Dan pada waktu itu si babu keluar juga dari kamar mandi. "Aku berani tanggung! Tanggungjawab atas segala tingkah

Dan pada waktu itu si babu keluar juga dari kamar mandi. "Aku berani tanggung! Tanggungjawab atas segala tingkah

Mukanya tertunduk lungHli. Air matanya bercucuran dan ram­ lakuku!"

butnya kacau. Tubuhnya masih basah kuyup. Sampai di kamar Dan ia ketuk pintu kamar mandi.

babu - kamarnya - ia lari ke dalam dan merebahkan tubuhnya "Nah, buka pintu."

menangis lambat terisak-isak.

"Ya, tuan."

1 63 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

BIANGKELADI

DAR) SUDUT yang tidak nyata, sebagai kepala jawatan, Mas Kariu­ Pada suatu malam, waktu untuk kesekian kalinya ia berdalih mun dianggap sebagai seorang tokoh reaksioner. Ia dianggap

hendak buang air besar karena salah makan di resepsi kedutaan seorang yang selalu bergayutan kukuh-kukuh pada politik par­

anu, kembali isterinya memejamkan mata, tetapi tidak tidur lagi tainya. Para pegawai menyesali sikapnya yang angkuh dan

sebelum si suami kembali tergolek di sampingnya dan ia memulai menyumpahi benteng ke-nasional-annya yang tak dttembus oIeh

lagi menghafalkan pergulatan batin yang meriuh pada wajah apa pun juga itu. "Nasional! Nasional!"Tiap kali terdengar dari

kepala Jawatan, suaminya itu. Hati si isteri sudah lama bicara dan mulutnya yang satu itu. Atau: "anasional! anasional!" - damprat­

mendengarkan kata hati sanubari suaminya. Tetapi ia tetap ter- an bagi para pegawainya yang telah dan bakal dipecatnya.

diam.

Tetapi dalam hati kecilnya ia justru tak tahu apa nasional dan Pada malam itulah untuk pertama kalinya sejak perhubungan anasional itu. Bentengnya yang tak dapat ditembusi adalah ben­

kelamin itu babu itu berani minta uang. Mas Kariumun janji: teng asap.

"Besok jam lima subuh."

Waktu partainya memegang pemerintahan ia buat serentetan Pagi-pagi benar ia bangun (biasanya ia bangun pukul tujuh pidato di kota-kota besar di Jawa, di hadapan goIongan-golong­

dan masuk kantor satu atau dua jam kemudian) dan memberi an hadirin yang beraneka ragam perqatlan dan kesenangannya.

babu itu tiga ratus rupiah. Ia tak mengerti buat apa uang itu. Terutama di kota kelahirannya sendiri, yang kemudian menjadi

Siangnya, sekembali Mas Kariumun dari kantor, babu itu telah daerah pertama ia dapat menguasai suatu kedudukan yang amat

meninggalkan pekerjaannya.

baik di jaman penjajahan Belanda dahulu, ia buka tiap pintu

Bukan main lega rasa hatinya.

gedung dan tiap kuping, dan diketuknya tiap pintu hati yang Sekarang aku takkan diresahkan oleh perempuan penggoda! terkunci agar membukakan diri buat dimasuki dengan pidatonya.

Perempuan durjana itu.

Masa kampanye pemilihan umum merupakan masa yang kera­ Dan ia pun takkan diganggu oIeh kata hatinya sendiri. sukan baginya. Berminggu-minggu Iamanya hampir-hampir ia

Si babu telah jauh.

tak tidur, dua jam dalam tiap sehari semalam. Dari kota ke kota

Si babu sudah lenyap dari hati.

ia himpunkan suksesnya, pujian dari dewan partainya. Dan se­ Si babu tak Iagi menempati suatu pojok di dalam pikirannya. mentara itu pemilihan umum yang dua kali membawa keme­

Dan beberapa hari kemudian kabinet partainya runtuh. nangan besar bagi partainya. Ia terpilih menjadi anggota parIe­

Beberapa hari setelah itu datang tiga orang pemuda ke rumah- men. Ia pun terpilih menjadi anggota konstituante.

nya. "Pastilah minta pekerjaan," pikirnya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya barulah waktu itu ia "Bapak:' kata salah seorang di antara mereka, "dua hari bertu­ merasa begitu tenang dan tak dirisaukan Iagi oIeh kebimbangan

rut-turut kami hendak -bertemu dengan bapak di kantor, tetapi atas kemampuannya sendiri.

kami tak bapak terima. Apa boleh buat, jadi datanglah kami ke Popularitas adalah jaminan yang paling baik, katanya meyakin­

rumah."

kan dirinya sendiri. Dengan itu segala dosa yang keciI-keciI akan "Saudara-saudara," kata Bapak Kariumun, "sebagaimana sau­ lenyap karena kemasyhuran. Bahkan orang takkan percaya bah­

dara-saudara ketahui, kabinet baru jatuh. Jadi aku banyak peker­ wa orang masyhur bisa punya dosa kecil. Apalagi dosa besar!

jaan untuk menyiapkan berdirinya kabinet baru. Setengah jam Sementara itu perhubungannya dengan babunya benar-benar

lagi aku mesti berunding dengan dewan partai." telah menjadi normal.

1 64 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

1 65 Tetapi

BIANGKELADI

� umun. langkah heran Mas Kariumun waktu mengetahui,

Tiba-tiba timbul kecurigaan dalam hati Tuan Kari bahwa kenga pemuda itu tidak juga bangkit dari duduknya. Se­

Barangkali mereka kerabat si babu, tebaknya . . orang malah mendelik kepadanya. Dan ia coba menyembur si

"Baiklah, bicaralah sekarang," Bapak KarIumun mengalah mendelik itu:

sekarang.

"Artinya aku tak punya waktu." bertele- Setelah salah seorang di antara yang tiga itu berpidato Dan pemuda itu tertawa mengejek. Malah berani-berani buka pi- tele akhirnya sampai juga ke soalnya, yang menjadi penutup

mulut:

dato itu.

' . 'Partai it� omong kosong kalau hanya penting buat partai.

"Bapak harus bertanggung jawab!"

Balk pe�enntah maupun partai kalau tidak bisa membahagia­

"Tentang apa. ?"

kan kehidupan keluarga, yah, percuma saja." adik "Tentang apa? Bukankah bapak yang membuat bunting

Mas Kariumun tak dapat mengendalikan amarahnya. Perasaan

k amI. .?"

Sekejap Bapak Kariumun merasa hidungnya me � �

nasionalnya tumbuh dengan mendadak, meluap, terbakar dan demikian

berkobar-kobar. besarnya sehingga seluruh umat manusia dapa. t dlhlrupnya .ke a ternn­ "Jadi saudara ini anasir-anasir. Baik,. aku teleponkan polisi."

dalam,juga dirinya sendiri. Ia roboh terduduk di atas sof Pemuda yang mendelik itu menangkap tangan Mas Kariumun

dih oleh hidungnya yang terasa mekar itu. Nafasnya.

tetapi ia belum lagi lupa akan kejuaraannya bermain pencak da �

sengal-sengal timpa-menimpa. Mendadak datang per� lka� terpentallah tangan si pemuda itu.

ltu ke- an di dalam benaknya. Dan segera ia lontarkan perclkan

.' . "urusan ini langsung kita rundingkan dengan nyonya."

"Kalau begitu," pemuda yang dari tadi diam saja kini berkata,

pada ketiga tamunya:

Slap a- "Bagaimana saudara-saudara bisa menuduh denukian.

"Orang-orang kampung ini sungguh toloH" pikir Mas Kariu­

kah saksinya, apakah buktinya?"

lp mun. Tak juga mereka mau mengerti kalau si bini tak punya lp

"Kami bukannya hendak memaksa Bapak agar menJadl a�

k sendlrI urusan apa-apa dengan soal-soal kenegaraan. Dan ia tersenyum .

kami, tetapi minta pertanggungjawab. Bukankah bap �

mengejek. Sekarang ia berkata tegas-tegas: wab atas yang sering berpidatO agar para pemuda bertanggungJa

"Pergilah! Pergi. Kalau benar-benar penting, besok sajalah

. . datang lagi."

segala perbuatannya?"

dara " Aku selalu bertanggungjawab. Tetapl dl Slnt saudara-sau

"Untuk menunggu sekian lama kami tak ada waktu," kata si . Tidak

membawa tuduhan, dan aku harus terima tuduhan itu pemuda yang mendelik tadi. "Mau tak mau sekarang. Kalau tak

mungkin! Mana buktinya dan mana pula saksinya!" . mau aku yang mulai nyodok!"

"Baiklah. Bukti dan saksi itu akan kami peroleh dan nyonya "Apa nyodok?"

per- Bapak. Pasti nyonya bisa cerita banyak tentang kepergian-ke

. Dengan apa saja."

"Nyodok Bapak. Dengan bambu runcing. Dengan golok. " gian Bapak di waktu-wa tu terte�t�. k . .

Dan Mas Kariumun sedarlah kinl bahwa dlnnya mengglgtl

mengh � T­

"Kewajibanku lebih penting dari saudara-saudara. Mengapa sedikit. Di dalam kepalanya terbayanglah semua orang mesti dengan kekerasan?"

dunla- mati, memuja dan mendewakannya. Kini ia rasai betapa

"Baiklah-baiklah. Kita bereskan dengan nyonya saja:' yang lain nya menggeletar, bergeleng-geleng, nyaris robah. menyambung.

1 66 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

BlANGKELADI

dak-tidak­ Dengan suara perintah salah seorang dl antara para tamu itu

Maka para hadirin menaksir-naksir tubuhnya. Seri berkata:

tubuhnya masih nya Tuan Kariumun gemuk, walaupun kesehatan hadirin ber­