Guru Kesedihan

Mozaik 21 Guru Kesedihan

SEMULA kami menduga, Maryamah masih berkabung sehingga kami belum mau menghubunginya. Namun, ia sendiri yang datang ke kantor Detektif M. Nur. Malah rampak lebih tegar dari kami. Katanya ia telah menangisi kepergian ibunya sepanjang malam sampai azan subuh.

“Habis air mataku, lunas sudah kesedihan itu. Hidup harus berlanjut. Tantangan ada di muka. Masih banyak yang dapat disyukuri,” ujarnya ringan.

Aku selalu terpesona dengan cara Maryamah menyikapi nasibnya. Padahal dia telah ditimpa kesusahan bertubi-tubi sejak kecil. Maka bagiku, ia adalah guru kesedihan. Lalu, ia mengatakan bahwa ia siap menerima pelajaran catur dari Grand Master Ninochka Stronovsky.

“Beri aku pelajaran yang paling sulit sekalipun, Boi. Aku akan belajar.” Aku terharu sekaligus malu. Sering kali kuratapi apa yang telah terjadi dan

berlarut-larut menyesalinya. Kadang aku menyiksa diri sendiri dengan memikirkan berbagai kemungkinan yang seharusnya telah atau tidak kulakukan sehingga berakibat pada satu keadaan yang buruk. Padahal, semua kemungkinan itu telah hangus dibakar waktu. Tak mungkin terulang lagi.

Maryamah adalah pribadi istimewa yang tak punya tabiat mengasihani diri. Ia tak pernah mengiba-iba. Kupandangi guru kesedihan itu. Hari ini aku belajar satu hal penting darinya bahwa jika tidak bersedih atas sebuah kehilangan menimbulkan perasaan bersalah, hal itu merupakan kesalahan baru, sebab kesedihan harusnya menjadi bagian dari kebenaran.

Pertemuan dengan Maryamah hari ini meletupkan semangatku. Aku telah melihatnya belajar bahasa Inggris dengan susah payah, tanpa merasa ragu akan usia dan segala keterbatasan, dan dia berhasil. Sekarang, ia siap berjibaku menguasai catur, dengan tekad mengalahkan seorang kampiun seperti Matarom. Ia tak dapat disurutkan oleh bimbang, tak dapat dinusbikan oleh gamang. Darinya, aku mengambil filosofi bahwa belajar adalah sikap berani menantang segala ketidakmungkinan; bahwa ilmu yang tak dikuasai akan menjelma di

dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan. Belajar dengan keras hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang bukan penakut.

Dalam pada itu, tak dapat dipungkiri pendapat Paman dalam pertengkaran di kantor desa tempo hari sangat polos dan agak lucu. Namun, tak dapat dipungkiri pula, bahwa pendapat itu mampu menembak inti masalah. Modin tersenyum tanda mufakat. Ketua Karmun melanjutkan membaca novel Kho Ping Ho-nya yang sempat tertunda gara-gara rapat itu. Kami melonjak, Mitoha jengkel. Wakil rakyat walk out. Walk out-lah sesuka hatimu, Memangnya siapa yang peduli?

Selesai berunding sana-sini, masih di kantor Detektif M. Nur, melalui televisi hitam putih, kami menyaksikan perempuan itu berpidato untuk merebut kursi presiden. Selamot ternganga mulutnya. Ia begitu kagum pada calon presiden perempuan itu.

“Tidak adilnya porsi pembagian hasil kekayaan alam antara pusat dan daerah adalah masala yang harus dilihat sebagai titik rawan yang serius ….”

Begitu pidato perempuan itu. Kemudian sang calon presiden bicara tentang Aceh. Wajahnya sembap, suaranya terbata-bata.

“Oleh karenanya, lewat mimbar ini saya serukan, hentikan segala bentuk kekerasan. Beri mereka keadilan. Beri mereka kelayakan untuk hidup di alam Indonesia merdeka. Beri mereka rasa hormat dan kembalikan hak asasi mereka sebagai

manusia.” Seperti calon presiden itu, mata Selamot merah, semerah saga, lalu berkaca-

kaca. “Bersabarlah. Takkan saya biarkan setetes darah rakyat menyentuh tanah

rencong yang demikian basar jasanya dalam menjadikan Indonesia merdeka. Kepada kalian akan saya berikan cinta saya. Kemenangan rakyat adalah kebahagiaan kita semua! Merdeka! Merdeka! Merdeka!”

Air mata Selamot berlinang-linang.