Madinah Sebelum Terjadinya Perang Uhud

1. Madinah Sebelum Terjadinya Perang Uhud

Madinah (Yastrib) terletak di dalam propinsi Hijaz, Kerajaan Saudi Arabia, kira-kira 270 mil sebelah Utara kota Makkah dan 650 mil sebelah Tenggara Damaskus. Kota Madinah berada pada ketinggian 2.050 kaki di atas permukaan laut. Di bagian Barat kota Madinah terdapat dataran yang luas dan subur terbentuk dari letusan gunung berapi. Sedangkan di bagian Timur dibatasi oleh medan lava. Ketiga sisi lainnya dibatasi oleh perbukitan tandus yang berbentuk setengah lingkaran. Puncak yang tertinggi adalah Gunung Uhud dengan ketinggian 1.200 kaki lebih di atas oase (Majid ‘Ali Khan, 1985: 87).

Keadaan Madinah sangat berbeda dengan keadaan Makkah. Di Makkah dan daerah sekitarnya tidak terdapat lahan pertanian, hanya ada penggembalaan unta. Hal tersebut disebabkan karena kondisi tanah di Makkah sangat tandus. Konsekuensinya, eksistensi kota Makkah tergantung pada perdagangan. Sebaliknya, Madinah merupakan daerah oasis yang luasnya kira-kira 20 mil. Suhu tropis di Madinah tidak sepanas di Makkah. Tanah di Madinah sangat subur sehingga mampu menghasilkan pertanian yang melimpah. Penduduknya sebagian besar bertahan hidup dengan menanam kurma dan gandum (Asghar Ali Engineer, 1999: 144).

Sejarah asal mula keberadaan kota Madinah tidak sepenuhnya diketahui oleh banyak orang. Suku bangsa utama yang tinggal di kota Madinah adalah suku Aus dan Khazraj. Kedua suku ini berasal dari salah satu kabilah Arab Selatan. Sejak awal kedatangannya, suku Aus dan Khazraj telah menetap dan menguasai daerah oase. Penduduk Madinah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj adalah bangsa yang kuat. Ketangguhan mereka tidak diragukan lagi, seperti tampak dalam keperkasaan mereka pada saat peperangan-peperangan yang terjadi di antara keduanya yang tidak pernah padam. Di samping suku Aus dan Khazraj yang merupakan suku bangsa asli, terdapat pula pemukiman-pemukiman orang- Sejarah asal mula keberadaan kota Madinah tidak sepenuhnya diketahui oleh banyak orang. Suku bangsa utama yang tinggal di kota Madinah adalah suku Aus dan Khazraj. Kedua suku ini berasal dari salah satu kabilah Arab Selatan. Sejak awal kedatangannya, suku Aus dan Khazraj telah menetap dan menguasai daerah oase. Penduduk Madinah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj adalah bangsa yang kuat. Ketangguhan mereka tidak diragukan lagi, seperti tampak dalam keperkasaan mereka pada saat peperangan-peperangan yang terjadi di antara keduanya yang tidak pernah padam. Di samping suku Aus dan Khazraj yang merupakan suku bangsa asli, terdapat pula pemukiman-pemukiman orang-

Sampai dengan awal abad ke-7, suku Aus dan Khazraj berada dalam posisi yang lebih kuat daripada orang-orang Yahudi. Akan tetapi, kehidupan suku Aus dan Khazraj selalu dipenuhi dengan permusuhan yang menyebabkan sering terjadinya perkelahian satu sama lain. Salah satu hal yang memicu terjadinya perkelahian antara suku Aus dan Khazraj adalah ambisi mereka untuk memperluas wilayah kekuasaan dengan cara berebut daerah oase di Madinah. Perubahan-perubahan dari kehidupan nomaden menjadi kehidupan mapan, menyebabkan krisis di Madinah dirasakan sangat berat daripada ketidaknyamanan yang terdapat di Makkah. Adat kesukuan yang berjalan dengan baik di daerah oase, sudah tidak berlaku lagi bagi suku-suku yang bermukim disekitar oase. Semakin lama berbagai suku yang berada di Madinah terperangkap dalam siklus kekerasan (Karen Amstrong, 2001: 195).

Madinah bukanlah suatu kota yang tertata rapi, tetapi terdiri dari berbagai perkampungan. Selain itu, di Madinah juga terdapat banyak benteng pertahanan. Ketika mendapat serangan dari musuh, penduduk Madinah akan mencari tempat perlindungan di dalam benteng-benteng tersebut. Sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, di Madinah sering terjadi peperangan berbagai kelompok. Munculnya peperangan tersebut disebabkan oleh jumlah penduduk yang semakin bertambah sementara sumber penghidupan yang ada sangat terbatas sehingga terjadi tindakan saling merampas tanah milik suku lain Madinah bukanlah suatu kota yang tertata rapi, tetapi terdiri dari berbagai perkampungan. Selain itu, di Madinah juga terdapat banyak benteng pertahanan. Ketika mendapat serangan dari musuh, penduduk Madinah akan mencari tempat perlindungan di dalam benteng-benteng tersebut. Sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, di Madinah sering terjadi peperangan berbagai kelompok. Munculnya peperangan tersebut disebabkan oleh jumlah penduduk yang semakin bertambah sementara sumber penghidupan yang ada sangat terbatas sehingga terjadi tindakan saling merampas tanah milik suku lain

Perang Bu’ath telah memberikan kemenangan bagi suku Aus dan Yahudi. Pada saat perang Bu’ath, suku Aus melakukan aliansi dengan Yahudi Bani Nadhir dan Quarizhah dalam mengalahkan suku Khazraj. Akan tetapi, kemenangan yang telah diperoleh oleh suku Aus dan Yahudi sebagai sekutunya tidak mampu dimanfaatkan secara efektif. Suku Aus menyadari bahwa dengan menghancurkan suku Khazraj akan menjadikan Yahudi mengontrol atau mengambil alih kembali kekuasaan di Madinah. Alasan tersebut membuat suku Aus mengadakan perundingan kembali dengan suku Khazraj. Pada akhirnya, muncul suatu kesepakatan diantara suku Aus dan Khazraj untuk mengangkat seorang laki-laki dari suku Khazraj sebagai raja di wilayah Madinah. Laki-laki tersebut adalah ‘Abdullah ibnu Ubbay ibnu Salul yang tetap besikap netral pada saat terjadinya perang Bu’ath. Hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa Arab mampu mempertahankan kekuasaan dan keunggulan mereka terhadap Yahudi setelah pertempuran Bu’ath. Kekalahan suku Khazraj dalam perang Bu’ath menjadi penyebab bagi suku Khazraj untuk lebih siap menerima agama Islam, sehingga suku Khazraj lebih awal menerima Islam daripada suku Aus (Asmara Hadi Usman, 1994: 57).

Sebelum Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, berita tentang hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya sudah tersebar luas di Madinah. Penduduk Madinah juga telah mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW menjadi sasaran utama orang-orang Quraisy yang berniat untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Kedatangan Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya di Madinah disambut dengan baik oleh masyarakat Madinah. Dalam rangka menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW, maka kota Madinah diubah namanya menjadi Madinatun Nabi (kota Nabi). Program awal yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah adalah membangun masjid. Dalam membangun masjid tersebut, Nabi Muhammad SAW juga ikut bekerja seperti pekerja lainnya. Masjid yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah lebih dikenal dengan masjid Nabawi (Muhammad Husain Haekal, 2008: 196).

Pada saat Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, masyarakat Madinah terbagi dalam berbagai golongan (kelompok). Pengikut Nabi Muhammad SAW yang pertama adalah kelompok Muhajirin yaitu pengikut Nabi Muhammad SAW yang terdiri dari orang-orang mukmin yang meninggalkan tanah kelahiran mereka dan turut berhijrah ke Madinah. Kesetiaan kaum Muhajirin terhadap perjuangan Nabi Muhammad SAW sangat besar. Mereka bersedia berhijrah dengan meninggalkan saudara-saudara dan keluarga yang mereka sayangi serta mereka tabah menghadapi penderitaan dan cobaan dalam perjuangan di jalan Allah SWT (K. Ali, 2003: 62).

Pengikut Nabi yang lainnya adalah penduduk asli Madinah yang telah memberikan pertolongan kepada Nabi Muhammad SAW. Kelompok ini mendapat sebutan sebagai kaum Anshar (umat penolong). Kaum Anshar menerima dengan baik kehadiran Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah mereka dan sesuai dengan perjanjian Aqabah maka mereka besedia membantu Nabi Muhammad SAW dalam berbagai kondisi. Kaum Anshar berperan aktif dalam setiap program yang dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW, bahkan mereka bersedia mengorbankan harta kekayaan mereka untuk kepentingan perjuangan Islam. Kaum Anshar tidak hanya memberikan perlindungan tempat tinggal, tetapi memberikan perlindungan kesejahteraan hidup. Ikatan persaudaraan antara kaum

Muslimin dan kaum Anshar semakin erat ketika Nabi Muhammad SAW menetapkan bahwa antara kedua kelompok ini saling mewarisi harta kekayaan. Kaum Anshar sangat besar pengaruhnya demi kesuksesan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW sering memperingatkan kepada sahabat-sahabat yang lain agar menghormati kaum Anshar. Masyarakat Madinah penyembah berhala juga ikut menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW. Seluruh masyarakat Madinah, baik yang beriman maupun yang tidak beriman, semuanya bersedia melindungi dan membela Nabi Muhammad SAW. Selain para penyembah berhala, ada juga kelompok yang tidak senang pada peranan Nabi Muhammad SAW yang meluas. Akan tetapi, antusiasme yang besar dari masyarakat Madinah terhadap ajaran Islam memaksa kelompok ini mengakui Islam secara nominal. Kelompok ini menentang Nabi Muhammad SAW secara rahasia. Oleh karena itu, mereka disebut kaum munafikun. Kelompok masyarakat ini lebih berbahaya daripada musuh yang terang-terangan (K. Ali, 2003: 63).

Meskipun Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya telah hijrah ke Madinah, namun kaum Quraisy tidak berhenti untuk memusuhi kaum Muslimin. Kaum Quraisy tidak bisa menerima jika popularitas Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin semakin meningkat. Kaum Quraisy merasa iri dan benci terhadap kemajuan yang diperoleh kaum Muslimin di Madinah. Oleh karena itu, mereka berusaha menjatuhkan basis kekuatan dan pengaruh kaum Muslimin di Madinah. Dalam rangka melaksanakan rencana tersebut, kaum Quraisy telah mempunyai seorang pelaksana yang tepat di Madinah, yang tidak lain adalah ‘Abdullah bin Ubay, seorang tokoh Yahudi Madinah. Sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, ‘Abdullah bin Ubay pernah bermimpi akan menjadi seorang pemimpin di Madinah. Akan tetapi setelah mengetahui pengaruh Nabi Muhammad SAW di Madinah semakin meningkat, maka timbul rasa cemburu, benci dan iri hati atas supremasi politik Nabi Muhammad SAW. Keberadaan Nabi Muhammad SAW di Madinah telah memudarkan rencana ‘Abdullah bin Ubay untuk menjadi seorang penguasa mutlak di Madinah (Majid ‘Ali Khan, 1985: 100).

Setelah tinggal di Madinah, Nabi Muhammad SAW juga harus memecahkan beberapa masalah. Sebagaimana di Makkah, di Madinah belum ada pemimpin dan belum terbentuk suatu birokrasi pemerintahan. Di Madinah masih banyak suku-suku yang berdiri sendiri dengan aturan-aturan yang mereka tetapkan sendiri sehingga antara suku yang satu dengan yang lain saling bermusuhan dan banyak menimbulkan pertumpahan darah. Hal tersebut menimbulkan krisis di Madinah dan membuat penduduk Madinah merasakan kebutuhan akan adanya otoritas yang bisa dipercaya untuk menciptakan perdamaian dan ketertiban dalam kehidupan sehari-hari (Asghar Ali Engineer, 1999: 154).

perhatiannya untuk mengendalikan suasana politik masyarakat Madinah, khususnya mendamaikan suku Aus dan Khazraj. Sementara itu, sebagian pengikut Yahudi justru memanfaatkan permusuhan yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj sebagai kesempatan untuk meraih keuntungan bagi pihak Yahudi. Kebijakan politik yang pertama kali ditempuh Nabi Muhammad SAW adalah upaya menghapuskan jurang pemisah antar suku-suku di Madinah dan berusaha menyatukan seluruh penduduk Madinah sebagai kesatuan masyarakat Anshar. Pada sisi lainnya, Nabi Muhammad SAW berusaha mempererat hubungan antara kaum Anshar dengan kaum Muhajirin melalui ikatan persaudaran di antara mereka. Nabi Muhammad SAW menyadari bahwa dasar fondasi imperium Islam tidak akan kuat kecuali didasari oleh kerukunan dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Kehidupan masyarakat Madinah yang majemuk sangat memerlukan sikap toleransi antar berbagai suku dan umat beragama. Oleh karena itu, untuk mewujudkan semua rencana yang telah disusun, Nabi Muhammad SAW memprakarsai penyusunan suatu perjanjian atau konsesus bersama yang dikenal dengan sebutan “Piagam Madinah”. Tersusunnya piagam Madinah diharapkan mampu mengakhiri permusuhan dan pertumpahan darah diantara suku-suku di Madinah. Hak-hak dan kewajiban setiap penduduk Madinah dipertegas dalam piagam Madinah, khususnya bagi golongan Yahudi yang tinggal di Madinah. Pokok-pokok ketentuan yang terdapat dalam piagam Madinah antara lain sebagai berikut:

Nabi Muhammad

SAW

mencurahkan

a) Seluruh masyarakat yang ikut menandatangani piagam Madinah harus bersatu membentuk satu kesatuan kebangsaan.

b) Jika salah satu kelompok yang ikut menandatangani piagam Madinah diserang oleh musuh, maka kelompok yang lain harus membelanya dengan menggalang kekuatan golongan.

c) Tidak ada satu kelompok pun yang diperbolehkan mengadakan persekutuan dengan kafir Quraisy atau memberikan perlindungan kepada mereka atau membantu mereka mengadakan perlawanan terhadap masyarakat Madinah.

d) Orang Islam, Yahudi dan seluruh warga Madinah yang lain bebas memeluk agama dan keyakinan masing-masing dan mereka dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing- masing. Tidak seorang pun diperbolehkan mencampuri urusan agama lain.

e) Urusan pribadi atau perseorangan maupun perkara-perkara kecil kelompok nonmuslim tidak harus melibatkan pihak-pihak lain secara keseluruhan.

f) Dilarang melakukan penindasan terhadap suku-suku lain.

g) Sejak ditandatangani piagam Madinah maka segala bentuk pertumpahan darah, pembunuhan, dan penganiayaan diharamkan di seluruh Madinah.

h) Nabi Muhammad SAW ditetapkan sebagai kepala Madinah dan memegang kekuasaan peradilan yang tertinggi. Piagam Madinah tersebut sangat besar artinya dalam sejarah kehidupan politik umat Islam. Piagam Madinah dipandang sebagai undang-undang dasar tertulis yang pertama sepanjang sejarah peradaban dunia. Nabi Muhammad SAW merupakan tokoh pertama yang menyadari arti pentingnya keterlibatan dan dukungan rakyat dalam suatu sistem administrasi negara. Piagam Madinah juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah hanya bertugas sebagai seorang Rasul yang menyebarkan agama, tetapi sekaligus sebagai seorang negarawan yang besar. Pasal-pasal yang dirumuskan dalam piagam Madinah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak hanya bermaksud memperkuat kekuasaannya untuk menghadapi serangan kaum Musyrik Makkah, tetapi tujuan yang utama justru untuk menggalang kerukunan bagi warga negara di kota Madinah (K. Ali, 2003: 66-68).

Piagam Madinah merupakan awal revolusi di Madinah untuk menuju kehidupan yang lebih aman dan damai. Diangkatnya Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin Madinah diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik bagi kehidupan Madinah. Akan tetapi, sulit bagi Nabi Muhammad SAW untuk menjadi seorang pemimpin yang tidak tertandingi yang setiap ucapannya selalu diikuti oleh semua orang. Setelah Nabi Muhammad SAW melakukan konsolidasi dan mempunyai kekuasaan yang cukup besar, pendapat Nabi Muhammad SAW tidak selalu diterima tanpa kritik, kecuali dalam persoalan agama yang diputuskan berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Tradisi demokrasi suku dan masyarakat Madinah yang majemuk masih sangat kuat pada masa itu sehingga sulit untuk menghapuskannya dalam waktu singkat. Setelah mempelajari situasi Madinah, Nabi Muhammad SAW tidak tergesa-gesa untuk menyatakan kepemimpinannya. Nabi Muhammad SAW memberikan otonomi penuh kepada kelompok suku dan berbagai kelompok lainnya dengan maksud untuk tidak merendahkan kekuasaan mereka tetapi untuk menjadikan mereka sepakat membentuk sebuah masyarakat yang lebih besar dengan konstitusi yang mengatur hak dan kewajiban setiap anggota. Nabi Muhammad SAW cukup puas dengan kedudukannya sebagai pemimpin kaum Muhajirin. Piagam Madinah disusun dengan tetap memperhatikan kondisi setempat di Madinah. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW dengan mudah dapat diterima oleh penduduk Madinah. Pengakuan langsung penduduk Madinah terhadap kepemimpinan Nabi Muhammad SAW meunjukkan bahwa kebutuhan akan adanya suatu birokrasi sangat diperlukan bagi perubahan yang lebih baik bagi Madinah sehingga persengketaan berbagai suku maupun kelompok dapat diselesaikan (Asghar Ali Engineer, 1999: 158-159).

Setelah terbentuknya piagam Madinah, kehidupan masyarakat Madinah mulai berjalan dengan stabil. Akan tetapi, Nabi Muhammad SAW masih harus memecahkan beberapa masalah penting. Masalah mendesak yang dihadapi Nabi Muhammad SAW di Madinah adalah masalah mengenai kaum Yahudi. Sebagaimana orang-orang Arab, kaum Yahudi adalah bagian dari masyarakat baru. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW berupaya untuk menjalin hubungan

yang baik dengan kaum Yahudi agar Nabi Muhammad SAW dapat diterima sebagai pemimpin Madinah maupun sebagai Rasulullah atau utusan Allah SWT. Beberapa hal yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menjaga hubungan baik dengan Yahudi diantaranya adalah Nabi Muhammad SAW bersikap toleransi terhadap perbedaan-perbedaan tradisi keagamaan yang dilaksanakan oleh kaum Yahudi. Tradisi kaum Yahudi tersebut misalnya arah kiblat ke Masjidil ‘Aqsha dan puasa ‘Asyura sebagai hari penebusan dosa kaum Yahudi. Akan tetapi, orang-orang Yahudi tidak pernah bersikap baik terhadap Nabi sehingga upaya Nabi untuk memperbaiki hubungan baik dengan kaum Yahudi akhirnya gagal. Nabi Muhammad SAW menyadari bahwa kaum Yahudi tidak akan pernah mau mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin baru Madinah maupun sebagai seorang utusan Allah SWT. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW berubah haluan dan mengambil suatu tindakan baru. Salah satu hal yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah dengan mengubah arah kiblat ke Ka’bah. Langkah Nabi Muhammad SAW dengan mengubah arah kiblat ke Ka’bah merupakan hal yang monumental. Nabi Muhammad SAW yakin terhadap dirinya sendiri sebagai utusan Allah SWT. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW memutuskan hubungan dengan kaum Yahudi. Meskipun Nabi Muhammad SAW tidak memusuhi agama kaum Yahudi, namun Nabi Muhammad SAW menganggap bahwa kaum Yahudi telah melakukan penyimpangan terhadap kitab suci yang telah diwahyukan dan tidak mau menjalankan ajaran yang terdapat di dalamnya. Diubahnya arah kiblat ke Ka’bah (Makkah), Nabi Muhammad SAW ingin menjadikan Arab khususnya Makkah sebagai pusat Islam (Asghar Ali Engineer, 1999: 160).

Islam telah stabil di Madinah dan kaum Quraisy mengetahui bahwa semakin hari Islam terus tumbuh berkembang, kuat dan semakin tersebar. Apabila keadaan tetap seperti itu, maka kekuasaan kaum Quraisy akan semakin lemah. Oleh karena itu, kaum Quraisy selalu mendorong terjadinya permusuhan dan peperangan terhadap umat Islam. Kaum Quraisy selalu melakukan aksi teror terhadap kaum Muslim dengan berbagai cara. Kaum Quraisy memanfaatkan ‘Abdullah bin Ubay untuk melancarkan semua rencana jahat dari orang-orang

Quraisy. Kaum Quraisy mengetahui betul sikap permusuhan antara ‘Abdullah bin Ubay dengan Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya. Langkah awal yang dilakukan oleh kaum Quraisy untuk melancarkan rencana yang telah disusun adalah dengan mengirimkan sepucuk surat kepada ‘Abdullah bin Ubay yang isinya memberikan sebuah ancaman kepada ‘Abdullah bin Ubay. Kaum Quraisy meminta ‘Abdullah bin Ubay untuk membunuh atau mengusir Nabi Muhammad SAW dari Madinah. Apabila ‘Abdullah bin Ubay tidak mau melaksanakan permintaan kaum Quraisy maka ‘Abdullah bin Ubay yang akan menjadi taruhannya. Ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita tentang surat tersebut, Nabi Muhammad SAW langsung menemui ‘Abdullah bin Ubay untuk menanyakan kebenaran dari isi surat tersebut dan menasehati ‘Abdullah bin Ubay untuk tidak memulai peperangan dengan kaum Muslimin. ‘Abdullah bin Ubay merasa takut akan mendapatkan perlawanan dari kaum Muslimin. Oleh karena itu, ‘Abdullah bin Ubay menahan perlawanan terbuka dengan Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya. Dengan demikian, percobaan orang-orang Quraisy melalui perantara ‘Abdullah bin Ubay mengalami kegagalan. Meskipun demikian, orang- orang Quraisy tetap tidak mau menyerah untuk menghancurkan Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin. Kaum Quraisy mulai mengalihkan perhatian kepada penduduk yang tinggal antara Makkah dan Madinah. Kaum Quraisy membujuk dan menghasut penduduk agar mau melawan kaum Muslimin (Majid ‘Ali Khan, 1985: 101).

Di Madinah, Nabi Muhammad SAW menghadapi aliansi tiga musuh kaum Muslimin yaitu kaum Quraisy, kaum Yahudi, dan orang-orang munafik yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Ubay. Kaum Muslimin berada pada kondisi yang sangat berbahaya karena dihadang oleh musuh dari berbagai penjuru. Oleh karena itu, kaum Muslimin meningkatkan kewaspadaan untuk menghadapi kemungkinan serangan musuh yang sewaktu-waktu bisa datang dari luar dan dari dalam kota Madinah. Ketika sudah memiliki persenjataan yang kuat dan perlindungan semakin kokoh, maka turun wahyu dari Allah SWT yang memperbolehkan kaum Muslimin untuk berperang dalam surat Al-Hajj ayat 39, yang artinya adalah sebagai berikut:

“Telah diijinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar- benar Maha Kuasa menolong mereka” (Depag RI, 2005: 337).

Setelah turun wahyu tersebut, Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin mulai mempersiapkan diri dengan memperkuat senjata dan melakukan pencegahan terhadap serangan dari kaum Quraisy. Rasulullah SAW mulai mengutus saraya yaitu ekpedisi-ekspedisi militer yang terdiri dari para sahabat tanpa disertai oleh Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga mengutus duta-duta atau perwakilan kepada kabilah-kabilah di seluruh wilayah Madinah. Kadang-kadang terjadi pertempuran kecil dalam beberapa kesempatan. Namun hal tersebut berguna untuk mendatangkan ketakutan di hati orang-orang Musyrik, serta mampu memperlihatkan kekuatan dan kegigihan umat Islam. Majid ‘Ali Khan (1985: 102) menyebutkan langkah-langkah yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:

a) Langkah pertama Nabi Muhammad SAW adalah mengirimkan pasukan kecil untuk mengamati gerakan orang Quraisy di sekitar Madinah sehingga diperoleh informasi yang lengkap dan tepat tentang rencana dari orang-orang Quraisy. Tujuan mengirimkan mata-mata ini terlihat jelas dari surat tugas Nabi Muhammad SAW yang diberikan kepada ‘Abdullah bin Jashy ketika ia diperintahkan untuk memata-matai orang Quraisy yang mengancam kaum Muslimin. Surat tugas tersebut berbunyi: “Pergilah ke lembah Nakhla (antara Makkah dan Tha’if), sergaplah orang-orang Quraisy dan dengar apa yang hendak mereka perbuat terhadap kita”.

b) Mengadakan hubungan baik dengan suku-suku lain di sekitar Madinah agar suku-suku tersebut tidak berpihak kepada musuh Islam. Oleh karena itu, dibentuk suatu perjanjian perdamaian dan ternyata banyak suku yang ikut menandatangani perjanjian tersebut. Isi perjanjian tersebut menyerukan agar suku-suku di sekitar Madinah mau bekerjasama dengan kaum Muslimin, siap melawan dan mempertahankan diri apabila mendapat serangan dari musuh.

c) Mempersempit jalur perdagangan Quraisy ke Syria yang melalui Madinah sehingga Quraisy tidak bisa membeli senjata dan amunisi untuk perang.

Setelah Nabi Muhammad SAW menyelesaikan beberapa hal yang berhubungan dengan keamanan di dalam kota Madinah, Nabi Muhammad SAW mulai memperhatikan masalah penting yang berhubungan dengan orang-orang Quraisy. Dalam hubungan ini, wajar apabila Nabi Muhammad SAW berpikir untuk mengadakan blokade-blokade ekonomi dengan menghambat perdagangan orang-orang Quraisy. Kekuatan utama Quraisy adalah perdagangan dengan Syria dan Iran melalui Madinah. Sedangkan jalur perdagangan tersebut telah berada di bawah kekuasaan Nabi Muhammad SAW. Langkah yang diambil Nabi Muhammad SAW dengan cara memblokade jalur perdagangan kaum Quraisy sangat tepat karena hal tersebut merupakan satu-satunya jalan untuk memaksa Quraisy agar mau mengadakan perdamaian dengan kaum Muslimin (Majid ‘Ali Khan, 1985: 103).

Sebelum meletus perang Badar, Nabi Muhammad SAW melakukan ekspedisi dan pengintaian-pengintaian terhadap Quraisy. Pada bulan ke-17 sesudah hijrah, Nabi Muhammad SAW mengutus Hamzah bin Abdul Muttalib dengan bendera putih dan 30 orang berkuda dari golongan Muhajirin menuju Laut Merah untuk menghadang kafilah dagang suku Quraisy. Di Laut Merah ini Hamzah bertemu dengan pasukan Quraisy di bawah pimpinan Abu Jahal yang berjumlah 300 orang. Di Laut Merah ini tidak terjadi peperangan sehingga pasukan Hamzah dapat kembali ke Madinah dengan selamat. Kemudian pada bulan Dzulqa’dah, Rasulullah mengirim Sa’ad bin Abi Waqas dengan bendera putih untuk melakukan ekspedisi ke Kharrar. Miqdad bin ‘Umru ditunjuk sebagai pembawa bendera. Dalam pengintaian tersebut juga tidak terjadi penyerangan terhadap kafilah dagang Quraisy. Namun pada bulan Rajab, bulan ke-17 sesudah hijrah, terjadi pertumpahan darah untuk pertama kalinya. Nabi Muhammad SAW mengutus ‘Abdullah bin Jashy dengan 12 orang dalam sebuah misi rahasia. Surat yang masih tertutup diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada ‘Abdullah bin Jashy dengan perintah agar membuka surat tersebut setelah dua hari perjalanan. Ketika ‘Abdullah bin Jashy membuka surat tersebut, ‘Abdullah bin Jashy diperintahkan untuk melanjutkan perjalanannya ke Nakhla yang terletak antara Thaif dan Makkah. Akhirnya pasukan pimpinan ‘Abdullah bin Jashy sampai di

Nakhla setelah menempuh perjalanan pada hari-hari terakhir bulan Rajab. Ketika kafilah dagang suku Quraisy melewati daerah tersebut pada sore hari, mereka diserang oleh pasukan Muslim. Salah satu dari mereka, ‘Umru bin al-Hadrami, terbunuh dan pasukan Muslim kembali ke Madinah dengan membawa rampasan perang serta dua tawanan perang. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rajab padahal orang-orang Arab diharamkan untuk melakukan perang pada bulan Rajab. Peristiwa tersebut menimbulkan banyak protes dari berbagai penduduk Madinah. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW harus bersikap hati-hati. Salah satu hal yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah tidak menyentuh harta rampasan perang dalam waktu beberapa saat. Tindakan kaum Muslim yang melakukan perang pada saat bulan Rajab mendapat peringatan dari Allah SWT dengan menurunkan wahyu berupa surat Al-Baqarah ayat 217 yang artinya adalah sebagai berikut:

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang pada bulan itu adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup. Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Depag RI, 2005: 34).

Permusuhan antara kaum Muslimin dan kaum Quraisy Makkah belum selesai. Peristiwa di Nakhla yang mengakibatkan terbunuhnya salah satu tokoh Quraisy bernama ‘Umru bin al-Hadrami semakin membuat marah orang-orang Quraisy Makkah. Kaum Quraisy selalu berusaha untuk memerangi Islam, menghalangi jalan Allah SWT, dan membuat berbagai kesulitan bagi umat Islam. Kaum Quraisy rela mengorbankan harta dan segala yang dimilikinya dalam memerangi Islam. Pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijrah (Maret 624 M), yaitu dua bulan sesudah peristiwa Nakhla, sebuah kafilah besar membawa barang dagangan yang sangat banyak kembali dari Gaza menuju ke Makkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Inilah salah satu kafilah terbesar yang mengangkut Permusuhan antara kaum Muslimin dan kaum Quraisy Makkah belum selesai. Peristiwa di Nakhla yang mengakibatkan terbunuhnya salah satu tokoh Quraisy bernama ‘Umru bin al-Hadrami semakin membuat marah orang-orang Quraisy Makkah. Kaum Quraisy selalu berusaha untuk memerangi Islam, menghalangi jalan Allah SWT, dan membuat berbagai kesulitan bagi umat Islam. Kaum Quraisy rela mengorbankan harta dan segala yang dimilikinya dalam memerangi Islam. Pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijrah (Maret 624 M), yaitu dua bulan sesudah peristiwa Nakhla, sebuah kafilah besar membawa barang dagangan yang sangat banyak kembali dari Gaza menuju ke Makkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Inilah salah satu kafilah terbesar yang mengangkut

Setelah Nabi Muhammad SAW mendapat kabar bahwa kafilah Abu Sufyan sedang dalam perjalanan menuju Makkah, Nabi Muhammad SAW memerintahkan pasukannya untuk pergi menghadang kafilah Abu Sufyan. Nabi Muhammad SAW tidak melakukan persiapan secara matang sebab urusan kali ini adalah rombongan dagang, bukan orang-orang yang pergi ke medan perang. Abu Sufyan mendengar berita tentang kepergian Nabi Muhammad SAW untuk menghadang kafilah dagangnya. Setelah mendapatkan keuntungan yang besar dari perdagangannya, Abu Sufyan mulai merasa khawatir akan keselamatan harta yang telah mereka peroleh. Oleh karena itu, Abu Sufyan menyewa seseorang bernama Damdam bin Amr al-Gifari untuk pergi ke Makkah, memberi peringatan kepada orang Quraisy serta meminta bantuan dari kaum Quraisy. Abu Sufyan mengubah rute perjalanannya dan kembali ke Makkah dengan menyusuri pantai Laut Merah. Ketika sampai di Makkah, ternyata pasukan Quraisy telah bergerak menuju Madinah. Di tengah perjalanan, pasukan Quraisy Makkah yang dipimpin Abu Jahl menerima berita bahwa Abu Sufyan beserta kafilahnya telah sampai di Makkah. Sebenarnya pasukan Quraisy Makkah merasa ragu untuk berperang dengan pasukan Muslim Madinah karena sebagian besar dari pasukan Muslim Madinah adalah keluarga dan saudara mereka sendiri yang telah memeluk Islam. Seandainya pasukan Quraisy Makkah berperang dengan pasukan Muslim Madinah, maka sama saja membunuh keluarga sendiri. Akan tetapi, Abu Jahl tetap teguh pada pendiriannya untuk maju melawan kaum Muslim Madinah. Abu Jahl terus berusaha untuk menghasut kaum Quraisy Makkah dan membangkitkan rasa benci mereka terhaadap Islam dengan cara mengingatkan kaum Quraisy atas peristiwa di Nakhla yang menyebabkan terbunuhnya ‘Umru bin al-Hadrami oleh pasukan Muslim Madinah. Setelah terhasut oleh bujukan Abu Jahl, timbullah rasa kebencian dan rasa dendam kaum Quraisy Makkah terhadap kaum Muslim

Madinah sehingga niat untuk mengadakan perang tidak dapat dibatalkan lagi (Majid ‘Ali Khan, 1985: 125-126).

Pasukan Muslim Madinah dan pasukan Quraisy Makkah sama-sama bergerak menuju Badar, suatu desa yang jaraknya kira-kira 80 mil dari Madinah. Pasukan Muslim dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW sedangkan pasukan Quraisy dipimpin oleh Abu Jahl, musuh besar dalam Islam sekaligus merupakan musuh Nabi Muhammad SAW. Pasukan Quraisy berkekuatan 1000 orang tentara, 300 ekor kuda dan 700 unta. Sedangkan kaum Muslimin mempunyai pasukan yang hanya berkekuatan 313 orang tentara, 2 ekor kuda dan 70 ekor unta. Senjata yang digunakan oleh pasukan Muslim sangat terbatas jumlahnya, tidak selengkap senjata pasukan Quraisy. Perang mulai berkecamuk pada hari Jum’at pagi, 17 Ramadhan 2 H (Maret 642 M). Tradisi peperangan bangsa Arab sering dimulai dengan sejumlah perang tanding. Tiga tentara Quraisy Makkah yakni Syaiba, Utbah, dan Walid bin Utba bertanding dengan tiga pejuang Muslim yaitu Ubaidah, Hamzah, dan Ali. Dalam waktu singkat ketiga pemuka perang Quraisy tersebut tewas di tangan pejuang-pejuang Muslim. Setelah peperangan massal selesai, pasukan Muslim Madinah berhasil meraih kemenangan. Banyak pasukan Quraisy yang terbunuh dan sebagian kecil melarikan diri namun ada juga yang dijadikan sebagai tawanan perang. Semantara itu, 14 pejuang Muslim gugur sebagai Syahid yang terdiri dari 6 pejuang dari kaum Muhajirin dan 8 dari kaum Anshar (K. Ali, 2003: 73).

Perang Badar merupakan peristiwa yang sangat menentukan perjalanan sejarah Islam. Perang Badar menunjukkan bahwa pasukan Quraisy Makkah yang jumlahnya lebih besar dapat dihancurkan oleh pasukan Muslim yang jumlahnya sedikit dengan perlengkapan senjata yang terbatas. Setelah kemenangan kaum Muslim pada perang Badar, kedudukan dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah semakin kuat. Perang Badar juga membawa pengaruh yang besar bagi pengikut-pengikut Yahudi dan suku-suku Badui di sekitar Madinah. Mereka mulai menyadari dan mengakui munculnya kekuatan Islam yang besar. Sebelumnya orang-orang Yahudi selalu menghina dan meremehkan kekuatan orang-orang Muslim namun setelah kemenangan yang diperoleh kaum Muslim Perang Badar merupakan peristiwa yang sangat menentukan perjalanan sejarah Islam. Perang Badar menunjukkan bahwa pasukan Quraisy Makkah yang jumlahnya lebih besar dapat dihancurkan oleh pasukan Muslim yang jumlahnya sedikit dengan perlengkapan senjata yang terbatas. Setelah kemenangan kaum Muslim pada perang Badar, kedudukan dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah semakin kuat. Perang Badar juga membawa pengaruh yang besar bagi pengikut-pengikut Yahudi dan suku-suku Badui di sekitar Madinah. Mereka mulai menyadari dan mengakui munculnya kekuatan Islam yang besar. Sebelumnya orang-orang Yahudi selalu menghina dan meremehkan kekuatan orang-orang Muslim namun setelah kemenangan yang diperoleh kaum Muslim

Setelah perang Badar, hanya selama 7 malam Nabi Muhammad SAW tinggal di Madinah. Kemudian beliau mendatangi Banu Sulaim untuk menanyakan kebenaran berita tentang serangan Banu Sulaim dan suku Ghathfan. Nabi Muhammad SAW mendengar berita tentang ekspedisi Banu Sulaim ketika Nabi Muhammad SAW masih berada di Madinah. Sampai di tempat Banu Sulaim, Nabi Muhammad SAW diberitahu oleh seorang penggembala bahwa ada satu batalyon pasukan yang melarikan diri menuju pantai setelah mendengar kabar tentang kedatangan Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW tinggal selama 3 malam di tempat Banu Sulaim dan kembali ke Madinah dengan membawa 500 ekor unta yang ditinggalkan oleh pihak musuh. Sampai di Madinah, Nabi Muhammad SAW memerintahkan pasukannya untuk melakukan eksekusi terhadap Abu ‘Afak dan ‘Ashma binti Marwan. Abu ‘Afak merupakan tokoh Yahudi yang usianya sudah tua. Abu ‘Afak selalu mengecam keberadaan Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin. Abu ‘Afak juga sering menghasut masyarakat Madinah agar melawan Islam. Abu ‘Afak menulis ayat-ayat yang berisi penghinaan terhadap agama Islam. Oleh karena itu, Abu ‘Afak pantas untuk dieksekusi. Tugas eksekusi terhadap Abu ‘Afak dilakukan oleh Salim bin ‘Umair. Eksekusi juga dijatuhkan kepada ‘Ashma binti Marwan, seorang wanita dari suku Aus bangsa Madinah. ‘Ashma binti Marwan mendapatkan eksekusi karena telah menciptakan syair-syair dan juga tulisan yang berisi kecaman terhadap Nabi Muhammad SAW dan Islam. Setelah Badar, ‘Ashma binti Marwan menulis puisi beberapa bait yang isinya menghasut masyarakat Madinah untuk menyulut api Setelah perang Badar, hanya selama 7 malam Nabi Muhammad SAW tinggal di Madinah. Kemudian beliau mendatangi Banu Sulaim untuk menanyakan kebenaran berita tentang serangan Banu Sulaim dan suku Ghathfan. Nabi Muhammad SAW mendengar berita tentang ekspedisi Banu Sulaim ketika Nabi Muhammad SAW masih berada di Madinah. Sampai di tempat Banu Sulaim, Nabi Muhammad SAW diberitahu oleh seorang penggembala bahwa ada satu batalyon pasukan yang melarikan diri menuju pantai setelah mendengar kabar tentang kedatangan Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW tinggal selama 3 malam di tempat Banu Sulaim dan kembali ke Madinah dengan membawa 500 ekor unta yang ditinggalkan oleh pihak musuh. Sampai di Madinah, Nabi Muhammad SAW memerintahkan pasukannya untuk melakukan eksekusi terhadap Abu ‘Afak dan ‘Ashma binti Marwan. Abu ‘Afak merupakan tokoh Yahudi yang usianya sudah tua. Abu ‘Afak selalu mengecam keberadaan Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin. Abu ‘Afak juga sering menghasut masyarakat Madinah agar melawan Islam. Abu ‘Afak menulis ayat-ayat yang berisi penghinaan terhadap agama Islam. Oleh karena itu, Abu ‘Afak pantas untuk dieksekusi. Tugas eksekusi terhadap Abu ‘Afak dilakukan oleh Salim bin ‘Umair. Eksekusi juga dijatuhkan kepada ‘Ashma binti Marwan, seorang wanita dari suku Aus bangsa Madinah. ‘Ashma binti Marwan mendapatkan eksekusi karena telah menciptakan syair-syair dan juga tulisan yang berisi kecaman terhadap Nabi Muhammad SAW dan Islam. Setelah Badar, ‘Ashma binti Marwan menulis puisi beberapa bait yang isinya menghasut masyarakat Madinah untuk menyulut api

Terdapat beberapa peristiwa penting yang terjadi setelah perang Badar. Salah satunya adalah pengasingan atau pengusiran Bani Qainuqa’ yang terjadi pada bulan Syawal 2 H (April 642 M). Bani Qainuqa’ adalah bagian dari kaum Yahudi yang pertama kali merusak perjanjian dengan Nabi Muhammad SAW. Bani Qainuqa’ terdiri dari 700 prajurit dan dikenal sebagai pengrajin emas dan saudagar kaya. Bani Qainuqa’ juga ikut serta dalam memerangi Nabi Muhammad SAW dalam perang Badar. Selain itu, Bani Qainuqa’ juga sering menyakiti kaum Muslimin. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW beserta pasukannya memutuskan untuk mengepung Bani Qainuqa’ selama 15 malam. Akhirnya Bani Qainuqa’ menyerah dan bersedia menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Nabi Muhammad SAW. ‘Abdullah bin Ubay, seorang pemimpin orang-orang munafik, memohon kepada Nabi Muhammad SAW untuk membebaskan Bani Qainuqa’. Nabi Muhammad SAW mengabulkan permohonan ‘Abdullah bin Ubay tetapi dengan persyaratan tertentu. Nabi Muhammad SAW akan memaafkan dan membebaskan Bani Qainuqa’ dengan syarat Bani Qainuqa’ harus meninggalkan Madinah. Kemudian Bani Qainuqa’ memutuskan untuk pergi ke negeri Syam, untuk mencari perlindungan. Akhirnya Bani Qainuqa’ dapat keluar dari Madinah dengan selamat setelah sebelumnya Bani Qainuqa’ merasa akan binasa karena pelanggaran dan pemberontakan mereka (Majid ‘Ali Khan, 1985: 136).

Kekalahan pada perang Badar membuat bangsa Quraisy malu dan sedih sehingga Quraisy sangat marah dan ingin menuntut balas atas kematian para pemimpin Quraisy. Setelah perang Badar, Abu Sufyan dijadikan sebagai pemimpin kaum Quraisy. Abu Sufyan bersumpah tidak akan mencampuri istrinya sebelum membalas kekalahan kaum Quraisy pada perang Badar. Abu Sufyan mulai menugaskan 200 orang pasukan untuk pergi ke Madinah pada bulan Dzulhijjah 2 H, dua bulan setelah perang Badar. Secara diam-diam pasukan Abu Sufyan merampok di ‘Uraid, kira-kira 3 mil dari Madinah pada malam hari dan membakar kebun kurma. Pasukan Abu Sufyan juga membunuh seorang Muslim, membakar rumah-rumah dan tumpukan rumput-rumput kering. Mendengar Kekalahan pada perang Badar membuat bangsa Quraisy malu dan sedih sehingga Quraisy sangat marah dan ingin menuntut balas atas kematian para pemimpin Quraisy. Setelah perang Badar, Abu Sufyan dijadikan sebagai pemimpin kaum Quraisy. Abu Sufyan bersumpah tidak akan mencampuri istrinya sebelum membalas kekalahan kaum Quraisy pada perang Badar. Abu Sufyan mulai menugaskan 200 orang pasukan untuk pergi ke Madinah pada bulan Dzulhijjah 2 H, dua bulan setelah perang Badar. Secara diam-diam pasukan Abu Sufyan merampok di ‘Uraid, kira-kira 3 mil dari Madinah pada malam hari dan membakar kebun kurma. Pasukan Abu Sufyan juga membunuh seorang Muslim, membakar rumah-rumah dan tumpukan rumput-rumput kering. Mendengar

Sesudah perang Badar, orang Yahudi mulai menjalin persengkongkolan yang lebih luas untuk melawan Nabi Muhammad SAW. Pihak Yahudi mengirimkan rombongan yang terdiri dari tokoh-tokoh besar Yahudi seperti Huyayy bin Akhthab, Sallam bin Abul Huqaiq, Abu Rafi’, al-Rabi’ bin al-Rabi’ bin Abu Huqaiq, Ka’b bin Asyraf dan Abu ‘Ammar, untuk menjalin kerjasama dengan bangsa Quraisy, Ghathfan dan Banu Quraizhah serta menghasut mereka agar memusuhi Nabi Muhammad SAW. Kaum Quraisy menyambut dengan baik ajakan Yahudi untuk bekerjasama melawan Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya. Pemimpin-pemimpin dan pemuka Quraisy mengadakan musyawarah untuk memutuskan cara melakukan pembalasan kepada Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin. Tokoh-tokoh Quraisy yang hadir dalam musyawarah tersebut diantaranya adalah Abu Sufyan bin Harb, Abdullah bin Ra’biah, Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayyah, Jubair bin Muth’im, Harits bin Hisyam, Huwait bin Abdul Uzza, dan Ubay bin Khalaf. Dalam pertemuan tersebut banyak juga perempuan Quraisy yang datang diantaranya adalah Hindun binti Utbah (istri Abu Sufyan). Setelah membahas beberapa hal maka dari musyawarah tersebut menetapkan beberapa keputusan, yaitu:

a) Keuntungan yang diperoleh dari kafilah dagang Quraisy pimpinan Abu Sufyan harus dikumpulkan oleh masing-masing orang dan akan digunakan untuk membiayai peperangan melawan Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya.

b) Kabilah-kabilah Tihamah, Kinanah dan kabilah-kabilah Arab lainnya yang tinggal berdekatan dengan kota Makkah akan diikat perjanjian dengan kaum Quraisy agar mau membantu melawan Nabi Muhammad SAW beserta kaum Muslimin.

c) Kaum perempuan Quraisy yang keluarga dan saudaranya tewas dalam perang Badar, harus ikut berperang melawan Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya. (Moenawar Chalil, 2001: 99-100)