Cape Diem

Mozaik 16 Cape Diem

KULAPORKAN diagram pertandingan spektakuler antara Maryamah melawan Alvin dan Grand Master Nochka. Sinuhun catur yang humoris itu gembira. Di ujung pembicaraan ia memberi evaluasi tentang Maryamah dengan dua kata yang singkat saja: punya harapan.

Selanjutnya, Grand Master mulai mengajari Maryamah teknik-teknik sederhana yang ia sebut sebagai dasar pertahanan, serangan, pembelaan, dan pembebasan. Diagram-diagram darinya dilatihkan oleh Maryamah dan sparing partner-nya, Alvin and the Chipmunks. Namun, seiring dengan euforia pelajaran catur jarak jauh itu, aku makin cemas soal pendaftaran Maryamah.

Kampung kami adalah kampung lelaki. Tradisi kami amat patriarkat. Tak pernah sebelumnya ada perempuan main catur, apalagi bertanding melawan lelaki. Perempuan, dalam kaitannya dengan catur, hanya menghidangkan kopi saat suami main catur bersama kawan-kawannya, lalu tak bisa tidur karena mereka tertawa terbahak-bahak mengejek yang kalah. Akhirnya, dengan kepala pening di tengah malam, membereskan meja yang berantakan. Begitu saja. Perempuan tak berurusan dengan soal sekak stir. Tahu-tahu Maryamah muncul ingin menantang pria-pria itu?

Tak perlu jauh-jauh aku melihat penentang masyarakat akan rencana Maryamah, melihat sikap pamanku sendiri, aku berkecil hati.

“Kutengok di televisi, lelaki berbaju macam perempuan, perempuan bertingkah macam laki- laki. Rupanya tabiat macam itulah yang disenangi orang sekarang ini!”

Omelan itu lalu merembet-rembet, Midah kena. “Mencuci gelas saja kau tak becus! Bagaimana suruh hal lain yang lebih penting?

Beh obo deh odoh, itulah dirimu, bodoh! Menantu Muhlas namanya Sami.un, mencuci gelas hanya ilmu katun!”

Adalah hal yang tak mungkin Midah tak benar mencuci gelas. Namun, hebatnya Paman, did alam marah masih sempat-sempatnya ia berpantun. Ilmu katun, maksudnya ilmu yang otomatis dikuasai orang tanpa harus sekolah. Direndahkan begitu, Midah membela diri.

“Aku ….” “A, a, a! begitu selalu kalau diberi tahu. Tugas saya adalah memarahimu! Dan

tugasmu adalah dimarahi oleh saya! Mend engarkah kau itu, Dot?”

Midah selalu dipanggil paman, Midot. “Mendengar, Pamanda.” Sehubungan dengan pembagian tugas memarahi, dalam keadaan tertentu,

adakalanya Paman bertanya: siapa yang berhak memarahi? Kami harus menunjuk padanya. Pertanyaan berikutnya: siapa yang berhak dimarahi? Kami harus menunjukkan tangan kami sendiri tinggi-tinggi. Kemudian, Hasanah kena. Rustam tertunduk takut karena ia sudah hafal urutannya, setelah Hasanah kena semprot, pasti sebentar lagi gilirannya

“Not!” Bagi paman, Hasanah adalah Hasanot. “Mengapa rupamu seperti dilanda angin putting beliung begitu? Kita ini berada

dalam usaha keramahtamahan! Penampilan sangat penting! Apa itu istilahnya … ah, apa itu …,” paman berusaha mengingat-ingat.

“Hhmm, iya, ada istilahnya dalam bahasa Inggris, hmm … bisnis hospital!” Rustam mengangkat wajahnya, lalu menoleh padaku, lalu pada Paman. “Maksud Pamanda, bisnis rumah sakit, Puskemas?” Rustam cari penyakit.

Maksud paman tentu bisnis hospitality. “Apa katamu, Tam? Caramu bicara, saya tidak suka! Caramu bicara seakan-akan

saya tidak sekolah tinggi!” Padahal memang tidak. “Caramu bicara, seakan-akan saya bukan orang kaya!” Padahal memang tidak. “Kau mau mengajari buaya berenang, ya? Walaupun kau sekolah sampai tingkat

sarjana muda ….” Padahal SD pun Rustam tak pernah. “Saya tetap lebih pintar darimu! Pokoknya dalam bahasa Inggris mirip-mirip

macam itulah. Jangan kau sok tahu padaku, awas!” Rustam tak berkutik. Paman bertambah gusar. “Mau dibawa ke mana negara ini? Bawahan sudah berani sama atasan.

Perempuan berani melawan lelaki. Satu patah kita, dua patah mereka. Kita belum selesai bicara, merak berani potong. Tak ada rasa hormat! Persamaan hak? Tak ada itu! Laki-laki lebih berhak! Mendengarkah telinga kalian itu?

Lalu kata-kata sampah berhamburan dari mulutnya. Midah, Hasanah, dan Rustam tak belajar sama sekali dari pengalaman bahwa jangan sekali-kali memotong bicara Paman, apalagi kalau ia sedang marah. Baiknya diam saja.

Maka, hanya kau sendiri yang selamat dari amukan Paman pagi itu. Ketiga kolegaku babak belur menjadi bulan-bulanan Paman. Telinga mereka sampai merah. Aku selamat karena menerapkan satu kebijakan yang hebat. Kebijakan itu adalah semacam prinsip atau mungkin lebih tepatnya filosofi dari bahasa Latin yang penuh inspirasi. Demikian inspiratif sehingga banyak sekali dipakai para sastrawan. Kata-kata itu adalah carpe diem: diam itu emas!