Pemulihan Bagi Korban Pemenjaraan Berdasarkan Kewajiban Kontraktual

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Salah satu kasus yang banyak disorot terkait dengan pemenjaraan seseorang berdasarkan kewajiban kontraktual di tahun 2014 adalah kasus yang dialami oleh Yuni Rahayu, seorang calon Tenaga Kerja Indonesia, yang dipidanakan karena tidak memenuhi kewajibannya untuk mengikuti secara penuh pelatihan yang diselenggarakan oleh PJTKI yang merekrutnya untuk ditempatkan di Hong Kong. PJTKI tersebut kemudian melaporkan Yuni Rahayu kepada Polrestabes Semarang dan kasus ini dilanjutkan ke proses penuntutan yang mengakibatkan Yuni Rahayu ditahan selama berbulan-bulan sejak bulan Mei 2014.

Total skor indikator kinerja pemerintah di dalam memastikan jaminan atas hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual di sepanjang tahun 2014 adalah 4.32.

5.5. Jaminan atas Hak untuk Tidak Dihukum atas Tindakan yang Bukan Kejahatan.

Indikator jaminan atas hak untuk tidak dihukum atas tindakan yang bukan kejahatan diukur dari tiga aspek, yaitu: aspek instrumen perlindungan hukum bagi hak untuk tidak dihukum atas tindakan yang tidak diatur sebagai kejahatan oleh hukum nasional dan/atau internasional, aspek penegakkan jaminan tersebut dari segi praktiknya, dan mekanisme pemulihan bagi korban penghukuman atas dasar tindakan yang bukan merupakan kejahatan.

Di dalam aspek instrumen perlindungan hukum bagi setiap orang atas hak untuk tidak dihukum atas perbuatan yang bukan kejahatan, 47,22 persen ahli menyatakan bahwa perlindungan hukum tersebut tidak memadai, sementara 11,11 persen ahli menyatakan bahwa hal tersebut sangat tidak memadai. Meskipun instrumen perlindungan hukumnya dirasakan belum memadai, namun hanya sedikit ahli yang merasa bahwa praktik-praktik penghukuman atas diri seseorang berdasarkan tindakan yang bukan merupakan kejahatan masih sering terjadi di sepanjang tahun 2014 (lihat diagram 3.7).

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

Diagram 3.37: Praktik Penghukuman Berdasarkan Tindakan yang Bukan Merupakan Kejahatan

Sementara itu, di dalam aspek pemulihan bagi para korban penghukuman berdasarkan tindakan yang bukan merupakan kejahatan, sebagian besar ahli berpendapat bahwa mekanisme pemulihan bagi para korban tersebut di sepanjang tahun 2014 masih tidak efektif (lihat diagram 3.38).

Diagram 3.38: Mekanisme Pemulihan Bagi Korban Penghukuman Berdasarkan Tindakan yang Bukan Merupakan Kejahatan

Dengan demikian, total skor indikator kinerja pemerintah di dalam menjamin hak untuk tidak dihukum atas suatu perbuatan yang bukan merupakan tindak kejahatan di sepanjang tahun 2014 adalah 4,91.

5.6. Jaminan Hak atas Kebebasan untuk Berpikir, Beragama dan Berkeyakinan

Seperti indikator-indikator sebelumnya, indikator jaminan hak atas kebebasan untuk berpikir, beragama, dan berkeyakinan juga diukur dari tiga aspek utama: ketersediaan instrumen hukum atas jaminan tersebut, penegakannya, serta pemulihan bagi korban pelanggaran terhadap jaminan hak tersebut.

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Dari segi ketersediaan instrumen hukum di Indonesia yang menjamin kebebasan berpikir, 52,78 persen ahli menganggap ketersediaan instrumen tersebut telah memadai dan 5,56 persen lainnya menganggap sangat memadai. Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama, sebagian besar ahli menganggap ketersediaan instrumen hukum yang menjamin hak tersebut masih belum memadai: 22,22 persen ahli menganggap ketersediaan instrumen tersebut tidak memadai dan 38,89 persen menganggapnya kurang memadai.

Prosentase yang tidak jauh berbeda juga ditemukan di dalam pendapat ahli terkait dengan instrumen hukum yang menjamin kebebasan untuk berkeyakinan, seperti yang ditunjukkan di dalam diagram berikut ini.

Diagram 3.39: Ketersediaan Instrumen Hukum yang Menjamin Hak Atas Kebebasan Untuk Berkeyakinan

Dari aspek penegakkan atas jaminan hak atas kebebasan untuk berpikir, 38,89 persen ahli berpendapat bahwa sepanjang tahun 2014 jarang terjadi pelanggaran terhadap hak tersebut di propinsi mereka. Sementara 36,11 persen lainnya berpendapat bahwa tidak ada pelanggaran semacam itu di propinsi mereka. Prosentase yang hampir serupa juga tampak pada praktik pelanggaran kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan, seperti yang ditunjukkan di dalam diagram-diagram berikut ini.

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

Diagram 3.40: Praktik Pelanggaran Terhadap Hak Atas Kebebasan Untuk Beragama

Diagram 3.41: Praktik Pelanggaran Terhadap Hak Atas Kebebasan Untuk Berkeyakinan

Meskipun sebagian besar ahli berpendapat bahwa praktik- praktik pelanggaran atas kebebasan untuk berpikir, beragama, dan berkeyakinan jarang atau bahkan tidak ada sama sekali di wilayah mereka sepanjang tahun 2014, namun ketika ditanyakan tentang pelaku utama pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, prosentase tertinggi pelaku pelanggaran adalah kelompok masyarakat tertentu. Diagram berikut ini merefleksikan pendapat para ahli terkait pelaku utama pelanggaran jaminan kebebasan tersebut.

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014

Diagram 3.42: Kelompok Masyarakat Tertentu Sebagai Pelaku Utama Pelanggaran Terhadap Hak Atas Kebebasan Untuk Beragama

Selain itu, sebagian besar ahli juga kurang setuju atau tidak setuju bahwa proses hukum ketika terjadi pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan telah dilakukan secara maksimal oleh pemerintah. Dalam kaitannya dengan proses hukum terhadap pelanggaran atas kebebasan untuk berpikir, 52,78 persen ahli kurang setuju dan 25 persen ahli tidak setuju bahwa proses hukum terhadap pelanggaran terhadap kebebasan berpikir telah dilakukan secara maksimal.

Terkait dengan proses hukum terhadap pelanggaran atas kebebasan untuk beragama, 41,67 persen ahli kurang setuju dan 36,11 persen ahli tidak setuju bahwa proses hukum tersebut telah dilakukan secara maksimal. Sementara 41,67 persen ahli kurang setuju dan 36,11 persen ahli tidak setuju bahwa pemerintah sepanjang tahun 2014 telah melakukan proses hukum yang maksimal bagi pelaggaran-pelanggaran terhadap hak atas kebebasan untuk berkeyakinan.

Kemudian, di dalam aspek pemulihan bagi korban pelanggaran terhadap hak atas kebebasan untuk berpikir, beragama dan berkeyakinan, sebagian besar ahli juga menganggap bahwa mekanisme pemulihan bagi korban tersebut masih kurang efektif atau tidak efektif sama sekali. Diagram berikut ini merepresentasikan pendapat ahli terhadap efektifitas mekanisme pemulihan bagi korban pelanggaran hak-hak tersebut.

INDEKS NEGARA HUKUM INDONESIA 2014

Diagram 3.43: Mekanisme Pemulihan Bagi Korban Pelanggaran Terhadap Hak Atas Kebebasab dan Beragama

Sementara itu, dari hasil penelusuran dokumen yang dilakukan oleh tim peneliti terkait dengan jaminan terhadap hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan ditemukan bahwa pelanggaran terhadap kebebasan-kebebasan tersebut masih banyak terjadi di tahun 2014. Wahid Institute melaporkan telah terjadi 158 peristiwa pelanggaran yang mencakup pelarangan atas aliran agama tertentu, penyegelan rumah ibadah, “kriminalisasi” dan diskriminasi atas dasar agama.

Human Rights Watch juga mencatat di dalam laporannya di tahun 2014 bahwa kekerasan terhadap kelompok-kelompok agama minoritas masih terjadi di Indonesia, khususnya terhadap kelompok Syiah. Komnas HAM juga mencatat bahwa selama tahun 2014, lembaganya menerima 67 berkas laporan pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2013 yang berjumlah 39 berkas laporan.

Temuan-temuan yang didapatkan melalui penelusuran dokumen menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama masih terjadi dengan masif di sepanjang tahun 2014. Oleh karena itu, skor yang diberikan oleh tim peneliti terhadap indikator ini adalah 2,35. Skor ini cukup berbeda dengan skor hasil survei ahli: 5,63. Dengan demikan, maka total skor indikator jaminan terhadap hak atas kebebasan untuk berpikir, beragama dan berkeyakinan di tahun 2014 adalah 3,99. Artinya terdapat penurunan jika dibandingkan dengan skor indikator yang sama di tahun 2013 (5,31) sebesar 1,32 poin.

PENILAIAN LIMA PRINSIP NEGARA HUKUM 2014