A r .lb pula, tetapi yang aku benci.

A r .lb pula, tetapi yang aku benci.

Kemudian lewat pula seorang bertubuh pendek gemuk, ntek, habis turun dari mesjid sebelah. I tu

R Ulll ah

"Ya markhaba, 'Amid" sekali lagi tuan rumah berseru. Sekali ' I I I kepada si buntek.

Dan Amir yang disebut dengan logat kearab-araban muncul

Created EboOK by syauqy _arr

p u la di beranda. Matanya terus-menerus berkelap-kelip dan an­

I lra sebentar dikedip-kedipkan rapat-rapat seperti orang yang \lIdah setahun tak pernah tidur.

Kemudian obrolan menjadi tambah ramai: tentang pendapat

W masih ingat harinya, karena orang-orang berbondong-bondong luh ada di dunia, tentang Qur' an yang riada bandingannya diban-

AKTU lTV AKU INGIN MENGOBROL TETAPI KAWAN­

1 1.lbi ten tang agama, tentang Qur'an yang sebenarnya riada lain kawan serumah habis pergi menonton. Jadi pergi­

d.l ripada amal Nabi sendiri, tentang bismillah yang bila direnung­ lah aku ke rumah tetangga. Malam. Sabtu pula! Aku

LUI amat dalamnya ternyata meliputi seluruh filsafat yang per­

pulang dari mendengarkan tafSir di mesjid sebelah. lingkan dengan seluruh buku di atas bumi ini yang pernah ada, Sedang enaknya mengobrol tentang kesulitan-kesulitan mas a

I t"Iltang perbintangan dan Ibn Sina dan bani Ummayah dan Pa­ pancaroba politik, sosial dan ekonomi, seorang Arab meng­

I("stina dengan orang-orang Yahudlnya yang ulet dan munafik, ucapkan:

, Ltn akhirnya tentang poligami.

"Assalamu .... ," di tangannya terjinjing sebuah payung hitam, Waktu obrolan ten tang poligami bermula, orang Arab itu terbuat daripada kain, berpici tinggi, lehernya pendek dan seakan

hcrhenti bicara. Selamanya ia berhenti bicara dan kehilangan tak pernah ia menengok dalam seluruh hidupnya. Perawakan­

\Cnlangatnya bila orang telah mulai menyinggung ten tang nya ringgi dengan perut membuncit ke depan. Sarungnya ter­

perkawinan. Dan mata-matanya menjadi demikian polong se­ pasang tinggi-tinggi. Matanya dalam dan tajam seakan hendak

perri hampir-hampir dikeluarkan dari kelopaknya, tanpa meli­ meruntuhkan segala yang dipandangnya. Dan sepatunya sudah

J );lt, tapi memberi kesan sedang meneliti sesuatu yang dekat tetapi terlalu tua.

y.lng hanya ia sendiri melihatnya. Umum telah mengetahui, bah­ "Ya markhaba!" seru tuan rumah.

\Va orang Arab itu tak berbahagia dalam kehidupan perkawinan­ "Ada apa situ!"

I lya. Pada umurnya yang kelima puluh satu ia kawin lagi dengan "Pisang goreng!"

kemenakannya yang berumur en am belas tahun. Pada bulan­ Lambat-Iambat tapi pasti mulailah nyata sosok tubuhnya yang

bulan pertama perkawinan itu isterinya terus menerus menangis, perkasa. Kursi yang didudukinya berderak-derik hendak patah

lerkenang pada kawan-kawannya bermain. (Waktu ia sedang rasanya.

65 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

RUMAH

asyik bermain dengan kawan-kawannya, ia dipanggil bapaknya, Setelah itu meluneur ayat-ayat Qur'an at au barangkali juga dan kemudian dikawinkan dengan kakek itu). Pada tahun-tahun

suatu lelueon dalam bahasa Arab. Tak tahulah aku. lnilah ruginya kemudian si isteri ini lebih banyak meneueurkan air mata kare­

tak tahu bahasa asing. Akhirnya:

na tak juga dikaruniai anak. Itulah sebabnya kakek Arab itu tak "Bagaimana pendapat Mukhammadd tentang tafSir saya tadi, berani lama-lama menginjak rumah tangganya sendiri.

dan debat saya tadi tentang tidak orisinilnya agama di sini! Ah, Umum pun mengetahui, bila ia telah memolongkan matanya

mana bisa agama tidak orisinil. Kalau tidak orisinil, kan sudah adalah suatu alarnat agar menghentikan pokok pereakapan yang

lama kesapu bersih, seperti keadilan, seperti nasib rumah dibenei itu. Kalau tidak, bisa ia tinggal bermata polong terus, nada

Mukhammadd itu! Mukhammadd mesti pereaya sarna keadilan." sadarkan kelilingnya dan mengeloyor tanpa mengindahkan adat

"Bagaimana mesti pereaya! Keadilan yang sudah tidak orisinil tamu-tamu.

itu! Coba, ustad, tahun 51 saya bikin perkara, mesti keluar lima Akhirnya berbeloklah pereakapan pada:

belas ribu buat ongkos itu. Perkara beres, saya menang. Tapi yang "Bagaimana! Serba salah tuan 'Arnir. Lima ratus pajaknya se­

tinggali rumah tidak bisa dikeluarkan juga. Tahun 53 sepuluh tahun. Untung lima sen pun kagak dalarn lima tahun."

ribu. Coba ustad, tiap hari saya pigi ke kantor pengadilan. Saya ':Jadi bagaimana kabar perk�ra pengadilan?" tuan rumah ber­

sih berani bengkelahi .... "

tanya. Kemudian suaranya seperti tembakan senapan mesin, meminta "Pengadilan!" orang Arab itu bersemjijik. "Pengadilan! Penga­

perhatian dan simpati kami semua. Pada tahun 46 rumahnya, dilan! Bagaimana pengadilan! Perkara sudah dua kali putus!"

dapat dikatakan sebuah istana keeil-keeilan, diduduki oleh se­ "Dua kali putus! Cuma di sini ada perkara yang dua kali putus!

orang kapten Belanda, yang selalu tak mau bayar uang sewa. Tiap­ Orang yang tinggali rumah itu mesti pergi. Tapi siapa mesti usir

kali ia datang menagih, penyewa hanya menjawab:"Bayar dengan itu orang?!"

ini mau?" sambil memperlihatkan tinjunya. Berbulan-bulan "Terang, PoIisi!" tuan rumah menyarankan.

demikian tems sehingga pada suatu kali ia datang lagi, dan juga "Polisi! " ia berseru, tertawa keras, kemudian tiba-tiba padam.

mendapat perlakuan semaeam itu. Tapi pada kali ini ia telah ke­ Ia merenung-renung, menggelengkan kepala, seakan seluruh

hilangan kesabarannya. Tinju yang diaeungkannya kepadanya ia kesedihan yang pernah dialarninya datang menyergap dengan

tangkap, ia tarik. Kapten Belanda itu ia ajak berkelahi. mendadak.

Rupa-rupanya tubuhnya yang perkasa, penuh dengan gum­ Aku pun menjadi heran, tetapi diam saja. Ustad ' Arnir ter­

palan otot kuat, memberinya keuntungan dalarn perkelahian itu kekeh-kekeh senang. Kemudian menyarankan:

Sekali pukul Belanda itu telah terpilin-pilin dan terguling-gu­ "Mukharnmadd! Siapa benar mesti menang. Juga dalam aga­

ling masuk ke dalam got. Got yang biasanya tak dibersihkan rna ada disebut. Lihat biniku yang di Krukut - itu yang tinggi­

berminggu-minggu lamanya itu! Tapi saat itu tak punya kesem­ tinggi langsing, pipinya merah, giginya rampak! Tahu, tuan? Ha!

patan untuk merasa kasihan. Ia melompat masuk ke dalarn got Dulu rumahnya juga diduduki Cina. Yah, kita pigi perkara,

dan tubuh mangsanya itu diinjak-injaknya sehingga kulitnya yang me nang. Cina diusir, dan ... bayar kerugian!" kembali ia terkekeh­

putih tak dapat dikatakan dekil lagi. Bini Belanda itu menjerit­ kekeh. "Tahu sebabnya. Sabar. Ketentuannya di tangan Tuhan.

jerit memanggil polisi.

Kita orang-orang Islam yang tahu sabar. Bukan?! Yang benar Dan waktu polisi datang, si kapten sudah pingsan. mesti menang."

67 Dalam pemeriksaan polisi ia menang. Dan tiga bulan kemu­

66 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

RUMAH

Semua orang tertawa. Tetapi nampaknya Arab itu tak tahu di dian kapten Belanda itu keluar dari rumahsakit dan membayar

mana lucunya. Akhirnya ia ikut tertawa terdesak, sebagai peng­ penuh uang sewa, kemudian buru-buru pergi dari rumah itu.

hormatan pada keramahan tuan rumah, ustad 'Amir dan aku Segera istana itu ia perbaiki. Belum lagi selesai yakni setelah

sendiri tentu, tetapi lama-kelarnaan ia pun rnerasa senang karena tahun 50, masuklah seseorang dengan keluarganya tanpa izin.

orang-orang lain bisa bersenang dengan kisahnya. Keluarga Tionghoa.

"Tapi orang Indonesia susah dilawan, tuan. Tahu? Di balik Arab itu mengeluh kelegaan. "Kalau cuma bengkelahi, hah!"

kerneja saya ini selalu ada pisau, tuan. Siapa saja tak mernbuat saya ia perlihatkan lengannya yang besar dan teguh seperti penggada

takut. Tapi Indonesia, tuan, masyaallah, sarna-sarna agama, tapi daripada kayu enau. "Sarna siapa saja tidak mundur, ustad." Ia

susahnya .... Hrn, dulu di negeri Arab ada orang tua, tuan, punya memandangi aku dan menyambung:"Tidak bakal mundur, tuan.

anak banyak, lelaki sernuanya .... "

Biar Belanda, kek; biar Cina, kek. Tapi jangan Indonesia. Indo­

Kernudian ia bercerita tentang cerita yang berkepala bersatu

nesia sarna-sarna agama, sarna-sarna Nabi. Bukan? Nah itu su­

teguh bercerai jatuh, hanya saja terjadinya adalah di negeri Arab.

sahnya." Ia tertawa senang. Akhirnya yang tamatkan ceritanya yang berteIe-teIe dengan Sekarang ustad ' Amir menyislpi:

bumbu di sana-sini itu dengan:

"Biniku yang di Jatinegara - tuan tahu, kan? Yang tinggi ram­ "Hmm, dulu di negeri Arab ada banyak orang-orang yang ping itu, ada tahi lalat di dagu kirinya - itu yang suka membantu

bijaksana. Sungguh pintar-pintar orang Arab dahulu. Beginilah masak di tempat-tempat yang ada gawe - ah, sungguh perempuan

kita sekarang, ustad, kalau Arab sarna Indonesia bisa dipatahkan sejati! Apa dia bilang? 'Kafir-kafir kagak punya kekuatan: katanya.

satu-satu seperti lidi sapu itu, habislah agama Islam di sini. Bu­ Biarin di dunia idup senang, di akhirat curna kita yang menang."

kan?"

"Ha, benar," Arab itu menyetujui. "Tapi tuan rnasih bisa buat perkara sarna pengadilan!" Tuan "Bagairnana dengan Cina itu?" tuan rurnah bertanya sarnbil

rurnah rnenyarankan.

tertawa agak mengejek. "Sudah tuan, sudah capek saya ini. Pengadilan punya putusan, "Itu perkara gampang. Saya tantang sekali, dia kabur pagi-pagi

tuan; putusan ditulis di kertas, tuan; kertas kagak punya kekua­ benar."

saan!" Ia tertawa mengejek dirinya sendiri. Perkara pertarna be­ "Siapa lagi yang menyerbu itu rumah?" ustad 'Amir menye­

gini jadinya, tuan, polisi datang mengusir, barang-barang dip in­ lidik sambil menilik kupiah Arab yang tebal dan berdaki-daki

dahkan dari dalarn rumah ke pekarangan, di pinggir jalan. Ru­ pada tepi bawahnya.

mah kosong. Polisi pergi. Barang-barang kontan dimasukkan lagi. "Indonesia! Nah, saya mesti keluar lima puluh ribu buat

Mau bilang apa, tuan?" Polisi sudah jalankan tugas. "Memang mengusirnya."

tadinya saya marah, tuan. Tapi tahu-tahu itu tukang-tukang be­ "Lima puluh ribu!" us tad ' Amir hampir-hampir pangsan men­

cak ikut menyerbu saya, tuan. Nah, keruan saja saya lari pontang­ dengarnya. Ia berteriak dengan mata melotot. Mata merahnya

panting, tuan .... "

berkilau-kilau beku sepertl tertutup seselaputan debu. Sekali lagi sernua yang hadir tertawa. Bahkan ia sendiri juga. "Lima puluh ribu," Arab itu mengeluh. "Dia pergi tapi Indo­

Wajahnya yang bersungguh-sungguh kehilangan kesungguhan­ nesia kawannya masuk! Masyaallah! Jahanarn benar."

nya, ia tersenyurn sengit.

68 RUMAH PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA Arab itu mengangguk-angguk mengejek dan memandang

"Memang bisa mengosongkan rumah itu lagi. Tapi harus aku. Karena pandang itulah seakan aku berkewajiban ikut meng­

perkara lagi, tuan. Berapa puluh ribu lagi mesti keluar. Dan yang angguk-anggukkan kepalaku pula. Dan kulihat tuan rumah

tinggali rumah akan ulangi siasatnya, tuan. Saya sekarang memang memang telah mendahului aku. Kaya sekumpulan burung sudah tua, tuan; jadi tua karena pikirkan itu rumah yang satu!" tekukur. Demikianlah keadaan kami sementara ustad 'Amir "Biar bagaimana juga," ustad 'Amir memberi sisipan lagi, mengucapkan berbagai macam ayat yang aku tak tahu artinya "sekali waktu tuan mesn menang. Demi Tuhan. Tuan Mukha­ barang sepatah pun juga. Bukan main nikmat mendengar lafaz­ madd masih sembayang, bukan? Contohnya Nabi kita. Tidak nya. Tambah dirasakan, tambah meresap, dan bertambah mengiri­ punya apa-apa, tapi kemudian punya kerajaan. Bukan? Bini saya lah hatiku padanya, karena ia dapat mempergunakan bahasa yang yang di gang Klinci, tuan Mukhamadd - ingat, bukan, yang kecil

demikian asing bagiku.

mungil hitam manis seperti golek-golek itu - dia pernah bilang Tiba-tiba tuan rumah menyilakan minum kopi. Arab itu pun pada saya, semua orang mendapat bagiannya masing-masing, minum. Dan waktu anggukannya telah hilang ia susul kopi itu kalau dia tahu batas hak dan kewajiban yang mesti dilakukan. dengan pisang goreng, yang sementara itu telah menjadi dingin. Tahu yang wajib tahu yang batal. Bukan? Jadi . . . . " Matanya berkilau-kilau melihat pisang goreng lain-Iainnya yang "Ah, ustad ini, berapa bininya sib?" masih baris berjajar di atas piring. Kemudian ia batuk-batuk. "Empat rumah tangga, tuan Mukhamadd! Pikir saja. Tidak Minum seteguk lagi, dan mengucapkan syukur kepada Tuhan sedikit biaya. Tapi Tuhan masih kasih rejeki. Karena apa, tuan

dan Nabi.

Mukhamadd? Karena saya berjalan di jalan Nabi." Wajahnya ber­ Tiba-tiba suasana beralih dengan cepatnya.Tuan rumah, ustad seri-seri setelah memproklamasikan keadaan dirinya. 'Amir dan Mukhamadd bicara dengan ramainya, dengan tangan Tetapi Arab itu tak merasai sesuatu yang penting dalam prokla­ menggapai-gapai, menjangkau-jangkau, menunjuk dan berge­ masi itu. Mendesakkan pengaduannya: leng-geleng. Semuanya dalam bahasa Arab. Dengan kepala tak "Jaman aneh, sekarang, tuan. Kita mau apa-apa tidak bisa. bergerak dari lehernya, ustad 'Amir menilik kiri kanan dengan Pokrol banyak, perkara tidak juga selesai, diulur-ulur, terus ru­ matanya yang abadi dalam kantuknya itu. Fasih benar ia berba­ ulur-ulur. Perkara selesai, pelaksanaan tidak beres. Ya,Aliah. Mau hasa asing itu. Dan nampak ia berbahagia bila mendapat kesem­ beres mesti berani keluar duit lagi, mesti berani dikeroyok." patan mempergunakan bahasa itu. Dan diriku sendiri yang se­ Suaranya tambah lama tambah sayu, dan nampak ia menjadi orang ini merupakan setumpuk karang belah di tengah laut, yang lebih tua. Ia seka-seka kerongkongannya. Tiba-tiba matanya ber­ hanya hadir untuk menyaksikan adanya taufan. cahaya dan memandang ustad 'Amir. Bertanya mendadak:

Mereka tertawa.

"Bini ustad empat kan?"

Mereka menyengir.

"Ya."

Bergeleng-geleng.

"Mestinya tiap hari tUan mengantuk." Sekali-kali menyebut astagafirullah, ada juga terdengar nun­

Semua orang tertawa kecuali ustad 'Amir. Dengan gagahnya zalik. Sekali tuan rumah meringis seperti monyet kesakitan. Aku

letak duduknya ia perbaiki, matanya berkelap-kelip seperti lam­ tak habis-habis heran apa yang ia peringiskan sebenarnya. Dan, pu menara, kemudian dengan suara berdaulat berkata: aku pun mulai gelisah. Untuk menghindarkan diri sendiri dari- "Barang siapa berjalan di jalan Nabi akan selamat."

70 PRAMOEDYA ANANTA TOER : eERITA DARI JAKARTA . pada perasaan ndak sedap itu, aku pandangi wajah Arab itu baik­

"Tidak ada?" tanyaku.

baik. Dan ada terasa olehku sesuatu kekuatan yang pernah rne­

"Sarna sekali tidak ada," jawabnya.

matahkan semangat Arab itu di dalarn hidupnya.Ada terasa oleh­ "Kalau begitu aku sendirilah yang terpikat. Tapi rnengapa tak ku tertawanya yang terpaksa-paksa. Matanya hitam arang, kecil

memikat kalian?"

dan dalam dan tenang itu, meminta sirnpati lebih banyak lagi, Tuan rumah tersenyurn heran. Ia pandangi aku lama-lama mata yang mengadukan halnya pada tiap manusia yang mau seakan-akan tak percaya pada ucapanku. Akhirnya berkata lam­ membuka hati kepadanya. Dan ada juga terasa olehku, bahwa ia

bat-Iambat.

telah kucurkan berliter-liter air mata, tiap hari, walaupun hanya "Aku kira engkau bosan mendengarkannya. Begini, dahulu ia di dalam pikiran sendiri yang kesakitan. Ada terasa rumah itu

adalah satu-satunya lambang kebesaran hidupnya selama itu, yang periba. Sekarang dia punya enam puluh tujuh buah rumah ge­

d � ng di Jakarta ini. Rata-rata sewanya dua ratus sebulan. Hitung

didirikannya dari riba sen demi sen, yang dipungutnya dengan berjalan kaki langkah demi langkah, sambil me nahan haus dan

saJa berapa. Aku takut kau bosan mendengarkan dia. Karena, dalam lima enarn tahun ini hanya itulah yang ia dapat ceritakan

lapar, lelah dan kecewa - berpuluh tahun lamanya.

kepada siapa pun yang ditemuinya."

Waktu percakapan dan senda gqrau dalam bahasa Arab selesai,

"Luar biasa," kataku sekali lagi.

Arab itu memandang aku seakan terkejut oleh pengertiannya Dan hujan pun turunlah seperti dicurahkan layaknya. sendiri, bahwa aku tak kenal bahasa Nabi. Segera ia ubah per­

cakapan dalam bahasa Indonesia. Meneruskan:

Jakarta, 1 955.

"Bukan, tuan?" tanyanya. Sekali ini kepadaku. "Tidak punya barang, kita susah. Punya barang, kita juga susah, semakin susah." Semua tertawa, termasuk aku. Tiba-tiba guntur menderum-derum di angkasa hitam. Semua

orang menilik langit yang mengawang di atas tepian beranda. Tak sebuah pun bintang mengerlip. Arab itu bangkit, menyangkut­ kan payung pada lengannya, memberi kami semua sebuah salam seorang. Tangannya terasa hangat. Ia pun pergilah, tertatih-tatih.

Ustad 'Amir pun pergi setelah meneguk habis kopinya. Guntur terus menderu-deru. Dan di dunia ini seakan-akan

hanya ada aku dan tuan rumah, dan lampu dan piring kosong serta gelas-gelas kosong.

"Kau tak bosan mendengar ceritanya, kan?" "Luar biasa!" seruku takjub.

"Apa yang luar biasa?" "Caranya bicara! Caranya memikat perhatian pendengar." "Siapa yang terpikat oleh bicaranya?"

73 Berjam-jam ia mencoba, tetapi tidaklah sanggup. Akhirnya

KEGUGURAN CALON DRAMAWAN