Batinku Tertekan

Mozaik 19 Batinku Tertekan

AJUDAN pembawa bantal Ambeien tergopoh-gopoh ke rumahku. Dia bilang aku ditunggu Sersan Kepala di pasar. Aku bertanya-tanya, ada huru-hara apa sehingga ajudan tampak panik begitu. Ajudan yang memang berpembawaan panik, terlalu panik untuk menjawab. Ajudan memboncengkanku naik motor Banpol (Bantuan Polisi). Motor itu sudah busuk. Dinaiki seperti mau meletus. Bunyinya macam campuran bunyi mesin bubut, bunyi orang batuk kering, dan tawa kuntilanak. Tertekan batinku naik motor itu.

Sampai di pasar, aku terkejut melihat mobil-mobil bak yang biasa membawa sayur, parkir di pinggir jalan. Padahal, biasanya mereka telah semburat sejak subuh berjualan ikan dan sayur ke kampung-kampung.

Aku masuk ke dalam pasar. Kulihat banyak orang duduk di pelataran stanplat emper-emper toko. Mereka adalah para perempuan pedagang kaki lima, para pedagang kecil buah-buahan, penjaja kue baskom, penjual sirih dan gambir, pedagang bumbu dapur, beras, sayur, dan ikan. Giok Nio tampak di antara mereka bersama karyawannya, Selamot dan Chip. Selidik punya selidik, rupanya mereka mogok berjualan karena menuntut agar Maryamah tidak dihalangi bertanding catur pada peringatan hari kemerdekaan. Keadaan jadi makin kacau sebab pedagang lain mengancam ikut mogok. Jika itu terjadi, pasar kami bisa lumpuh. Sersan Kepala tak bisa berbuat apa-apa melihat pemogokan yang baru pertama kali terjadi di kampung kami itu.

. Akhirnya, seorang tokoh legendaris, Ketua Karmun sang kepala kampung, turun

tangan. Kepada para pedagang ia berjanji untuk mencari solusi. Maka, dikumpulkannya para pembuat onar di kantor desa. Para tokoh masyarakat diundang. Ada pula wakil rakyat. Paman datang paling awal dan dari caranya melangkah tampak bahwa ia datang untuk marah.

Belum lama rapat dimulai, Mitoha langsung menembak. “Lihatlah perbuatan kalian! Tak pernah perempuan di kampung ini berani macam-

macam sebelumnya. Kalian telah menghasut mereka!” tangannya menunjuk-nunjukku, Giok Nio, Selamot, Detektif M. Nur, dan Preman Cebol.

“Di mana-mana tak ada perempuan bertanding catur melawan laki-laki!” bentaknya berapi-api. Hadirin segera terbagi menjadi dua kelompok, yang setuju dengan tuduhan Mitoha yang tidak. Yang tak setuju dimotori seorang tokoh masyarakat “Di mana-mana tak ada perempuan bertanding catur melawan laki-laki!” bentaknya berapi-api. Hadirin segera terbagi menjadi dua kelompok, yang setuju dengan tuduhan Mitoha yang tidak. Yang tak setuju dimotori seorang tokoh masyarakat

“Mengapa perempuan mau ikut campur? Bisa-bisa rontok wibawa pertandingan catur 17 Agustus nanti.”

Selamot tersinggung. “Kami tidak pernah menghasut siapa pun. Itu kemauan mereka sendiri! Mengapa

perempuan tak boleh ikut bertanding? Mana ada undang-undangnya bisa begitu. Jangankan hanya catur, di Jakarta sekarang ada perempuan yang mau jadi presiden!”

“Presiden mau siapa, mau laki-laki, mau perempuan, mau banci, itu urusan orang Jakarta! Bukan u rusan kita!”

Maka, meletuplah adu mulut antar Selamot dan Mitoha. Pendukung masing- masing ikut-ikutan bertengkar. Ketua Karmun susah payah melerai. Di tengah hiruk pikuk yang memanas itu, seorang wakil rakyat bangkit. Sambil membetulkan posisi cincin bat u akiknya, ia berseru, “Ini perkara rumit. Kurasa harus kita tanyakan pada menteri olahraga, apakah perempuan boleh ikut bertanding main catur atau tidak. Jangan cemas, aku bisa berangkat ke Jakarta untuk menanyakannya. Kebetulan istrinya adalah teman seko lah mantan istriku.”

Tokoh masyarakat yang vokal itu tak bisa menguasai diri. “Maksudmu, biar kau bisa pelesiran ke Jakarta pakai uang rakyat? Begitukah

maksudmu? Mau istri menteri itu kawan sekolah istrimu, mau kawan istrimu main kasti, itu urusan rumah tanggamu. Jangan kau bawa- bawa kemari!”

Wakil rakyat tersinggung. “Paling tidak aku punya jalan keluar, daripada kau! Merepet saja sana-sini!” Adu mulut meletus secara terbuka. Si vokal naik pitam. “Paling tidak, aku berani mengatakan keburukan orang di depan hidungnya

sendiri! Daripada kalian, sibuk mengurusi golongan kalian sendiri! Kalau dekat pemilu, repot betul kalian berbaik hati. Tak ada pemilu, mana ingat kalian pada kami!”

“Yang suka lempar batu sembunyi tangan adalah kau!” Sang wakil rakyat rupanya telah digaji pemerintah untuk bersikap sinis pada

rakyatnya. Si vokal langsung mendampratnya. Ketua harusnya bersikap netral, tapi di juga rupanya benci pada wakil rakyat itu.

“Apa aku tak malu bertanya yang tidak-tidak pada menteri?” Sebaliknya, Paman tampak jengkel pada tokoh vokal dan Ketua Karmun sebab ia

mendukung Mitoha. Ia bangkit siap-siap angkat bicara. Dipeganginya selangkangnya seperti pemain PSSI mau menghadang tendangan bebas striker Vietnam. Dadanya mendukung Mitoha. Ia bangkit siap-siap angkat bicara. Dipeganginya selangkangnya seperti pemain PSSI mau menghadang tendangan bebas striker Vietnam. Dadanya

Modin yang telah melihat sendiri pemogokan kemarin tampak tak segalak macam biasanya. Paman duduk lagi.

“Alasanku menolak Maryamah adalah karena pertimbangan syariat. Tak perlu aku berpanjang-panjang dalih. Tak perlu kusitir ayat-ayatnya. Di dalam Islam, perempuan tak boleh berlama-lama bertatapan dengan lelaki yang bukan muhrimnya. Dalam pertandingan catur, hal itu akan terjadi, dan hal itu nyata melanggar hukum agama.

Paman tampak makin tak sabar. Ia bangkit lagi “Aku setuju dengan pendapat Mitoha tadi. Kalau perempuan ikut bertanding, bisa-

bisa jatuh wibawa kejuaraan catur 17 Agustus. Aku juga sepaham dengan pendapat Modin.”

Lalu, paman menoleh kepada carik yang ditugasi Ketua Karmun menjadi notulis rapat.

“Kau dengarkah bicaraku tadi, Saudara Carik? Catat semuanya!” Cari berlepotan mengetik komentar Paman. “Wahai majelis yang budiman, saksikan itu!” tukas Paman sambil menunjuk carik. “bahwa setia kata dari mulutku telah dicatat. Kalau timbul satu mudarat di

kemudian hari dari persoalan Maryamah ini, aku punya bukti, hitam di atas putih, bahwa pikiranku sudah jernih sejak awa. Saudara Carik, harap kau simpan catatan yang penting itu baik- baik. Nanti pasti ada gunanya.”

Pandangan Paman yang berbelok-belok disambut riuh para hadirin. Sebagian mencibirnya karena bukannya mengurusi Maryamah, ia sibuk meyakinkan dirinya dan siapa saja. Dasar paranoid. Akibat sikap Paman yang melantur, Selamot dan Mitoha kembali bertengkar seperti pertengkaran para tukang minyak tanah di pinggir jalan. Keadaan kian kisruh lantaran Giok Nio protes sana-sini pada ketua Karmun soal banyaknya pertandingan hari kemerdekaan yang tak bisa diikuti perempuan. Panjat pinang, misalnya. Wakil rakyat ambil bagian dalam silang sengketa. Tokoh masyarakat yang vokal tadi berbicara dengan sikap mau meninju wakil rakyat itu. Suasana menjadi sangat gaduh.

Ketua Karmun pening dan mulai melihat jalan buntu yang hanya bisa diselesaikan melalui pemungutan suara. Ia bertanya kepada Paman.

“Berarti kalau kita mengambil suara soal setuju atau tidak untuk pendaftaran Maryamah ini, kau pasti akan memilih tidak setuju. Begitukah kurang lebih maksudmu, Har?” Kamhar adalah nama Paman.

“Tidak juga, Ketua.”

Na! hanya dalam hitungan detik pamanku langsung berubah menjadi bukan pamanku lagi. Seseorang yang lain telah mengambil alih jiwanya. Hadirin main ribut dibuat sikap Paman yang membingungkan. Ketua Karmun pening sehingga menjadi muntab.

“Jadi, bagaimana sebenarnya maksudmu, Har? Jangan kau bertele-tele!” Pamanku malah lebih muntab. Ia berdiri lagi, Digenggamnya kuat-kuat

selangkangnya. Suaranya menggelar. “Menurut hematku, kalau Modin ingin menghindari hukum agama dilanggar,

pasang saja pembatas pada meja pertandingan! Maryamah bisa pula memakai burkak! Ia tak perlu saling pandang dengan siapa pun! Mertua A Nyan namanya Toha, lelaki atau perempuan, sama saja! Tak tahukah kalian, zaman sudah berubah. Perempuan juga punya hak seperti laki-laki! Mereka mau main catur, mau manjat pohon pinang, mau manjat tiang listrik, itu urusan mereka! Itu hak mereka yang harus kita hormati!”

Semua orang bungkam. Carik bersusah payah mengikuti kalimat Paman. Tangannya mengetik dengan cepat. Paman jengkel mendengar suara mesin tik yang keras. Carik bertanya.

“Bagaimana pantun Pak Cik tadi?” “Apa yang kau perbuat itu, Carik? Tak perlu kau ketik kalimatku. Buat apa? Tak

ada faedahnya!”