Faktor-faktor yang Mempengaruhi Responsivitas Gender dalam Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan bagi Pencari Kerja

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Responsivitas Gender dalam Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan bagi Pencari Kerja

Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Ketrampilan bagi Pencari Kerja merupakan salah satu kegiatan dari Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja. Program ini dipilih untuk di analisis karena program ini merupakan kegiatan yang mendapat “Prioritas A” pada Renja Dinas Sosial, Tenaga kerja dan Transmigrasi Tahun. 2011. Kegiatan yang mendapatkan prioritas A merupakan kegiatan yang di utamakan untuk dilaksanakan pada suaru rencana kerja SKPD. Kegiatan ini dipilih sebagai prioritas berdasarkan pertimbangan bahwa kurangnya kesiapan dan ketrampilan dari pencari kerja dan warga masyarakat untuk memasuki dunia kerja sesuai dengan jabatan yang ada diperusahaan merupakan kendala bagi calon tenaga kerja sehingga pendidikan dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan jabatan ini sangat dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja. Selain itu perlu dipahami bahwa ada perbedaan antara pencari kerja laki-laki dengan pencari kerja perempuan, sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin dan perbedaan peran gendernya. Oleh karena itu, responsivitas gender dari kegiatan pendidikan dan pelatihan ketrampilan bagi pencari kerja sangat penting untuk dipertimbangkan. Guna mengetahui responsivitas gender pada kegiatan pendidikan dan pelatihan ketrampilan bagi pencari kerja pada bagian Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Ketrampilan bagi Pencari Kerja merupakan salah satu kegiatan dari Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja. Program ini dipilih untuk di analisis karena program ini merupakan kegiatan yang mendapat “Prioritas A” pada Renja Dinas Sosial, Tenaga kerja dan Transmigrasi Tahun. 2011. Kegiatan yang mendapatkan prioritas A merupakan kegiatan yang di utamakan untuk dilaksanakan pada suaru rencana kerja SKPD. Kegiatan ini dipilih sebagai prioritas berdasarkan pertimbangan bahwa kurangnya kesiapan dan ketrampilan dari pencari kerja dan warga masyarakat untuk memasuki dunia kerja sesuai dengan jabatan yang ada diperusahaan merupakan kendala bagi calon tenaga kerja sehingga pendidikan dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan jabatan ini sangat dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja. Selain itu perlu dipahami bahwa ada perbedaan antara pencari kerja laki-laki dengan pencari kerja perempuan, sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin dan perbedaan peran gendernya. Oleh karena itu, responsivitas gender dari kegiatan pendidikan dan pelatihan ketrampilan bagi pencari kerja sangat penting untuk dipertimbangkan. Guna mengetahui responsivitas gender pada kegiatan pendidikan dan pelatihan ketrampilan bagi pencari kerja pada bagian

Tabel – 4.15 Gender Analysis Pathway Tahap 1

Kolom 5 Kolom 1

Isu gender

Kebijakan/ Program/

Sebab Kesenjangan Kegiatan

Data Pembuka Wawasan

Faktor Kesenjangan

Sebab Kesenjangan

1. Adanya stereotype Peningkatan Kualitas Jumlah pencari Tahun 2011

Program:

Data Umum :

1. Jumlah pencari

1. Kurangnya

pada jenis dan produktivitas

kerja laki-laki lebih

kepekaan gender

Tingkat

tinggi dari pada

petugas yang

pelatihan, dimana

Lk Pr

Tenaga Kerja

Pendidikan

perempuan dengan

menangani kegiatan

perempuan lebih

Kegiatan :

tertarik pada jenis Pendidikan dan

SD

12 3 15 latar belakang

pendidikan dan

pelatihan yang Pelatihan

SLTP

29 49 78 pendidikan pada

pelatihan bagi

jenjang SD dan

pencari kerja

bersifat domestik

SLTA

Ketrampilan bagi

SLTA dominan

dan laki-laki lebih

D1 18 43 61

Pencari Kerja

laki-laki dan

2. Belum adanya

tertarik pada

D2 6 14 20

Tujuan :

jenjang SLTP, D1,

regulasi atau

pelatihan yang

D3 106 125 231

Meningkatkan

D2, D3, S1dan S2

komitmen untuk

bersifat maskulin

S1

pelatihan kualitas

SDM pencari kerja perempuan.

responsivitas gender 2. Permintaan user

dan meningkatkan Total

dalam pelaksanaan

untuk tenaga kerja

jenis kelamin dan sertifikasi LPKS Garmen : 20 orang

pelayanan legalitas Jumlah peserta pelatihan (2011):

pelatihan.

tertentu serta meningkatkan

Komputer : 20 orang

mempengaruhi

pembinaan. Pramuniaga : 20 orang

jumlah serapan

Terapi : 20 orang

pencari kerja.

(tidak tersedia data terpilah)

Data APKM

1. Akses

Persentase Penempatan Pencari Kerja laki-laki dan perempuan tahun 2011 *)

AKL 45,8 40,3 43,0 AKAD 96,4 100 99,4 AKAN 2,5 23,5 18,9

Total 45,4 47,3 46,5

2. Partisipasi

Tingkat pastisipasi pada pelatihan menjahit representasi laki-laki lebih kecil dari pada perempuan sedangkan pelatihan komputer representasi laki- laki lebih besar dari pada perempuan (Sumber : wawancara)

2. Proporsi pencari kerja yang ditempatkan pada AKL dominan laki- laki dibandingkan perempuan (45,8 %:40,3%). Pada AKAD tidak ada perbedaan yang signifikan pada persentase penempatan pencari kerja laki-laki dan perempuan. Pada AKAN persentase pencari kerja yang ditempatkan dominan perempuan dari pada laki-laki (23,5% : 2,5%)

3. Jabatan yang ditempati oleh laki- laki dan perempuan ditentukan oleh user (perusahaan)

Catatan : *) data selengkapnya dapat dilihat pada tabel-4.16

3. Tingkat partisipasi

Jabatan sebagai

pada pelatihan ada

pengawas lebih banyak

yang dominan laki-

diduduki oleh laki- laki

laki dan ada yang

dari pada perempuan.

dominan perempuan

Jabatan sebagai

tergantung jenis

operator lebih banyak

pelatihannya

diduduki oleh perempuan.

4. Posisi – posisi

(sumber :wawancara)

strategis lebih banyak diisi oleh laki-laki dari pada perempuan

Tabel – 4.15 Kolom 1 merupakan identifikasi pada tujuan kegiatan. Tujuan Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Ketrampilan bagi Pencari Kerja adalah “Meningkatkan pelatihan kualitas SDM pencari kerja dan meningkatkan pelayanan legalitas dan sertifikasi LPKS serta meningkatkan pembinaan ”. Pada tujuan kegiatan tersebut terlihat bahwa rumusan kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Ketrampilan bagi Pencari Kerja secara eksplisit maupun implisit masih netral gender. Hal ini diidentifikasi dari tidak adanya penyebutan kalimat misalnya “pencari kerja laki-laki maupun pencari kerja perempuan” atau “pelatihan kualitas SDM pencari kerja yang responsif gender”. Rumusan yang netral gender dapat direspon secara netral gender, bias gender maupun responsif gender. Kegiatan pendidikan dan pelatihan ketrampilan bagi pencari kerja dikatakan netral apabila tidak memperhitungkan representasi antara laki-laki dan perempuan, bias gender apabila kegiatan tersebut pada akhirnya hanya memihak pada salah satu jenis kelamin dan responsif gender kegiatan tersebut memberikan kemanfaatan yang sama baik bagi pencari kerja laki-laki maupun perempuan. Berikut adalah pernyataan dari Informan C yang bertanggung jawab dalam perumus kebijakan teknis dalam bidang penempatan kerja

“Untuk pelatihan-pelatihan yang kami adakan, membuka peluang buat laki-laki dan perempuan, kami nggak membuat batasan untuk jumlah laki-laki yang ikut atau berapa perempuan yang ikut. Semua kami perlakukan sama, memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Kalau yang ikut banyak perempuannya atau banyak laki-lakinya ya kami kurang tau kok bisa begitu.” “Untuk pelatihan-pelatihan yang kami adakan, membuka peluang buat laki-laki dan perempuan, kami nggak membuat batasan untuk jumlah laki-laki yang ikut atau berapa perempuan yang ikut. Semua kami perlakukan sama, memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Kalau yang ikut banyak perempuannya atau banyak laki-lakinya ya kami kurang tau kok bisa begitu.”

“Sebenarnya ini kan laki-laki dan perempuan punya tingkat kompetensi lain-lain, jadi kalau perspektif gender kalau kita memang belum khusus, ooo.. ini untuk perempuan.. oo ini untuk laki-laki, tapi ini kan tergantung dari serapan dunia kerja.”

Pernyataan diatas menegaskan bahwa pengelola program tidak terlalu mempedulikan apakah peserta pelatihan itu laki-laki atau perempuan tetapi lebih melihat pada pasar tenaga kerja. Dengan demikian, belum ada perhatian akan pentingnya kerterwakilan antara pencari kerja laki-laki dengan perempuan dalam penyelenggaraan pelatihan dan masih beranggapan bahwa dengan memberi kesempatan yang sama dan berorientasi pada pasar kerja sudah

masalah-masalah ketenagakerjaan.

Langkah 2 dan 3 : Data Pembuka Wawasan dan Faktor Kesenjangan

Pada Kolom 2 tabel – 4.15 tersaji data pembuka wawasan. Data pembuka wawasan merupakan data pilah gender yang mencakup aspek akses, partisipasi, kontrol dan manfaat terkait pencari kerja. Berdasarkan data pembuka wawasan ditemui bahwa tingkat pendidikan pencari kerja laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dengan latar belakang pendidikan pada

S1dan S2 dominan perempuan. Selain data pencari kerja, pada table – 4.16 juga menunjukkan bahwa lowongan yang terisi ada perbedaan yang signifikan antara AKL, AKAD dan AKAN.

Tabel – 4.16

Data Lowongan dan Penempatan Antar Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Kota Surakarta Tahun 2011

Antar Kerja

Sumber: Diolah dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta

Catatan : AKL adalah penempatan tenaga kerja antar kota/kabupaten dalam satu provinsi. AKAD adalah penempatan tenaga kerja antar provinsi dalam satu negara AKAN adalah penempatan tenaga kerja yang ditempatkan di luar negeri .

Data pada tabel – 4.16 menunjukkan jumlah lowongan dan penempatan pencari kerja berdasarkan AKL, AKAD dan AKAN. Berdasarkan data tersebut, ada perbedaan kondisi antara pencari kerja laki-laki dengan perempuan. Pada AKL, pengisian lowongan kerja oleh pencari kerja perempuan lebih rendah laki-laki ( 40,3% : 45,8%). Sedangkan pada AKAD, tidak ada perbedaan yang signifikan antara perempuan dibandingkan laki-laki (100% : 96,4%). Namun pada AKAN, persentase perempuan yang berhasil ditempatkan lebih tinggi

AKL, AKAD dan AKAN juga ditemui persamaan bahwa lowongan kerja belum terisi penuh, baik pada lowongan kerja laki-laki maupun perempuan. Kondisi ini menuntut adanya kegiatan pendidikan dan pelatihan, untuk mengatasi adanya gap antara kebutuhan pasar kerja dengan karakteristik pencari kerja. Masalahnya adalah penyelenggaraan pelatihan selama ini ternyata belum didesign secara responsif gender. Hal ini ditandai dengan adanya kepesertaan pendidikan dan pelatihan ketrampilan yang berbeda dilihat dari jenis pelatihannya. Pada pelatihan menjahit representasi laki-laki lebih kecil dari pada perempuan sedangkan pelatihan komputer representasi laki-laki lebih besar dari pada perempuan. Berikut hasil pernyataan Informan E sebagai pelaksana kegiatan pelatihan :

“kalau jumlah laki-laki dan perempuan yang ikut pelatihan itu beda- beda mbak ya, tergantung itu pelatihan apa dulu. Kalau garmen atau njahit itu banyak yang perempuan laki-lakinya cuma satu. Tapi kalau komputer kayak yang kemarin itu malah banyak laki-lakinya.”

Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Informan B :

“ kalo pelatihan masak yaa lebih banyak perempuan dan kalo las hanya diikuti laki-laki saja. Kegiatan yang kami adakan tergantung dari besarnya serapan dalam pasar kerja. Kayak satpam itu, laki-laki semua pesertanya, tapi kita nggak menetapkan harus ini diikuti oleh laki-laki atau perempuan. Semuanya boleh. Seperti kemarin ya ada pelatihan kain perca kemarin, dalam prakteknya hasil kerja laki-laki yang lebih bagus, yang perempuan malah keperempuan-perempuanan.”

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan pelatihan dibuka untuk pencari kerja perempuan maupun laki-laki. Namun, pencari kerja perempuan lebih memilih jenis pelatihan yang bersifat domestik dan pencari

Padahal mereka punya kompetensi yang sama dari setiap jenis pelatihan tanpa memandang apakah pelatihan lebih bersifat ke arah domestik atau maskulin. Pernyataan tersebut juga menyebutkan laki-laki yang mengikuti pelatihan menjahit justru hasilnya lebih baik dibanding peserta pelatihan perempuan. Dengan demikian pendidikan dan pelatihan ketrampilan tidak perlu membeda- bedakan secara eksplisit berdasarkan jenis kelamin bahwa jenis pelatihan tertentu hanya dipandang cocok untuk perempuan saja atau laki-laki saja.

Pada data pembuka wawasan juga disajikan data kualitatif tentang jumlah laki-laki dan perempuan yang memegang posisi penting. Data ini bermanfaat untuk menggambarkan sejauh mana kontrol perempuan dan laki- laki dalam ketenagakerjaan. Berkaitan dengan hal tersebut ditemukan pernyataan yang mengatakan bahwa sebenarnya kontrol perempuan dan laki- laki sangat ditentukan oleh user. Berikut pernyataan dari Informan C :

“ mengenai jabatan yang yang diduduki laki-laki dan perempuan itu ditentukan oleh perusahaan mbak, mereka kan yang memberi lowongan. Jadi mereka punya syarat sendiri. Kalo yang pengawas umum di pabrik tekstil itu kebanyak laki-laki mbak, dia itu tugasnya mengawasi secara keseluruhan. Tapi kalau yang perempuannya di bagian warping, itu bagian nggulung benang gitu kerjaannya dan yang banyak perempuannya itu bagian operator itu tugasnya njalanke mesin. Ya malah perempuannya yang bagian operator itu kerjaannya lebih berat dari pada pengawasnya”

Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Informan F selaku pelaksana dibidang pengawasan : Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Informan F selaku pelaksana dibidang pengawasan :

perempuannya. Kan kalau laki-laki biasanya di bagian ngurus mekaniknya. ”

Dari pernyataan diatas disimpulkan bahwa dari segi kuantitas perbandingan antara jumlah laki-laki dan perempuan di perusahaan, lebih banyak perempuan dari pada laki-laki. Akan tetapi laki-laki menduduki jabatan yang lebih tinggi dibanding perempuan. Sehingga dapat diidentifikasi bahwa terdapat kesenjangan dalam menempati posisi strategis di perusahaan antara laki-laki dan perempuan dimana posisi-posisi tersebut telah ditetapkan oleh perusahaan.

Berdasarkan data pembuka wawasan yang ada maka dapat disimpulkan adanya beberapa faktor kesenjangan dalam bidang ketenagakerjaan, yaitu :

a. Jumlah pencari kerja laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dengan latar belakang pendidikan pada jenjang SD dan SLTA dominan laki- laki dan jenjang SLTP, D1, D2, D3, S1dan S2 dominan perempuan Presentase terisinya lowongan pekerjaan dibanding penempatan, presentase perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.

b. Proporsi pencari kerja yang ditempatkan pada AKL dominan laki-laki dibandingkan perempuan (45,8% : 40,3%), pada AKAD tidak ada perbedaan yang signifikan dan pada AKAN dari persentase lowongan kerja yang terisi dominan perempuan dari pada laki-laki (23,5% : 2,5%)

c. Tingkat partisipasi pada pelatihan ada yang dominan laki-laki dan ada

yang dominan perempuan tergantung dari jenis pelatihannya.

dari pada perempuan.

Langkah 4 dan 5 : Faktor Penyebab Kesenjangan

Faktor kesenjangan gender dalam penelitain ini dibagi kedalam dua kelompok yaitu sebab kesenjangan internal dan sebab kesenjangan eksternal.

a. Sebab Kesenjangan Internal Sebab kesenjangan internal merupakan sebab kesenjangan gender yang berasal dari lembaga yang mempunyai tugas dan fungi dalam ketenagakerjaan yaitu Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

1. Kapasitas sumber daya manusia Kurangnya pemahaman perspektif gender dari pelaksana kegiatan pendidikan dan pelatihan ketrampilan menjadi sebab yang paling berkontribusi terhadap kesenjangan gender. Kurangnya pemahaman gender diidentifikasi dari pernyataan Informan C berikut :

“Misal yang ke Batam yang dicari kebanyakan perempuan kalau laki- laki hanya 1 atau 2 orang saja itupun mereka ditempatkan di bengkel atau sebagai teknisi. Jadi yang di Batam ini gender betul-betul diperhatikan karena kebanyakan perempuan, tapi di lain pihak rata pelatihan, teknisi komputer biasanya kan laki-laki sebenarnya ini tergantung tujuan pelatihan itu sendiri”

Kurangnya pemahaman tentang gender juga diperkuat dengan pernyataan dari Informan D :

”Bicara tentang gender, sebelum indonesia marak gender. Undang ketenagakerjaan itu sudah nata tentang upah yang tidak sama. Tidak

Memang kalau tenaga kerja wanita yang pekerja malam memang diperlakukan khusus ketimbang yang kerja siang. Bukan karena gender

tapi karena kodratnya, coba nek mlebu bengi ora di kei puding, ventilasi yang ini, atau makanan. Dia akan merusak alat reproduksinya. Jadi itu bukan gender bukan, tapi itu untuk melindungi kodratnya sebagai wanita bukan gender. Jadi sebelum indonesia marak gender, undang- undang ketenagakerjaan itu sudah tidak pilih gender-genderan. Jadi misal persamaan upah antara laki-laki dan perempuan, terus perempuan hamil tidak boleh dikeluarkan. Jadi ini bukan masalah gendernya mbak, tapi masalah kodrat. Wanita kan punya alat reproduksi yang harus lebih dilindungi. Tapi beban kerja podho lho mbak, kalau berat ya sama-sama berat.”

Hal mengenai kurangnya pemahaman gender di lingkungan Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga di akui oleh Informan A, berikut adalah penyataanya :

“Kalau pengamatan saya ya sedang-sedang saja pemahamannya tentang gender, karena tidak menjadi isu yang demikian krusial atau dominan untuk mereka karena perjalanan sudah seperti itu. Ya antara orang- orang kantor ya sama saja, sesuai dengan kompetensi. Disini sing lanang sing ra isa kerja ya banyak, perempuan yang isa kerja juga banyak.”

Kurangnya kapasitas sumber daya manusia tentang pentingnya responsivitas gender juga ditunjukkan dengan tidak tersedianya data terpilah dan menggunakan data terpilah untuk digunakan dalam analisis gender, berikut adalah pernyataan dari informan B terkait dengan penggunaan analisis gender

“Kalau disini memang belum sampai kesana, kami analisisnya belum menggunakan itu ya. Tapi kami sudah menggunakan data terpilah. Semua data yang ada sudah kami pilah berdasarkan laki-laki perempuan. Itu kira-kira sudah sejak 2 tahun lalu. Tapi analisa kita kan belum kesana.”

Pernyataan tersebut senada dengan pernyataan Informan D yang berperan sebagai pelaksana kegiatan yang menyatakan sebagai berikut :

“Nggak.. data nggak pernah saya pilah. Ya maksudnya, misalnya jumlah peserta cuma laki-laki sekian perempuan sekian. Tapi kita juga selama ini harus laki-laki dan perempuan. Itu kita anggap padha, misalkan kalau pendaftar perempuan atau laki-laki sedikit ya kita tidak tahu.”

Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa perspektif gender masih dipahami sebagai perempuan saja, mereka belum ada pemahaman bahwa gender adalah sesuatu yang dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Kurangnya pemahaman mengenai pentingnya responsivitas gender pada kegiatan pendidikan dan pelatihan mengakibatkan kegiatan dilaksanakan secara netral gender. Hal tersebut juga dapat dilihat dari tidak digunakan data terpilah untuk melakukan analisis gender dalam bidang ketenagakerjaan. Apabila mengacu pada Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 pada setiap Kabupaten/Kota mestinya memiliki Pokja PUG dengan salah satu fungisnya mengadvokasi SKPD agar responsif gender. Belum dipahaminya gender oleh SKPD mengindikasikan bahwa Pokja PUG di Kota Surakarta belum berfungsi secara optimal.

Regulasi atau komitmen menjadi sangat penting untuk menjadi dasar pelaksanaan kegiatan. Belum adanya komitmen untuk mempertimbangkan responsivitas gender dalam kegiatan, diidentifikasi dari pernyataan Informan A berikut :

“Kalau tentu saja untuk pengejewantahan aturan itu akan ada subtantasi yang berkaitan dengan masalah gender, karena aturan dari atas memang ada permintaan. Katakanlah untuk bagian norma kerja kan ada perlindungan-perlindungan untuk tenaga kerja wanita.Salah satunya itu, secara makro memang undang – undang tidak menyebut secara langsung masalah gender, dalam operasional ada yang kita tidak bisa lepas dari aturan tingkat atasnya. Kalau aturan kan memang melihat lebih makro, ya gender ya pelindungan anak dan usia itu sudah ada perspektif gendernya.”

Pernyataan dari Informan A senada dengan pernyataan yang yang diungkapkan oleh Informan B yaitu sebagai berikut :

“Kalau saya secara pribadi ya, nggak setuju karena harus ini harus itu. Ya memang perempuan memang harus dipacu lagi tetapi perempuan harus punya kompetensi. Kalau perempuan punya kompetensi sama kadang masih kalah dengan laki-laki misal dalam jabatan kompetensinya sama mesti sing dipilih sing wong lanang sing dadi kepala dinas . Itu memang struktur masyarakat seperti, tapi kita juga dalam bidang tertentu kita menggeser laki-laki. Salah satunya bidang sekretaris, itu kebanyakan perempuan. Ditempat yang troublepun perempuan yang lebih dipilih.”

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Informan G yang juga bertanggung jawab dalam perumusan program kegiatan :

“Kalau di dalam program-program yang orientasinya gender, yang langsung menukik kesana ya nggak ada ya. Karena orientasi program kita orientasi program pemberdayaan masyarakat pada umumnya.

pelatihan kita nggak melihat itu pesertanya laki-laki atau perempuan. Jadi ya secara keselurahan karena siapa yang mau dan mengajukan atau memanfaatkan program ini kan tidak kita pilah-pilahken”

Pernyataan diatas, menunjukkan bahwa regulasi yang bersifat netral, direspon secara netral baik oleh perumus kebijakan maupun perumus program. Belum ada perhatian untuk melaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan ketrampilan bagi pencari kerja dengan mempertimbangkan responsivitas gender. Sehingga dapat disimpulkan belum ada komitmen dari perumus kebijakan/program mengenai pentingnya responsivitas gender dalam bidang ketenagakerjaan. Meskipun disadari bahwa ada perbedaan kompetensi antara pencari kerja laki-laki dan perempuan, perspektif gender belum dianggap perlu untuk diprioritaskan. Hal tersebut disebabkan karena dengan memberi kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dianggap sudah menerapkan prinsip keadilan.

b. Sebab Kesenjangan Eksternal Sebab Kesenjangan ekternal adalah sebab-sebab kesenjangan gender yang berasal dari luar Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, antara lain :

1. Adanya stereotype pada setiap jenis pelatihan.

Stereotype adalah pelabelan pada jenis kelamin tertentu, misalnya perempuan lebih pantas mengikuti pelatihan yang bersifat domestik dan laki-laki lebih pantas mengikuti pelatihan yang bersifat Stereotype adalah pelabelan pada jenis kelamin tertentu, misalnya perempuan lebih pantas mengikuti pelatihan yang bersifat domestik dan laki-laki lebih pantas mengikuti pelatihan yang bersifat

“Tergantung peminat juga, kalau dilihat dari kebutuhan pasar kerja yang perlu tenaga menjahit saja berapa ribu. Ning aku buka pelatihan

20 uwong kui telung sasi sing daftar mung wong wedok 3. Hlo piee?? Padahal kalau sudah dikursus ki tinggal miliha. Kalau tenaga komputer sing ndaftar malah wong lanang rintik-rintik , kalau jahit sedikit sekali. Coba Danliris itu, itu butuh tenaga buat jahit berapa ribu, tapi kalau tenaga komputer kan bisa diitung.”

Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Informan C : “ Ya… kalau yang masak-masak, salon terus juga pramuniaga itu yang

minat banyak perempuan. Malah kadang perempuan semua. Tapi kalau yang bangsane nge-las, terus pelatihan satpam sama komputer itu kebanyakan pencari kerja yang laki yang milih.”

Berikut adalah pernyataan yang diungkapkan informan H selaku pencari kerja di Dinas Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Kota Surakarta : “ Ini saya mau nyari pelatihan yang kursus salon mbak, biar punya

ketrampilan. Saya suka kalo yang nata-nata rambut gitu. Kalau nggak ada saya ya mau nyari pelatihan buat jadi pramuniaga yang garmen saja. Itu juga ada komputer tapi saya nggak bisa kalau yang mesin- mesin gitu mbak. Susah, nggak mudeng”

“Kalau milih pelatihannya saya suka yang ke mesin-mesin, yang pelatihan service komputer itu atau yang pelatihan ngelas juga nggak apa-apa yang penting nggak njahit aja mbak. Masa cowok suruh njahit mbak. Nggak bisa saya mbak”

Dari pernyataan tersebut dapat diidentifikasi adanya stereotype bahwa pekerjaan menjahit, salon dan pramuniaga lebih pantas dilakukan oleh perempuan. Dan pelatihan service komputer dan las lebih pantas dilakukan laki-laki, sehingga lowongan perkerjaan yang begitu luas tidak dapat terisi dengan penuh baik oleh laki-laki maupun perempuan.

2. Permintaan user (perusahaan) untuk tenaga kerja jenis kelamin tertentu. Permintaan user terhadap kebutuhan tenaga kerja mempengaruhi jumlah pencari kerja baik laki-laki atau perempuan yang terserap di dunia kerja. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Informan C :

“ya itu tadi kalau perusahan sudah menyebutkan berapa jumlah tenaga kerja laki-laki atau perempuan yang dibutuhkan. Jadi bukan kita yang membatas-batasi, perusahaan sudah menentukan itu. Ya harus kita penuhi. Sebenarnya kalau bisa semua pencari kerja itu dilatih semua agar punya ketrampilan dan terserap di pasar kerja” “ya itu tadi kalau perusahan sudah menyebutkan berapa jumlah tenaga kerja laki-laki atau perempuan yang dibutuhkan. Jadi bukan kita yang membatas-batasi, perusahaan sudah menentukan itu. Ya harus kita penuhi. Sebenarnya kalau bisa semua pencari kerja itu dilatih semua agar punya ketrampilan dan terserap di pasar kerja”

“...kalau masalah tenaga kerja yang ditangani untuk perusahaan- perusahaan tertentu misalnya hanya memerlukan tenaga kerja perempuan saja, yang tinggi-tinggi, yang cantik-cantik. Kalau yang bengkel mintanya yang laki-laki. Jadi masing- masing mempunyai kriteria sendiri-sendiri untuk calon tenaga kerja yang akan direkrut. Seperti untuk SPG mereka minimal tinggi 160, penampilan menarik dan usianya tidak boleh lebih dari 30 tahun. Itu sudah syarat dari perusahaan yang harus dipenuhi .”

Berdasarkan kedua pernyataan diatas, dilihat bahwa user (perusahaan) sangat berperan dalam menentukan terserapnya pencari kerja. Akan tetapi user (perusahaan) juga memiliki pengaruh yang tinggi dalam menentukan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan berdasarkan jenis kelamin.

3. Jabatan ditentukan oleh user (perusahaan).

Jabatan yang ditempati oleh tenaga kerja laki-laki dan perempuan ditentukan perusahaan dan hal tersebut sangat berpengaruh pada kontrol tenaga kerja. Berikut adalah pernyataan dari Informan F : “Kalau jabatan jelas itu yang nentukan perusahaan kan, misalnya o.

dia butuh karyawan laki-laki sebagai pengawas umum misalnya. Jelas, kan mereka yang punya wewenang, kita ini kan tugasnya hanya membekali pencari kerja dengan ketrampilan, kalau mau ditempatkan dimana itu sudah bukan wewenang kami “

“Ya memang begitu mbak, biasanya memang perempuan itu ditempatkan dibagian yang ngecek-ngecek kain, kalau misalnya ada benangnya yang mbundet misalnya. Mereka kan perempuan lebih telaten kalau yang kayak gitu. Makanya user lebih milih perempuan. Kalau ya yang kaya mekanik, yang tugasnya ngurus mesin-mesin tenun itu ditempatkan malah yang laki-laki semua”

Berikut adalah pernyataan dari Informan J selaku pengawas umum di salah satu pabrik tekstil :

“Disini pengawas umumnya laki-laki semua. Tapi kalau tentang jumlah malah banyak perempuaanya, rata-rata disini yang perempuan itu yang

di operator, dia tugasnya ngawasi jalannya mesin tenun. Tapi kalau yang pengawas umum tugasnya memastikan semua itu berjalan dengan baik. Semua itu kan sudah pabrik yang ngatur mbak, siapa mau ditempatkan dimana.”

Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa kontrol pengisian jabatan ditentukan oleh perusahaan. Perusahaan lebih condong menempatkan karyawan perempuan untuk tempat yang memerlukan ketelitian seperti di bagian tenun atau operator. Sedangkan untuk jabatan pengawas umum lebih dipercayakan kepada karyawan yang berjenis kelamin laki-laki.

Pendidikan dan Pelatihan Ketrampilan bagi Pencari Kerja

Setelah dilakukan analisis langkah 1 sampai langkah 5 pada Kegiatan Pendidikan dan pelatihan bagi Pencari Kerja selanjutnya dilakukan analisis Gender Analysis Pathway langkah 6 sampai langkah 9 yaitu untuk merumuskan reformulasi tujuan, rencana aksi serta indikator yang responsif gender.

Gender Analysis Pathway Tahap II

Kolom 6

Kolom 9 Rencana Kebijakan dan Aksi Kedepan

Kolom 7

Kolom 8

Pengukuran Hasil

Reformulasi Tujuan

Rencana Aksi

Data Dasar

Indikator Gender

Meningkatkan pelatihan kualitas

1. Representasi peserta laki-laki SDM pencari kerja baik laki-laki

1. Perlu adanya In House

1. Persentase penempatan

dan perempuan pada berbagai maupun perempuan dan

Training bagi kepada para

pencari kerja perempuan pada

jenis pelatihan dan meningkatkan pelayanan

pengelola program

AKL meningkat 25% dan

penempatannya legalitas dan sertifikasi LPKS

ketenagakerjaan

laki-laki meningkat 20%.

2. Adanya komitmen untuk serta meningkatkan pembinaan

2. Sosialiasi tentang kesetaraan

Pada AKAN persentase

merumuskan program/ yang responsif gender

gender bagi pencari kerja dan

pencari kerja perempuan

lembaga penyelenggara

meningkat 15% dan laki-laki

kegiatan responsif gender

ketenagakerjaan

meningkat 35%.

dalam bidang ketenagakerjaan

3. Memperkuat komunikasi/ koordinasi dengan Pokja

2. Representasi jumlah peserta

PUG di tingkat kota

perempuan dan laki-laki

4. Mengatur perimbangan

Pelatihan menjahit 5 : 3

representasi laki-laki dan

Pelatihan komputer 2 : 3

perempuan pada berbagai jenis kegiatan pelatihan

1. Reformulasi tujuan kegiatan Data tabel-4.17 terdapat langkah 6 dan 7 teknik Gender Analysis Pathway yang berisi reformulasi tujuan kegiatan dan rencana aksi. Pada kolom

6 telah dirumuskan tujuan kegiatan yang secara eksplisit responsif gender dengan menambahkan kalimat “baik laki-laki maupun perempuan”. Sehingga rumusan tujuan kegiatan menjadi “Meningkatkan pelatihan kualitas SDM pencari kerja baik laki-laki maupun perempuan dan meningkatkan pelayanan legalitas dan sertifikasi LPKS serta meningkatkan pembinaan yang responsif gender”. Dengan merumuskan tujuan kegiatan yang responsif gender diharapkan para pengelola program bidang ketenagakerjaan dapat mempertimbangkan representasi pencari kerja laki-laki maupun perempuan.

2. Rencana Aksi Berdasarkan faktor-faktor kesenjangan pada Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan bagi Pencari Kerja pada langkah 3, 4 dan 5 maka dirumuskan rencana aksi sebagai berikut :

1. Perlu adanya In House Training bagi kepada para pengelola program ketenagakerjaan. In House Training merupakan program pelatihan/ training yang dapat diselenggarakan Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Melakukan kemitraan dengan berbagai ahli yang paham tentang perencanaan dan penganggaran responsif gender. Materi-materi yang perlu ada pada pelatihan tersebut antara lain konsep keadilan dan kesetaraan gender, perencanaan dan penganggaran responsif gender dan 1. Perlu adanya In House Training bagi kepada para pengelola program ketenagakerjaan. In House Training merupakan program pelatihan/ training yang dapat diselenggarakan Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Melakukan kemitraan dengan berbagai ahli yang paham tentang perencanaan dan penganggaran responsif gender. Materi-materi yang perlu ada pada pelatihan tersebut antara lain konsep keadilan dan kesetaraan gender, perencanaan dan penganggaran responsif gender dan

2. Sosialiasi tentang kesetaraan gender bagi pencari kerja dan lembaga penyelenggara ketenagakerjaan. Tujuan dari Sosialisasi PUG ini adalah memberikan pengetahuan yang memadai mengenai arti pentingnya penerapan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam bidang ketenagakerjaan. Diharapkan dengan adanya kesetaraan gender ini maka tidak ada lagi bentuk kesenjangan gender yang mempengaruhi responsivitas pada kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Ketrampilan bagi Pencari Kerja.

3. Memperkuat komunikasi/ koordinasi dengan Pokja PUG di tingkat Kota. Pokja PUG tingkat Kota mempunyai tugas mendorong percepatan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan keluarga dan masyarakat di tingkat Kota. Fungsi Pokja PUG adalah mensosialisasikan dan mengadvokasi PUG pada SKPD. Dengan memperkuat koordinasi yang baik dengan Pokja PUG, maka upaya Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam meningkatkan responsivitas gender sumber daya manusianya dapat terlaksana dengan lebih mudah.

4. Mengatur perimbangan representasi laki-laki dan perempuan pada berbagai jenis kegiatan pelatihan. Perimbangan representasi dalam hal ini adalah mengatur jumlah peserta laki-laki dan perempuan dalam setiap jenis pelatihan.

Langkah 8 dan 9 : Pengukuran Hasil

Langkah 8 dan 9 teknik Gender Analysis Pathway berisi data dasar dan indikator gender. Data dasar merupakan data yang dipilih sebagai titik awal untuk mengukur kemajuan pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan. Pada penelitian ini maka data dasar yang ditentukan adalah persentase penempatan pencari kerja perempuan pada AKL meningkat 25% dan laki-laki meningkat 20%. Pada AKAN persentase pencari kerja perempuan meningkat 15% dan laki-laki meningkat 35%. Representasi jumlah peserta perempuan dan laki-laki pada pelatihan menjahit adalah 5 : 3 dan pada pelatihan komputer 2 : 3. Langkah 9 merupakan penetapan indikator gender yaitu penetapan ukuran kuantitatif maupun kualitatif untuk memperlihatkan tingkat perubahan pada tingkatan hasil. Dengan demikian indikator yang ditetapkan antara lain :

1. Representasi peserta laki-laki dan perempuan pada berbagai jenis pelatihan dan penempatannya

2. Adanya komitmen untuk merumuskan program/kegiatan responsif gender dalam bidang ketenagakerjaan.

Secara garis besar hasil analisis dan faktor kesenjangan dapat digambarkan pada tabel berikut

Rumusan Tujuan, Faktor Penyebab, Rencana Aksi dan Indikator Responsif Gender Reformulasi

Tujuan Terdahulu

Faktor Penyebab Kesenjangan

Rencana Aksi

Meningkatkan Meningkatkan

1. Representasi pelatihan kualitas pelatihan kualitas

Internal :

1. Perlu adanya In

House Training peserta laki-laki SDM pencari

1. Kurangnya kepekaan gender

dan perempuan kerja dan

SDM pencari kerja

petugas yang menangani

bagi kepada para

pada berbagai jenis meningkatkan

baik laki-laki

kegiatan pendidikan dan

pengelola program

pelatihan dan pelayanan

maupun perempuan

pelatihan bagi pencari kerja

ketenagakerjaan

penempatannya legalitas dan

dan meningkatkan

2. Belum adanya regulasi atau

2. Sosialiasi tentang

2. Adanya komitmen sertifikasi LPKS

pelayanan legalitas

komitmen untuk

kesetaraan gender

untuk merumuskan serta

dan sertifikasi

menetapkan responsivitas

bagi pencari kerja

program/ kegiatan meningkatkan

LPKS serta

gender dalam pelaksanaan

dan lembaga

responsif gender pembinaan.

pembinaan yang

dalam bidang responsif gender

1. Adanya stereotype pada

komunikasi/

jenis pelatihan, dimana

koordinasi dengan

perempuan lebih tertarik

Pokja PUG di

pada jenis pelatihan yang

tingkat kota

bersifat domestik dan laki-

4. Mengatur

laki lebih tertarik pada

perimbangan

pelatihan yang bersifat

representasi laki-

maskulin

laki dan perempuan pada berbagai jenis kegiatan pelatihan

3. Permintaan user untuk tenaga kerja jenis kelamin tertentu mempengaruhi jumlah serapan pencari kerja

4. Jabatan yang ditempati oleh laki-laki dan perempuan ditentukan oleh user (perusahaan)