Pertarungan Pertama

Mozaik 25 Pertarungan Pertama

HANYA empat kali orang Melayu menyandang baju terbaik. Habis disunat---itu pun kalau dibelikan bapaknya, Lebaran---itu pun kalau maskapai timah membagi jatah kain, saat menikah---pernikahan yang pertama, dan saat menonton pertandingan catur.

Pertandingan masih dua jam lagi, namun penonton telah berbondong-bondong ke warung kopi Paman. Penonton menjadi banyak karena ada penonton perempuan yang ingin menjadi suporter Maryamah. Sebelumnya perempuan tak pernah menyaksikan pertandingan catur.

Aku merinding melihat puluhan papan catur telah digelar. Motif kotak hitam dan putih bertaburan di atas meja dengan formasi melingkar berlapis-lapis, seakan berkelap-kelip, menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Penonton yang berjubel bertepuk tangan saat Maryamah dan Aziz menempati bangku masing-masing. Aku sendiri waswas melihat Paman. Apakah situasi kesehatan syahwatnya sore ini akan membuat penyakit kepribadian gandanya memihak Maryamah atau sebaliknya. Hal itu amat sulit diramalkan.

Maryamah hanya tampak segaris matanya karena ia memakai burkak. Rasanya aku tak percaya melihat sebuah papan kecil di atas meja bertulisan nama Maryamah berseberangan dengan papan nama Aziz Tarmizi. Pertama kali terjadi dalam sejarah kejuaraan catur hari kemerdekaan, perempuan ikut bertanding dan akan melawan laki- laki. Di tengah meja pertandingan telah dipasang selendang berwarna merah sehingga kedua pecatur tak dapat saling memandang.

Modin mengumumkan bahwa pertandingan catur dimulai. Aku berdebar-debar. Tahu-tahu Paman menyelinap dan duduk di bangku persis di belakang Aziz, berarti nyata-nyata ia mendukung Aziz. Ia berbisik pada Aziz---maksudnya berbisik, tapi nyata- nyata ia ingin setiap orang di sekitarnya agar mendengar.

“Ziz! Ziz! Jangan kecewakan Pak Cikmu ini. Kalau kau kalah, awas! Bikin malu orang laki saja! Perempuan itu harus diberi pelajaran! Gasak dia!”

“Baiklah, Pak Cik.” Sebaliknya, meskipun ekspresi wajah Maryamah tak kentara karena burkaknya,

aku tahu ia sedang gugup. Ia mendapat buah putih sehingga berhak melangkah lebih dulu. Ia menunduk sejenak, seperti berdoa, lalu mengangkat wajah. Diamatinya deretan buah catur di depannya, ia siap menghunus pedang. Diangkatnya sebutir pion. Napasku tertahan. Demi Tuhan Yang Maha Esa, kuharap Grand Master Ninochka

Stronovsky berada di sini. Prajurit balok satu itu melayang lalu mendarat diiringi gempita sorak sorai pendukungnya.

Sebaliknya, pendukung Aziz bersorak waktu Aziz melangkah pertama kali. Lalu langkah demi langkah saling berbalas. Namun, mengagetkan, tiba-tiba menteri Aziz telah berada dalam posisi tembak. Perempuan itu asyik saja bertahan. Sekali sekak, raja Maryamah hampir terpelencat. Pendukung Aziz berteriak: dua puluh! Dua Puluh! Maksudnya, seperti sesumbar Aziz di Radio Suara Pengejawantahan itu, ia kana membunuh raja Maryamah pada langkah ke-20. Benar saja, tepat pada langkah ke-20, sekak lagi. Raja Maryamah almarhum.

Tragis. Orang yang kami gadang-gadang kena lipat dalam waktu kurang dari 15 menit. Maryamah berkali-kali menarik napas panjang. Sungguh memilukan nasibnya. Mitoha dan Paman terkekeh-kekeh.

Papan kedua. Aziz lebih percaya diri. Ia membuka dengan pembukaan Inggris yang anggun tapi mengandung maut. Maryamah melangkahkan sebutir pion penuh ragu. Aziz langsung mengganas. Perempuan itu malah kembali melakukan kesalahan yang sama seperti tadi. Mekarlah hidung Aziz melihat lawannya tak belajar sedikit pun dari kebodohannya di papan catur pertama tadi. Tanpa alasan yang jelas, Maryamah malah melepaskan kuda dari sistem pertahanannya. Alvin and the Chipmunks tak sabar. Ia berdiri dan berusaha menarik perhatian Maryamah. Ia memberi isyarat dengan jarinya agar Maryamah menyusun formasi pembelaan Petrof seperti saran Grand Master. Tapi, semuanya telah terlambat.

Senyum Aziz ex-player tersimpul-simpul melihat kuda nan semlohai berangin- angin. Maryamah menyesali kesahan fatal tingkat amatir yang baru saja ia perbuat. Tanpa buang tempo, Aziz mengutus menterinya untuk meraup kuda itu. Namun, nyaris pada saat yang bersamaan, sekonyong-konyong, dengan tangkas Maryamah meraih luncus dan menyikut benteng Aziz. Nyawa benteng itu menjadi gratis lantaran terlepas dari mekanisme pengawalan menteri yang terbuai rayuan air mata buaya kuda binal yang diumpankan Maryamah tadi.

Kuda itu tak lain secawan racun! Benar pendapat Detektif M. Nur, lelaki hidung belang itu sama sekali tak tahan godaan! Aziz terperanjat. Maryamah dengan sigap menyusun pembelaan Petrof. Belum sempat aziz berpikir panjang tiba-tiba ia kena sekak. Lutut rajanya gemetar. Disekak sekali lagi, raja itu tertungging. Pendukung Maryamah melonjak-lonjak. Modin susah payah menenangkan mereka. Di tengah hiruk pikuk itu Paman bangkit, lalu tanpa malu-malu mengambil tempat di belakang Maryamah.

Papan ketiga, penentuan. “Mah! Mah!” panggil Paman.

“Lelaki tak berguna itu memang harus diberi pelajaran! Jangan kecewakan Pak Cikmu ini! Gasak dia!”

“Baiklah Pak Cik.” Pertandingan baru berjalan beberapa langkah, namun Aziz langsung bingung

melihat perwira-perwira Maryamah mengamuk seperti angin puting beliung. Ia mati kutu. Berkali-kali dia mengangkat wajahnya, berusaha melihat muka lawan di seberangnya, namun syariat tak memungkinkan itu. Selendang merah menyembunyikan kemampuan ajaib seorang perempuan miskin yang tersia-sia, yang telah dipandang sebelah mata oleh siapa saja. Sore ini ia menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Maryamah mengangkat kudanya. Raja Aziz menghembuskan napas yang terakhir.

Penonton bertepuk tangan gegap gempita dan berusaha mendekati Maryamah untuk menyalaminya, namun pecatur pendatang baru itu dilindungi manajernya: Selamot. Mahmud berhasil menyelinap dan berusaha mewawancarai Maryamah. Selamot mengadangnya.

“Mud, perlu kau tahu ya, aku ini manajer Maryamah. Karena itu, mulai sekarang semua wawancara dengannya haru memberi tahuku.”

“Baiklah, Kak.” “Apakah program ini didengar semua orang, Mud?” “Ya, Kak, ini siaran langsung, kita sedang mengudara sekarang.” “Na, dengarlah wahai majelis pendengar yang budiman. Aku, Selamot binti

Markam, orang Bitun, adalah manajer Maryamah. Aku angkat bicara atas nama Maryamah.”

Mahmud mengangguk. “Apa pendapat Kakak soal pertandingan tadi? Teknik apa gerangan yang

ditera pkan Maryamah? Hebat nian teknik itu. Apakah itu teknik catur orang Barat?” Selamot terpana mendengar pertanyaan tingkat tinggi itu. Ia berpikir keras, tapi