Mata Hasan mengawasi polisi yang memasuki peron, begitu puluh."

Mata Hasan mengawasi polisi yang memasuki peron, begitu puluh."

tegap badannya, berbedil pula. Ia ingin punya bedil sebuah dan Dengan sumpahan dalam hati keduanya meneruskan jalan

ia ingin beli sekali waktu. Ia ingat Incup. Suatu pagi datang terbungkuk-bungkuk beberapa meter lagi. Kemudian menyusun

padanya dan bilang, "San, binimu itu manis sih." Darahnya me­ kopor-kopor di bawah dan samping tempat duduk. Dan waktu

luap mendengar kekurangajaran itu. Tapi ia tak berani mengu­ tangan diulurkan untuk menerima upah terdengar:

sirnya. Incup ditakuti oleh seluruh kampung. "Masa cuma seringgit, tuan? Barang begini banyak."

Orang bilang ia mata-mata si Juned. Dia punya colt dengan "Delapan perak semuanya," Hasan menambahi. Matanya yang

lima puluh peluru. "Tapi sayang, San, binimu itu manis amat sih? sebelah berada di ujung garis bekas tajam pedang, ikut mem­

Yah, memang sayang. Bibe itu bukan jodohlu." Ia kendalikan protes. "Delapan perak," katanya lagi. "Tidak kurang dan tidak

kemarahannya dan mencoba mengorek maksud Incup. "Kalau lebih."

1 75 begitu jodoh siapa dia?" Dan Incup meneruskan dengan sindir­

1 74 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

GAMBIR

gang di daIam lipatan celana. "Sekali lagi - rasai tangan si Hasan. an yang dipertegas dengan gerak-gerik. "Siapa Iagi kalau bukan

Lu bakal kagak kembali pada gundik-gundiklu." jodoh jago kampung kita?" Ia pura-pura tidak tahu apa-apa dan

Ia ikuti Sidik, yang sedang mengangkat mobilet terkunci, de­ bertanya. "Siapa sih jago kampung ini?" Dan Incup dengan Ian­

ngan pandangnya. "Kagak seIamat ngerampok rejeki orang." carnya menyambut. "Lu kagak tahu? Sebentar Iagi Iu juga tahu

"Sabar, San, sabar," tukang pancong menghiburkan. "Du­ sendiri." Dan malam itu rumahnya dikepung. Harta bendanya

duklah. Minum aja lagi. Apa lu kira Jakarta ini segede kampung yang tiada seberapa dihancurkan. Bininya - si Bibe - diseret ke

Iu Pal Merah? Kagak, San."

daIam malam. Ia sendiri menerobosi kepungan, tapi masih ter­ Otong tertawa kemudian mendekatkan badannya pada cium pedang di pipinya. Sejak itu ia mengumpulkan dendam

tungku.

sejumput demi sejumput. Dan sekarang ia melihat bedil polisi. "Tambah Iagi, kopinya," katanya. "Pancong baru itu biarin gua Ia ingin punya bedil, ya, bedil Inggris itu. Kalau mereka boleh

makan - tapi yang keringan dikit."

mencelakakan dirinya, mengapa ia tidak? Hitam langit teIah berkurang. Dan peIataran setasiun Iambat­ "Ngelamun Iagi, San?" tukang pancong memperingatkan.

laun menjadi ramai - campur aduk antara penduduk sah dan "Lihat itu, datang lagi dua becak. Lihat.belakangnya, mobiIed"

penduduk yang tidak masuk buku kantor pendaftaran penduduk. Sekali teguk kopinya habis. Hasan melompat dan menawar­

Namun, baik sah atau tidak, mereka ada mengandung sesuatu kan jasanya. Sopan sekarang sambil mencuri pandang pada

yang sarna: usaha memenuhi kebutuhan masing-masing, meng­ polisi.

isi kekurangan sendiri-sendiri.

"Seringgit buat ngangkut mobilet ini," tuan. "Tanggung beres Di sana-sini mulai meraung suara serak dari kacung-kacung sampai di atas. Tapi bensin harus dibuang dulu." Sekali lagi ma­

koran dan majalah. Bahkan juga kelontong dan hasil pembakar­ tanya melirik polisi di sampingnya. Tidak, seringgit tidak terIam­

an roti. Kini menyusul bakal penumpang kereta api Jakarta-Yogya pau menyoIok mata poIisi.

berkerumun datang.

"Setengah perak kalau mau." "Tu datang lagi muatan," tukang pancong memperingatkan. Hasan berjalan lambat ke arah tukang pancong sambil

Hasan melompat. Otong masih tetap duduk di bangkunya. menunggu kenaikan tawaran.

Sekali ini Hasan berhasil dapat muatan. Sebuah peti besar dari " Tiga talen, dah." Ia berjalan terus. "Seperak, dah. Baiklah

kayu bekas bungkus mobil. Di belakangnya mengiringkan orang seringgit."

Tionghoa yang sudah tua.

Hasan kembali, tetapi seorang kuli lain yang bertubuh Iebih "Kadang-kadang si Hasan sampai dapat empat puluh seari." besar dan lebih perkasa telah menghadapi orang itu.

Otong meneruskan. Matanya mengawasi Hasan yang sedang "Ya, tuan, seringgit," katanya. "Biarin saya yang angkat."

terbungkuk-bungkuk di bawah muatannya, seperti kura yang Hasan terdiri di tempatnya. "Sidik itu memang bajingan,"

terlampau jauh mening g alkan air. "Tapi heran gua di mana di­

pikirnya. "Di belakang setasiun dia punya gundik Cina - Cina simpan duitnya. Dia kagak nakaI, kagak judi. Kagak apa-apa se­

Benteng - dan gundiknya mau buka jualan." lain makan doang. Dia cukup makan empat perak seari."

"Sidik bajingan itu - kalau malam cari-cari gua Dulu sudah "Kasihan. Lihat dia itu. Ah, badan disiksa sendiri karena kepi-

kena seratus gua dirampasnya." Ia raba pisau belati di bawah ping-

ngin kaya."

1 76 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

GAMBIR

Waktu datang orang membeli pancong, tukang pancong itu

"Punya anak dia?"

tak meneruskan, dengan gesitnya membungkuskan beberapa kue "Katanya baru sebulan penganten baru." yang dipilih oleh pembeli sendiri. Dan waktu pembeli telah

"Kalau begitu masih muda."

pergi, ia bertanya: Napas tersengal-sengal memutuskan percakapan mereka. "Kali punya pacar dia."

"E, bang Sidik," Otong mengacarai langganan baru. "Du- "Pacar? Banci dia. Betul banci. Kagak pernah pergi dari seta­

duklah sini. Kopinya enak pagi ini - tandes sampe di ulu-ati." siun. Kalo siangan dikit, dia kagak muncul-muncul, sembunyi di

"Dasar sial, pagi-pagi kagak dapat barang secepeng," Sidik gerbong sana." Otong menunjuk ke arah dalam setasiun. Kalo

memulai."

kereta dari Semarang dan Surabaya datang, baru dia muncul lagi. "Gua sih belum nagih, bang," tukang pancong mengumum­ "Masa bisa sampai dapat empat puluh seari?"

kan pendiriannya. "Nanti kalau udah ada masak bang Sidik ka­ "Ah kagak percaya? Dia begitu kuat dan cepat kerjanya."

gak ingat. Bukan?"

"Pake nyamber barang orang, kali."

Sidik mendeham.

"Mana bisa! Dia begitu alim." "Kuenya, ah." Dan sebelum ada yang bicara lagi ia telah meng­ "Kalo malam?"

ambil sepotong dan mulai makan. "Gua tadi lihat si Hasan seben­ "Kalo semua udah pada tidur, baru dia mau tidur. Cari sem-

tar. Di mana dia sekarang? Cepet amat ilangnya?" bunyian dulu. Kali takut dicuri duitnya."

Otong tak membuka mulut. Juga tukang pancong tidak. "Gua kagak pernah liat dia ketawa. Ngapain sih dia?"

"Kalau si Hasan udah bayar sarna gua, nanti utang gua, gua "Kali ingat ama bininya yang ilang."

bayar. Bener, dah." Tiba-tiba Sidik berhenti makan. Dan dari "Kali mau kumpulin duit bakal cari bininya."

mulutnya yang masih tersumbat kue terdengar suaranya pelan­ "Kasian."

pelan: "Liat tu! Kalo belum pernah kenal, itu dia yang namanya "Kasian? Lu kira cuma satu aja perempuan di dunia ini?"

AI Kabir." Sidik menyikut Otong. Keduanya, dan juga tukang "Tong! Bener-bener lu orang kebel. Buat orang biasa, Tong,

pancong, melihat seorang pemuda yang melangkah hati-hati perempuan itu cuma satu. Emang lain buat lu. Lu sih emang

seperti di atas jembatan kereta api. Sidik tertawa sedikit. Tukang kagak ngerti gua." Otong tertawa senang. "Dibilangin bener-be­

pancong tidak mengerti. Otong mengikuti pemuda itu terus ner kok ketawa. Emangnya berapa sih emak lu?"

dengan pandangannya.

"Tentu aja satu. Ngapain sih?" "Kenapa sih?" tukang pancong bertanya. "Dan Hasan bininya satu juga, kagak mau lebih, kagak mau

"!tu dia AI Kabir. Mustinya namanya AI Kebiri, tukang ngebi­ diganti ama yang lain. Memang dia begitu alim keliatannya. Sem­

ri kantong penumpang." Kemudian Sidik tertawa setelah merasa bahyang juga dia?"

bangga dapat memperkenalkan pengetahuannya. "lngin gua "Kadang-kadang. Ambil air sembahyang di keran rumah 10k. nekuk batang lehernya dan membantingnya di batu kali." Kalau ada tukang gertak dia kagak jadi ambil, kagak jadi sem­

Otong tetap tak bicara. Juga tukang pancong tidak. bahyang. Cuma malemnya dia ngaji." "Kalau gua punya barisan kaya dia, mau juga gua jadi seperti "Pinter ngaji dia?" dia. Tiap pagi naik di Gambir - liat tu! Tukang karcis kagak be­ "Taulah. Gua sendiri kagak pernah ngaji, gimana bisa tau dia rani tarik karcis, pura-pura kagak lihat aja, takut semua mereka pinter ngaji?"

1 79 sarna anak kurus itu - Sebentar lagi turun di Jatinegara, atawa

1 78 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

GAMBIR

"Bang Sidik, gua sendiri mau pigi ke kota sekarang." paling lacur turun Cikampek. Kantong sudah berisi duit. Kalau

"Lu dengar, kagak? Gua bilang, bilangin gua kalo liat si Hasan. cuma ratusan itu udah sial, dah. Kagak ada orang berani ganggu.

Anak keparat itu hilang aja kalo dicari." la bangkit dari tempat Uah, polisi jaman sekarang, lihat uang seribu juga udah lehak­

duduknya. Berdiri sambil menebarkan pandang. "Utangnya ka­ lehek. Tampang baik tapi sarna mangsa ilang kumisnya. Kalo

gak dibayar-bayar," ia meneruskan. Kemudian dengan irama agak bener-bener kejadian, satu bedil misih takut ama lima belas ta­

rendah: "Bang, uangnya nanti-nanti ajalah." Kemudian ia pergi. ngan. Bedil?" Sidik tertawa lagi. "Di gerbong yang banyak isinya

Dari jauh ia berteriak:

itu bedil kagak bisa bunyi. Bungkem, tanggung bungkem. Dulu

"Lu jangan Iupa, Tong."

berjuang juga, Tong?" "Kasihan si Hasan," tukang pancong mengacarai. Otong diam "Ah, gua sih orang penakut, bang Sidik."

saja, tetapi matanya menyelidik ke kiri dan kanan. "Lu sih, tahunya cuma perempuan. Lu mesti kenal gua dong."

Setelah membayar, pekerja Pasar Ikan berangkat lagi. Berdiri Sidik menunjuk dirinya.

lama di perhentian trem di depan setasiun Gambir di seberang "Ini dia yang dulu pegang komando. Kalau kagak karena gua,

gereja.

repulisi tidak jadi begini gampang. Ber!lpa aja gua gotong .... "

"Ngapain sih nguber-uber si Hasan?"

Otong minum dengan diam-diam. Nampak ia hendak bang­ "Dia kira Hasan punya simpanan dua ribu rupiah." kit. Matanya mengamat-amati Sidik. Dan waktu Sidik meman­

"Apa? Kuli bisa nyimpan dua ribu?"

dangnya ia duduk kembali. Seorang baru duduk di dekat Sidik. "Gua sih kagak tau. Sidik sendiri yang bilang begitu. Dia mau la buka sebuah kaleng aliminium dan botol dari aliminium juga.

uang itu."

"Minta diisi, Bang. Kuenya dua saja cukup dah. Kopinya em- "Kalo betul begitu, memang bangsat si Sidik itu Lu bedua pat cangkir. Secangkir diminum di sini."

kagak berani kroyok?" Otong hanya menyengir malu. "Lu cuma "Kerja di mana, bung?" Sidik bertanya.

brani ama perempuan, Tong. Betul juga si Sidik tadi, Iu cuma tau "Pasar Ikan, sambil tunggu trem di sini."

perempuan." Tiba-tiba tukang pancong berdiam diri. Matanya "Besar gajinya?"

diarahkan ke suatu tempat. Akhirnya berkata gagap. "Tu dia "Ah, cuma cukup buat makan."

orangnya datang lagi."

Tukang pancong meneliti pembeli baru yang kurus kering

"Sidik?"

dalam baju kerja biru itu.

"Hasan!"

Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Otong juga diam saja. Otong bangkit, berjalan terburu-buru ke arah Hasan yang "Kagak punya bini, bung, kok beli kopi pagi-pagi?"

sedang menuju ke tempatnya. Kehhatan keduanya bertemu, ber­ "Sedang bunting, ngidam."

cakap-cakap, kemudian hilang ke arah yang bertentangan. "Ah, perempuan kagak boleh dikasih ati," Sidik membera­

nikan.

Orang kurus itu memandang Sidik, tidak berkata apa-apa teta­ CAHAYA MATAHARI pertama melembayang kuning di belakang pi nampak ia tak bersenang hati karena ucapan itu.

gereja depan setasiun. Kereta Jakarta-Surabaya dan Jakarta-Yog­ "Tong bilangin gua kalo lu liat Hasan. Susah amat dia dicari

ya sudah berangkat beberapa waktu yang lalu. Kesibukan di pe­ sih."

lataran setasiun mulai berkurang. Di depan setasiun, telah bebe-

181 rapa kali trem lewat. Kereta-kereta jarak pendek mulai datang

1 80 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

GAMBIR

"Lu begitu ketakutan. Nanti malam tidur ama gua aja, San." sebuah demi sebuah membawa para pedagang dari udik dan

"Biarin gua tidur sendirian."

pegawai-pegawai yang tinggal di kota-kota sekeliling Jakarta.

"Lu takut duit Iu gua colong?"

Jalan sepeda mulai penulol dengan sepeda dan becak, dan jalan raya "Kagak begitu, Tong. Gua percaya ama lu. Tapi gua kagak mau oleh kendaraan bermotor.

Iu nanti dapat susah kalo ada apa-apa."

Di sebuah gerbong penumpang yang kosong Hasan duduk

"Ada apa sih?"

bersendeku dengan mata jalang mengawasi kelilingnya. Pende­ "Nih, ambil uang gua tadi pagi. Enam perak. Pigi sana main ngarannya dipasangnya baik-baik dan antara sebentar tangannya

judi lagi."

meraba pisau di belakang lipatan celana dan kantong uang di "San, si Sidik cuma nakut-nakutin aja. Bisa kita kroyok dia, dekat pisau itu.

kan?"

Dilihatnya polisi yang tidak banyak lagi di setasiun. Ah, bedil "Buat apa sih? Dia kan orang baik? Cuma aja selalu kekurang­ cuma membuat berabe, pikirnya. Sekarang ia tak ingin punya

an duit. Kebanyakan gundik sih.Yang Cina Benteng, yang orang bedil. Sekarang ia ingin punya pestol. Tapi pestol kurang tan des

Krawang, yang orang Banten. Kagak punya duit juga misih tembakannya sih. Gampangnya sebab bi�a disimpan di kantong

kepingin naik haji. Dasar kagak tau diuntung. Tapi dia orang baik, dan kalo ada apa-apa tinggal dorderdor. Abis perkara. Ia masih

Tong."

ingat bagaimana ia mempergunakannya dahulu - kepunyaan "Bener-bener gua kagak seperti lu, San." kawannya yang jadi sersan. Tapi tidak pernah kena. Bahkan dari

"Pigi aja, dah."

jarak lima meter sebuah jeruk pun tidak kena. Tapi gua sekarang "Gua pigi, ya?" Otong bangkit. Dengan wajah girang ia se­ bukan gua dulu. Gua sekarang musti bisa! Si Juned jagoan itu

gera melompat turun dari jenjang gerbong, dengan tiada mene­ mesti gua temui lain kali. Gua gertak dari belakang. Gua tampar

ngok lagi melompat-iompat dari rel yang satu ke yang lain, lang­ lehernya dan bilang: " Mau apa lu sekarang! Satu ama satu nih!

sung menuju keluar setasiun di pinggir jalan sepeda di kiri seta­ Ayo jago, liat silatlu." Tidak, tidak, dia mesti bawa piso atawa pes­

siun. Dalam sebentar waktu ia telah hilang di an tara salah sebuah tol di kantong celana. Dia mesti gua pukul sarna besi di kepala­

gerombolan dadu.Antara sebentar diselang-seling dering bel dan nya, biar sampe pecah.

trem terdengar seruan yang Derak-derik di gel adak gerbong memaksa ia terlompat dan

beca dan tuter oto dan

memberi semangat:

mengarahkan pandang ke jurusan datangnya bunyi itu. Dengan "Satu, delapan. Siapa lagi? Janganjait kantongnya! Kalau cuma sendirinya saja tangannya meraba celana di mana pisaunya ter­

uang, besok bisa cari lagi! Ayo-ayo-ayo. Enam. Siapa lagi? Tidak Slmpan.

ada lagi? Lihat! Awas! Buka mata! Kucing garong, setan dapur. "San," seruan pelan. "Dia udah pigi."

kuda lumping dari jabalkat - hayo, buka mata. Cir! Empat, bung "Tong?"

- masuk kantong." Bandar menang.

"Ha? Dia udah pigi." Otong mendekat dan keduanya duduk Suara sang ban dar dan pengikutnya bertanding dengan kera­ sebangku.

maian kelilingnya. Hanya apabila ada kereta api lewat dan nlC­ "Bayarin utang gua sarna si tukang pancong, Tong." Hasan

raung panjang, hilanglah semua suara dari gerombolan-gernnl mengulurkan beberapa lembar uang

bolan dadu itu. Beberapa tukang becak turun dari kend.lT.l.m -

1 83 nya, merogo kantong dan hilang di dalam gerombolan. Sebagian

1 82 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CBRITA DARI JAKARTA

GAMBIR

tandas juga gua akhirnya. Lima belas, San. Tidak sedikit, kan? dari mereka segera keluar lagi dengan tampang asam atau lega

Mari makan, makan yang kenyang, yang enak. Lantas tidur. dan mengayuh beeanya lagi.

Ngapain sih pegang eelana aja?"

Tiba-tiba terdengar siulan keras dari ujung pelataran setasiun. "Gatel aja. Kali terlalu lama kagak dieuei." Gerombolan tetap memandangi uangnya yang terletak di atas

"Mau gua eueiin nanti sore?"

kertas lebar berkotak-kotak dan bernomor. Tetapi siulan keras

"Biarin aja, dah."

membuat semua bandar dari tiga gerombolan bersama pengi­ "Beli aja yang baru. Kan lu punya duit dua ribu?" ringnya bangkit berdiri. Memandang melalui kepala-kepala yang

"Babi! Siapa bilang gua punya sebegitu banyak?" jongkok atau berdiri ke arah jalan raya.

"Sidik yang bilang."

"Polisi," katanya.

"Dari mana dia bisa ngarang begitu?"

"Jangan eari gara-gara bandar. Mana ada polisi." "Ah bang Sidik itu emang pandai ngarang. Lu kan kenal juga "Lu dengar siulan? Itu dia tanda dari mata-mata gua." siapa dia? Saban ari diitung eelenganlu. Dia bilang ama gua, sa­ Sebagian dari gerombolan bubar. Tetapi beberapa orang ban ari lu nyimpan lima belas. Itu paling laeur katanya. Biasanya mengerubung bandar.

dua puluh lima seari."

"Mentang-mentang uda menang, jangan lari lu."Tetapi ban-

"Dan lu pereaya?"

dar-bandar itu sudah biasa menghadapi orang yangjengkel kare-

"Pereaya kagak pereaya sih."

na kekalahannya.

"Dia kira gua bisa nyetak duit."

"Bandar punya kuasa," kata mereka. Dan mereka tidak takut, "Alah, mikirin yang bukan-bukan. Mari makan dulu. Masa karena mereka punya pengiring. dikarang orang gitu aja takut, San. Otong sih kagak pernah ngin­ Otong melompat kegirangan. Dengan kedua tangan di dalam tip rejeki orang. Kagak pernah, biarin mati dah. Di sini gua idup kantong ia masuk ke dalam setasiun. Tujuannya yang pertama

senang. Utang euma pada lu aja ada."

ialah gerbong kosong di mana Hasan duduk termenung. Tapi Mereka makan. Otong dengan lahapnya dan Hasan dengan sebelum sampai ia kembali keluar lagi. Di teritis setasiun ia mem­

keeurigaannya.

beli empat bungkus nasi dan dibawanya serta pergi ke gerbong! "Matalu jalang aja, San. Ngapain sih takut ama si Sidik?" Ia telanjang dada dan kulitnya mengkilat kena matahari. Kema­ "Kagak enak badan gua, Tong. Gua kagak bisa ketja lagi ari rin terpaksa dijualnya kemeja yang satu-satunya karena kalah

. . lnl. "

maIn. "Kali lu kuatir gua eolong duit lu. Kagak, San. Kalo gua Jahat, Hasan sudah tak ada di gerbong yang ditujunya. hah sebentar aja harta lu abis tandes gua keduk. Kalo susah, ya, "San! San!" gua ketjain ama bang Sidik. Jangan kuatir, San."

Setelah mendapat keyakinan kawannya benar-benar tak ada ia Dan setelah makan keduanya menyeka-nyekakan tangan di pergi ke gerbong-gerbong lain. Di salah sebuah gerobak kayu ia

dinding-dinding gerbong. Kemudian menyekakan pada pipa dapati Hasan sedang mengawasi kedatangannya dengan tangan eelana masing-masing. Kadang-kadang mereka meneium tangan

meraba hpatan eelana.

itu dan bilang:

"Ha, gua menang sekarang. Untung polisi datang. Kalo kagak "Pinter amat masaknya. Va, emang pinter."

1 84 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

GAMBIR

"Lu kagak kerja lagi, Tong?" Juned haram itu. Kali dia sekarang sedang enak-enak dengan

Hati-hati Otong memandangi Hasan, kemudlan meny biniku di Kebon Jeruk. Kali juga di Tangerang atawa Ciawi. Mesti kan perasaannya:

embur-

dia kena gua bekuk. Gua abisin idupnya. Gua abisin, gua abisin, "Bener, San, matamu merah dan jalang. Beranl taruh, lu me�t1

gua abisin, gua abisin." Terjompak kakinya yang sebelah mende­ kagak tidur semalam-malaman. Gua kan udah bilang, � a. blsa

pak Iantai gerbong hingga berdentang. "Tuhan! Tuhan! Tuhanku,

kawanin lu tidur, biar lu merasa amana Kan kagak ada nlat beri saya kekuatan buat dapatin dia. Dapatin dia! Dapatin dia.Ya pada gua? Ah, dasar lu aja yang mau nyiksa diri."

Jahat

Tuhan, ya Pangeran, ya Allah yang Mahakuasa. Mereka penjahat, "Lu kagak kerja lagi?" ulangnya.

mereka bajingan, balatentara iblis yang Engkau kutuki.Ya,Tuhan,

"Kenapa sih mau sendirian aja?" Otong menggelengka� saya tidak berbuatjahat kalau membunuh mereka, bukan? Tidak palanya. Pada matanya terpanear kekuatir�n: Ia mengua� lrka�

ke-

bukan? Mereka euma ngotorin duniaMu yang seharusnya indah

keadaan kawannya, dengan kekuatiran yangJuJur, yang terhlt dan suci. Berilah kekuatan, berikan tugas itu pada saya, biar saya hati keeilnya.

dan

� abisin mereka dari dunia ini."

Ada juga Hasan melihat ketulusan kawann�a ItU. D "Jangan Tuhan berikan tugas itu pada polisi." Matanya kembali

am ha-

tinya ia menerima jasa-jasa yang ditawarkan ItU, tetapl mengawasi beberapa orang polisi yang mondar-mandir. "Beriin earanya sendiri ia menolaknya.

dengan

saja pada saya, pada saya, ya Tuhan."

" Kagak kerja Iu?" tanyanya lagi.

Tetapi dendamnya yang mulai merangkak dalam hati itu telah "Gua mau tidur aja sekarang. Kalo kagak mau gua kawarun,

mendesak doanya. Di depaknya lagi lantai gerbong sekuat ten a­ biar dah gua yang pindah."

ganya. Tiga kali, empat kali.

Dan dengan tiada jawaban, ia pun pindahlah ke gerbong . Ial�. Komandan polisi di bawah tiang setasiun menebarkan pandang

Sebentar ia masih menengok ke be1akang, bahkan mengl� ke mana-mana. Hasan menyandarkan tubuhnya pada punggung

tlp

kawannya. Tetapi perutnya yang kenyang leblh ber.ku� bangku. Depakannya pada lantai tinggal gerak yang Iemah, na­

a danpa­

da kekuatirannya atas diri Hasan. Sebentar kemudlan la mun masih terdengar juga dari jarak beberapa puluh meter. Dan hah tertidur di bangku gerbong di belakang pintu.

pun re-

komandan polisi itu akhirnya menghampiri temp at Hasan. Naik Keriuhan lalu lintas di jalan raya dan jalan sepeda hamplr­

ke atas gerbong, dengan langkah hati-hati. Waktu sudah dekat hampir tak kuasa menembusi setasiun . dan me�gunjungi pende­

dengan tempat yang diearinya, mata komandan itu melihat ram­

ngaran Hasan. Keriuhan dalam setaslun leblh berkuasa. but yang tergerai jatuh di belakang punggung bangku. la terus

Mata

Hasan sudah berawan-awan karena eape dan mengantuk, mendekati, kemudian berdiri diam-diam mengawasi Hasan. Dan

teru­

kian ke­

mario Terlampau banyak orang yang telah ditelitin�a � ari kejauh�

tama karena terlaiu lama dipergunakannya mengintip

Hasan tidak tahu.

Seperti demam gigilan

, menjalar kembali ke kaki Hasan. Di­ an. "Sekarang dia udah pigi. Gua doain dia udah plgl ke � era.ka. angkatnya kakinya keras-keras dan dihentamkannya di lantai.

Kemudian matanya mengawasi beberapa polisi yang �as. "Mati Iu! Mati lu!"Tangan dan seluruh tubuhnya pun nlenggi­

lh tlng­

gal. Kembali matanya lengket pada pestol yang ada dl plng gil oleh kemarahan yang telah memuneak menyapu otaknya.

gang

satu

komandan. Dan mata itu hersinar-sinar sehentar. "Dengan

"He, Codet, ngapain lu?"

pestol dan seratus duaratus pelor gua bisa juga abisin barisan Hasan terlompat. Dan sek�i gerak telah terdiri di depan ko­ mandan polisi. dengan tangan kejang memegang eelana.

si

187 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

GAMBIR

ru buat kaget orang aja." di pinggang itu. Pelor-pelor keeil manis, yang diselitkan di "Ah, bapak

lubang-Iubang pelor, berkelip-kelip seakan minta dimilikinya. "Ngapain lu bikin ribut di sini. Sakit? Kok kagak kerja?"

"Apa yang lu lihat aja sih?" Hasan melemparkan pandang ke "Sakit, pak."

tempat lain. "Pestol?" Hasan menyengir.

"Demam?" "Demam, pak."

"Bagus amat pestolnya," kata Hasan meneoba-eoba. "Lu

� esti kagak pernah pegang pestol." Ia keluarkan senjata Itu dan sarungnya dan diserahkan kepada Hasan. "Awas ada

Komandan polisi itu mengulurkan setuba pel biru yang diam-

bilnya dari kantong eelananya.

pelornya, tapi sudah dikunci. Tapi awas."

"Nih, makan tiga seari." Dan Hasan menerima pel itu. Ia tak "Bagus amat. Seperti mainan anak keeil." menglutung, dan terus memasukkannya ke dalam kantong eela- "Ya, seperti mainan anak keeil. Tapi bisa bikin lu sekarat." na belakang.

"Terimakasih, pak." "Saya kepingin jadi polisi kalo liat pestol, pak." "Udah lama sakitnya?"

"Lu mau jadi polisi?" Ia tertawa. "Ada-ada aja lu nih. Emang­ nya gampang jadi polisi. Bisa nulis kagak?"

"Kemarin, pak."

"K aga , p . k ak "

"Untung ketahuan gua. Untung gua -misih punya pel. Kalau "Dasar Codet, kagak bisa nulis mau jadi polisi. Cuma kerna

kagak mati lu. Kalo mati siapa nyaksiin di sini:' kepingin punya pestol." Hasan tertawa mendengus. "Beli aja pes­

"Terimakasih, pak, terimakasih." "Udah makan lu?"

tol-pestolan."

"Kurang berat, pak. Kalau ada yang mau pinjamin mau juga "U dah pak."

"Banyak makan Iu?"

saya pinjam."

"Ah kagak napsu, pak, cuma dikit." "Buat apa pestol dipinjam? Kan berbahaya?" "Punya uang?"

"Ah, kapan saya udah tua, udah bisa ad-ati." Hasan menimang­

. nlmang senjata itu sambil menimbang-nimbang iman koman­ "Kagak pak."

dan polisi itu. "Ngomong-ngomong boleh kagak, pak, kalo saya Komandan itu mengulurkan beberapa lembar uang kertas dan

Hasan menerimanya.

pinjam?"

"Buat apa?"

"Terimakasih pak, sambil memasukkannya ke dalam kantong

"Ah, sen eng aja."

eelana belakang. "Ada-ada aja lu ah. Udah sembuh sakitnya!"

Polisi itu memandanginya dengan perasaan kasihan. Kemudi- "Berkat kedatangan bapak jadi baik. Nanti malam jaga di sini,

an duduk. Hasan pun duduk dan keduanya berhadap-hadapan.

pak?"

Tapi Hasan tetap menunduk melihat jempol kakinya yang men­ "Kapan lu tau sendiri' kalo malam sini kagak dijaga?"

jurus keluar, kaki anak perbatasan yang euma bersepatu setahun "Pak, di kampung saya punya sawah punya ladang. Sekarang

sekali. "Misih lama dinesnya, pak?"

bukan musim tanam,jadi saya nguli di sini. Kali aja ada tambah­ tambah buat mbuat rumah baru."

"Empat jam lagi aplos." Sekarang mata Hasan menghafalkan pestol yang tersembunyi

"Gua sih kagak kepingin kalo punya sawah punya ladang."

1 88 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

GAMBIR

"Saya punya simpanan beberapa ribu juga."

"Lama lu mau pinjam pestol?"

"Lu?"

"Begitulah, pak, seminggu kira-kira."

"Saya, pak." "Lu kagak mau bunuh orang?" Dengan pertanyaan itu polisi "Kok lu trima juga duit dari gua?"

itu memandangi bekas pedang yang menggarisi pipi Hasan yang "Itu kan pemberian pak, rejeki kagak boleh ditolak."

sebelah.

"Kapan-kapan gua boleh mampir di rumah lu?" "Masa saya mau bunuh orang, pak. Siapa yang mau saya bunuh "Tentu aja, pak." Hasan meraba uangnya lagi. "Di eelana ini

sih?"

saya juga ada simpanan, pak. Jangan gusar, pak, bener-bener saya

"Kagak mau ngrampok?"

kepingin pinjam pestol. Kalau bapak suka, simpanan ini boleh "Bapak ini ada-ada saja. Masa saya yang punya ciri begini mau bapak ambil."

ngrampok, kan semua orang bisa kenal."

"Ngomong gitu bisa jadi perkara, Codet," kata polisi itu sam­

"Kenapa itu codet?"

bil tertawa. "Ada-ada aja lu. Udah gede tua kepingin main pes­ "Orang kata, pak, jaman repulisi kena ujung pedang." tol, lah, udah kuli bilang punya sawah punya ladang punya sim­

"Lu ikut perang jaman repulisi?"

panan ribuan. Ada aja Iu, Codet!" "Uah, bapak ini, kapan waktu itu saya misih kanak-kanak Hasan mengeluarkan kantong dari balik eelana.

betul."

"Liat, pak, kalau kagak pereaya." Polisi itu kembali menyandarkan tubuhnya pada punggqng "Liat!" Polisi itu berdiri dan mendekati kantong. Matanya ber­

bangku. Diteruskan renungannya. Telunjuk-kanannya menge­ sinar-sinar. Hasan mulai menghitung dan akhir hitungan itu sam­

tuk-ngetuk bangku.Tiba-tiba, "Gua bisajuga pinjamin, tapi kalo pai pada jumlah: seribu enamratus empat puluh lima rupiah.

seminggu kagak bisa. Bukan kerna ada kontrolan, tapi kadang­ "Lu kagak nyolong, kan?"

kadang pestol harus ditinggal di kantor kalo kebetulan dapat Untuk melenyapkan keeurigaan polisi itu, Hasan memperde­

komandan yang tidak dikenal."

ngarkan tertawanya yang bermain-main, kemudian membuka "Begini aja dah, pak. Kalau siang bapak yang pake, kalau kartunya.

malam saya. Sungguh mati, saya kagak akan ngrampok, kagak "Kalo bapak mau, boleh ambil semua tapi bener-bener saya

akan mbunuh orang. Cuma mau saya kelonin waktu tidur." kepingin pinjam senjatanya."

Polisi itu tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba ia terdiam dan Polisi itu duduk lagi dan bersandaran. Matanya merenung

merenung-renung lagi.

jauh.

"Boleh, dong, pak?"

Hasan memasukkan kantong uangnya di balik celana kemba­ "Tapi kalo ketauan orang Iu ada punya pestol, gua bakal kena Ii. Bercerita: "Saya memang aneh, pak, seperti baba saya. Kalo

celaka."

baba saya, pak, bukan main beraninya beli burung dan ayam jago. "I\.duh-aduh, kaya saya ini masih kanak-kanak aja." Kadang-kadang satu jago brani dia beli dua ribu rupiah. Tapi

Kembali polisi itu merenung-renung. Kemudian matanya ber­ kalau saya lain. Dari kecil kepingin pegang pestol bener-bener."

sinar keras. Ia telah mendapat keputusan.

Polisi itu menegakkan badannya lagi. Matanya ditujukan ke "Baiklah. Berikan uangnya pada gua. Gua pinjamin lu pestol peron melalui jendela gerbong. Tetapi peron tidak kelihatan, ter­

gua. Tapi awas, kalo gua datang kemari, pestolnya misti ada. Lu . tutup oleh gerbong-gerbong lain.

misti ada."

1 90 PRAMOEDYA ANANIA TOER : CERITA DARI JAKARTA

GAMBIR

Mereka bertukaran barang. Polisi berlalu dan Hasan buru-buru "Ah, gua ketiduran. Lu kagak ngapa-ngapain gua tadi?" menyembunyikan senjata itu ke dalam eelana. Barulah tenang

"Ngapain sih? Kagak. Cuma gua heran lu pegangi celana aja hati Hasan yang selama ini tersiksa keinginannya sendiri untuk

dari dulu."

memiliki senjata semaeam itu. Hilang seluroh ketakutannya ka­

"Lama lu di situ?"

lau-kalau uangnya dapat terarnpas oleh sidik. Wajahnya berseri­ "Kapan njaga lu? Tentu aja lama. Lebih empat jam. Kok lu serio Diselujurkan tubuhnya di bangku. Keamanan dalam pe­

pegang lagi eelana itu? Gua sih udah pegang. Kepingin tau, sih. rasaannya menyebabkan ia tak mempunyai kekuatiran apa-apa.

Buat apa pestol itu, San? Lu mau ngrampok?" la jatuh tertidur.

"Hus, jangan keras-keras."

Waktu Otong bangun, yang mula-mula sekali diperbuatnya Pada paras Hasan tergambar kekeeutan. Matanya jalang meli­ ialah mengintip kawannya melalui lobang pintu. Kala dilihatnya

hat ke mana-mana mela1ui jendela gerbong. Yang ia lihat euma kawannya tertidur ia mendekat, pelan-pelan, berjingkat. Dipan­

bondongan orang yang turon dari kereta yang datang dari Bogar. danginya kawannya itu lama-lama. Tetapi yang terlama ialah pada

Otong mendekatkan badannya dan dengan suara berbisik lekukan-Iekukan di eelana. lngin benar ia mengetahui adakah

bertanya lagi:

kawannya sungguh-sungguh punya rib\lan atau tidak. Tak dapat

"Buat apa pestol itu?"

ia me nahan keeueukannya, dan tangannya mulai meraba-raba, Hasan tidak bisa menjawab. Ia berdiam diri. Ia meneoba men­ dengan mata terpusatkan kepada mata Hasan. Waktu kawannya

eari alasan, tapi tidak bisa. Kalau dia bilang sama polisi - kalo dia mengeluh, Otong terkejut dan mundur.Tapi Hasan telah tengge­

mau berbuat jahat pada gua - kalo dia eerita sarna orang lain - lam di dasar impiannya. Dan waktu kawannya mengubah letak

kalo dia - Ia tutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. kaki. Otong pun terkejut.

Sesak rasa dadanya. Akhirnya dengan irama minta dikasihani ia Ia tak berani meneruskan pereobaannya. Baru setelah Hasan

berbisik:

tenang lagi ia memulai lagi. Ya, kini terabalah benda-benda di "Kagak lu eeritain sarna orang lain, bukan?" balik celana itu: benda keras panjang.

Otong masih memandangi Hasan dengan mata me1ompong Yang satunya? Benda gembung panjangjuga. Rabaannya dite­

bertanya. Ia menggeleng. Tapi Hasan masih juga tak pereaya. ruskannya. Pada wajahnya tergambar kekagetan yang arnat sangat.

"Bener-bener lu kagak eerita?"

la berdiri dan duduk di bangku di depan kawannya itu Ke­ Otong menggelengkan kepalanya. Kemudian berbisik. " Buat palanya menggeleng. Lama ia duduk demikian. Berjam-jam.

apa pestol itu?"

Akhirnya senja pun datang. la masih menunggui kawannya. Tera­ Kembali Hasan menutup wajahnya dengan kedua belah ta­ sa perutnya lapar. Tetapi ia tahankan. Dan setelah permulaan

ngannya. Betul-betul ia tak sanggup menjawab pertanyaan malam datang hati-hati ia bangunkan kawannya.

kawannya itu.

"Sudah malam, San, bangun."

"N gapain bingung, gan?"

Hasan melompat bangun sambil memegang eelananya. Ma­ "Jangan tanya lagi, Tong. Gua kagak bisa bilang apa-apa." tanya jalang memandangi Otong. Kemudian:

"Siapa mau lu bunuh? Sidik?"

"L . u SItu,

Hasan menggeleng.

"Ya." "0, ngerti gua sekarang. lneup ama si Juned. Gua ngerti sekarang. Bukan?"

1 92 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

1 93 Hasan meruntuhkan pandangnya ke lantai. fa tak sanggup

GAMBIR

tubuh kawan sendiri: Otong. Malam turun dengan damainya. mengkhianati rencananya sendiri. Ia tak mau diketahui orang. Ia

Akhirnya Hasan sampai di sebuah keran, minum beberapa teguk, tak mau dilemparkan ke dalam penjara. Ia mau hidup, sebagai

membasuh muka, kuduk, leher dan kedua belah tangannya, ke­ orang bebas dan tidak dipaksa atau diperintah oleh siapa pun. Ia

mudian berjalan lagi. Dari sebuah ujung wagon kosong ia lihat cuma mau lepaskan dendamnya. Ia cuma mau mengurangi pen­

selintas Sidik. Tapi ia tidak takut. Sidik hanya mengharapkan jahat yang ada di dunia ini!

uangnya, dan uang ia tak punya. Bulan bersinar penuh di atas­ Dan itu bukan kejahatan. Buatnya kini itu adalah kewajiban.

nya. "Ah itu si Sidik, barangkali gua disangka misih berduit." Ia Tapi polisi pasti akan menangkapnya karena ia membunuh orang.

tertawa sendirian. Namun belum ada keberanian padanya untuk "Lu kagak mau jawab, San. Lu tahu, gua selalu bantu lu. Gua

pergi ke peron di mana banyak polisi berjaga dan mondar­ juga mau ikut lu cari si Incup dan Juned. Gua ngerti sakit ati lu,

mandir dengan bedilnya.

San.Jangan lu kira gua ini anak kemarin yang masih pake celana Dingin malam kian lama kian menyerbu ke dalam tubuh monyet. Selamanya lu kagak percaya ama gua."

melalui lubang-Iubang kulit. Hasan tak mempedulikan Sidik "Apa gua itu memang kagak punya tampang buat dipercayain,

yang mondar-mandir. Badannya ia tekuk untuk menghangati pa? He, kenapa begitu pucat, San? Jangan kuatir, gua kagak bakal •

sekujur tubuh. Malam ini, sekalipun hatinya agak tenteram, ti­ bongkar lu punya resia."

durnya tidak nyenyak, karena dingin tak bisa dilawannya begitu "Tong .... " Hasan tak bisa meneruskan.

saja. Niat hendak tidur di dalam gerbong selalu dibatalkannya. "Hasan-Hasan, banyak amat yang lu pikirin. Semua orang lu

Kecurigaannya pada segala-galanya sangat berkuasa �tas dirinya curigain. Kawan juga dicurigain. Pegimana bisa tentrem ati lu,

sejak ia harus melarikan diri dari daerahnya. San?"

Setasiun telah sunyi.Tak ada lagi penumpang datang atau per­ ''Jangan ngomong papa, Tong. Gua kagak sanggup ngomong."

gi. Hanya kadang-kadang dengung pengembara yang mengobrol "Baile dah. Gua mau nguli sore ini." Dan dengan tiada mene­

di beranda bersama penumpang-penumpang dari kota untuk ngok ia turun dari gerbong dan hilang di balik deretan kereta

kepergian besok sampai ke kupingnya. Itu sudah biasa. Pikiran­ yang baru datang dari empat kota. Kembali Hasan merebahkan

nya kadang-kadang tersangkut pada isterinya yang hilang. badan pada punggung bangku. Ia mulai mengenangkan segala

Kadang-kadang pada .... Ia tersenyum. Tak tahan ia mengenang­ kemungkinan bencana yang bakal datang, yang mungkin datang,

kan sikap Sidik nanti bila diketahuinya ia tak beruang sama sekah. dan boleh jadi juga segera akan terjadi. Ia menyesal karena jatuh

Kadang-kadang pikiran itu terbakar punah dan kemarahan me­ terti du r. "Ah, padahal tadi gua harus bilang itu bukan pestol. Mes­

luap-Iuap bila tersinggung oleh wajah garong-garong yang me­ tinya gua bilang, ya, bilang sambil main-main, ada-ada aja lu,

musnahkan kebahagiaan rumah tangganya. masak martil disangka pestol. Tapi dia akan tanya. Masa martil

Desak-desik di bawahnya memaksa ia menjengukkan kepala disimpan di dalam celana?"

ke bawah. Dan ia lihat 'Sidik sedang berusaha naik ke atap ger­ Hasan tak bisa memperoleh keputusan. Ia bangkit dan belJalan

bong. Sekarang ia pura-pura tidur. Kian lama desak-desik gerak meninggalkan gerbong dengan tiada tujuan. Sekarang ia tak

Sidik ban menyata. Akhirnya terasa nafas orang itu menghem­ mempunyai kekuatiran sedikit pun terhadap Sidik. Tapi ke­

busi mukanya.

curigaan yang menghebat malahan mengambil bentuk dalam "San . . . Hasan," ia dengar bisikan pelahan sekali.

1 94 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

1 95 Dan ia tetap berdiam diri. Kini ia terasa olehnya rabaan tangan.

GAMBIR

htlang dari matanya dan langit penuh disebari awan hijau, putih Tiba-tiba Hasan kaget. Ia ingat pestolnya. Kekuatiran kalau-ka­

dan kuning. Ia dengar Sidik tertawa mengejek. Ia dengar juga lau senjata itu terampas menyebabkan ia membuat sepakan keras

lawannya mendekatinya, dan tangannya kembali meraba balik dengan kaki kanannya. Sidik tersepak dan terpelantingjatuh. Dan

kantongya.

sebelum terguling ke tanah ia sempat berpegangan kaki Ha­ Kembali Hasan mengumpulkan tenaganya dan melompat. san.Yang akhir terseret ke bawah tetapi sempat berpegangan

Dipukulnya leher lawannya dan Sidik terhuyung-huyung ter­ pinggiran atap sehingga kedua orang itu tergantung.

jongkok. Ia menggeram - pemuda yang alim dan sopan ini kini Waktu Sidik mendapat tanah pada kakinya, ia eratkan pe­

telah berubah menjadi macan yang buas. Ia dekati lawannya seta­ gangannya pada kaki Hasan. Matanya memandang ke atas - dan

pak demi setapak.

bulan memancar terang di antara dua awan yang sedang berarak. ''Jangan dekatin!" Sidik memperingatkan. ''Jangan dekatin! " "Turun lu! Bangsat lu! "

Tapi si pemuda itu telah kehilangan pertimbangannya lagi.Juga Dengan satu sentakan Hasan terjatuh ke bawah.

Sidik telah kehilangan niatnya yang pertama.Yang terpikir oIeh­ "Mana duit lu."

nya kini adalah pembalasan atas pukulan Hasan pada lehernya Hasan jatuh dan merangkak-rangka� hendak bangun. Tetapi

yang sejenak menghalangi jalan darahnya dan terasa sebagai sam­ Sielik telah berada di atas lehernya.

baran kawat listrik.

"Gua bunuh lu kalo .... " dan dengan sekali sepak Hasan ter­ "Jangan dekatin! " bisiknya lagi. Dan digulungnya lengan ba­ jatuh kembali.

junya. "Kalau mau tau tangan Sidik - Tunggu �itu! Jangan Sikap angkuh dan paksaan yang melalui batas perikemanusiaan

gugup! "

itu membangkitkan amarah Hasan. Pemuda yang tidak mempu­ Hasan terus mendekati. Dan buru-buru Sidik menggulung nyai harapan hari depan dan hanya bisa mengumpulkan dendam

Iengan bajunya yang sebelah. "Baik.Ayo maju!" Sidik melompati itu segera melompat dan mengumpulkan seluruh tenaganya. Ia

Hasan. Keduanya bergumul dalam cahaya bulan - dan dalam hadapi Sidik dengan amarah yang menggigil di dalam dada.

cahaya bulan yang itu juga Otong sedang bercumbuan dengan "Lu mau Iawan gua? Awas jangan betreak. Gua cekek mam­

wanita yang dua jam tadi ditemuinya di pinggir jalan tanah pus lu nanti."

Iapang Gambir.

Tapi Hasan tidak mendengar ancaman itu lagi.Tangannya pun Dengung pengembara dan bakal-bakal penumpang di beran­ telah menggigil dan membesi dalam siku-siku yang perkasa.

da setasiun tak terdengar dan jam dua belas sudah lama lewat. "Jangan dekatin gua kalo mau selamat! " Sidik mengancam.

Perkelahian eli antara gerbong dan rel-rel kereta api terus ber­ "Serahin aja duit lu." Tapi Hasan terus maju setapak-setapak de­

jalan dengan sengitnya. Antara sebentar terdengar gedebak-gede­ ngan lambatnya. Juga kakinya berat sebagai besi mencengkam

buk kaki menendang, dan suara leher yang menghindarkan ce­ tanah di bawahnya.

kikan.

Waktu Hasan telah dekat benar Sidik mulai menyerang. Ia Akhirnya Hasan terangkus ke dalam ringkusan Sielik dan tak sepak mangsanya dan Hasan terpelanting. Pinggangnya kena dan

bisa bergerak Iagi.

hampir-hampir ia tak bisa bangkit berdiri. Kepalanya terantuk reI, "Mampus lu! Mampus Iu!" Dengan kepalannya yang sebelah dan pemandangannya berkunang-kunang. Bulan yang kuning

ia pukuli muka Hasan. Percobaan Hasan untuk melepaskan

1 96 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

GAMBIR

ringkusan itu tidak berhasil. Seluruh tangannya yang masih tinggi Sidik mengikuti perintah. Ia berdiri. Dan Hasan menggarisi tak dapat membatalkan kekuatan tangan Sidik yang membaja itu.

muka lawannya dengan ujung pisau. Darah menetes keluar. Dan Bahkan tangan itu kian lama kian memotong lehernya.

Sidik merintih.

"Tidak, tidak bisa! Gua mesti cari akal! Kalo kehilangan akal

"Biarin gua pulang, San. Ampun."

gua mati dalam pitingan Sidik."

"Sekarang kagak ada ampun."

Tangan Sidik berhenti memukuli, dan kemudian memulai Sidik terus berjalan mundur setapak denu setapak, dan seta­ meraba balik celana, Hasan. Dengan tangannya yang bebas Hasan

pak demi setapak. Kian lama keduanya klan mendekati setum­ menyerang kemaluan Sidik yang mana membuat pitingan itu

pak tanah yang dilindungi pohon di mana Otong sedang tidur­ menjadi longgar. Dan kesempatan itu Hasan pergunakan untuk

an di rumput dengan Hasan maju mengikuti juga lawannya. membanting lawannya.

"Gua sembah lu, San - gua sembah lu, tapi biarin gua pulang." Akhirnya ia terlepas kembali. Tetapi Sidik kini menjadi

Hasan mendengus.

demikian marah. Sebaliknya Hasan memperoleh kesadarannya "Gua kagak tahu - semua mau nyelakain gua:' Hasan berbisik. kembali.Waktu lawannya hampir dapat menangkapnya kembali,

"Lu juga. Bajingan!"

ia cabut pisau dari ceIananya. Sidik mundur-mundur melihat

"Gua emang salah, San. Gua akuin."

senjata yang berkilapan kena cahaya bulan. Tetapi Hasan terus Sebentar Hasan mau membiarkan lawannya pulang, tetapi mendesaknya.

akhirnya ia berpendapat orang yang ada di bawah kekuasaannya "N ggak ada yang nyaksiin, Sidik. Kagak ada. Kalo lu njerit, piso

itu jugalah yang di kemudian hari - mungkin juga bJ!sok atau ini makan jantung lu."

lusa - akan menyiksanya lebih hebat lagi. Dia musti gua abisin! "Ampun San, ampun," kata Sidik pelahan.

Gua juga mau idup!

"Sekarang lu kagak bisa lepas dari gua. Kalo lepas besok lu Dan setelah selesai mendapat keputusan itu ditikamkan pisau mburu-mburu gua lagi," sambut Hasan.

yang gemerlapan kena cahaya bulan itu di hulu hati lawannya. "Kagak San, kagak."

Sebentar Sidik menjerit ngilu kemudian rebah. Hasan mening­ "Sekarang kagak ada ampun. Sekarang kagak ada saksi. Gua

galkan temp at itu, melompati pagar setasiun dan kemudian hi­ habisin di sini lu."

lang dari pemandangan.

"Gua panggil polisi!" Awan yang mengapit bulan kini menutupinya sarna sekali. "Kalo berani njerit - cobalah."

Gelap pekat daerah itu. Hanya nafas Sidik yang terengah-engah. Sidik terus mundur-mundur. Dengan tidak setahunya ia ter­

Terdengar langkah sepatu berlari-Iarian.Akhirnya terdengar juga sandung reI dan jatuh. Hasan tidak menyerangnya dan hanya

langkah kaki telanjang melintasi daerah itu - kaki Otong yang memandanginya sambil berdiri.

hendak melarikan diri ke gerbong karena ketakutan. Sebentar "Berdiri lu! Gua kagak bakal nyerang orang Jatuh. Kagak se-

kemudian lampu-Iampu senter berkejapan dan waktu sebuah perti lu, nyerang orang tidur. Ayoh berdiri!"

sinar jatuh pada tubuh Sidik terdengar teriakan, akhirnya disusul Hasan menendang pan tat. Sidik merintih dalam terlentangnya.

oleh perintah:

"Ampun, San. Biarin gua pulang."

"Setasiun mesti dikepung!"

" Ayo berdiri! " Segera terdengar kaki berlari-Iarian dan empat pasang sepatu polisi mendekati tubuh itu dan mengangkatnya.

1 98 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

1 99 Tidak seberapa jauh dari situ Otong tertangkap oleh polisi dan

GAMBIR

Kembali Otong tak bisa menjawab.

digiring ke beranda. Dan tak lama kemuelian tubuh Sidik diba­

"Di mana lu tadi!"

wa ke beranda pula. Kepalanya bergeleng-geleng bila yang meng­ Tangan Otong menunjuk ke tempat ia habis bercumbuan angkatnya bergerak, tidak bertenaga. Mulutnya terbuka, dan dari

dengan kawannya.

situ keluar nafas pendek dan besar-besar. Otongnya menggigil

"Ngapain lu di sana!"

meliat darah yang memancuri lantai. Dan waktu ia lihat pisau

Sekali lagi Otong tak bisa menjawab.

yang masih tertanam di dada ia jatuh tiada sadarkan diri.

"Ngapain lu lari-Iari! "

Tambah lama tambah banyak orang merubung. Dari jauh ter­

"Takut, pak."

dengar suling mobil palang merah, dan sebentar kemudian kor­

"Ngapain takut! "

ban itu diangkut ke dalam mobil krib dan dibawa ke rumah sakit. "Ada orang betreak dan saya ketakutan." "Kenai elia? Kenai dia?" seorang polisi menanya Otong waktu

"Siapa nama lu! "

yang akhir ini telah bangun dari pingsannya. Otong menyebut namanya sendiri. Tapi waktu ditanyakan di Dengan tiada bertenaga Otong mengangguk.

mana rumahnya ia menjadi bimbang, namun eliceritakannya juga "Siapa namanya."

bahwa ia telah setengah tahun meninggalkan rumah karena tak "Sidik."

bisa memberi makan anak dan bininya. Tiba-tiba ia merasa sedih "Di mana rumahnya!"

waktu orang-orang tak menghargai alas an meninggalJcan rumah. "Kagak tau, pak."

Ia merasa tidak berharga di depan anggota-anggota tangan negara "Bagaimana bisa tidak tahu?"

itu. Ia menunduk, dan ia ingat pada Hasan. Ia in gin tahu eli mana "Saya kenai dia eli sini."

Hasan sekarang berada. fa tahu dari kenyataan-kenyataan yang "Sering dia di sini?"

telah berlaku, bahwa kawannya itulah yang membunuh Sidik. Ia Sekali lagi Otong mengangguk.

ingat pestol di balik celananya. Dan ia ingat bahwa Sidik selalu "Ngapain dia sering di sini?"

memburu-burunya.

"Dia buaya Gambir." "Kenapa dia lu bunuh! " satu pertanyaan lagi Orang-orang yang beruniform dan yang mengelilingi dia ter-

Otong menambah dalamkan tunduknya. Waktu terdengar tawa.

beberapa langkah sepatu menghampiri baru ia mengangkat ke­ "Lu pernah dibuayain dia?"

pala dan melihat perempuan yang beberapa saat tadi bercumbu "Kagak, pak."

dengannya digiring polisi mendekati tempatnya. "Bagaimana lu tahu dia buaya kalo lu kagak pernah dibuayain."

"Betina ini juga terbirit-birit lari," seorang yang baru datang Otong tak dapat menjawab.

mengacarai. Kembali Otong menundukkan kepalanya. 'jawab!" Orang berteriak. Tetapi Otong benar-benar tidak bisa

"Lu kenai perempuan ini?"

menjawab. ''Jawab, lekas jawab! Mengapa diam saja? Mau lu kena Benar-benar Otong tak berani mengangkat kepala - tak be­ tempeleng?"

rani menentang mata perempuan itu.

"Orang-orang yang bilang, pak." "Lu kenaI lelaki ini?" satu pertanyaan garang tertuJu pada "Siapa orang-orang itu!"

perempuan itu.

200 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

20 1 Terdengar suara perempuan yang sayup-sayup:

GAMBIR

kepala keluarga. Dan ia telah pernah mencoba untuk menjadi "Kenal, tuan."

kepala keluarga yang baik. Untuk itu Hasan telah melalui ber­ "Di mana kenal!"

bagai masa dan pengalaman yang tidak enak. Dan ia sendiri men­ "Di pinggir jalan."

cari keenakan untuk mengelakkan kewajibannya. Dan pikiran­ ''Jalan mana."

pikiran seperti itu menyebabkan ia memutuskan tidak akan buka ''Jalan pinggiran lapangan Gambir."

mulut menyebut nama sahabatnya itu.

"Sundal lu, ya? Cabul?" Sidik meninggal dunia beberapa waktu kemudian setelah sam­ Perempuan itu tidak menjawab.

pai di rumah sakit. Pemeriksaan atas bekas-bekas tangan di tang­ "Lu kenal Sidik?"

kai pisau menyebabkan Otong terlepas dari dakwaan pertama. "Sidik yang mana, tuan?"

Namun ia tetap ditahan. Perempuan - kawannya bercumbu - "Yang barusan dibunuh."

dibebaskan beberapa hari setelah ditangkap, dan hanya diwajib­ "Saya kenal banyak Sidik, tuan."

kan bertanggungjawab atas pelanggaran jam malam dan berge­ "He Otong, ceritain sarna cabul lu, siapa si Sidik yang lubunuh

landangan, menyalahi kesusilaan.

tadi." Susunan pikiran Otong kocar-kacir sarna sekali. Ia merasa Keesokan harinya setelah terjadi pembunuhan tak ada nam­ seperti terbakar dalam silang min tang pertanyaan-pertanyaan

pak lagi orang-orang bergelandangan di setasiun, karena mereka yang wajib dijawab, dan yang mana ia tak bisa menjawabnya.

malam itu juga ditangkapi dan digiring ke kantor polisi. Juga Kembali ia ingat pada Hasan dan berpendapat, Hasan pasti tidak

bakal-bakal penumpang tidak lagi menginap di beranda. Di bersalah. Tapi siksaan pertanyaan itu sungguh-sungguh tidak ter­

malam hari Gambir sunyi-senyap.

tahankan. Bibirnya menggigil. Ia ketakutan. Pada suatu pagi sep�rti biasa - kembali pelataran setasiun di­ "He, siapa nama lu tadi!"

sebari oleh pedagang-pedagang dengan sinar pelitanya yang ber­ "Otong, pak."

kelap-kelip dan api dapurnya yang memerahi daerah kelilingnya. ''Jadi lu cemburuan sama si Sidik, bukan?"

Di tempatnya yang lama, tukang pancong langganan Sidik, "Kagak, pak. Kagak. Betul kagak."

Hasan dan Otong, telah membuka dagangannya.Tetapi langgan­ "Ngapain si Sidik lutikam kalo kagak cemburuan? Lu bilang

an yang tiga orang itu sudah lebih sebulan tak ia lihat hidungnya Sidik yang buaya. Lu kan buaya juga?"

lagi. Dan Sidik" masih mempunyai hutang dua perak pada­ Perempuan itu mulai menangis.

nya. Tetapi bukan hutang itu yang menyebabkan ia kangen pada "Siapa yang lu pilih?" Orang bertanya pada perempuan itu. "Si

mereka. Ia telah begitu biasa dengan Otong dan Hasan dan de­ Sidik atau Otong?"

ngan dalih-dalih Sidik untuk selalu menghindari pembayaran. "Tuan, saya tak tahu Sidik yang mana."

Sering ia bertanya ke mana saja mereka pergi. Ia kuatir kalau­ Polisi tidak mendapat putusan yang tepat. Karenanya kedua

kalau mereka tersangkut dengan pembunuhan yang didengarnya oranR tangkapan itu pun diangkut ke kantor polisi. Dan di se­

dari kiri kanan.

panjangjalan Otong terus-menerus ingat pada kawannya Hasan. Kemudian duduk seorang kuli di bangkunya. Ia lihat itu dari Terasa benar olehnya bahwa pada Hasan ada sesuatu yang ia

papan kuningan yang terpasang pada bajunya. hormati: keteguhan niatnya untuk menjalani kewajiban sebagai

"Sekarang kuli mesti pake plat?" ia bertanya.

202 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

203 "Tentu aja, banyak yang gelap sih."

GAMBIR

Tukang pancong mengambiI kipas dan mulai mengipasi api. "Gelap gimana, sih?"

Ia mengenangkan Hasan lagi. Ia yakin hanya Hasanlah yang sang­ "Liat aja.Waktu ada yang dibunuh dulu, orang kagak tau siapa

gup membunuh Sidik. "Hasan yang pendiam itu! Hasan yang yang mbunuh. Padahal semua orang tau, mesti kuli yang

pemurah dan penyayang, pendiam dan selalu merenung itu. Kata mbunuh."

si Hasan, di kampungnya diuber-uber garong," ia berpikir. "Di "Gimana kalo kuli yang ngerjain?"

sini diuber-uber Sidik.Ya, mesti dia yang mbunuh. Kagak boleh "Siapa lagi? Kuli-kuli gelap mesti. Kuli-kuli yang kagak pu­

tidak."

nya rumah dan tidur di gerbong-gerbong. N guli sambil Kemudian ia ingat pada pagi hari waktu Sidik mulai mengin­ nyolong."

tip Hasan dan Otong memberitahukan kehadiran Sidik kepada­ "Lu kenai salah seorang?"

nya. Ia lihat bagaimana pemuda itu pergi ke arah lain dan sehari­ "Ada banyak gua kenai."

harian itu tidak kelihatan lagi.

"Lu kenai Hasan?" Dia mesti kepaksa. Sidik yang memaksa. "Hasan codet? Kenai.

"Ngapain ngelamun?" langganan itu bertanya. lama gua kagak liat."

0 iya. Sekarang gua baru ingat. Udah

Tukang pancong menarik nafas panjang. "Lagi kopinya?" ia "Itulah, gua mau tanya di mana dia sekarang."

bertanya.

"Ada apa sih?" "Ah betul-betul tukang pancong ini. Kapan kopi baru diisi "Dia misih punya utang."

lagi?"

"Habis kejadian itu gua kagak dengar-dengar kabarnya lagi. "Gua ingat sarna anak-anak - si Otong, si Hasan. Begitu muda Juga kagak pernah liat tampangnya." Orang itu mulai berpikir­

dan sudah ditangkap." Langganan ini tertawa dan akhirnya: pikir tetapi tak juga mendapat pikiran. Akhirnya ia menggeleng

"Itulah kalo orang kagak netap di satu tempat, segala kejahat- dan biIang, benar-benar ia tidak tahu.

an jadi dekat."

"Kenai Otong?"

"Apa sebabnya Sidik dibunuh?"

"Ngapain tidak?"

"Kagak tahu! "

"Di mana dia?"

"Kok bisa biIang itu kejahatan!?"

Orang itu berpikir lagi, kemudian menggeleng. Langganan itu tak bisa menjawab. Ia berpikir sedikit. Tapi "Kenai Sidik?"

akhirnya membela ucapannya:

"Itu dia yang dibunuh." "Tapi mbunuh orang kan sudah kejahatan? Sedang motong "Dia yang dibunuh?" tukang pancong berseru kaget "Masya­

ayam kagak pake doa saja udah kejahatan namanya." allah. Baru tahu gua. Dia yang dibunuh? Siapa yang mbunuh?"

Keduanya sebentar berdiam diri. Seorang langganan lain "Kagak tahu gua. Semua orang yang tidur di gerbong di­

mengambil tempat duduk dan memesan kopi. Dengan tiada yang tangkap."

bertanya ia membuka percakapan:

"Semua? Juga Hasan? Juga Otong?"

"Sudah dengar?" tanyanya.

"Otong ditangkap. Tapi Hasan - gua kagak dengar dia di­ "Dengar apa?" langganan lama menyahut. tangkap."

"Ingat komandan polisi yang dinas minggu yang lalu?"

204 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA

205 "Pak Dul Karnin?"

GAMBIR

orang diri mengharapkan keselamatan untuk si Hasan. Apa salah "Ya. Ditangkap polisi militer kemarin."

dia? Berontak hatinya. Dia begitu alim, begitu jujur, rajin, dan "Tahu dari mana?"

bisa nyimpan duit. Dia kagak banyak tingkah dan semua orang "Dari anak buahnya tentu. Tahu mengapa ditangkap?"

ditolongnya. Hutangnya selalu dibayar dan tidak pernah dia nipu Kedua orang itu memandangi langganan baru. Tetapi mulut

gua.

mereka tersumbat. Bukan karena kecucukan. yang hebat, tetapi Kembali wajah Hasan terbayang. Segera ia besarkan kembali karena tidak besar perhatian mereka. Hasan dan Otong yang

apinya. Dia jadi buron sekarang. Beli pestol! Mbunuh Sidik! waktu itu mengisi pikiran mereka dan bukan si komandan polisi.

Padahal dia kagak jahat.

"Dia njual pestol." Ke mana dia mau pigi? Rumah kagak ada. Saudara kagak be­ "Njual pestol! "

rani terima. Kalo aja gua tahu tempatnya -Ah, gua jua kagak be­ "Tahu siapa yang beli?"

rani kasih dia sembunyian ....

Sekarang berita itu menarik perhatian mereka. Dan dengan Baru waktu datang langganan-Iangganan baru rasa sedihnya takzim mereka menyemak mulut langganan baru.

terhadap Hasan berkurang. Ia bisa mengerti kesulitan anak muda "Lu semua mesti kagak bakal tahu . .cuma gua yang tahu."

itu. Dan setelah menuangkan kopi diisapnya rokok kretek buat­ "Siapa?"Tukang pancong bertanya. Ia teringat pada si Hasan.

an bininya. Dan hanya asap rokok itu menghangati perasaannya. Dan terkenang olehnya bagaimana ia menjual hidupnya untuk

Dari kuli-kuli sah yang lain ia mendengar lebih banyak lagi ten­ mendapatkan uang banyak-banyak.

tang Hasan. Sebagian dari mereka menentukan bahwa anak "Ha . . . san," katanya. "Hasan si codet."

muda itu segera akan dapat tertangkap karena luka pada mukanya "Hasan?" langganan lama berseru.

yang tidak sedikit itu.

Tetapi tukang pancong itu menundukkan kepala. Ia tahu se­ Sore itu tukang pancong tersebut pulang membawa berita ke muanya. Segera ia mengambil kipas dan membesarkan api

rumahnya - berita tentang pemuda yang sering diceritakannya dapurnya untuk menutupi pengetahuannya. Dalam hatinya ber­

di rumah: pemuda yang mendapat simpati itu kini menjadi bu­ doa agar Hasan berhasil dapat membalaskan dendamnya atas

ron, dan tiap orang memastikan sebentar lagi dia tertangkap - garong-garong yang telah mengobrak-abrik hidupnya.

dihinakan, dipukuli, diadili, dihukum - hanya akibat dari suatu "Jadi Hasan jadi buron sekarang?"

sebab. Dan sebab itu tukang pancong tersebut tidak bisa meru­ "Betul, jadi buron."

muskan. Kalaulah bisa akan dikatakannya juga: si Hasan hanya "Buat apa si Hasan beli pestol?"

berusaha agar bisa hidup seperti orang-orang lain, terlepas dari "Buat nggarong kali - apa lagi?"

ancaman pemburuan terus-menerus sampai tertangkap. Dan itu Gugup tukang pancong menghidangkan kuenya dan secangkir

belum lagi akhir dari penderitaannya.

kopi. Minum seteguk kopi dari cangkirnya sendiri, kemudian Pada suatu pagi waRtu ia baru saja nlembuka dagangannya mencuci cangkir-cangkir yang bekas terpakai. Hampir-hampir

datanglah pemuda duduk diam-dialTI di bangku tak sanggup ia mendengar salahfaham orang-orang atas diri pe­

"Kopi," katanya.

muda yang diam-diam dikasihinya itu.

Tukang pancong itu hafal suara itu.

Dan waktu kedua langganannya itu telah pergi ia berdoa se- "Hasan!" serunya dalam bisikan. "Pergi lu buru-buru. Lu di­ cari polisi."

206 PRAMOEDYA ANANTA TOER : CERITA DARI JAKARTA "Gua dicari polisi?"

Daftar Karya Pramoedya Ananta Toer

"Ya, lu dicari polisi." "Ngapain?"

Tulisan-tulisan semasa di SD,satu di antaranya pernah ditawarkan "Lu beli pestol. Komandan polisi itu sudah ditangkap Dia

pada penerbit Tan Koen Swie, Kediri, ditolak. Semua hilang. ngaku."

Sepoeloeh Kepala Nita (1946), hilang ditangan penerbit Balingka,

Buru-buru Hasan meneguk kopinya.

Pasar Baru,Jakarta, 1 947.

"Lu kagak bohong?" tanyanya.

Kranji-Bekasi Jatuh (1 947), fragmen dari Dt Tepi Kali Bekasi

"Gua doain lu kagak ketangkap. Pegi aja buru-buru. Buat apa

Perburuan (1950). Pemenang sayembara Balai Pustaka,Jakarta, 1949.

pestol itu?"

Keluarga Gerilya (1950).

"Gua mau kembaliin sarna itu komandan. Gua udah tembak­

Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen.

tembakin garong itu."

Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen.

"Tapi lu buron sekarang."

Mereka yang Dilumpuhkan I & II (1951).

Hasan merogo kantongnya, tapi tukang pancong itu tak mau

Bukan Pasarmalam (1951).

menerimanya.

Di Tepi Kali Bekasi (195 1), sisa naskah yang dirampas Marinir

"Kalau gua ada uang banyak, lu gua kasih biarin kagak begitu

Belanda pada 22 Jull 1947.

sengsara."

Dia yang Menyerah (1 95 1) , kemudian dicetak-ulang dalam

"Terima kasih, terima kasih," kata Hasan "Kalo kagak dibi­

kumpulan cerpen.

langin, gua udah ketangkap." Buru-buru ia bangkit dan pergi

Cerita dari Blora (1952) pemenang karya sastra terbaik dari Badan

menyeberangi jalan raya kemudian hilang di balik gedung-ge­ Musyawarah Kebudayaan Nasional,Jakarta (1953). dung Pejambon.

Gulat di Jakarta (1953).

Di atas kepalanya ancaman yang selalu hendak dihindarkan

Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)

dan dihilangkannya. Di depannya hari depan yang kosong

Kornpsi (1954).

melompong. Dalam hatinya dendam yang lenyap dan yang kini

Cerita Calon Arang (1957)

diganrinya oleh ketakutan. Di dalam kantongnya, sepucuk pes­

Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958).

tol dengan peluru yang ringgal beberapa burir.

Panggil Aku Kartini Saja Dan untuk selama-Iamanya ia akan menjadi makhluk malam. I & II (1963); III & IV dibakar Angkatan Kadang-kadang dengan pestal

dan kadang-kadang dengan pisau Darat, 13 Oktober 1965.

ia mencari penghidupannya. Anak yang sederhana dari luar kota • Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai ini dipaksa mengikuti jejak penjahat-penjahat yang pernah

media; dibakar Angkatan Darat, 13 Oktober 1965. membuat sejarah di atas bumi dengan akhirnya yang juga telah •

Wanita Sebelum Ka rt i ni; di b akar Angkatan Darat, 13 Oktober 1965.

tersedia.

Cadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pe rtama trilogi tentang keluarga penulis; terbit sebagai buku, 1987;

Amsterdam,

VIII- 1 953.

dilarang Jaksa Agung. Jilid II dan III dibakar Angkatan Darat, 13

Oktober 1 965.

Created Ebook by syauqy _arr@yahoo.co.id

Penghargaan

Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan, (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965.

1 988

Freedom to Write Award dari PEN American Center,

Mari Mengarang (1955) talc jelas nasibnya di tangan penerbit di

Amerika Serikat.

Jalan Kramat Raya,Jakarta

1 989

Anugerah dariThe Fund for Free Expression, New York,

Cerita dari Jakarta (1957).

Amerika Serikat.

Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963).

1 995

Wertheim Award, "for his meritorious services to the

Lentera (1965), kumpulan tulisan yang pemah diumumkan oleh

struggle for emancipation of the Indonesian people" , dari

The Wertheim Foundation, Leiden, Belanda. Jakarta.

Lentera. Talc jelas nasibnya di tangan penerbit di Jalan Pecenongan,

Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Semua karyanya dilarang oleh Kementerian PPKlPDK,

1 995

1 966.

Creative Arts, in recognition of his illuminating with

Bumi Manusia (1980), b agian pe rtama tetralogi Burn. Dilarang

brilliant stories the hystorical awakening, and modern

jaksa agung, 198 1 .

experience of the Indonesian people", dari Ramon

Anak &mua Bangsa (1981), b agian kedua tetralogi Bum. Dilarang

Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina.

jaksa agung, 1981.

1996

Partai Rakyat DemokratikAward, "honnat bagi Pejuang

Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981). dan Demokrat Sejati" dari Partai Rakyat Demokratik.

Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia.

1 996

UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of

lejak Langkah (1985), b agian ketiga tetralogi Bum. Dilarangjaksa

his outstanding contribution to the promotion of toler­

agung, 1985.

ance and non-violence", dari UNESCO, Paris, Prancis.

Hikayat Siti Mariah, (ed) Haji Mukti (1987). Dilarangjaksa agung,

1 999

Doctor of Humane Letters, "in recognition of his re­

1987.

markable imagination and distinguished literary contri­

Rumah Kaca, b agian ke empat tetralogi Bum, 1988. Dilarangjaksa

butions, his example to all who oppose tyranny, and his

agung , 1988.

highly principled struggle for intellectual freedom" , dari

Sang Pemula (1985). Dilarangjaksa agung, 1 985.

University of Michigan, Madison,Amerika Serikat.

Memoar Oei1joeTat, (ed.) OeiTjoeTat, 1995. Dilarangjaksa agung,

1 999

Chanceller's Distinguished Honor Award, "for his out­

1995.

standing literary archievements and for his contributions

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu

1, 1995. Dilarangjaksa agung, 1 995.

to etnic tolerance and global understanding", dari Uni­

Arus Balik, 1 995.

versity of California, Berkeley, Amerika Serikat.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II,

1 997.

1999

Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le

Arok Dedes, 1999.

Ministre de' la Culture et de la Communication

Mangir, 2000.

Republique Fran'raise, Paris, Prancis.

Larasatl (Ara), 2000.

2000

New York Foundation for the Arts Award, New York, Amerika Serikat.

2000

Fukuoka Cultural Grand Prize,Jepang.