Tak Terlupakan

Mozaik 39 Tak Terlupakan

BERBAJU kemeja lengan panjang, pantolan abu-abu, dan terompah dari kulit berwarna cokelat, Paman tak tampak seperti seorang juragan warung kopi. Ia lebih seperti seorang eksekutif setengah baya dari sebuah BUMN, yang mengambil pensiun dini persis pada posisi puncak, karena telah menemukan jati diri dan ingin menghabiskan sisa usia---dan uang kaget yang banyak---untuk hal-hal yang lebih bersifat hakikat.

Kuamati, sesungguhnya pamanku adalah lelaki yang tampan. Ia mirip aktor kawakan Alfred Molina, paling tidak 20 atau 25 tahun yang lalu. Tubuhnya tinggi dan ramping. Sedikit melengkung, mungkin karena gangguan kesehatan yang akut belakangan ini. Meski sekarang tak banyak lagi alasan untuk tetap menyebutnya tampan, namun wajahnya yang panjang masih menawan dan merupakan satu wajah yang senang tertawa. Dalam keadaan kesehatan selangkang stabil dan saat-saat pemerintah---terutama menteri pendidikan---tidak menjengkelkan hatinya, wajah Paman selalu tampak seperti orang ingin membaca deklamasi. Dipadukan dengan bentuk dagunya, tak satu hal pun menyatakan ia seorang pemarah. Secara singkat, Paman bisa disebut berwajah sastrawi.

Namun, yang mentransformasikan Paman dari---siapa pun kepribadian yang tengah menguasainya---tidak hanya pakaiannya itu, melainkan seorang perempuan yang menyampirkan tangan di pundaknya, tak lain bibiku yang anggun. Ketika Bibi menyampirkan tangannya tadi, Paman melemparkan satu kesan pada kami bahwa: Bibi kalian ini, akan beres semua urusannya, jika bepergian bersamaku! Sebab aku adalah lelaki yang becus! Atau, Midah, Hasanah, Rustam, Ikal! Kalau kalian mau melihat lelaki yang sukses dalam asmara, di depan mata kalian inilah contohnya! Sementara kalian! Tak lebih dari kacung!

Aku dan Rustam, serta-merta merebut tas-tas besar. Aku, merebut tas dari pegangan Paman, dan Rustam dari pegangan Bibi. Sebab, dari pengalaman kami telah belajar, yaitu Paman sering muntah jika ingin bepergian. Ia sangat rewel soal apa yang harus dikerjakan selama ia tak ada. Namun, kali ini jiwanya sedang lapang. Ia tersenyum-senyum simpul dan kami berjalan terseok-seok di belakangnya dibebani tas- tas yang besar. Kami menuju dermaga. Paman dan Bibi akan naik perahu ke Pulau Sekunyit. Berlayar selama dua sampai tiga jam Aku dan Rustam, serta-merta merebut tas-tas besar. Aku, merebut tas dari pegangan Paman, dan Rustam dari pegangan Bibi. Sebab, dari pengalaman kami telah belajar, yaitu Paman sering muntah jika ingin bepergian. Ia sangat rewel soal apa yang harus dikerjakan selama ia tak ada. Namun, kali ini jiwanya sedang lapang. Ia tersenyum-senyum simpul dan kami berjalan terseok-seok di belakangnya dibebani tas- tas yang besar. Kami menuju dermaga. Paman dan Bibi akan naik perahu ke Pulau Sekunyit. Berlayar selama dua sampai tiga jam

Bayangkan, 3 hari tanpa Paman! Saat-saat semacam ini biasanya kami namakan liburan dari surga sebab selama ada Paman, jangankan salah, sesuatu yang benar dikerjakan sekalipun, bisa saja dimarahinya. Marah bukan lagi soal salah dan benar bagi Paman, tapi gaya hidupnya.

Maka, kami, kaum jongos, sekarang meraja di warung kopi. Tak ambil tempo, pulang dari dermaga Rustam langsung menguasai kursi malas Paman. Lalu ia meniru- nirukan gaya Paman kalau sedang menghinanya.

“Jika kutengok dari bentuk hidungmu, Tam, kecil harapan aku bakal dapat istri. Aku saja melihatnya, tertekan batinku. Pohon aren mati merana sendirian, itulah nasib di depanmu, Tam.”

Rustam adalah peniru yang hebat. Mungkin karena ia telah ditindas Paman selama bertahun-tahun sehingga kadang kala ia tampak seperti orang idiot. Maka, ia pandai benar menyaru menjadi Paman. Nada suara, gaya mencak-mencaknya, dan pilihan kata-katanya, semuanya persis Paman. Midah menimpali.

“Dot! Apa perlu kau kumasukkan ke SD lagi agar becus bekerja?” Tawa kami berderai-derai. Hasanah menyambung. “Macam mana suamimu takkan kabur semua. Not! Baru kutahu ada perempuan

yang baunya macam bau terasi sepertimu itu! Kubilang apa, kalau mandi, pakai sabun!” Aku terpingkal-pingkal melihat tingkah ketiga kolegaku itu. Saking keras aku

tertawa sekaligus saking keras aku menahannya, ngilu rasanya punggungku. Aku bukan hanya menertawakan kepiawaian mereka meniru Paman, namun aku telah melihat, jika mereka dimarahi Paman jangankan membantah, melihat wajah Paman saja mereka tak berani. Mereka ketakutan seperti kucing dikepung anjing. Ternyata ketika Paman tak ada, mereka sangat binal.

Ah, indahnya tanpa paman. Kami bekerja seharian dengan tenang dan senang. Sampai-sampai Midah berharap agar angin kencang di laut sehingga Paman makin lama di Pulau Sekunyit.

Esoknya kami kembali bekerja dengan tenang dan senang. Kepada para pelanggan, jika mereka tak melihat Paman dan bertanya, dengan hati gembira kami sampaikan bahwa Paman kondangan ke Pulau Sekunyit, takkan kembali sampai paling tidak dua hari lagi. Meski mereka tak bertanya, kami bercerita saja soal itu. Oh, nikmatnya bisa mengatakan semua itu.

Pagi itu pun berlalu dengan tenteram. Tak ada lengkingan orang ngomel-ngomel sambil memegangi selangkangnya itu. Tak ada yang menghina-dina kami. Tak ada lagu Badai Bulan Desember. Lagu kesayangan Paman yang saking kami bosan mendengarnya, sering kami berdoa agar kasetnya kusut, bahkan agar tape recorder itu meledak. Sekarang kami bebas mencari gelombang radio untuk mendengar lagu sesuka hati, atau mendengar celoteh Bang Mahmud di Radio Suara Pengejawantahan.

Siangnya usai salat zuhur, masa-masa sepi warung kopi. Rustam termangu- mangu di kursi malas Paman. Midah hilir mudik di pekarangan warung kopi, lalu duduk melamun di bawah pohon kersen. Tak jelas apa yang sedang merundungnya. Hasanah mengetuk-ngetuk gelas dengan ujung sendok, sehingga menimbulkan suara bising yang merisaukan dan karena itu ia dimarahi Midah. Dua perempuan itu bertengkar karena Hasanah tak mau menghentikan keisengannya.

Aku menyingkir ke dapur karena jiwaku tertekan mendengar mereka beradu mulut. Kutatap dengan sedih Yamuna yang sekarang disimpan di atas lemari. Kulap debu yang melekatinya dengan perasaan penuh kasih sayang, lalu aku kembali ke ruang tengah warung dan duduk. Midah juga kembali ke warung lalu duduk di pojok. Pandangannya jauh ke arah dermaga. Sunyi senyap. Rustam meletakkan kakinya di lantai untuk menghentikan goyangan kursi. Ia menatap Hasanah. Hasanah menatap Midah. Midah menatapku. Aku menatap blender. Blender menatap Rustam. Kami saling menatap untuk mengucapkan satu hal yang sama, tapi tak mampu terucapkan. Kami terlalu gengsi untuk mengakuinya. Kami terlalu benci untuk berterus terang. Benci, benci. Tapi, akhirnya Midah tak tahan.

“Aku rindu pada Paman …,” katanya dengan sedih.