Paling Tidak Aku Telah Melihatnya

Mozaik 34 Paling Tidak Aku Telah Melihatnya

AJAIBNYA kopi, ia rupanya tak hanya dapat berubah rasa berdasarkan tempat, seperti dialami Mustahaq Davison dengan istrinya dulu, namun dapat pula berubah rasa berdasarkan suasana hati. Sejak Maksum digulung oleh Maryamah dalam pertandingan yang berdarah-darah itu, dia selalu merasa kopinya pahit. Meski tak sedikit pun kukurangi gula dari takaran biasa untuknya. Dua sendok teh. Waktu ia bertanding dan menang lagi, mulutnya berkicau.

“Nah, ini baru pas, Boi!” Padahal, takaran gulanya tetap dua sendok teh. Partai demi partai berlangsung. Para pecatur bergelimpangan. Lawan keenam

Maryamah adalah seorang lelaki dari suku orang bersarung yang bernama Tarub. Berkata Detektif M. Nur,

“Hidupnya di perahu. Pekerjaannya membawa kopra dari Tanjong Kelumpang ke Bagan Siapi-api. Tak ada informasi lebih jauh. Ia hanya buang sauh sekali- sekali.”

Kami tak mendapatkan diagram permainan Tarub. Tapi kami tak cemas sebab orang bersarung tak suka catur dan tak ada yang pintar main catur. Bahkan , sebagian dari mereka menganggap catur adalah permainan iblis.

Seperti biasa, Selamot mendampingi Maryamah menuju arena. Wajahnya semringah. Ia tersenyum pada siapa saja dan sibuk meladeni wawancara Mahmud. Tiba-tiba, di tengah wawancara, wajahnya mendadak pias, tubuhnya gemetar. Ia bergegas meninggalkan warung sambil berpesan padaku agar Maryamah memberi kekalahan yang tidak kejam pada lawannya itu. Kami heran melihat tingkahnya.

Usai pertandingan kami mengunjungi Selamot. Perempuan yang lugu itu sedang duduk melamun. Ia bersandar pada tiang stanplat pasar ikan sambil memandangi aliran Sungai Linggang. Kami tanyakan apa yang telah terjadi. Ia enggan menjawab. Giok Nio membujuk-bujuknya. Akhirnya, Selamot berkata dengan lirih bahwa lawan Maryamah tadi, Tarub, adalah suami yang meninggalkannya di Bitun bertahun-tahun yang silam. Kejadian itu

kemudian menyebabkan ia lari ke kampung kami. Selamot menunduk dan tak bisa membedung air matanya. Itulah untuk kali pertama kulihat Selamot menangis. Tampak jelas ia masih sangat menyayangi Tarub meski telah diperlakukan dengan sangat buruk oleh lelaki itu.

“Janganlah risau, Kawan,” bujuk Maryamah. “Tadi Tarub kalah dengan terhormat.” Selamot berusaha tersenyum. Ia mengatakan bahwa ia selalu menerima keadaan

dirinya apa adanya, namun sekarang ia menyesali tak bisa membaca. Jika dilihat dari nomor peserta yang masih belasan, Tarub termasuk pendaftar awal. Maka, sebenarnya namanya telah berbulan-bulan tertera di papan tulis pendaftaran di warung kopi. Hal itu tak sedikit pun disadari Selamot karena ia tak pandai membaca. Ia bahkan pernah berdiri tak lebih dari dua langkah dekat papan nama itu ketika kami mendaftakan Maryamah dulu.

“Kalau aku tahu,” katanya sambil tersenyum getir. “Setidaknya kau akan berbaju lebih baik.” Giok Nio menarik napas panjang mendengarnya. “Tapi biarlah, paling tidak aku telah melihatnya.” Sore itu Selamot memutuskan pulang ke Bitun yang telah berpuluh tahun ia

tinggalkan. Ia sering mengatakan bahwa ia selalu berdoa agar dapat melihat suaminya, meski hanya sekali, sebelum ia mati. Doanya terkabul dan ia berdamai dengan masa lalu.

Selamot berjanji akan kembali untuk menyaksikan pertandingan Maryamah berikutnya.

“Aku ini manajermu, Kak, takkan kutinggalkan kau, apa pun yang terjadi!” Kami tak dapat menahan perasaan sedih melihat perempuan lugu setengah baya

itu beringsut-ingsut di atas sadel sepeda, terseok-seok pulang ke kampungnya. Giok Nio berulang kali mengusap air matanya.

Qui Genus Humanum Ingenio Superavit. Dia yang genius, tiada tara.