Orang Melayu Tulen

Mozaik 40 Orang Melayu Tulen

SETELAH Midah mengungkapkan isi hatinya, sisa hari kembali berlangsung dengan tenteram, baik-baik saja, dan membosankan. Esoknya waktu mau berangkat kerja, aku malas sekali karena aku tahu Paman masih belum akan kembali. Sampai di warung, Midah, Hasanah, Rustam tampak seperti orang kurang darah. Kami mengharapkan Paman cepat pulang.

Kami merindukan omelan paginya yang meledak-ledak soal kebersihan, cara kami berpakaian, dan harga-harga yang melambung tinggi. Hal itu kami anggap breakfast yang penuh daya pikat.

Kami merindukan hinaan menjelang siangnya. Soal betapa kami adalah makhluk- makhluk gagal yang menyedihkan. Bagi kami semacam brunch---yakni makan-makan kecil karena lapar-lapar sedikit sekitar pukul sembilan sampai pukul sepuluh pagi.

Sore hari, kami rindu pada omelannya pada pemerintah dan kebanggaannya yang berlebih-lebihan atas status pensiunnya selaku operator telepon sampai maskapai timah putus nyawanya.

“Paling tidak tujuh ratus sambungan telepon saban hari,” katanya sambil mengangguk-angguk dan tersenyum sedikit.

“Adakalanya kepala produksi minta disambungkan ke Jakarta. Jakarta! Kalian dengarlah itu? Jakarta, Boi!” hardiknya; “Untuk bicara dengan menteri agama.”

Aku tak tahu apakah Paman hanya membual dalam hal ini karena sulit kulihat hubungan antara produksi timah dan menteri agama. Omelan sore ini sering ditutup dengan hidangan penjelasan panjang---dan telah ratusan kali---tentang kehebatan teknologi telepon analog made in Germany.

Menjelang malam kami rindu pada bermacam-macam cerita Paman tentang hikayat Nabi Muhammad, lalu kami merasa sangat sayang pada kejujuran dan kelembutannya kalau ia

sedang tidak marah. Semua itu adalah protokol hariannya yang lambat-laun berubah menjadi seni bekerja dengannya.

Kami telah bekerja pada Paman sekian lama---yang kami dapatkan adalah training yang militan, disiplin, dan kecintaan pada profesi. Kami telah datang padanya untuk mengadu---yang kami dapatkan adalah orang yang siap membela kebenaran dengan risiko apa pun. Kami telah mendengar pendapatnya tentang pemerintah---yang Kami telah bekerja pada Paman sekian lama---yang kami dapatkan adalah training yang militan, disiplin, dan kecintaan pada profesi. Kami telah datang padanya untuk mengadu---yang kami dapatkan adalah orang yang siap membela kebenaran dengan risiko apa pun. Kami telah mendengar pendapatnya tentang pemerintah---yang

Terbongkar sudah misteri yang telah lama kucari kuncinya, tentang mengapa Midah, Hasanah, dan Rustam betah bekerja dengan Paman. Mereka tak pernah mau bekerja di warung kopi mana pun walau diimingi apa pun. Daya pikat warung kopi Paman ternyata terletak pada diri Paman sendiri. Hati lelaki itu, jauh lebih besar dari pensiunnya.

Paman adalah orang Melayu lama jenis asli. Ia prototype orang Melayu tulen. Di dunia yang ingar bingar penuh huru-hara, Paman adalah sebuah kemurnian. Ia seperti Bang Zaitun pimpinan orkes Melayu Pasar Ikan Belok Kiri. Sudah susah mencari orang Melayu seperti mereka. Orang Melayu dewasa ini tak lagi berpantun. Mereka terobsesi pada gengsi, politik, kekuasaan, citra terpelajar yang palsu dan penuh basa-basi yang melelahkan. Basa-basi yang mereka tiru dari televisi.

. Hari ketiga itu berlalu dengan hampa. Kami bekerja malas-malasan. Suasana

tenteram dan damai ini sungguh tak menyenangkan. Ini palsu, ini bukan kami, ini bukan warung kami. Kami yang dulu ingin agar Paman tak segera kembali, kini malah berharap angin selatan teduh, sehingga Paman cepat pulang.

Midah mengambil sikap sedikit dramatis. Ia menitipkan pesan pada seorang nelayan yang sore itu tambat di dermaga membawa kopra, dan akan kembali ke Pulau Sekunyit, bahwa Paman harus cepat pulang sebab warung kopi kisruh, banyak pelanggan marah-marah.

Menjelang siang esoknya, brunch time, kami terkejut mendengar teriakan dari pekarangan warung.

“Midooot!” Kami menghambur ke beranda, dan berdirilah di sana lelaki fenomenal itu

memegangi selangkangnya. Kami takut, tapi senang. “Baru kuberi amanah sepele saja, keadaan sudah trabel! Kacau balau!” Pernah kukatakan padamu, Kawan, Midah adalah deputy. Jika Paman tak ada,

dialah PJS (Pejabat Sementara). “Apa susahnya mengurus soal remeh begini? Monyet saja diajari sedikit, bisa

menjadi pelayan warung kopi!” Paman yang selama 3 hari mendengar debur ombak makin keras suaranya.

Midot gemetar, namun tampak berusaha keras menyembunyikan senyumnya. Kami semburat kembali ke pekerjaan yang sempak kami tinggalkan tadi, dan tiba-tiba kami merasa sangat bergairah.